“Harta yang didapatkan dengan jalan menzalimi tidak akan berkah”
---
Di Batu Gading, nagari yang terletak di kaki gunung dekat ke Pakan Rabaa. Nagari Batu Gading menjadi perlintasan, jika mau ke kampung Rayya mesti melalui nagari ini dulu. Di sana tepat di pinggir jalan terdapat kantor urusan Nagari. Sekarang sedang ramai dikunjungi oleh penduduk, mereka menanti keputusan sidang tentang siapa yang akan menjabat sebagai Pak wali berikutnya.
Sidang yang sedang digelar dalam gedung sederhana Balai Kerapatan Adat Nagari (KAN) berlangsung dengan alot, setelah lima calon peserta PILWANA[1] yang berkompetisi, hanya dua orang yang lolos dalam seleksi. Mereka adalah Syaiful Tuanku Labai, putra asli Batu Gading, sosok yang cerdas tamatan Pondok Pesantren ternama di Agam, setelah tamat Diploma, ia menetap di kampung sebagai guru mengaji dan baru menikah setahun yang lalu dengan anak bako.[2] Bernama Santi, yang saat ini
“Fitnah lebih kejam dari pembunuhan.”----Hari ini Pakan Rabaa sangat ramai banyak orang berjualan di los-los. Pembeli juga banyak dari biasanya, ada yang memang berniat untuk belanja ada pula yang hanya datang untuk bermain saja mencuci mata bahkan ada yang sekedar sarapan pagi makan lontong sayur di kedai Kak Meri. Rasanya yang legit berpadu dengan kuah tauco memang menggugah selera. Meskipun tempatnya kecil, hanya ukuran 4 x 3 sentimeter. Namun, orang antri hendak makan di sana. Begitu pula dengan dua orang perempuan itu, mereka beasal dari Batu Gading. Mereka juga sedang menikmati makan lontong di sana. Sembari makan, mereka bercerita tentang kejadian yang sempat menggegerkan seantero Nagari, yaitu tentang kematian Wali Nagari Baru.“Masa iya? Pak wali yang sehat bugar itu tetiba aja sakit, sedang bicara di podium lagi, banyak orang yang menyaksikan.” Seorang gadis yang berselendang biru memulai otanya.[1]&l
“Perselisihan dalam keluarga seperti Pariuak dengan sanduak Jika Tidak berselisih maka tidak akan ada rindu” 🌹🌹🌹 Ketika sampai di rumah, Mak Saidah menjadi bersemangat naik tangga hendak menemui Maiza. Mulut orang tua itu, mengeluarkan sumpah serapah yang tidak habis-habisnya untuk si pemetik lado. “Kalera!”¹ “Hidup dengan orang seperti benalu, tapi menggigit pada induk semangnya.” “Ular berbisooo!” “Cucuku … cucuku yang malang sekali.”
“Lebaran bukan hanya tentang kue atau baju lebaran, tetapi juga tentang silaturrahmi”🌹🌹🌹Menjelang Ramadhan, sudah delapan kali panen cabe menghasilkan laba, rata-rata lima karung lima puluh kilogram, pokok ladang telah pulang pengganti pupuk dan pestisida. Setelah hampir dua bulan, kini Pakiah dan Maiza memetik buah penghabisan.Selasa pagi, hari ke dua puluh tiga bulan puasa, Pakiah sudah bersiap ke ladang cabe, Maiza dan dua anaknya menyusul di belakang. Kali ini tidak mengupah orang untuk membantu panen hanya membawa anak dan bininya. Mereka berempat berjibaku menjelang zuhur. Anton dan Rayya bermain dengan bahagia, berkejar-kejaran di antara pesawangan, gelak tawa berderai, tidak ada intimidasi.
“Amak sudah pergi, Ayah juga tiada. Kemana lagi badan hendak ditumpangkan?”Sangat terasa bagi Pakiah menjadi orang terasing, pergi minum ke lepau seperti seorang sendiri, padahal banyak bapak-bapak yang hadir, tetapi Pakiah tak dibawa serta dalam obrolan mereka. Hanya sekali dia pergi ke sana, setelah itu lebih banyak santai di rumah.Begitu pula dengan Maiza lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Malas bertemu orang sebab enggan digunjingkan, ia menjadi tipis telinga, setiap amak-amak berkumpul membicarakan masalah anak atau keluarga Maiza hanya lewat saja. Dia merasa mereka sedang membicarakan dirinya. Akibatnya tetangga sudah menjauh tidak ada siapa pun yang datang bertamu.Penghasilan ladang mereka merosot tajam sebab tak tertangani oleh Pakiah sendiri, tidak ada orang yang mau diupah untuk mengolahnya, masyarakat nagari mengasingkan mereka. Ladang sudah rimbun menjadi parak ilalang, rumput saruik
“Ikuti kata hati. Jadilah diri sendiri”Pada malam hari, Pakiah dan Maiza setuju meninggalkan rumah. Jika berangkat siang hari maka akan banyak orang yang melihat. Mereka menganggap inilah yang terbaik untuk dia dan anak-anaknya.Pakiah membawa istri dan anaknya pergi ke rumah orang tua terlebih dulu, jaraknya lumayan jauh memakan waktu dua puluh menit perjalanan karena dipisahkan oleh dua lereng bukit sudah dekat ke Sarasah di pinggang gunung. Pakiah menyandang tas merk Puma ukuran sedang yang berisi beberapa helai baju. Rayya, putrinya juga berdukung di punggung sedang tertidur karena seperti diayun-ayun.Sementara Maiza menggandeng Anton yang sudah besar sedikit dari Rayya tidak perlu digendong lagi. Kaki Maiza terasa berat dilangkahkan, sesekali dia menoleh ke belakang, seakan-akan Ia mendengar suara ibunya memanggil dari kejauhan. Hati Maiza sakit tak tertahan lalu berhenti sambil terengah-engah. Tangan kirin
“Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang, kata yang cocok untuk orang yang tak mendapat hasil apapun sesudah berselisih.” ***Sementara di rumah gadang, sudah dua hari suasana hening, jendela rumah tertutup, cahaya lampu juga sudah padam. Biasanya Maiza sudah memasak pagi sekali, asap mengepul di ruang dapur, tetapi kini tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada suara anak-anak yang berlari di halaman.Keadaan tersebut membuat Mak Uwo Tini penasaran. Ada apa gerangan yang terjadi di dalam rumah. Ia naik ke jenjang dan mengetuk pintu, tetapi tidak ada sahutan.
“Lelaki ibarat permata sangat dibutuhkan diranah Minang” ***Di nagari Ngalau, petak-petak sawah sedang banyak genangan air, bekas pembajakan kerbau masih tampak jelas di lumpur yang mengendap. Bulan Juli ini musim menanam, hamparan permadani hijau membentang luas dari bagian arah gerbang sampai ke dekat perbukitan karena Ngalau adalah daerah yang datar dan jauh dari kaki gunung, tetapi jika s
“Harta dunia yang paling berharga keluarga”Maiza belum juga sadar, sudah sepuluh menit ia masih berkelana dalam mimpi mencari suaminya. Anton dan Rayya meraung-raung memanggil ibu mereka karena belum kunjung bangun, mereka tak kuat membopong tubuh sang ibu. Tak lama kemudian, empat orang warga yang menemukan oto Cigak Baruak tersebut datang ke pondok, mereka mendapati Maiza tergolek di halaman lalu memindahkan Maiza ke dalam dan membaringkan di kasur.Seorang bapak yang berkumis tipis meletakkan irisan bawang putih di hidung Maiza. Sehingga istri Pakiah itu tersedak lantas ia berusaha bangkit dari tidur. Maiza memandang para warga yang datang, hatinya masih menaruh harapan kalau suaminya pasti selamat. Bapak berkumis itu memahami apa yang