Lokasi : Vosges, bagian Timur Prancis Salju turun sejak subuh tadi, menutupi atap sebuah Mansion yang berdiri menyendiri di kaki pegunungan Vosges. Udara terasa dingin menggigit seperti pisau tipis yang tajam mengiris kulit. Namun di dalam ruang tamu yang remang-remang dengan sistem pemanasnya adalah sebuah perapian kayu tua, kehangatan itu terasa seperti pelukan lembut dari masa lalu. Masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Di ruangan itu, ada seorang pria paruh baya yang duduk sendiri di kursi berlengan kulit yang mengkilat. Ia mengenakan sweater biru tua dari wol kualitas terbaik serta celana panjang coklat muda. Meskipun usia yang tak lagi muda, namun keseluruhan sosoknya memperlihatkan guratan dada yang berotot namun halus, seolah dibentuk oleh waktu dan luka. Matanya yang tajam menatap ke luar sebuah jendela besar, mengamati salju yang jatuh perlahan seperti kenangan buruk yang enggan lenyap. Di tangannya ada secangkir teh hitam beraroma bergamot yang
Lokasi : NORD, sebuah ruangan bioskop pribadi. Ruangan gelap dengan aroma kayu dan kulit mewah menyelimuti area bioskop pribadi itu. Di layar lebar, sebuah film drama romantis mulai memasuki babak yang emosional. Aveline duduk di kursi besar berlapis beludru merah, dengan selimut wol tipis membungkus pahanya. Dominic duduk di sampingnya dengan tangan besarnya yang sejak tadi sama sekali tak bisa diam di tubuh istrinya. Pria itu mengacak rambut pirangnya, membelai lehernya, bahkan mencubit kecil sisi bagian dalam paha Aveline hanya untuk membuat istrinya itu menoleh ke arahnya. "Dominic," guman Aveline setengah tertawa seraya menipis jemari jahil itu. "Stop, aku mau nonton." "Hm. Aku juga menonton, Little Dove. Tontonan yang jauh lebih menarik yang ada di sebelahku," balas Dominic dengan suara rendah dan berat, serta bergema di ruang sunyi itu. Aveline menggeleng, menyembunyikan senyumnya di balik selimut. Namun tubuhnya tidak menjauh, karena hawa dari kehan
Hujan turun sejak sore tadi, menampar jendela apartemen Ezra dengan suara ritmis yang membuat malam terasa semakin berat. Lampu gantung di ruang tamu memancarkan cahaya kekuningan yang menciptakan bayangan panjang di dinding. Aroma kopi basi masih menggantung di udara, bercampur dengan wangi parfum Clarissa yang nyaris tak mampu menyamarkan keputusasaan yang menguar darinya. Clarissa duduk mematung di ujung sofa, mengenakan cardigan wol abu-abu yang tak sanggup menghangatkan tubuhnya yang gemetar. Matanya sembab, pipinya masih basah, dan jemarinya terus meremas lembaran surat tuntutan yang kini telah kusut. Angka-angka di sana seperti monster yang mencengkeram lehernya dan membuat napasnya tersendat. Ezra berdiri tak jauh darinya, satu tangan menyentuh pelipis, satu lagi menggenggam ponsel yang layarnya menyala. Menampilkan email-email berisi ancaman dari firma hukum yang tak asing lagi namanya. Ini pasti ulah Dominic. Dan tidak ada yang lebih menakutkan darip
Aveline menahan napas saat tali itu jatuh begitu saja dari bahu, menyisakan kulitnya yang halus terbuka lebar di bawah sorot mata Dominic yang kini berubah jauh lebih pekat. Dominic menundukkan wajah untuk mencium tulang selangka Aveline terlebih dulu, lalu turun perlahan ke lembah di antara dadanya yang lembut. Kecupannya tak terburu-buru, tapi ada ketertarikan yang begitu kuat di dalam setiap ciuman dan sentuhannya “Dominic...” suara Aveline terdengar seperti desahan, jemari lentiknya mencengkeram punggung pria itu, merasakan otot-otot yang menegang di bawah telapak tangannya. Dominic mengangkat wajahnya, dan Aveline bisa melihat bukan hanya hasrat di dalam pancaran mata suaminya, melainkan besarnya rasa cinta yang tak kan mampu terbendung. Tangan kokoh Dominic kemudian menyentuh paha Aveline, mengusapnya perlahan hingga terus ke atas, menyusuri kulit yang hangat dan bergetar di bawah sentuhannya. Jemarinya menyibak belahan gaun yang sudah terbuka sebagian, menyentuh ba
Dominic menatap istrinya yang kini bersandar manja di dadanya. Wajah Aveline masih menyisakan senyum jahil, namun bola mata birunya mulai berubah. Lebih lembut, dan ada sesuatu di dalam sana yang menggetarkan jiwa. Dominic mengangkat dagu Aveline dengan dua jarinya, memaksanya menatap langsung ke matanya. Sepuluh menit tanpa gadget, ya?” bisiknya dalam nada rendah dan serak.Aveline mengangguk pelan, lalu dengan sengaja menggerakkan jari-jarinya untuk menyentuh dada terbuka Dominic. Kulit suaminya itu terasa hangat dan halus, namun juga terasa liat karena otot-ototnya yang terlatih sempurna. “Bagaimana jika sekarang aku juga menginginkan semuanya?” bisik Aveline menggoda, seraya tertawa dalam hati ketika mendengar desah napas Dominic yang semakin berat serta sorot mata coklat pria itu yang menggelap. Dominic mengerutkan alisnya yang lebat, kemudian tersenyum samar. “Lalu apa kamu ingin merampasku juga, Nyonya Wolfe?” Alih-alih menjawab, perlahan Aveline menaiki tubuh su
Keesokan paginya, di kamar utama Superyacht NORD Cahaya matahari pagi menerobos melalui tirai tipis dan menyapa wajah Aveline yang sedang bersandar santai di atas ranjang super king. Jemarinya terlihat lincah menjelajahi layar ponsel. Sementara itu, Dominic duduk di sampingnya. Punggungnya bersandar pada sandaran kepala ranjang dengan pandangan fokus menatap layar laptop di pangkuannya. Sesekali terdengar suara ketikan pelan, mengisi keheningan pagi mereka yang terasa nyaman. Aveline melirik ke samping. Tatapannya seketika menelusuri garis rahang suaminya yang tegas, alis cokelat gelap yang sedikit berkerut, dan bibir tipisnya yang sesekali mengerucut serius. 'Suamiku sangat tampan...', pikirnya sambil tersenyum, namun beberapa detik kemudian bibirnya berubah merengut. 'Dan dia juga sangat sibuk. Menyebalkan.' Lalu sebuah ide jahil pun kemudian terlintas di benaknya. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, Aveline mengulurkan tangannya untuk menutup laptop Dominic. Kemudian