Share

BAB 5 : Manisnya Sikap Zean

Harusnya ia tenang dan tidur dengan sangat nyenyak malam ini, tapi yang terjadi justru malah sebaliknya. Sikap dan perlakuan Zean tadi sukses membuatnya gelisah galau tapi tak sampai merana.

"Gue sepertinya tak sehat. Kenapa malah kepikiran terus sama Kak Zean. Apalagi adegan pelukan tadi, bikin otak gue yang biasanya hanya mikirin Glenn, jadi berpaling," gumamnya. Kemudian berteriak-teriak. "Glenn ... posisi lo jadi kalah sama Kak Zean!!!"

Seketika semuanya jadi gelap. Membuatnya bergidik ngeri.

"Bibik!!!!!" pekiknya langsung beranjak dari tempat tidur. Tanpa pikir panjang dan langsung berlari hingga tak sengaja malah menabrak dinding.

"Non ... Non Rena nggak apa-apa?" tanya bibik datang menghampirinya dengan sebuah lilin sebagai cahaya.

"Kenapa pake acara mati lampu, sih, Bik," ringisnya sambil mengusap-usap dahinya yang tampak memar karena menabrak dinding. Rasanya nyut-nyutan. Astaga! Untung nggak pingsan.

"Bibik juga nggak tahu, Non ... tapi tetangga masih pada nyala, kok, listriknya. Cuman rumah ini doang yang listriknya mati," terang Bibik.

Sebelum keluar, ia menyambar bantal dan kipas electrik miliknya. Kemudian menuju lantai bawah ... lebih tepatnya menunggu pak satpam memeriksa apa yang terjadi dengan per-listrikan di rumah ini. Udah cuaca sangat panas karena AC ikutan mati, gelap gulita. Hadehh ... penderitaan, nih.

"Maaf, Non ... sepertinya ada masalah dengan listriknya dan bapak nggak ngerti. Harus pihak PLN nya yang nanganin langsung," terang pak satpam menghampiri.

"Lah, trus gimana?"

"Ya ... mau nggak mau kita harus nunggu sampai besok, Non," jawab pak satpam.

"Pake genset aja, Pak," sarannya.

"Anu, Non ... Bapak nggak bisa nyalainnya."

Nggak bisa nyalain? Nikmat mana lagi yang ia abaikan. Merebahkan badannya di sofa pertanda kesal. Kemudian menghubungi Ken lewat telepon.

"Ya, Dek?"

"Kakak ... ini kenapa listriknya pada mati, sih," rengeknya.

"Maksudnya?"

"Listrik di rumah ini mati. Semuanya gelap. Sampai-sampai kepalaku kejedot. Sakit banget, tahu, nggak. Lain kali kalau mau pergi, itu ninggalin aku dalam posisi dan keadaan yang super nyaman dong." Langsung memberikan ocehan panjangnya pada Ken.

"Ya mana aku tahu kalau listriknya bakalan mati," respon Ken.

"Trus, gimana ini? Kebayang, kan, aku gelap-gelapan sampai pagi."

"Trus, sekarang kamu lagi di mana?"

"Ruang tamu," jawabnya. "Malah banyak nyamuk, panas, gelap. Atau, aku nginep di tempatnya Kalina aja kali, ya." Berharap banyak Ken akan memberikannya ijin. Lagian, ini situasinya mendesak.

"Nggak boleh kemana-mana," larang Ken. "Kamu itu cewek, jangan berpikir aku akan memberikan ijin untuk kamu keluar."

"Tapi, Kak ..."

Belum selesai ia bicara, Ken sudah menutup percakapan. Benar-benar membuat kesal kakaknya ini. Harusnya tadi yang ia hubungi adalah mamanya, entah kenapa ia malah menghubungi kakaknya.

"Gimana, Non?" tanya bibik.

"Apanya yang gimana, Bik ... malah disuruh nunggu aja sampai pagi," keluhnya.

"Trus, bibik gimana?"

"Bibik jangan kemana-mana, temenin aku di sini," pintanya.

Jadilah, ia hanya menunggu waktu bisa secepatnya berputar hingga pagi. Jujur, menunggu memang menyebalkan. Apalagi dengan nyamuk yang seolah mengambil kesempatan seperti ini untuk menyerangnya. Dahlah, sepertinya darahnya sudah mereka hisap satu literan.

Suara klakson mobil di depan pagar membuatnya sedikit berpikir, siapa yang datang malam-malam begini? Deru kendaraan itu memasuki area rumah, itu artinya pak satpam mengenal si pemilik mobil hingga memberikan akses masuk.

"Siapa yang datang, ya, Bik?"

"Nggak tahu, Non."

Ia yang tadinya tiduran, memilih bangun untuk mengecek siapa yang datang. Setidaknya di sini nggak terlalu gelap lah, karena ia sengaja meminta bibik untuk membuka lebar pintu utama agar cahaya dari luar jadi sedikit menerangkan.

Langkahnya terhenti saat mendapati siapa yang turun dari mobil dan menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa, kan?"

"Kak Zean!!" pekiknya langsung menghambur memeluk Zean yang seakan jadi dewa penolongnya.

Mendapat sambutan macam ini, benar-benar mengangetkan jantungnya. Hanya pelukan, tapi rasanya dia sangat dekat dengan posisi hatinya.

Renq melepaskan pelukannya pada Zean.

"Kakak tahu, aku sampai kejedot gara-gara kegelapan ini. Udaranya panas dan banyak nyamuk. Sekarang, kamu datang. Pasti bisa dong memperbaiki listrik nya?" Tersenyum penuh harap.

"Enggak," jawab Zean.

"Maksudnya?"

"Aku ke sini untuk menemanimu, bukan memperbaiki listrik."

Serena mengerucutkan bibirnya mendengarkan jawaban Zean. Padahal ia berharap cowok ini bisa memperbaiki listrik di rumah ini. Tapi ternyata hanya mau menemaninya.

Zean kembali menuju mobilnya dan mengambil sesuatu.

"Ayo masuk dan tidur," ajaknya menarik lengan Rena sekembali dari mobil.

Sampai di dalam, keduanya duduk di sofa. Seketika ia dibuat kaget karena Zean malah duduk di sampingnya. Tak hanya itu, ia bahkan sampai terpana dengan sikap cowok ini.

"Apa masih sakit?" tanya Zean sambil mengoleskan salep di dahi Serwna yang tampak membiru dengan hati-hati.

Tak ada jawaban dari pertanyaan yang ia berikan pada cewek ini. Malah menatapnya dengan begitu intens. Apa dia tak mendengar? Atau justru sedang memikirkan sesuatu.

"Ren?"

"Ah, i-iya, Kak. Apa?"

Pliss ... jangan sampai jantungnya berhenti berdetak. Sungguh, ia tak merasa baik-baik saja saat ini. Ini begitu aneh. Saat ada cogan di depan mata, apa yang kalian pikirkan?

"Masih sakit nggak?"

"Sedikit sakit pas disentuh."

Setelah selesai, barulah Zean berpindah tempat, duduk di kursi sebelahnya.

"Hufftt ... jantung gue," gumamnya bernapas lega.

"Maksudmu?"

"Ah, enggak ada, Kak," elaknya.

Ayolah ... ini bukan malam yang menyenangkan, dengan seorang cowok tampan sebagai penjaga sepanjang malam. Justru ditemani seperti ini malah semakin membuatnya tak bisa tidur.

"Tidur, Ren," suruh Zean lagi saat mendapati Serena dengan matanya yang masih melek. Ia merasa sedang dihadapkan pada sosok anak kecil.

"Panas, Kak. Kipasku juga udah mati, nih," gerutunya menunjukkan kipas elektrik miliknya yang sudah tak berfungsi.

"Buka saja bajumu biar nggak kepanasan," saran Zean.

Rena melempar Zean dengan bantal sofa. Yang benar saja dia memberikan saran seperti itu. Cowok memang semuanya sama, ya ... mode kalem ataupun bar-bar, tetap saja kalau berhubungan sama cewek, pasti pada mesum.

"Mesum," umpatnya kesal.

Zean mengambil sebuah buku yang ada di bawah meja. Kemudian menggunakan benda itu sebagai kipas. Apalagi kalau bukan mengipas si bocah ini agar tak terus mengoceh. Rasanya ingin ia sumpal mulut Rena dengan ... sudahlah.

"Tidur," suruhnya.

Rena tersenyum sumringah saat sikap Zean begitu manis. Dan, ia tak mau berharap banyak, karena sebentar lagi cowok ini juga pasti balik dengan sikap nyebelinnya.

"Kak Zean baik banget," ujarnya.

"Apa selama ini kamu berpikir aku orang yang jahat?" Menghentikan gerakan tangannya dan menatap dingin ke arah Rena.

"Enggak," jawab Rena. Kemudian hawa sejuk itu kembali menerpanya saat Zean mengipasnya lagi. "Tapi kamu itu nyebelin. Nyebelinnya sampe ke DNA."

"Lalu, cowok yang baik itu menurutmu seperti apa?"

"Tentu saja cowok yang membebaskanku dari yang namanya belajar," jawabnya langsung. "Simple, kan."

"Tak akan mendapatkan itu dariku."

"Aku juga tak berharap kalau kamu cowok yang ku maksud,," balasnya santai. "Yang benar saja aku menyukaimu, bisa-bisa otakku membengkak dengan semua peraturan belajarmu yang segunung itu."

"Kipas sendiri! Aku mau pulang saja."

Rena menyambar tangan Zean saat cowok itu berniat pergi. Yakali mau meninggalkannya sendirian. Bibik juga udah tidur.

"Kak Zean kenapa ngambekan gitu, sih."

"Siapa yang ngambek. Hanya saja aku ..." Zean tak melanjutkan perkataannya.

"Kenapa? Marah padaku, ya?"

Zean tak menjawab. "Sekarang, tidur," suruhnya lagi.

Sikap Zean benar-benar membuatnya bingung. Padahal jawabannya benar dan nggak kasar juga, tapi kenapa ini cowok malah terlihat begitu kesal. Seakan-akan apa yang ia bilang begitu salah bagi dia.

"Banyak nyamuk, Kak."

Zean menyandarkan punggungnya di sofa saat rengekan demi rengekan terus ia dengar dari Rena. Membuat ia semakin gregetan saja. Rasanya ingin ia ikat gadis ini di tiang dan menyumpal mulut cerewet dia dengan lakban.

"Tidur di kamar saja," saran Zean.

"Takut, panas dan gelap. Minta temenin sama Kak Zean sepertinya juga bukan cara yang aman. Nanti aku malah ..."

"Aku kesal tahu, nggak. Berasa pengin nyemplungin kamu ke kolam renang," umpatnya.

Serena diam. Yakali dirinya benar-benar dicemplungin malam-malam begini.

"Tidur di mobil saja. Gimana?"

"Itu lebih baik. Kenapa Kakak nggak nyaranin ini dari tadi, sih? Kan aku nggak harus berpanas-panasan, diserang sama nyamuk dan gelap-gelapan begini. Kuyy ... kita ke mobil," hebohnya bersemangat sambil menarik Zean menuju mobil.

Sampai di mobil Rena mulai meyandarkan badannya. Sungguh, ini bukan posisi yang menyenangkan untuk tidur. Sedangkan Zean berada di depan.

"Kak, pindah ke sini," pintanya.

"Aku nggak mau."

"Kak ..."

Rasanya ia ingin terjun bebas dari ketinggian 50 meter. Sungguh, adik dari sahabatnya ini membuat dirinya seakan tersiksa. Dan herannya ia malah tak tega untuk marah.

Zean pindah duduk ke kursi penumpang, lebih tepatnya di sebelah gadis itu.

"Apalagi?"

Langsung saja, saat Zean duduk ia malah tiduran dangan kedua paha cowok itu sebagai bantalan.

"Begini lebih nyaman. Rasanya seperti tidur dipangkuan Kak Ken," gumamnya seketika memasuki alam tidur. Hanya sekejap, mata itu langsung tertutup rapat.

Zean malah menahan senyumannya dengan sikap Serena. Menyentuh wajah yang tengah tertidur nyenyak di pangkuannya. Bahkan hanya memperhatikan dengan jarak yang begitu dekat, membuatnya merasa bahagia. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status