Share

6. Saat Bendera Putih Berkibar

Sudah sejam Nuning nangkring di jendela kamarnya yang terbuka lebar. Menatap bintang-bintang di langit dalam diam. Membiarkan angin sepoi-sepoi mencipoki wajah masamnya.

Emaknya kebingungan. Kalau anak perawannya guling-guling koprol sampai kamarnya mirip kapal pecah sudah malah tak heran. Tapi. Nuning yang hiperaktif bisa anteng mematung seperti itu, bisa dibilang peristiwa langka!

Si emak mondar-mandir di depan pintu kamar Nuning seperti setrika yang sedang meluruskan baju yang kusutnya sudah kronis, sampai-sampai Bu Parmi tak bisa duduk manis.

Kalau anaknya kesambet setan sepertiny atak mungkin. Bah, yang ada juga setannya gumoh duluan melihat Nuning. Lagipula, hobinya yang suka menyamar jadi setan buat menakuti anak-anak pulang mengaji, bikin para setan tak bisa membedakan lagi Nuning itu temannya apa manusia. Salah-salah nanti bukannya Nuning yang kesurupan setan, tapi setannya yang kesurupan Nuning.

“Kenapa lagi tuh anak ya, Pak?” keluh Bu Parmi tak tahan lagi. Akhirnya perlu tempat untuk berbagi uneg-uneg sama suami, kalau berbagi duit sih Bu Parmi ogah banget. Karena  duitnya ya duitnya, tapi kalau duit suaminya ya duitnya juga.

“Anaknya pecicilan ... bingung, anaknya anteng ... kok tambah bingung? Maunya Emak nih macam gimana sih? Ya wajarlah namanya manusia yang punya perasaan punya hati, ya bisa berubah-ubahlah sesuai kondisi.”

“Bukannya gitu, Pak. Emak cuma mikir aja. Kok berubahnya drastis? Tiba-tiba nggak pernah bolos lagi. Rajin belajar. Gemar menabung. Cium tangan Emak kalau mau berangkat dan pulang sekolah. Bahkan sudah tiga bulan ini Emak nggak pernah dipanggil ngadep kepala sekolah lagi. Luar biasa kan? Nah, sekarang kok tiba-tiba jadi pemurung begini? Padahal biasanya nyerocos terus sampai bikin burung beo kita mati stres karena gak kebagian jatah ngoceh. Gimana Emak nggak bingung coba? Gimana kalau ntar tiba-tiba bunuh diri? Emak kan takut.”

“Makanya, Mak ..., jangan kebanyakan nonton Patroli. Jadinya parno sendiri tho. Mikir yang nggak-nggak aja. Lagian nggak ada yang namanya tiba-tiba, Mak. Semua pasti ada sebabnya kenapa Nuning jadi gitu, tapi kita aja yang nggak tahu.”

“Nah, menurut Bapak sebabnya opo?”

Pak Priyo nyeruput kopinya yang mulai dingin. “Jaka tadi ke sini nggak?” tanyanya tiba-tiba.

“Bapak iki pye sih? Lah wong diajak ngomongin masalah Nuning kok malah nanyain Ja-” Bu Parmi terdiam sesaat, kemudian mengangguk-angguk paham. “Hmm. Emak tahu sekarang. Jadi gitu tho?” Bibirnya tersenyum selebar pagar.

“Wah ..., rupanya anak kita beneran udah jadi gadis normal ya, Pak! Kayaknya bener dugaan kita kalau diam-diam mereka berdua ada hati.”

“Itu namanya, witing tresno jalaran soko kulino, Mak. Cinta datang karena terbiasa. Wajarlah, sejak kecil kan mereka dah biasa jadi ‘setan’ bareng.”

Bu Parmi mengangguk-angguk dan menyahut, “Jadi gitu tho. Wih, lega sekarang hatiku, Pak! Bener sampean, Pak. Mereka pasti jatuh cinta karena kebiasaan main bareng. Bukan cuma main bareng sih, tapi juga teman ngibrit bareng pas dikejar-kejar pake celurit sama Mbah Surip gegara ketahuan nyolong mangga!” Lalu tertawa sendiri.

Sekarang sih Bu Parmi bisa ketawa, coba dulu? Mules-mules iya. Sampai stres kehilangan  nafsu makan, tapi tak juga bikin badannya kurus. Malah tambah gendut iya karena kekenyangan ‘makan hati’, kenyang mengomel, kenyang menelan kenyataan pahit karena kelakuan anak perawannya lebih mirip buto Cakil ketimbang mirip Dewi Shinta yang ayu dan lemah lembut.

“Mungkin mereka lagi marah-marahan kayak umumnya orang lagi pacaran gitu ya, Pak? Tapi marahannya kok lama banget ya? Udah seminggu ini Jaka nggak kelihatan. Biasanya kan mereka kayak kodok gancet, pecicilan sana-sini bareng.”

“Biarin aja, Mak. Ntar juga baikan lagi. Kayak nggak kenal mereka aja.”

Bu Parmi menghela napas lega karena masih ada yang mau sama anak gadisnya. Meskipun itu si Jaka yang rada koplak juga. Tapi mengingat anaknya juga biang koplak, Bu Parmi merestui saja. Mana ada sih pemuda normal yang mau memacari perawan gesrek macam anaknya selain Jaka? Toh Jaka juga nggak jelek. Aslinya anak itu cakep, cuma karena terlalu sering gaul sama Nuning yang kelakukannya mirip monyet lepas kandang, jadinya ya begitulah, Jaka jadi ikut buluk-buluk dikit. Tapi kalau nanti Jaka jadi orang berduit pasti daya tarik aslinya bisa balik. Pokoknya, Bu Parmi mendoakan asmara Nuning dan Jaka bisa sampai pelaminan!

***

Dugaan Bu Parmi tak sepenuhnya salah. Nuning memang sedang marah-marahan sama Jaka. Kecewa karena Jaka menolaknya. Apalagi sejak kejadian waktu Erna menangkap basah mereka berduaan di kamar Jaka. Seketika itu juga Erna berlari pulang sambil menangis. Jaka ingin mengejar Erna, tapi dengan jahat Nuning menjegal kakinya sampai Jaka ndelusur mencium lantai. 

"Apa-apan sih, Ning?!" bentak Jaka marah sambil mengelusi dengkulnya yang lecet.

"Ya nggak apa-apa.” Nuning bersedekap acuh tak acuh. Tiada iba dalam hatinya melihat ekspresi Jaka yang nelangsa.

"Ngapain juga kamu ngejar-ngejar dia? Biar apa gitu? Kamu itu calon suamiku!"

Jaka melotot tajam padanya, Nuning justru membalasnya dengan kedipan sebelah mata.

“K-kamu ...,” Jaka menelan ludahnya. Nuning tahu ada banyak kata yang ingin disemburkannya, tapi entah kenapa cowok itu pilih bungkam seribu bahasa.

Jaka berderap memasuki kamarnya. Nuning menyusul, tapi Jaka mengganjal pintu dengan tubuhnya hingga Nuning hanya bisa menggedorinya saja tanpa bisa memasukinya lagi.

Oke. Baiklah! 

Nuning bukannya nggak paham kalau dirinya bukanlah tipe cewek yang diinginkan Jaka sebagai kekasih, apalagi sebagai istri! Tapi ... Nuning terlalu sumpek sama kehidupannya di kampung yang monoton dan membosankan. Dan ikut suami menjadi alasan kuat dan satu-satunya, agar dia bisa lekas minggat menciptakan petualangan baru di kota impiannya. Kota yang kebetulan akan ditinggali Jaka usai kelulusan nanti, Jakarta!

Tapi memaksa Jaka demi memenangkan egonya, rasanya kejam juga. Nuning jadi galau. Jaka terlalu baik untuk dimanfaatkan sedemikian rupa. Bisa saja Jaka bersikap keras lalu meninggalkannya. Tapi sahabatnya itu memilih bersabar menghadapinya. Bahkan mengalah saja saat Nuning menikungnya dari Erna dengan sengaja, dari cinta pertamanya.

Jaka pantas marah padanya. Pantas kalau sudah seminggu ini si jangkung itu tak kelihatan batang hidungnya di sekolah. Membolos ke mana dia? Nuning jadi gusar memikirkannya. Lalu dia bersitatap dengan Erna yang juga sedang mencuri lihat ke bangku Jaka yang kosong. Nuning dongkol dan memelototinya, Erna pun lekas memalingkan wajah dan pura-pura membaca buku.

Nuning tak bisa berpikir jernih sepanjang jam pelajaran. Di tengah jam belajar, dia pun pamit ke toilet tapi ternyata membolos dengan memanjat dan melompat pagar. Lalu berlari menuju rumah Jaka, mencari-cari keberadaannya. Nuning ingin bicara dengannya. Tapi, rumah Jaka digembok.

Masih memakai seragam sekolahnya. Nuning menyusuri tegalan. Nyemplung rawa. Masuk-keluar dari kebun ke kebun. Naik-turun dari satu pohon ke pohon. Mencari Jaka sudah seperti mencari monyet lepas saja. Sampai dengkulnya hampir copot kelelahan memutari kampung.  Orang-orang yang dia tanyai tentang Jaka malah balik kebingungan. Kalau Nuning teman gancetnya aja nggak tahu, apalagi mereka?

Nuning tiba di halaman rumahnya sudah lewat azan magrib. Seragamnya kucel dan basah oleh keringat dan air rawa. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan. Awut-awutan karena habis nangkring pohon rambutan. Sempat bikin kaget yang punya pohon karena dikira ada lutung masuk kampung. Untung yang punya pohon tak marah saat memergoki Nuning nangkring di pohonnya sambil menggasak banyak buahnya, sementara kulitnya berserakan di bawah. Malah yang punya pohon bingung, “Itu perut apa gentong? Yakin ntar nggak bakal mencret makan rambutan segitu banyak?” tanyanya antara peduli atau nyumpahin.

“Ning!”

Nuning terlonjak dari lamunan. Untung tubuhnya tak sampai terpental ke kampung sebelah saking kagetnya melihat penampakan Jaka yang tiba-tiba datang menyapanya macam jelangkung linglung.

Nuning ingin memeluk Jaka saking senangnya! Tapi ia malah meninju-ninju kecil lengan sahabatnya yang seminggu ini menghilang. “Wedus gembel! Kemana aja kamu?!” pekiknya riang.

Melihat Jaka sehat dan selamat bikin hati Nuning plong bukan main. Dan memaki Jaka memang cara paling nyaman untuk menunjukkan suasana hatinya yang gembira. “Capek aku tuu nyariin gundulmu, tahu?!” omelnya sembari jejingkrakan riang.

“Ning?” Jaka memanggilnya lagi saat Nuning tertawa ramai-ramainya.

Nuning mendongak menatap Jaka. Tiba-tiba ia merasa janggal saat bertemu tatap dengan bola mata gelap Jaka yang penuh rahasia. Jaka belum pernah bersikap seserius ini padanya.

“Kenapa, Jak?”

Jaka menggigiti bibirnya penuh keraguan.

Nuning mendesah. “Jak, maafin aku ya?” Akhirnya dia buka suara lebih dulu. “Ulahku kemarin-kemarin memang kelewatan. Nggak semestinya aku maksa-maksa kamu buat nikahin aku. Aku janji nggak akan gangguin kamu lagi soal itu. Asal kita jangan marah-marahan lagi kayak kemarin. Kamu nggak perlu lagi menghilang selama ini demi menghindariku lagi, Jak”

Nuning pun tertawa getir. Hangus sudah tiketnya ke Jakarta. Nuning mengibarkan bendera putih dalam hatinya, menyerah. Tapi ini lebih baik ketimbang persahabatannya dengan Jaka yang hangus.

Mendengarnya, Jaka ikut tertawa lirih. Lalu cowok itu tiba-tiba terdiam dan menatap Nuning lurus-lurus dan membuat Nuning mematung. “Ning,” ujarnya seraya meraih tangan gadis itu. Lalu Jaka menghela napasnya dalam-dalam dan berkata, “Oke, ... kita nikah!”

DUARRRR.

Nuning pun mencelat keluar dari orbit bumi, lalu nyungsep di planet Bekasi.

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status