Share

Bab 2

Author: Hope
Selama bertahun-tahun, aku menangani triliunan rupiah dalam transaksi hukum untuk keluarga, belum lagi operasi pencucian uang bernilai miliaran yang tak terhitung jumlahnya.

Pada akhirnya, aku tidak mendapatkan sepeser pun untuk diriku sendiri.

Betapa ironis.

Mengabaikan nyeri yang berdenyut di dahiku, aku berdiri dan menelpon Arvian.

Dia membiarkan telepon berdering tiga kali sebelum mengangkat, suaranya terdengar kesal.

"Elisa, sayang." Suaranya lembut. "Kau tahu aku sedang sibuk. Semoga telepon ini lebih penting daripada apa yang sedang kulakukan sekarang."

Aku langsung ke inti permasalahan. Aku sudah memutuskan untuk pergi, tapi aku tidak akan menyerahkan uang yang kuperoleh dengan susah payah.

Itu uangku sendiri.

"Arvian, delapan puluh miliar itu... itu bagian pribadiku."

"Aku sudah menginvestasikannya," katanya dengan nada sabar, seolah menjelaskan pada anak kecil.

Dengan suara tertawa perempuan di belakang, dia berkata, "Saham di kasino baru di Velladona. Anggap saja itu sebagai kompensasi untuk Selina."

"Permintaan maaf saja tidak cukup untuk apa yang kau lakukan, Elisa. Kau tahu itu."

"Tindakan ada konsekuensinya. Aku sudah membelamu berkali-kali, tapi kali ini kamu keterlaluan."

"Ini kesempatan bagimu untuk bersikap dewasa. Uang itu masih bekerja untuk keluarga. Kau seharusnya senang dong."

Aku terdiam, tapi yang paling terasa adalah betapa bodohnya kesetiaanku selama ini.

"Apa kau sudah lupa tentang hak kontrol pelabuhan dan jalur pencucian uang yang kubuka untuk keluarga?"

"Apa hakmu untuk menghamburkan uang yang sudah kuhasilkan?"

"Elisa." Suaranya turun menjadi bisikan rendah yang menguasai. "Tubuhmu, uangmu, bahkan pikiranmu, semuanya milikku. Apa kau sudah lupa itu?"

Lalu terdengar suara Selina, lembut dan menggoda. "Kalau tubuhku gimana? Kamu suka tidak?"

Arvian tertawa. "Luar biasa, tapi diam dulu. Aku sedang menenangkan istriku."

Aku menarik napas dalam-dalam, dan memaksa diri tetap tenang. "Kalau aku bilang aku juga hamil?"

Telepon mendadak hening beberapa detik.

Lalu suara Arvian terdengar lagi, disertai helaan napas panjang. "Elisa, sayang, aku tahu betapa kau menginginkan anak. Kita berdua menginginkannya. Tapi itu bukan alasan membuat kebohongan. Kamu harus istirahat."

"Kamu benar-benar sampai mengarang ini hanya demi uang?"

"Tapi kalau kamu memang sampai segitu putus asanya, ya sudah. Aku masih punya sedikit belas kasihan."

Sebuah notifikasi muncul di ponselku.

Transfer dua puluh juta. Bahkan tidak cukup untuk satu kali makan malam Selina.

Aku pun menutup telepon tanpa berkata apa-apa.

Tanganku gemetar saat merogoh tas, jemariku menggenggam alat tes kehamilan yang sudah kusembunyikan berhari-hari.

Dua garis merah muda yang jelas.

Aku selalu mengira tubuhku sudah rusak selamanya, setelah peluru yang seharusnya mengenainya justru merampas anak kami dan kemampuanku untuk mengandung.

Tapi mual yang kusangka flu minggu lalu berubah jadi kejutan yang tak pernah kubayangkan.

'Kalau yang dia inginkan hanya anak perempuan itu...' pikirku getir, maka aku akan membawa anakku sendiri dan pergi tanpa jejak.

Tak lama kemudian, aku mendapat telepon dari Selina.

Dia tertawa dengan penuh kepuasan. "Nyonya Elisa, kau tidak tahu, kan?"

"Malam kau menjalani operasi keguguran tiga tahun lalu, kau tahu di mana Arvian saat itu?"

Tangan yang memegang telepon mulai gemetar.

"Arvian bersamaku sepanjang hari. Dia membawaku berkeliling dengan kapal pribadinya, dan malamnya kami menonton cahaya kota dari helikopter."

"Oh, aku hampir lupa bilang, Arvian membelikanku helikopter merah muda untuk ulang tahunku."

"Mau gimana lagi? Arvian bilang dia memperlakukanku seperti seorang ratu."

Ponselku terlepas dari telapak tangan dan jatuh ke lantai.

Baru setelah Selina menceritakan semuanya, aku akhirnya mengerti.

Malam itu, saat aku terbaring sambil berdarah dan menahan rasa sakit di meja operasi, telepon Arvian tidak bisa dihubungi.

Saat dokter memberitahuku aku tak bisa menjadi ibu lagi, dia malah sedang menjanjikan helikopter untuk pembantunya.

"Kenapa tiba-tiba diam?" Suara Selina semakin menusuk. "Apa kau benar-benar mengira dirimu sepenting itu, Elisa?"

Aku ingin menutup telepon, tapi kemudian terdengar suara Arvian di latar. "Sayang, dengan siapa kau bicara? Ke sini."

Lalu terdengar suara Selina yang pura-pura polos. "Oh, aku hanya bicara sendiri, Arvian. Aku hanya penasaran..."

"Kalau Elisa sampai tahu apa yang terjadi tiga tahun lalu, aku harap dia tidak akan terlalu marah padamu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 8

    Pembunuhan Paman Vincent.Rahasia itu meledak di aula, dan menyebarkan gelombang kejutan baru ke hadapan semua orang.Arvian terjatuh ke lantai marmer, raut wajahnya penuh keputusasaan."Bagaimana kau bisa tahu tentang Paman Vincent?"Wajah Bos Arya memucat, tubuhnya bergetar."Vincent... adik kandungku... bagaimana bisa terjadi..."Willi menyeringai."Aku sudah memastikan para bos lain menerima informasi itu secara anonim.""Kau benar-benar pikir kejahatan mengkhianati keluarga sendiri bisa terkubur selamanya?""Catatan transfer di brankasmu, dan rekaman telepon dengan pembunuh bayaran... semuanya ada di sana."Mendengar itu, Arvian tiba-tiba kehilangan akal, dia melompat ke arah Selina yang sekarat, tangannya mencengkeram leher Selina."Ini semua karena kau, jalang! Kalau kau tidak mengancamku, bagaimana aku bisa ketahuan!""Aku akan membunuhmu!"Wajah Selina berubah menjadi ungu, tapi ia berhasil meraba pemotong cerutu yang jatuh di meja.Dengan sisa kekuatan terakhirnya, dia menusu

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 7

    "Aku tidak akan minta maaf!"Selina berdiri di atas panggung, air mata mengalir deras di pipinya sambil menggigit bibirnya, menolak untuk bicara."Arvian, kalau kau melakukan ini, bagaimana aku bisa menatap para Lima Keluarga lagi?"Tapi untuk menyelamatkan pencalonannya sendiri, Arvian mengabaikan permintaannya.Diberontak di hadapan para bos dari Lima Keluarga adalah pukulan fatal bagi otoritasnya."Apa yang kau katakan?" katanya sambil melangkah mendekat. "Aku sedang bicara padamu!"Arvian menarik Selina dengan kasar ke depan panggung, dan berusaha memaksa dia mengaku."Aku nggak mau!" teriak Selina. "Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!"Sebelum kata-kata itu keluar sepenuhnya, terdengar tamparan keras di aula.Plak!Selina terhuyung dan jatuh, pipinya langsung membengkak.Dia berusaha melindungi perutnya, menggunakan anak yang dikandungnya sebagai kartu terakhir."Arvian Mahendra! Kau berani memukulku di rapat Komisi! Anakmu ada di perutku, calon pewaris Keluarga Mahendra!"Para

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 6

    Begitu masuk ke aula Komisi, Arvian memulai pidatonya."Para hadirin, para bos. Aku di sini hari ini untuk mendapatkan kursi di Komisi, sebuah nominasi yang pantas didapat berkat kemenangan yang telah aku raih untuk Keluarga Mahendra.""Aku percaya seorang pemimpin sejati harus memiliki kecerdikan dan keberanian, kualitas yang kubuktikan ketika aku mengamankan hak kendali pelabuhan Metrovia untuk keluarga kami."Di kursi depan panggung duduk para bos dari lima keluarga, termasuk ayah Arvian, Bos Arya, dan bos dari Keluarga Mahendra saat ini.Pria tua itu menatap putranya dengan bangga luar biasa, jelas senang dengan pencalonan Arvian.Aku mulai bertepuk tangan perlahan dari kursi penonton."Bagus sekali!""Memikirkan bahwa pencapaian besar Tuan Arvian dibangun di atas plagiarisme. Sungguh mengesankan."Semua bos di ruangan menoleh padaku. Arvian menatapku dengan mata melotot, seolah memberi peringatan agar aku diam.Sekretaris rapat menangkap adanya kisah yang sedang terungkap, dan seg

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 5

    Tiga jam kemudian, pesawat mendarat di landasan udara pribadi di Luminara.Di tengah kerumunan, dan aku melihat Willi menungguku. Dia memegang seikat mawar putih.Lima tahun sudah berlalu, tapi pewaris dari Keluarga Valendra ini tetap tampan dan tenang."Selamat datang di Luminara, Elisa.""Akhirnya aku membawa pulangmu, Putri. Aku sudah lama menunggu hari ini."Aku menerima bunga itu. Angin meniup rambutku ke belakang, memperlihatkan memar di dahiku.Kedua tangan langsung Willi mengepal sampai urat-uratnya muncul."Dia berani memukulmu?"Dia menyentuh lukaku dengan lembut, tapi sorot matanya gelap dan tajam."Ayo. Dokter pribadiku menunggumu di kediaman. Kita periksa dulu."Semua orang tahu pewaris Keluarga Valendra menghilang misterius pada hari pernikahanku, tapi tak seorang pun tahu dia telah hidup menyendiri di Luminara selama lima tahun, menunggu aku kembali.Saat dia muncul kembali, Keluarga Valendra mulai bangkit lagi, dan hanya satu hal yang kurang, yaitu penasihat hukum utama

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 4

    Tanpa kusadari, aku sudah berdiri di depan gereja tempat kami menikah dulu.Lima tahun lalu, dia berdiri di panggung suci ini dan bersumpah akan mencintaiku seumur hidupnya.Betapa konyol kedengarannya sekarang.Aku mendorong pintu gereja.Tempat itu kosong, hanya beberapa lilin yang berkedip-kedip dalam kegelapan.Aku berlutut di bangku, tubuhku kelelahan karena berhari-hari tanpa tidur dan hampir roboh. Pandanganku menggelap sebelum akhirnya aku benar-benar tidak sadarkan diri.Pastur menemukanku dan meminta bantuan untuk membawaku ke klinik pribadi milik keluarga.Aku baru saja bangun, lalu berjalan keluar kamar dengan sempoyongan. Aku pun memutuskan memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari dokter dan memastikan keajaiban kecilku ini baik-baik saja.Lalu aku mendengar suara yang sangat familiar."Hati-hati, Sayang. Pelan-pelan."Arvian ada di sini.Dia sedang membantu Selina keluar dari ruangan dokter kandungan dengan penuh perhatian.Saat aku melewati meja perawat, bisikan pelan m

  • Patah Hati Jam 4 Pagi   Bab 3

    "Mungkin bakal marah." Suara Arvian terdengar penuh percaya diri dan santai."Untuk sementara. Tapi dia akan baik-baik saja, karena dia tidak bisa hidup tanpa aku."Suaranya penuh percaya diri, seolah ia memegang kendali sepenuhnya atas nasibku. "Elisa selalu patuh. Kali ini juga pasti sama."Aku pun menutup telepon dengan tenang, hatiku sudah hancur tak bersisa.Tapi dipikir-pikir lagi, dia memang benar.Lima tahun ini, aku sudah memaafkan setiap pengkhianatannya, dan setiap penghinaan yang dia timpakan padaku.Tapi kali ini berbeda.Aku masuk ke ruang kerja dan mulai mengumpulkan dokumen-dokumen legal yang harus dihancurkan sebelum aku pergi.Saat membuka salah satu laci meja, aku terhenti.Berkas tersegel itu hilang.Di dalamnya ada hasil kerja kerasku selama berbulan-bulan, dalamnya terdapat satu berkas penuh bukti yang merinci jalur penyelundupan dan skema penggelapan pajak keluarga rival.Dan hanya Arvian yang tahu sandi brankas pribadiku.Saat aku hendak menelpon untuk menanyaka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status