Yan Feng masih terengah-engah saat duduk di dalam tandu. Napasnya memburu, keringat mengalir di pelipis, sementara di luar sana derap langkah pasukan Jinyiwei masih terdengar bagai genderang perang.
Di dalam tandu yang diterangi cahaya temaram, seorang pria muda tampan dengan jubah sutra biru tua duduk dengan santai. Tangannya mengibaskan kipas kayu cendana dengan ukiran naga, menciptakan semilir angin dingin yang kontras dengan kepanikan di luar. Ekspresinya tenang, seolah pengejar-kejaran dengan pasukan elit kekaisaran hanyalah tontonan opera yang membosankan. "Kau hendak kemana?" tanyanya dengan gaya malas, matanya mengamati Yan Feng tanpa minat berlebih. Yan Feng menatapnya curiga, masih berusaha mengatur napas dan memahami situasi. Tangannya secara instingtif menyentuh gagang pedangnya. "Perbatasan, bekas pusat perdagangan rempah," jawabnya singkat, matanya masih waspada. Pria tampan itu mengangguk pelan, jemarinya yang ramping masih mengibaskan kipas dengan ritme konstan. "Ah, baiklah! Aku akan mengantarkanmu," ucapnya kasual, seolah baru saja menawarkan secangkir teh. Yan Feng semakin curiga. Ia mengintip dari balik tirai, melihat jalanan yang mulai gelap. Tidak ada jubah hitam-merah Jinyiwei mengikuti mereka. Lampu-lampu jalan mulai dinyalakan satu per satu oleh petugas kota, menciptakan bayangan tandu yang melaju perlahan di atas tanah. "Mereka tidak akan mengikuti kita," tegur pria itu masih dengan senyum malas yang sama. Kebingungan Yan Feng semakin menjadi. Entah penolongnya ini dungu atau justru terlalu percaya diri. "Kenapa?" Pria tampan itu tersenyum tipis, mengibaskan kipasnya lagi dengan gerakan elegan. "Aku tidak tahu." Jawaban yang sama sekali tidak membantu. Yan Feng memilih diam, matanya tetap waspada mengamati jalan. Suasana malam Longcheng semakin mencekam. Lentera-lentera jalan menciptakan pulau-pulau cahaya di tengah kegelapan, tetapi jalanan berangsur sepi. Hanya sesekali terdengar teriakan perintah dari kejauhan, pertanda pasukan masih melakukan pencarian. Di ibu kota, kejar-kejaran dengan Jinyiwei sudah seperti rutinitas harian yang membosankan. Bedanya, tidak semua orang beruntung lolos hidup-hidup. Ketika tandu berhenti di persimpangan menuju gudang tua, Yan Feng melompat turun dengan lincah. Ia membungkuk singkat. "Terima kasih," ucapnya ringkas, tanpa tambahan kata yang tidak perlu. Pria tampan itu hanya mengangguk sekali sebelum tandu kembali diangkat, bayangannya perlahan menghilang di antara lentera-lentera malam Longcheng. Yan Feng bergegas memasuki gang sempit, mengendap-endap dengan langkah tanpa suara menuju gudang tempat ia meninggalkan Luo Jìng dan sanderanya. Ketika ia membuka pintu gudang perlahan, pemandangan di hadapannya membuatnya terpaku. Luo Jìng dan Baili Zhiyu tengah duduk berhadapan, sibuk bermain catur dengan ekspresi serius. Di samping papan catur, sebatang lilin menyala lemah, memberikan penerangan yang nyaris tidak memadai. "Aiyo! Aku dikejar-kejar pasukan Jinyiwei dan kau malah sibuk bermain catur!" teriak Yan Feng, emosinya meledak seketika. Zhiyu menoleh dengan santai, seolah baru menyadari kehadiran Yan Feng. "Oh, kau sudah kembali!" ucapnya ringan, lalu tatapannya berubah penuh harap. "Mana pesananku?" Yan Feng terdiam sejenak, otaknya baru memproses, bungkusan makanan yang ia bawa tadi tertinggal di tandu! Ia begitu fokus menyelamatkan diri hingga lupa dengan paket makanan mewah itu. Belum sempat ia menjelaskan, sebuah kipas mendadak melayang ke kepalanya. Baili Zhiyu, dengan wajah kesal, memukulnya dengan gagang kipas. "Kau menghilangkan makananku?!" Luo Jìng bangkit dari duduknya, menatap Yan Feng dengan tajam. "Lalu di mana uangnya?" Yan Feng makin frustrasi, tangannya terangkat ke udara. "Uang apa? Luo Jìng, aku tidak mau ikut campur urusanmu lagi!" Tanpa pikir panjang, Yan Feng berteriak kesal lalu berbalik hendak pergi dari tempat itu. Ia menendang kursi di dekatnya, lalu menendang pintu gudang hingga berdebam keras. Udara dingin malam tiba-tiba terasa lebih berat. Yan Feng baru ingin melangkah... BRAK! Pintu berbeda di sisi lain gudang didobrak dengan keras. Cahaya obor menerangi wajah-wajah dingin pasukan Jinyiwei. "Tangkap mereka!" Yan Feng refleks melompat mundur, kembali ke gudang. Luo Jìng meraih pedangnya dengan cepat, sementara Zhiyu masih duduk tenang, menatap bidak catur di hadapannya seolah tak terjadi apa-apa. "Kita harus pergi, sekarang!" seru Luo Jìng. Yan Feng melompat keluar gudang terlebih dahulu, menembus kegelapan malam. Namun, Luo Jìng tiba-tiba menyadari ia tidak bisa meninggalkan sanderanya begitu saja. Alih-alih panik, Baili Zhiyu justru berdiri dengan santai, menepuk-nepuk pakaiannya yang berdebu. "Langkahkan kaki lebih tinggi. Itu akan meningkatkan kecepatan lari kalian setidaknya dua puluh persen," ujarnya dengan nada seorang guru yang membosankan. Suara langkah pasukan Jinyiwei semakin dekat. Tanpa basa-basi, Luo Jìng mengangkat tubuh Zhiyu dengan satu tangan, melemparkannya ke pundak seperti karung beras, lalu berlari menyusul Yan Feng. "Aku bukan karung beras! Apa kau pikir aku ini paket yang harus dikirim ke perbatasan?" protes Zhiyu. "Setidaknya angkat aku dengan lebih elegan! Ini tidak pantas untuk seorang sarjana terhormat!" Suasana kota semakin dramatis dalam cahaya temaram. Lentera-lentera malam bergetar saat mereka melintas, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari liar di dinding-dinding bangunan. Suara peluit peringatan mulai bersahutan dari berbagai penjuru kota, pertanda bahwa pengejaran telah memasuki level yang lebih serius. Seorang pedagang yang sedang menutup warungnya melotot melihat kekacauan itu. "KALIAN LAGI?!""San Gē, jika lorong rahasia di Pasar Hantu memiliki jalan keluar yang berbeda-beda ke berbagai tempat, aku yakin ada satu jalur utama yang mempertemukan semua jalur rahasia itu, bukan?" Zhiyu menjawab dengan nada serius, menunjukkan bahwa otaknya sudah bekerja menganalisis situasi yang kompleks."Jadi..." Zeyan menelan ludah dengan hati-hati. "Kau mau menelusuri lorong-lorong rahasia itu sendiri?"Zhiyu mengangguk mantap tanpa ragu. "Tetapi kita harus mengeluarkan Luó Jìng dulu dari Manor Gao sebelum melakukan itu.""Bagaimana caranya?" Zeyan mengerutkan keningnya dengan khawatir, suaranya mulai bergetar karena cemas. "Èr Lang, jangan katakan kau hendak menyusup ke dalam Manor Gao? Jika sampai ketahuan, Ayahanda Kaisar pasti akan pergi ke Barat untuk menyusul Sun Go Kong karena stress berat!"Zhiyu melirik Zeyan dari atas punggungnya dengan tatapan yang cukup untuk membuat Zeyan langsung paham bahwa di
Sore menjelang malam, suasana ibukota Longcheng mulai dihiasi dengan kemeriahan khas kehidupan malam yang tidak pernah tidur. Jalanan kota diterangi lampion merah dan lentera emas yang menyala berjajar di sepanjang jalan utama, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan udara malam yang semakin dingin.Baili Zhiyu melangkah dengan tenang dan terkendali, kedua tangannya diklasper di belakang punggung dengan sikap yang mencerminkan ketenangan seorang sarjana. Ujung hanfu biru mudanya berkibar lembut tertiup angin malam yang mulai terasa lebih dingin dan membawa aroma bunga yang harum dari taman-taman kota.Di sampingnya, Xiǎo Zeyan berjalan dengan langkah santai yang khas, jubah biru kerajaan yang dipakainya juga berkibar-kibar mengikuti irama langkahnya. Sesekali dia memperhatikan sekeliling dengan mata yang mengamati setiap detail, meski wajahnya tetap menunjukkan ekspresi santai yang biasa."Èr Lang, kau mau mereview
Sementara itu, di Paviliun Kabut Rasa yang terkenal tenang, Xiao Zeyan seperti biasanya tengah bermalas-malasan sambil menikmati kacang rebus hangat di teras yang menghadap taman. Ia duduk dengan sikap santai, sesekali melempar biji kacang ke udara dan menangkapnya dengan mulut.Sementara di teras yang tak jauh darinya, Xie Zun dan pasukan bayangannya berlutut berderet dengan rapi, menunggu dalam formasi sempurna.Shèng Rui dan Ji Rou, kedua pelayan setia yang sudah bertahun-tahun mengabdi pada Pangeran Ketiga, pun melaporkan dengan nada formal yang tidak biasa."Yang Mulia, Jenderal Xie Zun dan Pasukan Angin Malam Berselimut Teh telah siap menunggu perintah Anda."Xiǎo Zeyan terkejut mendengar laporan itu dan hampir tersedak biji kacang yang tengah dimakannya dengan cara tidak elegan. Ia sedang asyik melempar kacang ke atas ketika mendengar pengumuman yang mengejutkan tersebut."Yang Mulia!" Ji Rou buru-buru berlari mengambil air dan mem
Fajar baru saja menyingsing ketika Xú Jianghong merapatkan jubahnya yang masih agak kusut dan bergegas menemui beberapa tamu penting yang pagi ini telah menunggunya di Yamen. Langkahnya tergesa namun tetap terkendali, meski pikirannya masih dipenuhi memori tentang aroma Teh Bunga Tujuh Rupa dari malam sebelumnya.Zhou Liang, pelayan Yamen yang setia dan selalu cemas berlebihan, bergegas menyambutnya dengan wajah yang menunjukkan kekhawatiran berlebihan."Menteri Xú, Menteri Han, Tuan Muda Yuan dan Komandan Wei Xuan telah menunggu Anda sedari tadi," lapornya dengan nada khawatir. "Mereka tampak sangat serius dan saya khawatir ada urusan besar yang terjadi.""Aku mengerti, Zhou Liang. Terima kasih atas laporannya," sahut Xú Jianghong dengan nada serius sambil merapikan penampilannya sebelum masuk.Dia melangkah masuk ke ruang utama Yamen dengan sikap siap menghadapi situasi apapun, dan segera memberi horm
Shèng Guan menyesap tehnya lagi, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Tapi tidak semua kenangan tentang masa itu menyenangkan, Menteri Xú.""Bagaimana maksud Anda?" tanya Xú Jianghong sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menunjukkan ketertarikan yang tulus."Setelah lulus dari akademi dengan nilai yang sangat bagus, bahkan masuk dalam sepuluh besar lulusan terbaik angkatan saya, saya menghadapi kenyataan pahit." Shèng Guan menatap langit-langit sejenak. "Ternyata nilai bagus saja tidak cukup.""Ah, sistem itu," gumam Xú Jianghong paham."Tepat sekali. Untuk mendapatkan jabatan yang bagus, saya harus menyuap Menteri Personalia saat itu. Tapi dari mana saya mendapatkan uang sebanyak itu?" Shèng Guan tertawa pahit. "Keluarga saya bahkan kesulitan mengirim uang untuk makan sehari-hari.""Sistem yang tidak adil memang," komentar Xú Jianghong diplomatik.
Di lain tempat, di kediaman Walikota Shèng Guan, suasana makan malam berlangsung dalam keheningan yang sopan namun agak canggung. Lentera gantung memantulkan cahaya temaram ke permukaan meja kayu yang dipoles halus, tempat aneka sajian lezat tersaji dengan rapi. Pangsit kukus yang masih mengepul, irisan daging rebus yang dipotong tipis sempurna, dan teh yang mengepul pelan dari cangkir porselen bermotif naga.Xú Jianghong duduk dengan sikap yang berusaha terlihat santai, menikmati hidangan itu, atau setidaknya berusaha menikmati. Namun kenyataannya, selera makannya sudah hilang sejak insiden aneh di tepi kolam taman belakang beberapa saat yang lalu.Kemunculan Wei Xuan, Komandan Pasukan Jinyiwei, dari dasar kolam seperti seekor ikan raksasa bukanlah hal yang bisa dianggap sebagai lelucon biasa. Apa yang sebenarnya dilakukan pria itu di tempat seperti itu? Pertanyaan itu berulang kali muncul di benaknya seperti mantra yang tidak bisa dihenti