-kebiasaan rutin Aisy-
Kehidupan yang saat ini Aisy jalani memang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan dulu di saat dia masih duduk di bangku sekolah. Hubunganku dengannya begitu sangat dekat karena kita berdua sudah menjadi satu sahabat yang selamanya akan terus erat. Yang aku tahu, dulu Aisy adalah anak yang rajin, bakti pada orang tua serta senantiasa menjaga tali silaturahim kepada siapapun, siapa sangka jika pada akhirnya dirinya telah berubah drastis, menjadi anak yang selalu membangkang dari nasihat orang tua. Semua itu karena dia salah dalam memilih pergaulan, dia sepertinya sudah terjebak dalam sebuah sumur kenistaan yang dengan perlahan akan menghancurkan jati dirinya sebagai seorang wanita.
Setelah aku mengetahui akan hal itu, aku bukannya menghindar dan menjauh dari dirinya, karena aku bukanlah lelaki yang dengan mudah menilai keburukan seorang wanita tanpa melihat dulu latar belakangnya seperti apa. Di waktu sore ini aku mulai berpikir sejenak, menyikapi keadaan serta kondisi Aisy yang mulai memburuk. Haruskah diriku cerita dengan ibu soal keadaan Aisy saat ini, sepertinya aku belum siap. Apakah sebaiknya aku akan diam dalam menyikapi keadaan Aisy, serta hanya memohon pada Allah SWT agar dirinya bisa segera diberi hidayah. Jikalau pun aku berdoa, sudah pasti hal itu akan kulakukan, namun setidaknya kuharus juga bergerak selagi diriku masih punya tenaga, akal dan juga pikiran, karena aku menyadari sepenuhnya bahwa mendidik seseorang tidak cukup hanya dengan doa.
“Aldi.” Panggil ibu.
“Iya buk.” Jawabku.
“Kamu ngapain sore-sore duduk sendiri di sini?” tanya ibu.
“Emmm, ini buk, Aldi baru saja mengkaji kitab Ubudiyah, karena sebentar lagi Aldi mau diundang untuk memberikan ceramah di desa seberang.” Jawabku.
“Ohh begitu, ya sudah kamu makan dulu sana!” seru ibu.
“Baik buk, setelah ini kita makan sama-sama yaa.” Jawabku kembali.
Tak lama akan hal itu aku segera beranjak menuju meja makan, kuluangkan waktu sejenak untuk makan sore bersama ibu. Saat kita berdua sedang makan sore, saat itu juga ibu mulai mengajakku untuk sedikit mengobrol, baik itu tentang bapak maupun soal kerjaku di sekolah. Jika harus mengingat sosok bapak, maka sudah pasti hati ini merasa sangat sedih, karena bapak adalah pahlawanku, yang selalu bekerja keras mendidikku hingga kubisa menjadi anak yang saleh seperti saat ini.
“Andaikan bapakmu masih hidup, mungkin beliau akan sangat bangga akan dirimu yang saat ini nak.” Ucap ibu.
“Emm, iya buk Aldi paham. Tapi kurasa bapak sudah pasti tenang dan bangga akan diri Aldi di alam kuburnya sana buk, karena setiap waktu Aldi selalu mengirimkan doa untuk kebaikan bapak.” Terangku.
“Iya, ibuk doain semoga kamu bisa terus menjadi anak yang saleh ya nak.” Imbuh ibu.
“Aminn buk, insya Allah Aldi akan mempersembahkan yang terbaik untuk ibu.” Tambahku.
Allahu Akbar, Allahu Akbar. Suara adzan mulai berkumandang, menandakan waktu shalat Maghrib telah tiba. Kusegera mempersiapkan diri, begitu juga dengan ibu agar kita bisa menjalankan shalat Maghrib bersama-sama. Saat dalam shalat itulah, aku kembali teringat akan diri bapak, kuingat betul dulu di saatku masih kecil, bapak selalu menjadi imam untuk kita. Kini bapak telah tiada, sehingga dirikulah yang akan memimpin shalat untuk kali ini. Sudahlah, kepergian bapak juga kehendak Allah, dan aku sebagai anak juga tak bisa mengelak. Sebagai anak yang patuh pada orang tua, maka sudah pasti aku selalu mendoakan bapak agar tenang di alam sana, dan semoga kelak kita bisa berkumpul kembali di akhirat kelak.
Aku baru saja menyelesaikan shalat Maghrib bersama ibu, dan sekarang sudah tiba saatnya untuk segera berangkat menuju masjid di desa sebelah, di mana aku akan bertugas mengisi ceramah. Segera kuberangkat usai berpamitan dengan ibu. Kumulai menikmati suasana dalam perjalanan ini, dan tanpa sengaja aku kembali berpapasan dengan sebuah mobil sejenis Honda Jazz warna biru yang tidak lain wanita itu adalah Aisy. Kusempat berhenti sejenak dan sepertinya aku merasa sedikit tidak enak dalam melihat dirinya. Penampilannya sungguh begitu sangat menor dan memukau, entahlah mungkin saja dia mau menghadiri kondangan.
-mabuk-mabukan-
Aisy masih mengemudikan mobilnya, dan dia pergi menuju ke sebuah kota. Setelah melakukan perjalanan selama satu jam, sampailah Aisy di sebuah tempat yang bernama Hiace Club, di mana itu adalah sebuah tempat hiburan malam bagi anak-anak muda maupun dewasa. Aisy mulai bertemu dengan para teman-temannya, dan saat itu juga dia mulai menikmati suasana malam dengan minum minuman beralkohol. Dalam menikmati malam seperti ini, biasanya Aisy akan pulang sekitar jam dua belas, akan tetapi jika itu terjadi di malam atau hari minggu, sudah pasti dirinya akan pulang pagi.
Usai diriku mengisi ceramah, aku tidaklah langsung pulang, melainkan ingin kusempatkan waktu berkunjung ke rumahnya Aisy. Apa yang akan kulakukan saat ini adalah sebagai wujud untuk menjalani silaturahmi terhadap keluarga Aisy, ya semoga saja Aisy sudah ada di rumah meski sebelumnya tadi kulihat dia pergi.
Kini kutelah tiba di rumahnya, kumulai memandangi rumahnya namun mobil Aisy tidak ada, sepertinya Aisy belum juga pulang. Sudahlah, lebih baik segera kutemui kedua orang tuanya.
“Assalamualikum.” Ucapku.
“Walaikum salam.” Jawab ayah dan ibunya Aisy.
Lalu ku segera mencium tangan beliau saat sudah tiba di depanku.
“Ehhh, nak Aldi, Aisy baru aja pergi.” terang ibunya.
“Iya nggak apa-apa buk, memang niat saya hanyalah ingin bertamu ke rumah ibuk dan juga bapak.” Jawabku.
“Ohh begitu, ya sudah mari silakan duduk.” Pintanya.
“Baik buk terima kasih.” Jawabku.
Aku segera duduk sambil menikmati hidangan kopi yang baru saja dibuat oleh beliau. Kita bertiga pun mulai mengobrol mengenai Aisy dan juga mengenai diriku. Ayahnya Aisy mulai menceritakan tentang dirinya, bahwa sikap Aisy semenjak dewasa ini memang sangat membandel, dan kedua orang tuanya mulai sedikit lelah untuk terus menasehatinya. Mendengar akan hal itu kujuga merasa prihatin, rasa sedih juga turut kualami atas perubahan yang ada pada diri Aisy. Atas hal tersebut, ku akan mencoba untuk memberikan semangat kepada kedua orang tuanya, barangkali ini hanyalah sebuah ujian dari Allah yang sebentar lagi juga akan berlalu.
“Nak Aldi kerja di mana sekarang?” tanya ibunya Aisy.
“Alhamdulillah buk, saya sudah mengajar jadi guru di SD Islam Al Hikmah.” Jawabku.
“Oh guru, syukurlah, lulus dari pesantren bisa langsung mengamalkan ilmunya di sini.” Imbuh ayahnya.
“Syukurlah bapak, senang bisa berkumpul kembali sama keluarga di sini.” Jawabku.
“Hem, oh yaa, nak Aldi sudah menikah?” tanya ibunya dengan iseng.
“Alhamdulillah masih belum ibuk, ya semoga saja jodohnya bisa ketemu di sini.” Terangku.
“Ohh begitu, ya sudah semoga saja bisa ketemu cepat jodohnya ya.” Imbuhnya.
“Iya Aamiinn buk.” Jawabku kembali.
Banyak sekali topik yang kita bicarakan bertiga, semenjak diriku masih sebangku dengan Aisy sampai masa-masa di pesantren hingga saat ini. Alhamdulillah kedua orang tuanya sudah bisa mengenalku dengan baik, semoga saja ke depannya kita bisa terus menjalin silaturahmi bersama. Tanpa ada banyak waktu, aku segera berpamitan terhadap beliau. Usai sudah percakapan kita di malam ini, meski Aisy belum juga pulang, sedangkan kedua orang tuanya maupun diriku sudah merindukan akan kedatangannya.
“Jangan bosan-bosan ya nak Aldi yang main ke sini.” Ucap ibunya.
“Alhamdulillah insya Allah saya akan sering-sering main ke sini buk, karena Aisy itu kan juga sahabat saya dari dulu.” Jawabku.
“Ya sudah, nak Aldi hati-hati di jalan yaa, soalnya jalanan mulai gelap.” Imbuh ayahnya Aisy.
“Baik bapak. Ya sudah saya pamit dulu, Assalamualaikum.” Ucapku pada mereka.
“Walaikum salam.” Jawab beliau.
-Istikharah-
Aku kembali pulang dengan sendiri. Waktu sudah mendekati pukul sepuluh malam, namun entah kenapa Aisy belum juga pulang, aku benar-benar merasa sangat khawatir akan keadaannya, ya semoga saja dia tetap dalam lindungan Allah. Hanya dalam waktu lima belas menit, kini kutelah tiba di rumah, saat diriku membuka pintu kulihat ibu sedang sibuk dalam membuat bumbu rujak, sebagai persiapan untuk jualan besok.
“Assalamualikum buk.” Ucapku pada ibu.
“Walaikum salam Aldi, kamu kok baru pulang jam segini.” Gumam ibu.
“Iya buk, tadi Aldi masih main ke rumahnya Aisy.” Jawabku.
“Ohh begitu, emang kamu ngomong apa aja sama dia?” tanya ibu.
“Nggak sempat ngomong apa-apa buk, karena tadi pas Aldi ke rumahnya, Aisy lagi keluar, ya terpaksa hanya ngobrol sama orang tuanya.” Terangku.
“Ohh ya sudah, kamu makan dulu sana, tuh udah ibuk buatin nasi goreng kesukaanmu!” seru ibu.
“Baik buk, Aldi makan dulu yah.” Jawabku.
Sebelum tidur, aku selalu menyempatkan waktu untuk shalat sunnah Witir, karena ini sudah menjadi kebiasaanku waktu masih tinggal di pesantren. Usai menjalankan shalat Witir sebanyak sebelas rakaat, dan aku pun segera tidur dengan lelap.
Jam telah menunjukkan pukul satu malam, saat itulah Aisy baru pulang setelah semalaman dia menikmati waktu di tempat hiburan malam. Kali ini kondisi Aisy benar-benar sangat memilukan, karena dia baru saja mabuk setelah pesta minuman keras dengan teman-temannya, tetapi syukurlah Aisy telah tiba di rumah dalam keadaan sehat dan selamat setelah dia baru saja mengemudikan mobil selama satu jam perjalanan. Tidak hanya satu dua kali Aisy seperti ini, tetapi sudah seringkali Aisy mengalami hal serupa, selalu menikmati waktunya di luar dalam menikmati gemerlapnya dunia, ya semoga saja dia bisa segera mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Dan aku masih terlelap dalam tidurku. Dalam setiap hembusan nafas ini, tak ada lagi ucapan selain kalimat dzikir. Hingga ketika waktu telah menunjukkan di angka setengah tiga pagi, aku pun terbangun dan bersiap untuk menjalankan shalat Tahajud, disertai dengan shalat Istikharah.
-sangat khawatir- Hari ini adalah hari liburku untuk bekerja, jadi kalau sudah datang waktu libur, aku lebih banyak membantu ibu berjualan. Aku mulai membantu ibu mempersiapkan dagangan yang akan dijual, mulai dari menata bahan-bahan, menata meja serta membersihkan warung. Alhamdulillah, masih di jam delapan pagi dagangan ibu sudah lumayan ramai. Aku benar-benar semangat untuk hari ini. Tapi, di saatku sedang asyik-asyiknya bekerja, aku jadi teringat akan sosok Aisy dulu di saat dia suka mencicipi rujak buatan ibu, entah sampai saat ini apakah kira-kira Aisy masih suka atau tidak. Saat tiba jam sepuluh pagi, saat itulah aku mulai ingin pergi menuju rumahnya, yang tidak lain hanyalah untuk memberikan bungkusan rujak yang bisa mereka cicipi. Apa yang akan kulakukan saat ini sebagai upaya untuk membangun tali silaturahmi dengan keluarganya. Kusegera berangkat dengan berpamit
-tekadku- Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini. “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku. Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengena
-pertikaian- Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy. Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah me
-kegelisahanku- “Aldi.” Sapa ibu saat diriku terduduk sendiri di teras rumah. “Iya buk,” jawabku. “Kamu kenapa masih di sini, udah jam segini kok belum berangkat?” tanya ibu. “Iya buk, mungkin lima menit lagi.” Jawabku. “Emm begitu, oh ya Di, ntar usai pulang kerja kamu mampir ke mpok Mina ya, seperti biasa ambil pesanan ibuk.” Pinta ibu. “Ohh iya buk. Ya sudah kalau begitu Aldi berangkat kerja sekarang aja ya.” Tukasku. “
-kritis- Seperti biasanya, setiap pagi dan setiap hari aku selalu membantu ibu mempersiapkan berbagai peralatan serta perlengkapan jualan rujak. Semua ini sudah menjadi kewajibanku dalam meringankan beban ibu sejak ayah tiada. Dan seperti biasanya, di hari libur seperti ini aku selalu menyempatkan waktu memberikan dua bungkus rujak ke orang tuanya Aisy, karena kusadar jika mereka sangat suka sekali rujak buatan ibu. Di saat hari mulai menjelang siang, segera kusempatkan waktu untuk berangkat ke rumahnya, dan kuyakin di siang hari ini Aisy pasti tidak ada di rumah, karena sudah menjadi rutinitas jika Aisy selalu saja suka bermain-main. “Assalamualikum.” sapaku saat tiba di rumah Aisy. “Walaikum salam nak Aldi, mari silakan masuk.” jawab ibunya Aisy.
-kepergian bapak- Waktu telah menunjukkan di angka sepuluh malam, dan di malam inilah kumulai bersandar pada sebuah dipan dan mulai terbaring di atas ranjang. Kumulai terdiam serta merenungi segala apa yang telah terjadi, baik di saat dulu hingga sampai saat ini. Kucoba untuk bertanya pada hati yang terdalam atas sebuah perjalanan cerita kehidupanku, ternyata dari semua yang pernah kualami, tak sebanding dengan apa yang telah Aisy rasakan. Dan sampai saat ini, aku akan tetap mencari tahu mengenai kesalahan apa yang pernah kulakukan padanya, hingga pada akhirnya dirinya sudah tidak sudi lagi untuk berteman denganku. Aku bisa saja pergi, dan mulai menghilang dari kehidupannya, namun mengapa diriku tak sanggup walau harus melangkah setapak. Mungkin semua itu karena diriku belum bisa melupakan segala kenangan yang dulu pernah kita lakukan bersama. Rasa s
-teraniaya- Aku baru saja melangkahkan kaki, dan mulai keluar dari masjid usai mengisi ceramah di masjid desa sebelah. Ceramah yang baru saja kusampaikan, bertemakan dengan kesabaran seorang suami, yang diambil dari dari kitab Jawahirul Lu’luiyyah. Ya, meskipun diriku belum berumah tangga, setidaknya kusudah mulai memahami dan mulai mengerti, agar nanti jika diriku sudah menikah, kusudah memiliki kemampuan serta ilmu yang cukup untuk membangun rumah tangga. Kumulai menaiki motor usai berpamitan dengan pihak masjid serta beberapa jamaah yang masih belum pulang. Saat dalam perjalanan pulang, ada rasa yang sedikit tidak enak di saatku melaju. Entahlah, mungkin saja diriku sedang merasa tidak enak badan, sehingga apapun suasana di sekelilingku ini tak begitu nyaman untuk dirasakan. Sepuluh menit kemudian, kumulai memasuki gang rumahku yang se
-pelaku sebenarnya- Waktu pun akan terus berjalan, sudah satu minggu kepergian bapak dari kehidupan ini. Mungkin saja usai kepergian beliau, hal ini bisa membuat diri Aisy sadar dan mulai berubah akan perilakunya. Setiap untaian doa sudah pasti kupanjatkan untuknya, karena semua itu juga demi kebaikannya. Insya Allah, selama diriku terus berusaha, Allah pasti akan membukakan jalan untuknya, karena kujuga percaya bahwa kerasnya batu sudah pasti bisa hancur oleh tetesan air hujan. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat diriku tak habis pikir. Kuberpikir usai kepergian bapaknya mungkin bisa membuat diri Aisy bisa berubah, ternyata semua yang kupikirkan telah terjadi di luar dugaan. Aisy kembali terlibat dalam pergaulan yang salah sebagaimana yang dia lakukan bersama teman-temannya. Kurasa kesedihan yang kerap dia alami bisa membuat dirin