Share

5. Teman Tapi Kejam

Dulu, malam Minggu bagi Jaka tiada bedanya dengan malam-malam biasa. Namun sejak mengenal Erna, Jaka jadi bisa merasakan istimewanya. Jaka pernah sekali bermalam minggu di rumah Erna. Indahnya luar biasa. Romantis tiada habis.

Tapi, malam minggu ini. Jaka lagi-lagi harus kembali terjebak bersama Nuning. Tiada lagi suap-suapan cokelat sama Erna. Yang ada justru sikut-sikutan berebut tempe penyet yang tersisa di cobek sama Nuning. Dan berakhir kena pentung centong Bu Parmi yang pusing mendengar keributan keduanya di dapur.

Kenyang makan malam di rumah Nuning, Jaka cuci piring dan menimba air.

“Jangan lupa, ... gentong dan bak kamar mandi dipenuhin semua!” kata Nuning malah ngebos setelah sama-sama kenyang makan.

Berani nolak? Benjol.

Biarlah, anggap-anggap nimba air sumur itu workout. Membentuk otot bisepnya. Tapi Jaka sedih, buat apa punya otot dan tubuh bagus kalau nggak bisa dipamerin ke Erna, gadis pujaan hati. Boro-baru mau pamer, mendekati jarak lima meter saja sudah bikin radar Nuning langsung menyala. Bikin Jaka mundur teratur ketimbang Nuning mengeksekusi ancamannya ‘nyemplungin’ ular ke tas Erna.

Duh. Jaka mesti kuat-kuat nahan diri di bawah kendali Nuning demi ketenangan hidup Erna. Tapi biarlah. Nuning bisa memiliki raganya sebagai teman, tapi tidak hatinya sebagai kekasih. Karena hati Jaka utuh bulat-bulat cuma buat Erna seorang!

Semakin hari Nuning kian rajin saja menempeli Jaka. Nuning jadi jarang membolos. Tiba-tiba rajin minta diajari Jaka belajar tak kenal tempat, entah di kelas, di kantin, tempat parkir, sampai rela menunggu di depan WC sekolah saat Jaka pura-pura kepingin boker bukan karena mules, tapi kelewat eneg sama hidupnya yang bagai dipenjara. Karena dipepet terus, nggak disekolah atau di rumah. Di mana-mana!

Jaka bukan bocah playgroup yang perlu dianter-jemput. Tapi Nuning selalu memastikan Jaka pulang dengan selamat setap harinya. Selamat dari ‘jangkauan’ Erna maksudnya. Jaka ini kan tiket emasnya ke Jakarta, dan Erna satu-satunya rival yang bisa mengacaukan rencananya memiliki Jaka.

“Sampai kapan sih kamu mau kayak gini?” protes Jaka risih saat mereka belajar bareng di beranda rumah Nuning.

“Kayak gini gimana?” Nuning pura-pura bego.

“Nempelin aku terus.”

“Lah, kan emang udah dari dulu. Bukannya kita ke mana-mana biasa bareng? Ngapa sekarang protesnya? Mentang-mentang sekarang kamu udah jago nangkring di pohon jambu? Lupa ya, siapa yang ngajarin kamu manjat?”

Kalau sabar itu dijual, Jaka mau borong saja sebelum stok kesabarannya habis. “Bukan soal itu,” gerutunya.

“Terus?! Soal apa?”

“So-soal, ... kamu ngekorin aku sampai WC sekolah. Kan aku perlu privasi. Sampai kapan kamu akan berhenti ngekorin aku?”

“Sampai kamu nikahin aku!”

Damn!

***

Dibalik penderitaan Jaka yang ‘diketekin’ Nuning setiap hari, Bu Parmi dan Pak Priyo justru melihat perubahan anak gadisnya yang semakin jarang membolos itu bagai berkah tak terkira.

Bu Parmi mengintip Nuning yang sedang serius belajar dengan Jaka. Dulu mah boro-boro mau belajar ‘ngerjain’ soal, ‘ngerjain’  anak-anak tetangga sampai menangis mah iya!

“Akhirnya, waras juga anak kita, Pak!”

“Ya begitulah, Mak. Di mana-mana selalu cinta yang bisa bikin orang berubah.”

Bu Parmi menggeser bokongnya biar duduk lebih mepet Pak Priyo. Tapi suaminya itu malah ikut menggeser bokong karena kesempitan. Soalnya bokong Bu Parmi sudah tak mini lagi seperti zaman gadisnya dulu.

“Eh, maksudnya Bapak apa? Kok tiba-tiba ngomongin soal cinta-cintaan segala?”

“Loh, Emak ini rabun apa gimana sih? Masa gak bisa liat jelas perubahan sikap Nuning ke Jaka? Kan mirip sama kelakuan Emak pas lagi naksir sama Bapak dulu. Nempeeel terus kayak permen karet di sepatu. Susah diilangin. Ngikuuut aja ke manapun Bapak melangkahkan kaki.”

Tapi kemudian Pak Priyo kelojotan saat Bu Parmi mencubit tumpukan lemak di pinggangnya.

“A-a-ampun, Mak!”

“Enak aja nyamain aku sama permen karet nempel di sepatu, nggak ada istilah yang lebih bagus apa?” omel Bu Parmi memperkecil cubitannya, masa bodoh suaminya melolong minta ampun.

***

Sore itu Nuning mengantar Jaka pulang ke rumah seperti biasanya, menggandeng erat lengannya sambil bersiul-siul senang.

“Ngapain sih Ning ngebet banget pengen ke Jakarta? Di sana itu nggak enak loh.”

“Kalau nggak enak ngapain kamu balik ke sana, nggak tetap di sini aja?”

“Kan aku mesti balik ke rumah ibuku. Kasihan di sana sendirian. Aku dititipin sama bibiku di sini kan buat sekolah aja sampai SMA.”

“Ibumu di sana sendirian?”

“Iya.”

“Nah, makanya aku ikut, biar bisa bantu jagain ibumu.”

“Lah terus yang jagain emakmu sendiri siapa?”

“Siapa bilang emakku sendirian? Kan ada bapakku, ada Mas Bambang.”

“Tapi kan kamu anak perempuan satu-satunya, ya nggak mungkin dong dibolehin pergi sama mereka.” Lagian kasihan juga ibuku diurusin sama orang macam gini, bisa-bisa tambah tua dan pendek umurnya. Lanjut Jaka dalam hati.

“Ya boleh aja, asalkan kamu nikahin aku,” cengir Nuning.

"Tau, ah!"

Jaka bete, kenapa jadi balik ke sana lagi omongan cewek tengik satu ini? Jaka bingung memikirkan cara meluruskan perhatian Nuning yang sudah kelewat ‘menceng’.

“Dah, pulang sana. Aku udah sampai rumah dengan selamat nih!” usir Jaka capek jiwa, raga, lahir, batin karena seharian dipepet Nuning.

“Nggak mau, aku mau nganterin kamu sampai kamar!”

“Dasar gemblung!” omelnya sambil membuka pintu rumahnya yang sepi. Sebab paman dan bibinya sibuk menjaga warung sembako mereka di pasar. 

Jaka mana mengira Nuning betulan mengekorinya sampai kamar. Perjaka tingting itu jadi senewen. Tapi Nuning diusir tak mau juga, padahal Jaka ingin lekas mandi, biar otaknya yang sejak tadi dibikin ngebul sama Nuning ini lekas adem lagi.

Nuning selonjoran di kasur yang kapuknya sudah tak empuk lagi karena jarang dijemur. Geleng-geleng melihat lantai yang dipenuhi kertas dan rangka bambu buat layangan, soalnya Jaka lagi menggarap orderan buat festival. Lalu terkikik geli melihat sempak Jaka bertebaran di kasur seperti sedang diobral sepuluh ribu dapat tiga. Jaka buru-buru memasukkannya ke dalam lemari dengan wajah merah terbakar jengah.

“Buru keluar gih, aku mau mandi nih!” usir Jaka untuk ke sekian kali.

“Ya udah sana mandi, emang mau ngajak-ngajak? Kita kan belum sah.”

“Dihh!” Jaka bergidik jijik lalu ngeloyor pergi mandi.           

Nuning bersin-bersin saat Jaka kembali cuma memakai handuknya. Bikin cowok itu jejeritan kaget melihat penampakan Nuning yang masih bertengger di kasurnya.

“Ngapain mandi sih, Jak? Kalau kandangmu debuan kek gini? Bikin mubazir sabun mandimu aja. Berapa tahun nggak disapu nih kamar?”

“Kayak kandangmu sendiri bersih aja," cebik Jaka.

“Sembarangan! Biar aku nggak pernah bersihin, tapi kan ada emakku yang suka nyapu dan ngepelin sampai tiga kali sehari kayak jadwal orang minum obat,” sahut Nuning yang tak tahu saja kalau emaknya rajin membersihkan kamar dia karena modus, sambil mencari di mana Nuning menyimpan harta karun komik pornonya.

Lalu Nuning bersin-bersin lagi. “Wah, sekali lagi bersin-bersin mestinya aku dapat hadiah akta nikah nih,” selorohnya bikin Jaka cenut-cenut.

‘Sompret! Bikin bunting anak gadis orang nggak, tapi kok diteror suruh ngawinin mulu!’

Jaka mikir sejenak, lalu menyeringai. ‘Aha, dia pasti syok!’ Kemudian berdeham. “Keluar gih, aku mau pakai baju!” usirnya sambil menghitung. Pada hitungan ketiga, Jaka sengaja melepaskan handuknya, tapi sedikitpun Nuning tak perpaling. Jaka pun buru-buru menarik lagi handuknya yang melorot lalu melilitkan ke pinggang lagi dengan wajah merah padam menahan malu. Untung sudah pakai sempak!

Bah! Bisa-bisanya dia lupa kalau yang dikerjainnya ini perawan gila. Ada juga malah dia yang balik dikerjain dan gila sendiri.

"Buruan balik sana, ah!" omel Jaka makin kesal. Tapi Nuning malah rebahan, siul-siul sambil membaca komik Spiderman.

"Jakaa, ada temanmu nih." Mendadak terdengar suara bibinya baru pulang dari pasar!

"Mati aku ...!” Jaka tepok jidat kebingungan.

Gawat kan kalau sampai bibinya melihat Nuning di kamarnya. Ntar dikira ngumpetin anak gadis orang! Bisa-bisa dikawinin betulan! Hiii serem. 

"Jakaaa?" Suara bibinya semakin mendekat.

Jaka ingin mengunci pintu, tapi baru inget kalau sedang rusak. "Aiss siaal," gumamnya panik. "Banguuun, buruaan ngumpet di mana kek sono...!" Jaka menarik-narik Nuning dari kasurnya.

"Jakaaa?" Bibinya memanggil lagi dengan suara yang terdengar semakin mendekat.

"I-iyaa, Bi. Sebentar!" jawabnya sambil menahan daun pintu agar tak terbuka lebar karena si Bibi mulai mendorongnya.

"Lama amat sih dipanggilin nggak keluar-keluar? Dicari Erna, tuh!" kata bibinya bikin Jaka seketika syok. Lalu melirik-lirik ngeri kepada Nuning yang ngumpet di belakang pintu kamarnya dengan tatapan siap mencabik-cabik.

"A-aku ..., lagi sibuk, Bi. Lagi bikin layangan buat orderan festival."

"Oh, ya sudah kalau gitu. Er ... ? Erna ..., Jaka nggak sempat keluar nih, kamunya aja sini masuk!" panggil bibinya malah mempersilakan. Lalu melenggang pergi ke dapur.

Jaka meringis frustrasi. Tapi nggak bisa berkutik. Dan memucat kala Erna betulan menghampiri sampai di depan kamarnya.

"Hai, Jak?”  

Erna memberinya senyuman yang paling manis. Tapi bukannya bikin senang, Jaka malah kian memucat. Soalnya kedatangan Erna kali ini salah waktu dan tempat!

“Ehm, kamu ... lagi sibuk apa sih, Jak?”

"Mau tau aja, apa mau tau bangettt?!" Suara Nuning yang memekik dari dalam kamar Jaka sekonyong-konyong membuat Erna pucat pasi. Mata gadis itupun berkaca-kaca menatap Jaka.

Modyarrr.

Tamat sudah riwayat Jaka di depan Erna!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status