Share

BAB 4 : Sikap Yang Tak Biasa

Sungguh, rasanya dihadapkan pada sesuatu yang menakutkan dan mengerikan itu benar-benar menguras otak dan pikiran. Pagi hari sudah dihadapkan pada munculnya Zean, sekarang pulang sekolah lagi-lagi ia harus berhadapan dengan cowok itu. Menghindar adalah cara yang paling tepat.

"Gue ikut kalian," ujar Serena pada Kalina dan Sandra saat pulang sekolah.

"Lah, bukannya nggak diijinin sama Kak Ken?"

"Gue malanggar ijin," balasnya sambil merogoh ponselnya di dalam tas.

Mengirimi pesan pada Ken dan mengatakan kalau ia akan pulang telat.

"Kuyy ... cabut," ajaknya pada kedua sahabatnya setelah menonaktifkan ponselnya. Karena apa? Yakinlah kakaknya tercinta itu pasti bakalan ngamuk dan heboh meneleponnya. Jadi, cara yang paling aman agar kupingnya nggak panas, adalah dengan memasang mode silent di ponsel.

Keduanya memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Rasanya sudah lama ia tak menelusuri tempat ini. Ya, tepatnya saat dirinya dan kehidupannya berada di pengaturan Ken.

Ketiganya belanja sepuasnya. Ada untungnya ia kemarin menghubungi mamanya dan minta duit tanpa sepengetahuan Ken. Jadi, ia bisa menyalurkan hobby yang sempat mangalami pending.

Lupa waktu, lebih tepatnya sengaja ia lupakan. Nanggung kalau mau dapat omelan Ken.

"Pulang, yuk," ajak Kalina.

"Tapi gue nggak usah diantar, ya ... nggak apa naik taksi aja."

"Lah, kenapa?"

"Ntar Kak Ken liat dan kalian kena imbasnya," jawabnya. Kemudian melirik ke arah Kalina. "Lo mau Kalau dia marah sama lo?"

"Kagak lah," respon Kalina cepat.

Mengeluarkan ponsel dari dalam tas nya dan mengecek benda itu. Gila! Rentetan pesan dan panggilan tak terjawab membanjiri layar ponselnya. Hanya ada empat nama. Papanya, mamanya, Ken dan Zean.

"Astaga! Mereka niat sekali mengirimi gue pesan dan menelepon sampai berkali-kali begini."

"Kenapa?"

Belum ia menjawab pertanyaan Sandra, ponselnya langsung berdering. Lihatlah, kali ini orang yang tak ia harapkan justru yang pertama memanggilnya.

"Hallo," sahutnya.

"Kamu dimana? Ngapain pake pergi tanpa ijin? Kalau ada apa-apa gimana? Mau kamu, dijahatin orang di luaran sana? Bilang sama aku di mana posisimu, Serena?"

Bukannya menjawab, ia lebih memilih untuk memutus percakapan itu. Jujur, itu barusan rentetan pertanyaan macam apa bisa sepanjang jalan kenangan begitu.

"Siapa?" tanya Sandra bingung. Ditambah lagi dengan ekspressi muka Rena yang tampak tak baik-baik saja.

"Kak Zean," jawabnya.

"Dia kenapa?"

"Gue kaget lah. Nanyain keberadaan gue udah kayak apaan aja. Posisi, situasi, kondisi, de el el," terangnya.

"Aneh," respon Sandra.

"Banget. Apa dia mencatat semua pertanyaan itu di sebuah kertas, trus pas nanya dia pake konsep gitu."

"Atau ... kesambet, mungkin," tambah Kalina.

"Apa kepalanya kejedot?"

"Yang jelas bukan sakit perut, ya."

Kalina malah dapat tempelengan dari Sandra dan Serena. Tebakan yang melesat jauh.

"Jadi sekarang kuy lah kita pulang," ajak Rena.

Jadilah, ia sekarang pulang menggunakan taksi. Deg-deg'an? Duh, jangan ditanya lagi. Ini jantung seakan mau copot. Yang akan menunggunya di rumah bukan hanya Ken, tapi juga Zean. Ia belum kepikiran, hukuman apa yang kira-kira dipergunakan dua cowok itu padanya.

"Kakak udah pulang belum, ya," gumamnya sambil melirik dibalik pagar setelah turun dari taksi.

Perlahan ia buka pagar. Tapi saat masuk dengan cara mengendap-ngendap, ia justru malah dikagetkan dengan hadirnya pak satpam di depannya. Benar-benar nggak tahu situasi ini bapak.

"Pak! Kalau muncul, jangan tiba-tiba gitu dong. Kan aku kaget," berengutnya mengatur detakan jantungnya.

"Lah, si Non ngapain juga pake mengendap-endap gitu jalannya. Jangan bilang kalau Non Rena mau maling, ya?"

Ngeselin, nih, bapak-bapak. Udah ngagetin, sekarang malah bilang dirinya mau maling. Duh, kipas mana, nih, kipas. Tiba-tiba kepala berasa panas.

"Terserah Bapak mau ngomong apaan," keluhnya. "Btw Kakak di rumah nggak, Pak?"

"Lah, Aden bukannya pergi."

"Pergi?" Pasang wajah bingung. "Pergi kemana?"

"Nyusulin Tuan sama Nyonya."

"What?!" Seketika ia kaget. "Jangan bercanda deh, Pak."

"Dua rius, Non," respon Pak Satpam menunjukkan lima jarinya.

Hanya geleng-geleng saat mendengar kata dua rius yang diucapkan laki-laki paruh baya itu, tapi malah menunjukkan lima jari dihadapannya.

Kemudian melangkah cepat memasuki rumah. Oke, ternyata benar apa yang dikatakan Pak Stapam kalau Ken tak ada di rumah. Ini rumah benar-benar sepi. Tiba-tiba senyuman tersungging di bibirnya saat mengingat sesuatu.

"Itu artinya, gue bebas dong," gumamnya.

"Non kenapa?"

Aneh, ya. Tadi Pak satpam yang mengagetkannya. Sekarang malah bibik. Apa ia memang tak bisa dibiarkan untuk senang agak sebentar, ya.

"Aku mau ke kamar dulu," ujarnya.

"Oiya, Non ... tadi Den Zean ke sini. Bukan sekali, tapi udah bolak-balik beberapa kali nanyain Non Rena," terang bibik yang menghentikan langkahnya saat hendak menuju kamar.

"Masa?"

"Iya, Non."

Siapkan kuping yang tebal sajalah menghadapi dua makhluk tampan itu. Iya, sebagai cewek normal, ia akui kalau Zean memang tampan. Bahkan banyak yang bilang kalau dia dan Ken sodaraan, karena memiliki paras yang terlihat mirip. Tapi kalau menurutnya, persamaan kedua cowok itu malah lebih ke sikap mereka yang menyebalkan sampe ke tulang sum-sum.

Pengorbanan dan kesabarannya beberapa hari bersama Ken, sepertinya akan terbayar. Karena ia melupakan kalau Ken tak ada di rumah, itu artinya tak ada omelan.

Menghempaskan badannya di kasur. Kali ini tak ada yang membuatnya kesal. Tapi apa? Di saat yang bersamaan justru tetap saja ada menganggunya.

"Iya, sebentar!" teriaknya bangun dari tempat tidur dan berjalan malas menuju pintu. Ia tebak, ini pasti bibik yang bakalan memaksanya untuk makan.

Pintu terbuka.

"Apalagi, sih, Bik?" tanyanya langsung.

Bukan jawaban, apalagi bibik ... tapi seseorang yang kini tiba-tiba langsung memeluknya erat. Bahkan mendapatkan perlakuan seperti itu membuatnya seakan membeku. Oke, ini bukan saking dinginnya, justru malah hangat. Tapi, perlakuan yang tak biasa ini benar-benar membuatnya tak bisa berkata-kata.

Pelukan itu terlepas, tapi ia masih di posisi yang membingungkan.

"Kenapa pergi tanpa bilang padaku? Kamu berniat membuat cemas semua orang, ya? Atau justru sengaja membuat aku cemas?"

Serena menggeleng cepat, hingga mulutnya begitu susah untuk bicara.

"B-bukan begitu, Kak ... aku cuman pergi sama teman. Nggak ada niatan buat bikin semuanya panik." Ia sampai bicara dengan terbata-bata mendapatkan sikap tak biasa ini.

"Haruskah dengan cara tak menjawab panggilan telepon dan tak membalas pesan?"

Kali ini ia tak punya jawaban dan bantahan. Zean, kini cowok yang ia takutkan muncul dihadapannya.

"Kakak kenapa, sih? Kenapa sikapmu jadi begini padaku?"

"Perihal hati."

"Hah?"

"Karena kamu adalah adik dari sahabatku ... saat dia minta untuk menjagamu, tentu saja itu jadi sebuah tanggung jawab bagiku. Kamu pergi tanpa ijin dan sepengetahuanku ... apa menurutmu itu tak membuatku panik?"

Ia yang tak beres sepertinya. Saat Zean mengatakan 'perihal hati', otaknya justru langsung travelling memikirkan hal yang aneh-aneh.

"Maaf, Kak ... Kak Ken kemana, ya?" tanyanya mengubah topik pembicaraan. Padahal ia sudah tahu loh, kalau Ken pergi. Hanya saja agar Zean tak melulu membahas hal yang menjadikan dia begitu aneh.

"Nyusulin orang tua kamu. Ada surat penting yang harus diantar langsung," terang Zean.

"Hah? Serius? Duh, aku ditinggal dong. Hwaa ... sebagai kakak, dia benar-benar menyebalkan meninggalkan adiknya ini sendirian di negara ini. Aku kesal!"

Zean malah menatap tajam ke arah Rena. Dikira ia bisa dibohongi dengan sikap lebay itu. Begini-begini ia sudah jauh-jauh hari memantau sikap asli ini cewek.

"Sok sok'an kesal, padahal kamu senang, kan ... ditinggal," komentar Zean.

Serena berusaha menahan tawanya saat mendengar komentar Zean. Asli, ni cowok sekarang baiknya lagi kumat. Sepertinya nggak bakalan bikin ia kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status