Dulu, malam Minggu bagi Jaka tiada bedanya dengan malam-malam biasa. Namun sejak mengenal Erna, Jaka jadi bisa merasakan istimewanya. Jaka pernah sekali bermalam minggu di rumah Erna. Indahnya luar biasa. Romantis tiada habis.
Tapi, malam minggu ini. Jaka lagi-lagi harus kembali terjebak bersama Nuning. Tiada lagi suap-suapan cokelat sama Erna. Yang ada justru sikut-sikutan berebut tempe penyet yang tersisa di cobek sama Nuning. Dan berakhir kena pentung centong Bu Parmi yang pusing mendengar keributan keduanya di dapur.
Kenyang makan malam di rumah Nuning, Jaka cuci piring dan menimba air.
“Jangan lupa, ... gentong dan bak kamar mandi dipenuhin semua!” kata Nuning malah ngebos setelah sama-sama kenyang makan.
Berani nolak? Benjol.
Biarlah, anggap-anggap nimba air sumur itu workout. Membentuk otot bisepnya. Tapi Jaka sedih, buat apa punya otot dan tubuh bagus kalau nggak bisa dipamerin ke Erna, gadis pujaan hati. Boro-baru mau pamer, mendekati jarak lima meter saja sudah bikin radar Nuning langsung menyala. Bikin Jaka mundur teratur ketimbang Nuning mengeksekusi ancamannya ‘nyemplungin’ ular ke tas Erna.
Duh. Jaka mesti kuat-kuat nahan diri di bawah kendali Nuning demi ketenangan hidup Erna. Tapi biarlah. Nuning bisa memiliki raganya sebagai teman, tapi tidak hatinya sebagai kekasih. Karena hati Jaka utuh bulat-bulat cuma buat Erna seorang!
Semakin hari Nuning kian rajin saja menempeli Jaka. Nuning jadi jarang membolos. Tiba-tiba rajin minta diajari Jaka belajar tak kenal tempat, entah di kelas, di kantin, tempat parkir, sampai rela menunggu di depan WC sekolah saat Jaka pura-pura kepingin boker bukan karena mules, tapi kelewat eneg sama hidupnya yang bagai dipenjara. Karena dipepet terus, nggak disekolah atau di rumah. Di mana-mana!
Jaka bukan bocah playgroup yang perlu dianter-jemput. Tapi Nuning selalu memastikan Jaka pulang dengan selamat setap harinya. Selamat dari ‘jangkauan’ Erna maksudnya. Jaka ini kan tiket emasnya ke Jakarta, dan Erna satu-satunya rival yang bisa mengacaukan rencananya memiliki Jaka.
“Sampai kapan sih kamu mau kayak gini?” protes Jaka risih saat mereka belajar bareng di beranda rumah Nuning.
“Kayak gini gimana?” Nuning pura-pura bego.
“Nempelin aku terus.”
“Lah, kan emang udah dari dulu. Bukannya kita ke mana-mana biasa bareng? Ngapa sekarang protesnya? Mentang-mentang sekarang kamu udah jago nangkring di pohon jambu? Lupa ya, siapa yang ngajarin kamu manjat?”
Kalau sabar itu dijual, Jaka mau borong saja sebelum stok kesabarannya habis. “Bukan soal itu,” gerutunya.
“Terus?! Soal apa?”
“So-soal, ... kamu ngekorin aku sampai WC sekolah. Kan aku perlu privasi. Sampai kapan kamu akan berhenti ngekorin aku?”
“Sampai kamu nikahin aku!”
Damn!
***
Dibalik penderitaan Jaka yang ‘diketekin’ Nuning setiap hari, Bu Parmi dan Pak Priyo justru melihat perubahan anak gadisnya yang semakin jarang membolos itu bagai berkah tak terkira.
Bu Parmi mengintip Nuning yang sedang serius belajar dengan Jaka. Dulu mah boro-boro mau belajar ‘ngerjain’ soal, ‘ngerjain’ anak-anak tetangga sampai menangis mah iya!
“Akhirnya, waras juga anak kita, Pak!”
“Ya begitulah, Mak. Di mana-mana selalu cinta yang bisa bikin orang berubah.”
Bu Parmi menggeser bokongnya biar duduk lebih mepet Pak Priyo. Tapi suaminya itu malah ikut menggeser bokong karena kesempitan. Soalnya bokong Bu Parmi sudah tak mini lagi seperti zaman gadisnya dulu.
“Eh, maksudnya Bapak apa? Kok tiba-tiba ngomongin soal cinta-cintaan segala?”
“Loh, Emak ini rabun apa gimana sih? Masa gak bisa liat jelas perubahan sikap Nuning ke Jaka? Kan mirip sama kelakuan Emak pas lagi naksir sama Bapak dulu. Nempeeel terus kayak permen karet di sepatu. Susah diilangin. Ngikuuut aja ke manapun Bapak melangkahkan kaki.”
Tapi kemudian Pak Priyo kelojotan saat Bu Parmi mencubit tumpukan lemak di pinggangnya.
“A-a-ampun, Mak!”
“Enak aja nyamain aku sama permen karet nempel di sepatu, nggak ada istilah yang lebih bagus apa?” omel Bu Parmi memperkecil cubitannya, masa bodoh suaminya melolong minta ampun.
***
Sore itu Nuning mengantar Jaka pulang ke rumah seperti biasanya, menggandeng erat lengannya sambil bersiul-siul senang.
“Ngapain sih Ning ngebet banget pengen ke Jakarta? Di sana itu nggak enak loh.”
“Kalau nggak enak ngapain kamu balik ke sana, nggak tetap di sini aja?”
“Kan aku mesti balik ke rumah ibuku. Kasihan di sana sendirian. Aku dititipin sama bibiku di sini kan buat sekolah aja sampai SMA.”
“Ibumu di sana sendirian?”
“Iya.”
“Nah, makanya aku ikut, biar bisa bantu jagain ibumu.”
“Lah terus yang jagain emakmu sendiri siapa?”
“Siapa bilang emakku sendirian? Kan ada bapakku, ada Mas Bambang.”
“Tapi kan kamu anak perempuan satu-satunya, ya nggak mungkin dong dibolehin pergi sama mereka.” Lagian kasihan juga ibuku diurusin sama orang macam gini, bisa-bisa tambah tua dan pendek umurnya. Lanjut Jaka dalam hati.
“Ya boleh aja, asalkan kamu nikahin aku,” cengir Nuning.
"Tau, ah!"
Jaka bete, kenapa jadi balik ke sana lagi omongan cewek tengik satu ini? Jaka bingung memikirkan cara meluruskan perhatian Nuning yang sudah kelewat ‘menceng’.
“Dah, pulang sana. Aku udah sampai rumah dengan selamat nih!” usir Jaka capek jiwa, raga, lahir, batin karena seharian dipepet Nuning.
“Nggak mau, aku mau nganterin kamu sampai kamar!”
“Dasar gemblung!” omelnya sambil membuka pintu rumahnya yang sepi. Sebab paman dan bibinya sibuk menjaga warung sembako mereka di pasar.
Jaka mana mengira Nuning betulan mengekorinya sampai kamar. Perjaka tingting itu jadi senewen. Tapi Nuning diusir tak mau juga, padahal Jaka ingin lekas mandi, biar otaknya yang sejak tadi dibikin ngebul sama Nuning ini lekas adem lagi.
Nuning selonjoran di kasur yang kapuknya sudah tak empuk lagi karena jarang dijemur. Geleng-geleng melihat lantai yang dipenuhi kertas dan rangka bambu buat layangan, soalnya Jaka lagi menggarap orderan buat festival. Lalu terkikik geli melihat sempak Jaka bertebaran di kasur seperti sedang diobral sepuluh ribu dapat tiga. Jaka buru-buru memasukkannya ke dalam lemari dengan wajah merah terbakar jengah.
“Buru keluar gih, aku mau mandi nih!” usir Jaka untuk ke sekian kali.
“Ya udah sana mandi, emang mau ngajak-ngajak? Kita kan belum sah.”
“Dihh!” Jaka bergidik jijik lalu ngeloyor pergi mandi.
Nuning bersin-bersin saat Jaka kembali cuma memakai handuknya. Bikin cowok itu jejeritan kaget melihat penampakan Nuning yang masih bertengger di kasurnya.
“Ngapain mandi sih, Jak? Kalau kandangmu debuan kek gini? Bikin mubazir sabun mandimu aja. Berapa tahun nggak disapu nih kamar?”
“Kayak kandangmu sendiri bersih aja," cebik Jaka.
“Sembarangan! Biar aku nggak pernah bersihin, tapi kan ada emakku yang suka nyapu dan ngepelin sampai tiga kali sehari kayak jadwal orang minum obat,” sahut Nuning yang tak tahu saja kalau emaknya rajin membersihkan kamar dia karena modus, sambil mencari di mana Nuning menyimpan harta karun komik pornonya.
Lalu Nuning bersin-bersin lagi. “Wah, sekali lagi bersin-bersin mestinya aku dapat hadiah akta nikah nih,” selorohnya bikin Jaka cenut-cenut.
‘Sompret! Bikin bunting anak gadis orang nggak, tapi kok diteror suruh ngawinin mulu!’
Jaka mikir sejenak, lalu menyeringai. ‘Aha, dia pasti syok!’ Kemudian berdeham. “Keluar gih, aku mau pakai baju!” usirnya sambil menghitung. Pada hitungan ketiga, Jaka sengaja melepaskan handuknya, tapi sedikitpun Nuning tak perpaling. Jaka pun buru-buru menarik lagi handuknya yang melorot lalu melilitkan ke pinggang lagi dengan wajah merah padam menahan malu. Untung sudah pakai sempak!
Bah! Bisa-bisanya dia lupa kalau yang dikerjainnya ini perawan gila. Ada juga malah dia yang balik dikerjain dan gila sendiri.
"Buruan balik sana, ah!" omel Jaka makin kesal. Tapi Nuning malah rebahan, siul-siul sambil membaca komik Spiderman.
"Jakaa, ada temanmu nih." Mendadak terdengar suara bibinya baru pulang dari pasar!
"Mati aku ...!” Jaka tepok jidat kebingungan.
Gawat kan kalau sampai bibinya melihat Nuning di kamarnya. Ntar dikira ngumpetin anak gadis orang! Bisa-bisa dikawinin betulan! Hiii serem.
"Jakaaa?" Suara bibinya semakin mendekat.
Jaka ingin mengunci pintu, tapi baru inget kalau sedang rusak. "Aiss siaal," gumamnya panik. "Banguuun, buruaan ngumpet di mana kek sono...!" Jaka menarik-narik Nuning dari kasurnya.
"Jakaaa?" Bibinya memanggil lagi dengan suara yang terdengar semakin mendekat.
"I-iyaa, Bi. Sebentar!" jawabnya sambil menahan daun pintu agar tak terbuka lebar karena si Bibi mulai mendorongnya.
"Lama amat sih dipanggilin nggak keluar-keluar? Dicari Erna, tuh!" kata bibinya bikin Jaka seketika syok. Lalu melirik-lirik ngeri kepada Nuning yang ngumpet di belakang pintu kamarnya dengan tatapan siap mencabik-cabik.
"A-aku ..., lagi sibuk, Bi. Lagi bikin layangan buat orderan festival."
"Oh, ya sudah kalau gitu. Er ... ? Erna ..., Jaka nggak sempat keluar nih, kamunya aja sini masuk!" panggil bibinya malah mempersilakan. Lalu melenggang pergi ke dapur.
Jaka meringis frustrasi. Tapi nggak bisa berkutik. Dan memucat kala Erna betulan menghampiri sampai di depan kamarnya.
"Hai, Jak?”
Erna memberinya senyuman yang paling manis. Tapi bukannya bikin senang, Jaka malah kian memucat. Soalnya kedatangan Erna kali ini salah waktu dan tempat!
“Ehm, kamu ... lagi sibuk apa sih, Jak?”
"Mau tau aja, apa mau tau bangettt?!" Suara Nuning yang memekik dari dalam kamar Jaka sekonyong-konyong membuat Erna pucat pasi. Mata gadis itupun berkaca-kaca menatap Jaka.
Modyarrr.
Tamat sudah riwayat Jaka di depan Erna!
***
Sudah sejam Nuning nangkring di jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap bintang-bintang di langit dalam diam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mencipoki wajah masamnya. Emaknya kebingungan. Kalau anak perawannya guling-guling koprol sampai kamarnya mirip kapal pecah sudah malah tak heran. Tapi. Nuning yang hiperaktif bisa anteng mematung seperti itu, bisa dibilang peristiwa langka! Si emak mondar-mandir di depan pintu kamar Nuning seperti setrika yang sedang meluruskan baju yang kusutnya sudah kronis, sampai-sampai Bu Parmi tak bisa duduk manis. Kalau anaknya kesambet setan sepertiny atak mungkin. Bah, yang ada juga setannya gumoh duluan melihat Nuning. Lagipula, hobinya yang suka menyamar jadi setan buat menakuti anak-anak pulang mengaji, bikin para setan tak bisa membedakan lagi Nuning itu temannya apa manusia. Salah-salah nanti bukannya Nuning yang kesurupan setan, tapi setannya yang kesurupan Nuning. “Kenapa lagi tuh anak ya, Pak?” keluh Bu Parmi
“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”Kepingin rasanya Bu Parmi nutupin mukanya pake gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi... mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder sama kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawinnya kalau Jaka belum mampu beliin emas meski segram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan nggak banyak persiapan. Begitu kelulusan sekolah, Jaka datang ke rumah sama pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, diam-diam Bu Parmi sedih kehilangan secepat ini. Bagaimanapun tetap ingin mempersiapkan pernikahan ini sebaik-baiknya, meski dengan da
Kata siapa sih malam pertama itu enak? Hoax banget. Soalnya, malam pertama Jaka nggak seasyik ledekan teman-temannya yang pas kondangan pada bawel ’cie-cie’in mulu. Malah ada yang iseng ngadoin obat kuat dan kondom sebungkus. Edyann!Entah apa isi otak teman-temannya sampai ngasih kado macem gituan. Memangnya mereka lupa ya, siapa cewek yang dinikahi sama Jaka? Cewek itu tetaplah buto cakil yang kebetulan terperangkap dalam tubuh mungil Nuning!Mana ada sih perawan yang tidurnya macem orang pencak silat? Habislah badan Jaka ditendangin pas lagi tidur bareng, padahal matanya merem. “Sana aaahhh. Sempit akutuu,” omelnya sambil dorong-dorongin bokong Jaka yang lama-lama jatuh juga dari kasur.Sudah tidur di lantai, kedinginan, digigitin nyamuk, masih juga dikentutin. Mana bauuu banget! Kayaknya ampasnya ikut keluar juga tuh. Bikin Jaka sakit perut karena kekenyangan ngirup bau kentut Nuning yang busuk banget.“Hoeeeekkk
“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin&ldquo
Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan