Jaka nggak habis pikir Nuning habis kesambet apa. Tiba-tiba ngebet banget pengen pindah hidup ke Jakarta. Jangankan minggat ke ibukota negara, nginap melewati batas kecamatan aja dikejar sama Pak Priyo pake pentungan kok. Meskipun otaknya gesrek dan kelakuannya menceng, tetap saja yang namanya orang tua peduli dan menyayanginya. Apalagi anak gadis satu-satunya. Masalahnya justru Nuning yang kayaknya nggak ngerti disayang. Makin dilarang malah makin ngebet kepingin minggat.
“Pokoknya aku mau ikut kamu ke Jakarta. Titik! Bosen akutuuu, sejak lahir sampe segede ini hidup di kampung. Bisa mati engap aku makan buah colongan mulu. Aku juga kan pengen ngerasain makan pizza, makan steak, makan donat yang macem-macem toppingnya kayak yang sering nongol di TV. Pengen mejeng di mall, bukannya nongkrong di sawah mulu liat kebo sama bebek,” oceh Nuning merutuki nasib. Kebanyakan membayangkan wajah ibukota yang gemerlap yang menjanjikan kesenangan dalam pikiran sederhananya.
Mungkin kesenangan sebatas perut itu receh bagi orang lain, tapi penting baginya. Mumpung giginya masih utuh, mumpung indera pengecapnya masih berfungsi optimal. Bayangin kalau sudah uzur kayak Mbah Surip terus disodori pizza sama steik? Pasti bilangnya masih enakan singkong yang direbus sampai lembek, biar makannya tinggal telen karena giginya sudah pada habis. Nuning nggak mau nasibnya kayak Mbah Surip, yang dari jaman Belanda sampai Indonesia merdeka puluhan tahun, makannya masih aja singkong, mentang-mentang tinggal nyabut di kebon. Mumpung Nuning masih muda kudu banyak nyicip yang enak-enak. Anak muda bersenang-senang itu wajib hukumnya. Kalau sudah tua baru senang-senang, keburu kena rematik, nggak asyik.
Toh, Nuning kepingin senang-senang dari hasil keringatnya sendiri. Nggak minta jatah sama emak-bapaknya. Dia siap menghadapi tantangan kerja. Nggak takut sama ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri. Sama ibu sendiri yang bisa bikin kualat aja Nuning nggak takut kok, apalagi sama ibukota yang nggak pernah melahirkan dirinya.
Jaka mencebik. Dia sudah pernah hidup di Jakarta. Pernah menjelajahi kota besar itu dengan kaki kecilnya yang telanjang. Bersama ibu yang tiga hari terseok-seok sepanjang jalan, menuntun tangan kecilnya tanpa arah tujuan.
“Minta antar aja sama bapakmu, apa masmu. Masa aku?” ujar Jaka.
“Tapi yang tahu Jakarta kan kamu. Yang bakal tinggal di Jakarta juga kamu. Bukan bapakku, apalagi Mas Bambang yang cita-citanya aja kerja di tambak udang,” sahut Nuning ngeyel tiap Jaka mengelak diikuti.
Jaka jadi jengkel. Nuning nggak asyik diajak main lagi. Umpan di kailnya jadi utuh, mungkin ikan-ikan pada ngacir karena budeg sama suara berisik Nuning yang membahas Jakarta melulu tiap mereka lagi mancing.
“Udahlah nggak usah bahas Jakarta terus. Lulus dapat ijazah aja belum kok.”
“Janji deh, nggak akan nyolong lagi kalau kamu bawa aku ke Jakarta. Aku tobat. Mau cari kerja yang halal. Ngumpulin duit yang banyak buat nyenengin Emak sama Bapak. Biar mereka nggak nyesel udah ngijinin aku kerja di sana. Sumpah!”
Bukannya tersentuh mendengar janji Nuning yang bisa ngundang geledek di siang bolong, Jaka malah ngikik sambil megangin perutnya yang sakit kebanyakan ketawa. Habis makan apa si Nuning?? Kok tiba-tiba waras gini? Tapi kalau anak ini waras, siap-siap aja bentar lagi gempa bumi. Tanda-tanda mau kiamat.
Si Emak juga sama aja nggak asyiknya kayak Jaka. Begitu Nuning bilang kepingin kerja di Jakarta, matanya seketika melotot sebesar biji duren. “Siapa yang mau ngawasin kelakuanmu di sana? Di kampung aja udah bikin jantung Emak mpot-mpotan kok. Nggak usah aneh-aneh, di kampung aja udah! Ngapain kerja ke Jakarta segala? Cari nafkah urusan bapakmu. Kamu mau makan sebakul, Emak masih sanggup masakin.”
Nuning manyun. Bohong bangeeet. Yang suka bikin kepalanya benjol kalo dia ngabisin isi magic com itu siapa? Lagian, memangnya hidup cuma buat makan nasi? Dia kan pengen makan enak. Dan makanan enak yang penampakannya suka aneh-aneh kayak di TV itu adanya di kota macam Jakarta. Di sana apa aja juga ada. Asal punya duitnya. Makanya Nuning kepingin kerja di sana sambil menikmati hidup enak sebaik-baiknya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Mandiri gitu loh. Kerja di Jakarta gajinya kan gede katanya.
“Hidup di Jakarta itu nggak seindah yang kamu lihat di TV, Nduk...” emaknya menasihati seakan bisa mendengar isi pikiran Nuning.
“Ah, kayak Emak pernah hidup di Jakarta aja.”
“Sembarangan kalau ngomong. Gini-gini Emak pernah jadi pembantu di Jakarta sebelum nikah sama bapakmu!”
“Dih, pernah jadi pembantu bangga. Bangga tuh kalo pernah jadi artis!” cebik Nuning yang seketika mengaduh sakit saat Bu Parmi mencubit bibirnya yang dimonyong-monyongin buat meledek.
“Sampai kapan aku hidup sama Emak terus?” rengeknya sambil mengupas bawang. Bikin Bu Parmi nengok ke jendela. Takut tiba-tiba hujan badai karena tumben-tumbenan Nuning bantuin pekerjaan dapurnya.
“Ya sampai kamu kawinlah! Sampai kamu punya suami yang jagain kamu. Yang bisa kasih kamu makan. Kalau sudah kawin, kamu mau ke mana kek... asal sama suamimu, ya terserah.”
Nuning memutar bola mata sambil memonyongkan bibir. Nyari suami kok kayak nyari tukang gembala yang tugasnya jagain dan ngasih makan kambing aja. Sebelll. Cuma izin kerja ke Jakarta tapi ribetnya kayak minta warisan!
“Tapi, Mak... Liat tuh tetangga-tetangga kita yang anaknya pada kerja di Jakarta. Hidupnya pada enak kan sekarang. Bisa beliin bapaknya motor yang bagus. Bisa beliin emaknya TV yang layarnya datar, nggak gembrot kayak TV kita, kayak perut Emak!”
Kurang asem! Itu mulut apa petasan cabe? Ngomong sama orang tua kok seenak jidatnya. Bikin Bu Parmi sewot sambil diam-diam ngempisin perutnya dengan narik napas dalam-dalam terus melipir ke kamar. Ngambil stagen, melilitkan ke perut, dan mengikatnya kencang-kencang. Lalu melirik bayangan perutnya yang menyedihkan di cermin dengan muka masam.
***
Bambang lulus SMA dan keterima kerja di tambak udang sesuai harapannya. Nggak lanjut kuliah karena kondisi ekonomi. Giliran Nuning yang bentar lagi siap-siap menghadapi ujian negara. Tapi bukannya fokus mikir ujian, pikirannya justru dipenuhi dengan Jakarta. Nuning nggak mau terjebak seumur hidupnya di kampung yang sering mati lampu. Minim hiburan. Miskin uang jajan. Nggak banyak pilihan kerjaan. Ditambah sahabat karibnya balik ke Jakarta begitu lulus SMA. Ngeri. Ditinggalin sama Jaka sih lebih horor daripada film Suzana beranak dalam kubur. Menghabiskan hidup di kampung sampai tua tanpa teman bermain seasyik Jaka? Ini sih sama aja kiamat sebelum waktunya!
“Nikah, yuk!”
Ucapan Nuning yang tak masuk akal bikin Jaka terbatuk-batuk. Es teh dimulutnya nyembur membasahi baju seragamnya. Ajakan Nuning bagai geledek di siang bolong, menyambar kuping dan mengoyak ketenangannya. ‘Kesambet apa lagi bocah gendeng ini?!’ pikirnya horor.
“Emang udah telat berapa bulan?” seloroh Jaka sambil mengunyah pentol baksonya dua sekaligus hingga pipinya menggembung penuh. Masa bodoh sama lirikan abang bakso yang tiba-tiba kepo, siap-siap menangkap gosip besar. Yang bisa mengguncang seisi kampung kalau disebarkan. Ya kali aja bisa bikin warung baksonya ikut viral narik pelanggan.
Nuning manyun sambil mengaduk es tehnya. “Soalnya sama Emak aku nggak boleh ninggalin kampung kalau belum kawin. Padahal aku kan pengen kerja di Jakarta. Makanya itu,” Nuning lalu terdiam dan cengar-cengir menatapnya.
“Apaan?” Jaka mulai mengendus keanehan. Bulu kuduknya merinding kalau liat cengiran Nuning macem itu. Horor. Lebih horor ketimbang nyium wangi kembang melati tengah malam.
Nuning berkedip-kedip macem orang kelilipan. “Makanya, nikahin aku...” rengeknya sambil mengatupkan kedua tangannya, memohon.
“Ogah!” ketus Jaka sembari melengos. Menikahi Nuning? Yang benar aja!
Ditolak dengan kecepatan cahaya sedemikian rupa bikin ego Nuning sebagai perempuan sakit juga. Lalu dicubitnya pinggang Jaka yang melolong minta ampun. “Pokoknya kamu kudu tanggung jawab!” bentaknya berubah garang, bikin si abang bakso makin memanjangkan kuping.
Jaka mengusapi pinggangnya yang panas. “Duh! Nggak kebayang aku kawin sama kamu, bisa ditindas seumur hidupku,” keluhnya nahan sakit. Cubitan cewek scorpio satu ini emang nggak pernah main-main.
“Siapa yang mau menindasmu? Aku kan cuma minta dinikahi biar sah aja. Ntar aku bisa nyari makan sendiri, nggak minta kamu. Yang penting... habis nikah, kamu kudu bawa aku ke Jakarta, pokoknya bawa aku pergi dari kampung!” cerocosnya.
Abang bakso yang asyik nguping merasa ngenes. Lalu mengkhayal. Andai saja ada perempuan muda dan semanis Nuning ngomong begitu padanya, dia gak bakal mikir lagi. Enak tho punya istri yang nggak minta dinafkahi? Nggak kayak istrinya di rumah yang selalu ngeluh uang belanja kurang, tapi saban ke pasar beli daster. Beli lingerie kek! Boro-boro beliin sempak suaminya, padahal sempaknya dah pada bolong karena otot pantatnya kerja keras saban hari dorongin gerobak baksonya lewatin banyak tanjakan.
“Ogah!” Jaka mengelak.
Nuning mengatupkan kembali kedua tangannya lebih erat. “Plissss,” rengeknya dengan memasang tampang memelas. Melirik abang bakso yang makin kepo. Lalu melirik lagi pada Jaka yang asyik ngunyah pentol bakso. “Mau kugugurin aja nih?!” ucapnya mengada-ada sambil akting mengusapi perutnya yang buncit karena kekenyangan.
Jaka mendengus lalu menjitak kepala gadis itu. Hilang sudah selera makannya gegara tingkah absurd Nuning yang mulai kelewatan.
“Berapa semuanya, Bang?’ tanya Jaka pada abang bakso sambil mencantelkan tas ranselnya ke bahu. Kemudian merogoh saku dan membayar sejumlah harga yang disebut si Abang. Mengabaikan Nuning yang merengek di belakangnya minta ditungguin, tapi sempat-sempatnya menyikat habis dulu sisa mie dan kuah di mangkuk Jaka. Padahal tadi udah ngabisin semangkuk mie ayam pake nambah lagi dua mangkuk.
“Jakaaaaa. Nikah, yuuuuk!” panggilnya bikin malu.
Jaka pun lekas ngibrit. Lari tunggang langgang. Nuning mengejar sambil melemparinya dengan buah mahoni yang berserakan di tepian jalan. Tapi Jaka gesit menghindar dan Nuning jadi semakin kesetanan mengejar. Dua remaja absurd itu pun kejar-kejaran di siang bolong. Bikin ngiri kambing tetangga yang diiket di bawah pohon, kepingin bebas lari-larian juga.
***
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m