Mansion Gao berdiri sunyi di bawah cahaya bulan.
"Nyonya?" Suami Ketiga Nyonya Gao terbangun. Udara terasa dingin. Ia meraba sisi ranjangnya, kosong. Tidak ada jawaban. Jantungnya berdebar pelan. Ia bangkit dari ranjang, melangkah ke jendela. Bayangan bergerak di sudut ruangan. Sekilas ada sesosok, lalu lenyap. Ia berbalik. Matanya terbelalak, dan detak jantungnya berdegup lebih kencang. Kilatan logam di bawah cahaya lentera. Desisan napas tertahan. Jeritannya terputus sebelum sempat terlontar. Tertelan oleh malam yang tak bersuara. Kembali sunyi. Hanya angin yang berbisik di antara daun kering, menyimpan rahasia yang tak terucap. Di tempat lain, jauh dari keheningan Mansion Gao yang penuh rahasia, malam festival persembahan di Kuil Yansheng telah berakhir. Para pendeta telah pergi, meninggalkan jejak dupa yang masih menggantung tipis di udara. Cahaya lilin bergetar pelan di altar, menciptakan bayangan yang bergerak samar di antara pilar-pilar kayu tua. Patung-patung dewa tersembunyi dalam bayangan, seolah menyimpan rahasia yang tak terucap. Angin musim semi mendesis, membawa sisa-sisa doa yang baru saja dipanjatkan. Di bawah altar utama, sesuatu bergetar pelan. Entah angin, entah suara yang tak seharusnya ada. *** Di pagi yang seharusnya damai, Restoran Lingxiang tampak seperti tempat yang sempurna untuk memulai hari. Langit cerah, aroma rempah memenuhi udara, dan suara peralatan dapur yang berdenting terdengar dari ruang belakang. Di atas meja utama, hidangan tersaji seperti karya seni. Daging sapi Yunnan yang tipis transparan, sup wonton mengepulkan uap lembut, bebek panggang berbumbu rahasia keluarga, serta tahu sutra dari daerah selatan dengan tekstur selembut awan. Di depannya, duduklah Baili Zhiyu, Tuan Muda Kedua dari Mansion Baili. Seorang pria muda dengan kulit pucat bersih, fitur wajah elegan bak patung giok yang diukir dengan indah, serta mata keemasan yang tajam seperti seorang sarjana yang telah menghabiskan bertahun-tahun mengamati detail kecil. Hanfunya berlapis halus, jubah biru muda dengan bordiran awan emas, serta manset sutra yang menunjukkan statusnya sebagai bangsawan. Rambut hitamnya tertata dan terikat rapi dengan sehelai pita sutra hitam. Ia mengangkat sumpit peraknya yang bertangkai jade dengan elegan, menyoroti setiap detail hidangan dengan ketelitian luar biasa. "Bumbu," gumamnya, "mirip seperti kaligrafi yang kehilangan keharmonisan." Pemilik restoran berdiri gelisah di dekatnya, keringat dingin mengilap di dahinya. Pemilik restoran hampir mencengkram lengan jubahnya sendiri. Ini bukan sekadar ulasan makanan. Ini adalah penentuan nasib. Satu komentar Baili Zhiyu bisa menentukan hidup dan matinya restoran ini. Kemudian, dunia berubah. Pagi hari masih segar. Angin musim semi membawa aroma teh dan rempah. Lalu, seperti kutukan yang jatuh dari langit ... BRAK! Pintu restoran didobrak, kayu berderit memilukan. Seorang pria melompat masuk, napasnya tersengal-sengal berat, pakaian hijau kusut dan penuh debu, pedang terhunus dalam genggamannya. Luka di pipinya masih berdarah, tetapi tatapannya tajam seperti elang yang terpojok. Disusul para anggota pasukan Jinyiwei yang mengejarnya. Sepertinya pria itu seorang buronan. Seseorang yang jelas terlihat seperti seorang pendekar pedang yang terlatih. Dengan bahu kokoh, tubuh tegap yang jelas terbiasa bertarung. Pakaiannya, dulunya jubah hijau standar, kini penuh debu dan robekan, dengan sabuk kulit yang sudah terlihat lusuh. "Tangkap dia! Jangan biarkan kabur!" Pasukan Jinyiwei melompat dari berbagai arah, pedang mereka berkilat di bawah cahaya mentari pagi. Dalam sekejap, dunia Restoran Lingxiang berubah menjadi kekacauan. Piring bergerincing. Cangkir teh terjatuh. Seorang pelayan menjatuhkan nampan, hidangan berhamburan seperti hujan makanan. Buronan itu berputar cepat, mata elangnya menyorot Baili Zhiyu. "Kau!" serunya. "Kau akan ikut denganku!" Tanpa ragu, tangannya mencengkeram lengan Zhiyu, membuat daging yang hendak disantapnya jatuh ke lantai. Zhiyu mengangkat alis, tetap duduk santai meski keadaan restoran berubah menjadi arena perkelahian. "Rasanya aku belum berubah pikiran untuk menjadi kritikus pedang. Kupikir aku masih setia di jalur kuliner." Pedang beradu di meja. Seorang pengunjung berteriak, sementara seorang lagi pingsan. Meja terguling, sup tumpah, daging beterbangan. Restoran Lingxiang berubah menjadi medan perang kuliner paling kacau. Buronan menarik Zhiyu keluar restoran. Zhiyu melirik ke lantai, melihat daging yang jatuh. Ia menghela napas panjang, seolah ini adalah tragedi terbesar pagi itu. Buronan membawanya melompati atap-atap gedung di tengah hiruk-pikuk pagi. Di bawah, pasukan Jinyiwei mengejar seperti angin yang marah. Zhiyu, masih tetap santai, melirik penculiknya dengan ekspresi datar. "Kau tahu," ujarnya, "menyandera seorang kritikus kuliner itu sangat tidak bijaksana." Buronan meliriknya curiga. "Kenapa?" Zhiyu tersenyum tipis. "Karena setiap gerakanmu akan mendapat ulasan tajam. Penculik yang buruk, seperti restoran buruk, tidak layak untuk mendapatkan apresiasi." Longcheng berubah menjadi arena pengejaran, dengan kritikus kuliner yang lebih peduli pada kualitas gerakan sang pendekar daripada nyawanya sendiri. Di kejauhan, Kuil Yansheng masih membisu, menyimpan misteri yang belum terungkap. Sebuah rahasia yang mungkin lebih berbahaya dari sekadar pengejaran pagi ini.Mereka bertiga duduk di sudut restoran menghadap jendela, di mana jalanan ibukota menyajikan pertunjukan gratis. Pedagang berteriak menjajakan dagangan, kereta kuda berderap, bangsawan berjalan santai, kehidupan Longcheng yang tak pernah berhenti.Pelayan yang melayani mereka gemetar seperti daun di angin kencang saat mencatat pesanan Baili Zhiyu. Trauma enam bulan lalu masih membekas dalam. Tangannya bergetar memegang kuas tulis, sudah membayangkan kemungkinan terburuk jika tuan muda ini kembali melancarkan kritik mematikan.Pelayan itu berusaha menjaga tangannya tetap stabil, tetapi kuasnya menari dengan ragu. Seolah-olah satu kesalahan kecil akan berakhir dalam ulasan mengerikan yang menghancurkan reputasi keluarganya selama tujuh generasi.Xu Jianhong merasa ini adalah kesempatan emas untuk akhirnya melakukan interogasi yang benar. Ia menuangkan teh untuk mereka bertiga dengan harapan tinggi bahwa hari ini takdir akan
Baili Zhiyu melangkah dengan tenang dan elegan selayaknya seorang tuan muda dari keluarga terhormat. Setiap gerakannya mencerminkan kedisiplinan yang tertanam dalam pendidikan keluarga bangsawa. Punggung tegak, langkah teratur, pandangan tenang menyapu sekitar dengan pengamatan yang tajam.Di sampingnya, Xiǎo Zeyan berjalan dengan malas, tampak sama sekali tidak tertarik dengan kesibukan ibukota. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam lengan jubah, sedangkan tangan kiri sesekali menguap dengan dramatis. Mata setengah terpejam, seolah berjalan di tengah mimpi yang tidak terlalu menarik.Di belakang mereka, Xu Jianhong mengikuti dengan langkah berat, merasa nasibnya semakin buruk dengan setiap langkah. Keningnya berkerut, menatap punggung kedua pemuda di depannya dengan campuran frustrasi dan kepasrahan. Ia mulai mempertanyakan keputusannya mengajak mereka untuk "interogasi santai" ini.Tujuan mereka adalah Restoran Lianhe Fang, restoran mew
Xu Jianhong berdiri di depan gerbang Mansion Baili dengan wajah seperti seorang jenderal yang siap berperang melawan musuh yang tidak terlihat. Hari ini ia bertekad menyelesaikan interogasi dengan Baili Zhiyu. Tanpa drama, tanpa kejutan, dan terutama tanpa melibatkan Pangeran Ketiga yang merepotkan.Sayangnya, takdir memiliki rencana lain."Maaf, Tuan Menteri," pelayan Mansion Baili membungkuk sopan. "Tuan Muda Kedua sedang berkunjung ke Manor Menteri Personalia."Xu Jianhong menahan keinginan untuk menengadahkan wajah ke langit dan berteriak pada dewa-dewa yang tampaknya senang mempermainkan hidupnya. Menteri Personalia, Li Chengfeng, merupakan adik mendiang Nyonya Baili."Terima kasih," ucapnya dengan senyum yang hampir retak di ujung.Perjalanan menuju Distrik Akademik terasa seperti pawai kematian. Xu Jianhong terus berharap bahwa hari ini, untuk sekali saja, nasib akan memihaknya
Han Qingsheng, Menteri Hukum, berdiri dengan tenang sembari menikmati sepotong baozi berisi daging yang masih hangat. Wajahnya tampak damai, seolah ia sedang menikmati pagi yang sempurna. Bukan sedang menghadapi Menteri Perang yang hampir mengalami gangguan jiwa.Di sebelahnya, Walikota Longcheng, Shen Guang tersenyum tipis dan duduk dengan elegan di samping Xu Jianhong yang masih terlihat seperti orang yang baru saja selamat dari bencana alam.Dengan suara simpatik yang terdengar tulus, Shen Guang berbicara. "Menteri Xu, aku paham sekali perasaanmu."Xu Jianhong yang sudah mulai pulih dari histerianya tadi akhirnya berdiri, menelan sisa baozi dengan agak tergesa, lalu memberi hormat dengan sopan meskipun masih ada remah baozi menempel di sudut bibirnya."Maafkan saya. Tidak seharusnya Anda berdua menyaksikan keributan memalukan di yamen seperti tadi."Han Qingsheng hanya melambaikan tangan dengan santai, seolah kejadian tadi hanyala
Matahari pagi belum sepenuhnya menyinari ibukota Longcheng ketika Xu Jianhong, Menteri Perang yang biasanya tenang dan berwibawa, sudah duduk di yamen-nya dengan wajah seperti orang yang baru saja mendengar kabar kiamat akan tiba besok.Di hadapannya, sebuah laporan tebal dari Pasukan Jinyiwei terbuka dengan rapi. Halaman demi halaman berisi detail mengenai hilangnya suami ketiga Nyonya Gao Shichen. Kasus yang seharusnya menjadi tanggung jawab Jinyiwei. Bukan yamen, tetapi entah mengapa laporan itu kini sudah ada di atas mejanya.Xu Jianhong membaca dengan teliti, matanya menyapu setiap karakter dengan cermat. Sampai... matanya tiba-tiba membelalak seperti kura-kura yang tersedak air kolam!Xu Jianhong membalik halaman laporan, mengamati setiap detail dengan seksama. Kemudian ia berhenti.Ia melihat dua nama dalam daftar saksi.Ia menutup laporan.Ia membuka laporan lagi, mungkin ada kesalahan cetak.Tidak.Dua
Cahaya obor menari-nari di sudut-sudut jalan Longcheng saat pasukan Jinyiwei masih berkejaran dengan Luo Jìng dan Yan Feng. Derap langkah mereka memecah keheningan malam bagai gemuruh badai di musim hujan. Sementara itu, dari dalam tandu yang bergerak perlahan, Zeyan dan Zhiyu menikmati kekacauan tersebut dengan santai."Menurutmu, mereka akan tertangkap malam ini?" tanya Zhiyu sembari memainkan sepotong kue kacang yang entah didapatnya dari mana.Zeyan mengibaskan kipasnya dengan malas, mengamati sosok-sosok yang melompat dari satu atap ke atap lain. "Terlalu membosankan jika berakhir secepat itu."Tiba-tiba, jeritan panjang dan nyaring membelah udara malam yang dingin!Jeritan itu begitu memilukan, menyusup hingga ke tulang sumsum, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Para Jinyiwei yang sedang mengejar buronan langsung berhenti, kepala mereka menoleh ke arah jeritan tersebut."Apa itu?" tanya Zhiyu, melongokkan kepalanya keluar tandu.