Malam itu turun hujan begitu derasnya, sama halnya perasaan Gilang yang dia alami saat ini. Hatinya terasa tak karuan ketika mengingat percakapannya dengan Kasih.Ada perasaan sesal karena pertemuan itu. Tidak, dia bukan menyesal bertemu dengan wanita yang bernama Kasih, yang dia sesali kenapa baru sekarang bertemu dengan wanita itu? Kenapa tidak dari dulu saja, sebelum dia mengenal Yura?Takdir? Iya, Gilang mempercayai hal itu, dan yang menjadi pertanyaannya saat ini adalah mau dibawa ke mana hubungan gelap ini. Gilang tahu kalau di setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tapi jujur saja, pria itu tidak terima. Dia tidak tahu yang dia rasakan itu sebuah perasaan cinta atau hanya obsesi saja.Gilang menatap rintik hujan itu dengan perasaan gamang. Tak lupa juga ada sebatang rokok terselip di sela bibirnya, dia tersenyum miris. Dengan adanya rokok menandakan jika hatinya sedang kacau."Anak?" gumam pria itu sambil tertawa pelan. "Dari dulu aku selalu mengharapkan kehadirannya, tapi yang
"Dia ngomong kayak gitu sama kamu?"Kasih menjawab dengan anggukan saja, rasanya lelah dengan tingkah Gilang yang selalu berbeda-beda setiap harinya. Menurut Kasih, Gilang itu mempunyai kepribadian ganda, atau bisa jadi lebih."Terus kamu jawab apa?" tanya Diana lagi.Kasih menghela napas berat. "Aku diam aja, lagian kalau pun aku setuju, hal itu juga nggak akan mungkin terjadi," lirih wanita itu.Mata Diana menyipit. "Kenapa bisa begitu?""Ya, karena aku nggak bisa hamil.""Mandul maksud kamu?""Bisa dikatakan seperti itu." Kasih mengiyakan ucapan Diana."Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu? Apa kamu sudah cek sendiri ke dokter, dan apa dokter sendiri yang bicara seperti itu?" tanya Diana beruntun.Kasih menggeleng, membuat Diana menggebrak meja itu dengan kasar."Kalau belum cek ke dokter, kenapa kamu bisa bilang kalau kamu itu mandul?" tanyanya dengan suara nyaring, dia tak peduli kalau saat ini tengah menjadi bahan tontonan banyak orang."Aku sudah lama menikah, nyatanya tid
"Kamu tidak ada niatan untuk pergi?" tanya Gilang sinis."Aku yang pertama kali di sini bersama Kasih, jadi untuk apa aku pergi?" tanya Diana yang tak kalah sinisnya."Apa kamu bersedia melihat keromantisan kami di sini? Memangnya kuat?" ledek Gilang lagi."Selagi kalian nggak ngewe di sini, aku pasti kuat."Gilang manggut-manggut. "Maksud kamu, kamu mau ikutan join kalau aku sedang bercinta dengan Kasih? Apa kamu penasaran dengan keperkasaanku?"Wajah Diana tampak begitu memerah. Sialnya dia tidak bisa membalas ucapan Gilang, yang ada dia malu sendiri."Sayangnya aku tidak mau. Cukup Kasih aja yang jadi partnerku," lanjut pria itu dengan senyuman sinis."Kasih, sebaiknya aku pergi. Aku tunggu kamu di parkiran," sela Diana cepat. Dia melirik Gilang dengan sinis."Nggak perlu, biar dia pulang sama aku. Sekalian mau berbagi tubuh."Diana cepat-cepat pergi dari sana, dia tidak tahan dengan ucapan Gilang yang begitu vulgar.Memang itu tujuan Gilang, membuat wanita parasit itu pergi. Setel
"Kamu menolakku?"Kasih menggeleng. "Sedari awal hubungan kita itu udah salah. Mau dimulai dari awal juga tetap salah," terang Kasih."Terus kamu maunya kita kayak gini terus, gitu?""Nggak, tetap seperti perjanjian semula. Semua akan berakhir dalam waktu enam bulan. Tidak usah diubah-ubah."Gilang menggeram kesal. Kasih memang keras kepala, sangat sulit untuk dibujuk. Padahal apa susahnya mengiyakan permintaannya, toh mereka juga sama-sama korban dari pasangan mereka."Kamu beneran nggak mau?" tanya Gilang memastikan."Kita udah punya pasangan masing-masing, Gilang. Apa jawaban itu masih perlu aku katakan?""Tapi kamu tahu sendiri kalau suami kamu di luar sana berselingkuh, pun sama halnya dengan istriku."Kasih mengangguk. "Aku memang mengatakan suamiku selingkuh, tapi aku belum menemukan buktinya, aku rasa itu belum cukup. Kalau kamu? Apa udah punya bukti kalau istri kamu selingkuh?" tanya Kasih, wanita itu menatap tajam ke arah Gilang."Kalau selingkuh nggak perlu pakai bukti juga
"Kamu gendutan sekarang, ya," celetuk Diana."Masa sih, perasaan kamu aja kali," elak Kasih."Iya, pipi kamu tambah bulet. Pasti si Gilang kasih vitamin terus ke kamu ya?" ledek Diana."Ya gitu deh. Heran aku sama dia, setiap kami habis berhubungan pasti dia selalu kasih aku obat, nggak tahu obat apa. Katanya sih buat pencegah kehamilan." Kasih membenarkan ucapan Diana. "Tapi anehnya obat itu bisa diminum kalau kami nggak lagi berhubungan, intinya obat itu diminum setiap hari, gitu."Diana mengerutkan keningnya. "Ada ya obat kayak gitu?""Ya nggak tahu juga. Aku sih nurut-nurut aja. Selagi aku aman, kan?"Diana manggut-manggut, dia seperti tengah berpikir sesuatu."Tapi kayaknya ada yang aneh deh. Kalau boleh tahu ciri-ciri obatnya seperti apa? Dia bulat kecil, atau lonjong, atau gimana?"Kasih terdiam sejenak, dia mencoba mengingat-ingat. "Nggak perhatiin obatnya sih. Tahunya langsung minum, tapi ada yang kecil, ada yang besar, ada juga yang lonjong. Intinya jumlah obat itu ada 3, da
"Tadi kamu mau bilang mau datang ke acara pernikahan. Pernikahan siapa?" tanya Gilang.Saat ini mereka tengah dalam perjalanan pulang, Gilang menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang, tangan satunya dia memegang setir, dan satunya lagi dia memegang tangan Kasih."Temanku mau nikah," jawab Kasih."Teman yang mana?""Yang tadi ngobrol sama aku, masa kamu lupa.""Oh, yang itu," ujar pria itu sambil manggut-manggut. "Emangnya dia masih lajang? Aku kira udah nikah, mukanya udah tua gitu."Kasih tergelak pelan. "Dia udah pernah nikah, tapi ditinggal sama suaminya, nggak tahu ke mana.""Oh, jadi janda toh. Pantes tua banget mukanya," cibirnya lagi.Lagi-lagi Kasih tertawa. "Nggak boleh ngejek kayak gitu, jatuh cinta baru tahu rasa.""Aku jatuh cinta sama dia? Ih amit-amit, seleraku masih tinggi ya, nggak rendahan," kata Gilang sambil bergidik ngeri. "Terus besok kamu datang?" tanya pria itu memastikan."Datang dong, masa teman sendiri nggak datang, aku diundang loh ya, dia ngasih sendiri un
"Kamu kenapa sih, dari tadi kenapa diemin aku terus, apa aku ada salah?"Kasih terus diam. Tidak mungkin, kan, kalau dia harus mengatakan jika dirinya tidak suka Gilang memanggil istrinya dengan cara seperti itu? Lagian hal itu sah-sah saja dalam hubungan suami-istri, lantas mengapa Kasih begitu kesal? Cemburukah dirinya?"Kasih," panggil Gilang, pria itu tengah membujuk wanita itu."Apa," sahut Kasih ketus."Kamu kenapa? Apa aku ada salah ngomong sama kamu tadi?" tanya pria itu hati-hati."Nggak ada!" Kali ini suara Kasih tambah ketus."Terus kenapa marah?""Satenya nggak enak," elaknya.Gilang melirik bungkusan plastik bekas sate itu, dia mengerutkan keningnya heran. Sate itu sudah Kasih makan separo."Beneran nggak enak?" tanya pria itu sekali lagi."Iya!""Terus kenapa satenya tinggal dikit? Kalau nggak enak, kan, nggak usah dimakan.""Aku laper."Gilang mengangguk paham, alasan itu masih bisa diterima di indera pendengarannya."Terus kamu pengin makan apa?""Aku mau pulang, lagi
"Besok kamu jadi pergi?" tanya Gilang yang saat ini tengah memeluk Kasih dari belakang."He'em," jawab wanita itu singkat."Beneran nih aku nggak boleh ikut?""Kamu ngapain ikut?""Buat jagain kamu lah, masa nggak boleh sih.""Nggak boleh, Gilang. Katanya kamu juga mau ke luar kota, ada proyek yang harus kamu kerjakan. Gimana sih.""Itu mah gampang, bisa diatur. Seriusan ini loh, boleh nggak kalau aku ikut?""Nggak boleh!" jawab Kasih tegas.Gilang semakin mengeratkan pelukannya, mencium pundak wanita itu berkali-kali."Beneran nggak boleh.""Iya."Gilang mendesah berat. Sejujurnya dia tidak rela membiarkan Kasih pergi sendiri, apalagi wanita itu pergi dalam waktu satu Minggu. Pasti dia akan kangen berat."Kenapa harus datang sih," keluh pria itu."Dia, kan, teman aku. Jadi aku wajib datang. Kamu kenapa sih, kok tumben jadi manja gini?" tanya Kasih dengan alis berkerut."Nanti kalau aku kangen gimana? Nanti kalau Jerry aku kepengin gimana? Kamu nggak kasihan?""Jerry? Siapa?" tanya Ka