"Atas perintah kaisar! Tangkap buronan, selamatkan sandera! Jangan biarkan mereka kabur!"
Suara lantang anggota Jinyiwei bergema di antara atap-atap rumah Longcheng. Pagi cerah yang seharusnya damai berubah menjadi panggung kejar-kejaran absurd. Seorang buronan dengan pedang terhunus berlari sambil menyeret seorang pemuda dalam hanfu sutra biru langit yang tampak lebih kesal karena sarapannya terganggu daripada takut akan nyawanya. Zhiyu melirik ke bawah, mengamati formasi pasukan Jinyiwei yang bergerak seperti semut hitam di jalanan. Mereka tampak bingung, menengok ke segala arah. "Mereka sama sekali tidak terlatih untuk pengejaran di atap," gumam Zhiyu tanpa diminta. "Taktik mereka lebih cocok untuk menghadang musuh di tanah datar." Buronan mendengus di antara napasnya yang berat. "Kau bicara seperti seorang jenderal, padahal kau hanya seorang sandera." "Aku hanya pengamat yang baik," balas Zhiyu dengan suara datar. "Omong-omong, jika kau ingin melarikan diri dengan lebih efisien, aku sarankan jalan pintas." Langkah buronan melambat, mata elangnya yang tajam melirik curiga. "Jalan pintas?" Zhiyu mengangguk seperti seorang pemandu wisata yang sedang menjelaskan rute terbaik. "Lewati atap kedai teh itu, belok kanan di gang sempit antara toko kain dan rumah dukun. Kemudian lompat ke belakang toko pernak-pernik, tapi hati-hati, ada anjing galak di sana." Buronan berdecak kesal. "Mengapa kau tahu semua ini? Dan kenapa aku mempercayai sandera untuk menentukan rute pelarianku?" Zhiyu menyunggingkan senyum tipis. "Karena aku sering lewat di sini jika ingin mencicipi makanan di pasar tanpa izin keluarga." Buronan terdiam sejenak, mempertimbangkan saran dari sanderanya yang terlalu kooperatif ini. Dengan helaan napas berat, ia akhirnya mengangguk dan mengubah arah. "Kanan setelah kedai teh... kemudian... ke arah mana tadi?" "Gang sempit di antara toko kain dan rumah dukun," Zhiyu mengulangi dengan sabar. "Lihatlah, tepat di bawah sana." Benar saja, mereka berhasil menghindari kejaran Jinyiwei. Dari kejauhan terdengar suara frustasi para prajurit yang kehilangan jejak. "Mereka hilang! Bagaimana mungkin?" "Periksa semua gang!" "Laporkan pada Letjen Wei Xuan, kita kehilangan buronan itu!" Buronan dan Zhiyu tiba di bagian timur perbatasan kota yang sepi. Kumpulan bangunan tua yang tak terawat berdiri menyerupai hantu-hantu dari masa lalu. Buronan memilih salah satu struktur yang lebih mirip reruntuhan daripada tempat persembunyian. Sebuah gudang tua dengan atap yang sebagian sudah runtuh. Di dalam gudang, buronan menghela napas lega. "Aku sudah melalui banyak pertarungan, tetapi tidak pernah sekonyol ini..." Zhiyu melihat sekeliling dengan mata penilai. Dia mengibaskan debu dari kursi kayu usang, lalu mengamatinya dengan penuh kritik, seperti seorang bangsawan yang menilai kualitas furnitur kerajaan. "Debu terlalu tebal, dinding berderak tak stabil, dan baunya sangat mirip kaos kaki Komandan Jinyiwei setelah bertugas tiga hari tanpa pergantian. Sangat tidak direkomendasikan." Buronan menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Kau benar-benar peduli soal itu sekarang?" Zhiyu duduk dengan tenang di kursi kayu usang yang tampaknya siap patah kapan saja, sementara buronan mengintip keluar melalui celah dinding, memastikan tidak ada pasukan Jinyiwei yang masih mengikuti. Merasa aman, buronan mengeluarkan tali dari pinggangnya, berniat mengikat Zhiyu. "Tidak perlu mengikatku," kata Zhiyu. Buronan mengernyit, tetap mencoba mendekat dengan tali di tangan. "Jika tidak kuikat, kau akan melarikan diri." Zhiyu mendesah, menatap pria itu dengan pandangan yang biasa ia berikan pada koki yang salah mengukur bumbu. "Tuan buronan, kau ini benar-benar pendekar pedang hebat! Lompatan di atap tadi sangat mengagumkan meski teknikmu sedikit kasar di sisi timur. Sayangnya, pengetahuanmu tentang sandera sangat minim!" Buronan menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" "Kau tidak mengenaliku?" Zhiyu balik bertanya. Buronan mengamati pemuda di hadapannya. Rambut hitam panjang terikat rapi dengan pita sutra hitam, wajah rupawan yang tenang tanpa ekspresi takut, hanfu biru muda dengan bordiran awan emas yang jelas mahal, sepatu bot kulit berkualitas tinggi. Dia menggeleng dengan yakin. "Sungguh?" Zhiyu terdengar setengah terluka, setengah terkejut. Buronan mengangguk lagi. Zhiyu akhirnya menyerah. "Aku Baili Zhiyu." Buronan tetap tampak tidak terkesan. "Oh, lantas?" "Ah, tidak apa-apa," Zhiyu menyandarkan diri ke kursi kayu usang yang berderit protes. Ada keheningan canggung sebelum mata buronan melebar perlahan. Ia menatap sanderanya dari ujung kepala hingga kaki sekali lagi, kali ini dengan lebih seksama. "Tunggu... Baili Zhiyu, Tuan Muda Kedua keluarga Baili... Teman belajar Pangeran Ketiga Xiao Zeyan?" Zhiyu menatapnya tajam, tidak terkesan. "Bukankah tadi sudah kukatakan?" "Iya ... Sahut buronan, menelan ludah kasar. "Baili Zhiyu, kritikus kuliner yang sudah membuat bangkrut separuh restoran di Longcheng." "Apakah reputasiku seburuk itu?" tanya Zhiyu yang lebih mirip gumaman yang ditujukan pada dirinya sendiri. "Dan salah satu satu dari bujangan lapuk ibukota yang diidamkan para wanita ..." lanjut sang buronan, menatap Zhiyu tak berkedip. Dan sebuah tendangan pun mendarat di tulang kering pria itu. Zhiyu menatapnya dengan santai, tanpa merasa salah, sedangkan sang buronan meringis kesakitan. Sungguh malang, seorang buronan yang justru menderita karena sanderanya.Mereka bertiga duduk di sudut restoran menghadap jendela, di mana jalanan ibukota menyajikan pertunjukan gratis. Pedagang berteriak menjajakan dagangan, kereta kuda berderap, bangsawan berjalan santai, kehidupan Longcheng yang tak pernah berhenti.Pelayan yang melayani mereka gemetar seperti daun di angin kencang saat mencatat pesanan Baili Zhiyu. Trauma enam bulan lalu masih membekas dalam. Tangannya bergetar memegang kuas tulis, sudah membayangkan kemungkinan terburuk jika tuan muda ini kembali melancarkan kritik mematikan.Pelayan itu berusaha menjaga tangannya tetap stabil, tetapi kuasnya menari dengan ragu. Seolah-olah satu kesalahan kecil akan berakhir dalam ulasan mengerikan yang menghancurkan reputasi keluarganya selama tujuh generasi.Xu Jianhong merasa ini adalah kesempatan emas untuk akhirnya melakukan interogasi yang benar. Ia menuangkan teh untuk mereka bertiga dengan harapan tinggi bahwa hari ini takdir akan
Baili Zhiyu melangkah dengan tenang dan elegan selayaknya seorang tuan muda dari keluarga terhormat. Setiap gerakannya mencerminkan kedisiplinan yang tertanam dalam pendidikan keluarga bangsawa. Punggung tegak, langkah teratur, pandangan tenang menyapu sekitar dengan pengamatan yang tajam.Di sampingnya, Xiǎo Zeyan berjalan dengan malas, tampak sama sekali tidak tertarik dengan kesibukan ibukota. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam lengan jubah, sedangkan tangan kiri sesekali menguap dengan dramatis. Mata setengah terpejam, seolah berjalan di tengah mimpi yang tidak terlalu menarik.Di belakang mereka, Xu Jianhong mengikuti dengan langkah berat, merasa nasibnya semakin buruk dengan setiap langkah. Keningnya berkerut, menatap punggung kedua pemuda di depannya dengan campuran frustrasi dan kepasrahan. Ia mulai mempertanyakan keputusannya mengajak mereka untuk "interogasi santai" ini.Tujuan mereka adalah Restoran Lianhe Fang, restoran mew
Xu Jianhong berdiri di depan gerbang Mansion Baili dengan wajah seperti seorang jenderal yang siap berperang melawan musuh yang tidak terlihat. Hari ini ia bertekad menyelesaikan interogasi dengan Baili Zhiyu. Tanpa drama, tanpa kejutan, dan terutama tanpa melibatkan Pangeran Ketiga yang merepotkan.Sayangnya, takdir memiliki rencana lain."Maaf, Tuan Menteri," pelayan Mansion Baili membungkuk sopan. "Tuan Muda Kedua sedang berkunjung ke Manor Menteri Personalia."Xu Jianhong menahan keinginan untuk menengadahkan wajah ke langit dan berteriak pada dewa-dewa yang tampaknya senang mempermainkan hidupnya. Menteri Personalia, Li Chengfeng, merupakan adik mendiang Nyonya Baili."Terima kasih," ucapnya dengan senyum yang hampir retak di ujung.Perjalanan menuju Distrik Akademik terasa seperti pawai kematian. Xu Jianhong terus berharap bahwa hari ini, untuk sekali saja, nasib akan memihaknya
Han Qingsheng, Menteri Hukum, berdiri dengan tenang sembari menikmati sepotong baozi berisi daging yang masih hangat. Wajahnya tampak damai, seolah ia sedang menikmati pagi yang sempurna. Bukan sedang menghadapi Menteri Perang yang hampir mengalami gangguan jiwa.Di sebelahnya, Walikota Longcheng, Shen Guang tersenyum tipis dan duduk dengan elegan di samping Xu Jianhong yang masih terlihat seperti orang yang baru saja selamat dari bencana alam.Dengan suara simpatik yang terdengar tulus, Shen Guang berbicara. "Menteri Xu, aku paham sekali perasaanmu."Xu Jianhong yang sudah mulai pulih dari histerianya tadi akhirnya berdiri, menelan sisa baozi dengan agak tergesa, lalu memberi hormat dengan sopan meskipun masih ada remah baozi menempel di sudut bibirnya."Maafkan saya. Tidak seharusnya Anda berdua menyaksikan keributan memalukan di yamen seperti tadi."Han Qingsheng hanya melambaikan tangan dengan santai, seolah kejadian tadi hanyala
Matahari pagi belum sepenuhnya menyinari ibukota Longcheng ketika Xu Jianhong, Menteri Perang yang biasanya tenang dan berwibawa, sudah duduk di yamen-nya dengan wajah seperti orang yang baru saja mendengar kabar kiamat akan tiba besok.Di hadapannya, sebuah laporan tebal dari Pasukan Jinyiwei terbuka dengan rapi. Halaman demi halaman berisi detail mengenai hilangnya suami ketiga Nyonya Gao Shichen. Kasus yang seharusnya menjadi tanggung jawab Jinyiwei. Bukan yamen, tetapi entah mengapa laporan itu kini sudah ada di atas mejanya.Xu Jianhong membaca dengan teliti, matanya menyapu setiap karakter dengan cermat. Sampai... matanya tiba-tiba membelalak seperti kura-kura yang tersedak air kolam!Xu Jianhong membalik halaman laporan, mengamati setiap detail dengan seksama. Kemudian ia berhenti.Ia melihat dua nama dalam daftar saksi.Ia menutup laporan.Ia membuka laporan lagi, mungkin ada kesalahan cetak.Tidak.Dua
Cahaya obor menari-nari di sudut-sudut jalan Longcheng saat pasukan Jinyiwei masih berkejaran dengan Luo Jìng dan Yan Feng. Derap langkah mereka memecah keheningan malam bagai gemuruh badai di musim hujan. Sementara itu, dari dalam tandu yang bergerak perlahan, Zeyan dan Zhiyu menikmati kekacauan tersebut dengan santai."Menurutmu, mereka akan tertangkap malam ini?" tanya Zhiyu sembari memainkan sepotong kue kacang yang entah didapatnya dari mana.Zeyan mengibaskan kipasnya dengan malas, mengamati sosok-sosok yang melompat dari satu atap ke atap lain. "Terlalu membosankan jika berakhir secepat itu."Tiba-tiba, jeritan panjang dan nyaring membelah udara malam yang dingin!Jeritan itu begitu memilukan, menyusup hingga ke tulang sumsum, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Para Jinyiwei yang sedang mengejar buronan langsung berhenti, kepala mereka menoleh ke arah jeritan tersebut."Apa itu?" tanya Zhiyu, melongokkan kepalanya keluar tandu.