Sudah sejam Nuning nangkring di jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap bintang-bintang di langit dalam diam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mencipoki wajah masamnya.
Emaknya kebingungan. Kalau anak perawannya guling-guling koprol sampai kamarnya mirip kapal pecah sudah malah tak heran. Tapi. Nuning yang hiperaktif bisa anteng mematung seperti itu, bisa dibilang peristiwa langka!
Si emak mondar-mandir di depan pintu kamar Nuning seperti setrika yang sedang meluruskan baju yang kusutnya sudah kronis, sampai-sampai Bu Parmi tak bisa duduk manis.
Kalau anaknya kesambet setan sepertiny atak mungkin. Bah, yang ada juga setannya gumoh duluan melihat Nuning. Lagipula, hobinya yang suka menyamar jadi setan buat menakuti anak-anak pulang mengaji, bikin para setan tak bisa membedakan lagi Nuning itu temannya apa manusia. Salah-salah nanti bukannya Nuning yang kesurupan setan, tapi setannya yang kesurupan Nuning.
“Kenapa lagi tuh anak ya, Pak?” keluh Bu Parmi tak tahan lagi. Akhirnya perlu tempat untuk berbagi uneg-uneg sama suami, kalau berbagi duit sih Bu Parmi ogah banget. Karena duitnya ya duitnya, tapi kalau duit suaminya ya duitnya juga.
“Anaknya pecicilan ... bingung, anaknya anteng ... kok tambah bingung? Maunya Emak nih macam gimana sih? Ya wajarlah namanya manusia yang punya perasaan punya hati, ya bisa berubah-ubahlah sesuai kondisi.”
“Bukannya gitu, Pak. Emak cuma mikir aja. Kok berubahnya drastis? Tiba-tiba nggak pernah bolos lagi. Rajin belajar. Gemar menabung. Cium tangan Emak kalau mau berangkat dan pulang sekolah. Bahkan sudah tiga bulan ini Emak nggak pernah dipanggil ngadep kepala sekolah lagi. Luar biasa kan? Nah, sekarang kok tiba-tiba jadi pemurung begini? Padahal biasanya nyerocos terus sampai bikin burung beo kita mati stres karena gak kebagian jatah ngoceh. Gimana Emak nggak bingung coba? Gimana kalau ntar tiba-tiba bunuh diri? Emak kan takut.”
“Makanya, Mak ..., jangan kebanyakan nonton Patroli. Jadinya parno sendiri tho. Mikir yang nggak-nggak aja. Lagian nggak ada yang namanya tiba-tiba, Mak. Semua pasti ada sebabnya kenapa Nuning jadi gitu, tapi kita aja yang nggak tahu.”
“Nah, menurut Bapak sebabnya opo?”
Pak Priyo nyeruput kopinya yang mulai dingin. “Jaka tadi ke sini nggak?” tanyanya tiba-tiba.
“Bapak iki pye sih? Lah wong diajak ngomongin masalah Nuning kok malah nanyain Ja-” Bu Parmi terdiam sesaat, kemudian mengangguk-angguk paham. “Hmm. Emak tahu sekarang. Jadi gitu tho?” Bibirnya tersenyum selebar pagar.
“Wah ..., rupanya anak kita beneran udah jadi gadis normal ya, Pak! Kayaknya bener dugaan kita kalau diam-diam mereka berdua ada hati.”
“Itu namanya, witing tresno jalaran soko kulino, Mak. Cinta datang karena terbiasa. Wajarlah, sejak kecil kan mereka dah biasa jadi ‘setan’ bareng.”
Bu Parmi mengangguk-angguk dan menyahut, “Jadi gitu tho. Wih, lega sekarang hatiku, Pak! Bener sampean, Pak. Mereka pasti jatuh cinta karena kebiasaan main bareng. Bukan cuma main bareng sih, tapi juga teman ngibrit bareng pas dikejar-kejar pake celurit sama Mbah Surip gegara ketahuan nyolong mangga!” Lalu tertawa sendiri.
Sekarang sih Bu Parmi bisa ketawa, coba dulu? Mules-mules iya. Sampai stres kehilangan nafsu makan, tapi tak juga bikin badannya kurus. Malah tambah gendut iya karena kekenyangan ‘makan hati’, kenyang mengomel, kenyang menelan kenyataan pahit karena kelakuan anak perawannya lebih mirip buto Cakil ketimbang mirip Dewi Shinta yang ayu dan lemah lembut.
“Mungkin mereka lagi marah-marahan kayak umumnya orang lagi pacaran gitu ya, Pak? Tapi marahannya kok lama banget ya? Udah seminggu ini Jaka nggak kelihatan. Biasanya kan mereka kayak kodok gancet, pecicilan sana-sini bareng.”
“Biarin aja, Mak. Ntar juga baikan lagi. Kayak nggak kenal mereka aja.”
Bu Parmi menghela napas lega karena masih ada yang mau sama anak gadisnya. Meskipun itu si Jaka yang rada koplak juga. Tapi mengingat anaknya juga biang koplak, Bu Parmi merestui saja. Mana ada sih pemuda normal yang mau memacari perawan gesrek macam anaknya selain Jaka? Toh Jaka juga nggak jelek. Aslinya anak itu cakep, cuma karena terlalu sering gaul sama Nuning yang kelakukannya mirip monyet lepas kandang, jadinya ya begitulah, Jaka jadi ikut buluk-buluk dikit. Tapi kalau nanti Jaka jadi orang berduit pasti daya tarik aslinya bisa balik. Pokoknya, Bu Parmi mendoakan asmara Nuning dan Jaka bisa sampai pelaminan!
***
Dugaan Bu Parmi tak sepenuhnya salah. Nuning memang sedang marah-marahan sama Jaka. Kecewa karena Jaka menolaknya. Apalagi sejak kejadian waktu Erna menangkap basah mereka berduaan di kamar Jaka. Seketika itu juga Erna berlari pulang sambil menangis. Jaka ingin mengejar Erna, tapi dengan jahat Nuning menjegal kakinya sampai Jaka ndelusur mencium lantai.
"Apa-apan sih, Ning?!" bentak Jaka marah sambil mengelusi dengkulnya yang lecet.
"Ya nggak apa-apa.” Nuning bersedekap acuh tak acuh. Tiada iba dalam hatinya melihat ekspresi Jaka yang nelangsa.
"Ngapain juga kamu ngejar-ngejar dia? Biar apa gitu? Kamu itu calon suamiku!"
Jaka melotot tajam padanya, Nuning justru membalasnya dengan kedipan sebelah mata.
“K-kamu ...,” Jaka menelan ludahnya. Nuning tahu ada banyak kata yang ingin disemburkannya, tapi entah kenapa cowok itu pilih bungkam seribu bahasa.
Jaka berderap memasuki kamarnya. Nuning menyusul, tapi Jaka mengganjal pintu dengan tubuhnya hingga Nuning hanya bisa menggedorinya saja tanpa bisa memasukinya lagi.
Oke. Baiklah!
Nuning bukannya nggak paham kalau dirinya bukanlah tipe cewek yang diinginkan Jaka sebagai kekasih, apalagi sebagai istri! Tapi ... Nuning terlalu sumpek sama kehidupannya di kampung yang monoton dan membosankan. Dan ikut suami menjadi alasan kuat dan satu-satunya, agar dia bisa lekas minggat menciptakan petualangan baru di kota impiannya. Kota yang kebetulan akan ditinggali Jaka usai kelulusan nanti, Jakarta!
Tapi memaksa Jaka demi memenangkan egonya, rasanya kejam juga. Nuning jadi galau. Jaka terlalu baik untuk dimanfaatkan sedemikian rupa. Bisa saja Jaka bersikap keras lalu meninggalkannya. Tapi sahabatnya itu memilih bersabar menghadapinya. Bahkan mengalah saja saat Nuning menikungnya dari Erna dengan sengaja, dari cinta pertamanya.
Jaka pantas marah padanya. Pantas kalau sudah seminggu ini si jangkung itu tak kelihatan batang hidungnya di sekolah. Membolos ke mana dia? Nuning jadi gusar memikirkannya. Lalu dia bersitatap dengan Erna yang juga sedang mencuri lihat ke bangku Jaka yang kosong. Nuning dongkol dan memelototinya, Erna pun lekas memalingkan wajah dan pura-pura membaca buku.
Nuning tak bisa berpikir jernih sepanjang jam pelajaran. Di tengah jam belajar, dia pun pamit ke toilet tapi ternyata membolos dengan memanjat dan melompat pagar. Lalu berlari menuju rumah Jaka, mencari-cari keberadaannya. Nuning ingin bicara dengannya. Tapi, rumah Jaka digembok.
Masih memakai seragam sekolahnya. Nuning menyusuri tegalan. Nyemplung rawa. Masuk-keluar dari kebun ke kebun. Naik-turun dari satu pohon ke pohon. Mencari Jaka sudah seperti mencari monyet lepas saja. Sampai dengkulnya hampir copot kelelahan memutari kampung. Orang-orang yang dia tanyai tentang Jaka malah balik kebingungan. Kalau Nuning teman gancetnya aja nggak tahu, apalagi mereka?
Nuning tiba di halaman rumahnya sudah lewat azan magrib. Seragamnya kucel dan basah oleh keringat dan air rawa. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan. Awut-awutan karena habis nangkring pohon rambutan. Sempat bikin kaget yang punya pohon karena dikira ada lutung masuk kampung. Untung yang punya pohon tak marah saat memergoki Nuning nangkring di pohonnya sambil menggasak banyak buahnya, sementara kulitnya berserakan di bawah. Malah yang punya pohon bingung, “Itu perut apa gentong? Yakin ntar nggak bakal mencret makan rambutan segitu banyak?” tanyanya antara peduli atau nyumpahin.
“Ning!”
Nuning terlonjak dari lamunan. Untung tubuhnya tak sampai terpental ke kampung sebelah saking kagetnya melihat penampakan Jaka yang tiba-tiba datang menyapanya macam jelangkung linglung.
Nuning ingin memeluk Jaka saking senangnya! Tapi ia malah meninju-ninju kecil lengan sahabatnya yang seminggu ini menghilang. “Wedus gembel! Kemana aja kamu?!” pekiknya riang.
Melihat Jaka sehat dan selamat bikin hati Nuning plong bukan main. Dan memaki Jaka memang cara paling nyaman untuk menunjukkan suasana hatinya yang gembira. “Capek aku tuu nyariin gundulmu, tahu?!” omelnya sembari jejingkrakan riang.
“Ning?” Jaka memanggilnya lagi saat Nuning tertawa ramai-ramainya.
Nuning mendongak menatap Jaka. Tiba-tiba ia merasa janggal saat bertemu tatap dengan bola mata gelap Jaka yang penuh rahasia. Jaka belum pernah bersikap seserius ini padanya.
“Kenapa, Jak?”
Jaka menggigiti bibirnya penuh keraguan.
Nuning mendesah. “Jak, maafin aku ya?” Akhirnya dia buka suara lebih dulu. “Ulahku kemarin-kemarin memang kelewatan. Nggak semestinya aku maksa-maksa kamu buat nikahin aku. Aku janji nggak akan gangguin kamu lagi soal itu. Asal kita jangan marah-marahan lagi kayak kemarin. Kamu nggak perlu lagi menghilang selama ini demi menghindariku lagi, Jak”
Nuning pun tertawa getir. Hangus sudah tiketnya ke Jakarta. Nuning mengibarkan bendera putih dalam hatinya, menyerah. Tapi ini lebih baik ketimbang persahabatannya dengan Jaka yang hangus.
Mendengarnya, Jaka ikut tertawa lirih. Lalu cowok itu tiba-tiba terdiam dan menatap Nuning lurus-lurus dan membuat Nuning mematung. “Ning,” ujarnya seraya meraih tangan gadis itu. Lalu Jaka menghela napasnya dalam-dalam dan berkata, “Oke, ... kita nikah!”
DUARRRR.
Nuning pun mencelat keluar dari orbit bumi, lalu nyungsep di planet Bekasi.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya Wahyuning binti Supriyo dengan mas kawin Tiket Damri ke Jakarta dibayar tunai!”Kepingin rasanya Bu Parmi nutupin mukanya pake gentong. Mestinya ikut lega karena Jaka bisa begitu fasih mengucap akad nikahnya dengan sekali tarikan napas. Kedua saksi pun menyatakan kalau pernikahan itu sah! Sah secara hukum dan agama. Tapi... mas kawinnya itu loh! Bikin Bu Parmi minder sama kasak-kusuk dan tawa lirih mengejek di sekitarnya.Bu Parmi menyarankan seperangkat alat salat saja buat mas kawinnya kalau Jaka belum mampu beliin emas meski segram. Maklum, pernikahan ini terlalu mendadak dan nggak banyak persiapan. Begitu kelulusan sekolah, Jaka datang ke rumah sama pamannya. Bikin Pak Priyo dan Bu Parmi melongo anaknya dilamar secara tiba-tiba. Meski senang akhirnya Nuning ‘sold out’, diam-diam Bu Parmi sedih kehilangan secepat ini. Bagaimanapun tetap ingin mempersiapkan pernikahan ini sebaik-baiknya, meski dengan da
Kata siapa sih malam pertama itu enak? Hoax banget. Soalnya, malam pertama Jaka nggak seasyik ledekan teman-temannya yang pas kondangan pada bawel ’cie-cie’in mulu. Malah ada yang iseng ngadoin obat kuat dan kondom sebungkus. Edyann!Entah apa isi otak teman-temannya sampai ngasih kado macem gituan. Memangnya mereka lupa ya, siapa cewek yang dinikahi sama Jaka? Cewek itu tetaplah buto cakil yang kebetulan terperangkap dalam tubuh mungil Nuning!Mana ada sih perawan yang tidurnya macem orang pencak silat? Habislah badan Jaka ditendangin pas lagi tidur bareng, padahal matanya merem. “Sana aaahhh. Sempit akutuu,” omelnya sambil dorong-dorongin bokong Jaka yang lama-lama jatuh juga dari kasur.Sudah tidur di lantai, kedinginan, digigitin nyamuk, masih juga dikentutin. Mana bauuu banget! Kayaknya ampasnya ikut keluar juga tuh. Bikin Jaka sakit perut karena kekenyangan ngirup bau kentut Nuning yang busuk banget.“Hoeeeekkk
“Pokoknya, kamu jangan ngeloyor sendiri tanpa Jaka. Ingat ya Nduk, Jakarta itu kota besar, jangan kamu samain kayak kampung kita yang biasa kamu jajah seenaknya. Hati-hati sama orang berduit. Katanya mereka bisa melakukan apa saja, salah jadi benar dan benar bisa jadi salah, orang kecil macam kita pasti kalah. Jauh-jauhin orang-orang macam gitu ya, Nduk...” cerocos Bu Parmi kasih nasihat saat mengantar Nuning di terminal.“Makanya aku juga mau cari duit yang banyak, biar nggak kalah sama mereka. Emak nyantai aja. Aku kan bukan anak kecil lagi. Selagi bisa baca tulis dan punya mulut buat nanya, nggak bakalan nyasar di sana. Udah ah, jangan mewek. Nganterin orang mau pergi ke Jakarta kok kayak nangisin mayat mau dikubur aja,” cebik Nuning.Bu Parmi geregetan dan menjitak kepalanya. “Dibilangin orang tua kok nyauuut aja! Kualat ntar baru tau rasa!”“Husss, Mak! Anaknya mau nyebrang kok malah nyumpahin&ldquo
Memasuki kamarnya menjelang malam, Nuning memakai lotion nyamuk sampai habis sebungkus. “Nggak kasihan kulitmu ntar keracunan?” komen Jaka sambil geleng-geleng kepala.“Salah sendiri punya rumah kok ndeso banget. Udah di pojokan kebon, jauh dari rumah orang-orang pula. Kuburan aja masih lebih rame dempet-dempetan. Ini sih nggak ada bedanya sama suasana di kampung kita. Masih mending di kampung malah, nggak banyak nyamuk kayak sini. Nyamuk kampung mah masih tahu permisi, kalau gigit satu-satu gantian. Nggak keruyukan ugal-ugalan kayak gini!”“Ya udah, apa mau balik lagi ke kampung? Nggak masalah, besok kuanterin.”Nuning buru-buru nemplok mepetin Jaka. “Ih, kamu mah gituuuu. Nggak bisa selow. Kalem gaess, canda... Sensi amattt?” Sambil main mata macem orang kelilipan. “Cieee... masih marah?” Nuning nyolek dagu Jaka lagi yang cemberut.“Sana, geseran! Husss... husss,” usir Jaka
Sesuai janji, Jaka mengajak Nuning naik KRL dari stasiun Citayem ke Jakarta. “Tapi janji, jangan norak ya! Jangan banyak komen, ojo ndeso...” katanya mewanti-wanti untuk kesekian kali.“IYAAA!”Orang yang berbaris di loket menoleh karena jawaban Nuning yang keras sambil mendelik galak pada Jaka yang kepingin ngacir aja balik ke rumah biar nggak malu. Padahal aja guguk nggak segalak itu kalo dibilangin baek-baek.Sebenarnya Jaka kepingin menggandeng pas mereka nungguin kereta di peron, takut Nuning ketinggalan terus ilang. Nyariin Nuning ilang di kota kan lebih repot ketimbang nyariin anak kutu satu-satu di rambut. Tapi Jaka buru-buru menarik tangannya karena hampir digigit. Buset, galak beutt dah! Jaka jadi tambah repot mesti bolak-balik nengok buat mastiin Nuning tetap ada di sebelahnya. Masa iya mau diiket kayak kambing mau dijual ke pasar? Ini kan manusia. Tapi Jaka sabar-sabarin diri mengingat manusia satu ini seteng
Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempa
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em