"Jadi kamu ingin membalas budi untuk semua kebaikanku, Aveline? Itu mudah, bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam." ---Dominic Wolfe *** Aveline Rose semula hanya ingin bertemu untuk mengucapkan terima kasih, kepada pria misterius yang selama ini telah mendonasikan uang untuk pendidikannya hingga kini Aveline telah lulus kuliah. Maka dengan hati yang tulus serta senyum yang lebar, ia pun menemui pria dermawan itu, tanpa mengetahui siapa sebenarnya jati dirinya. Dominic Wolfe, pria yang semula dikira memiliki hati malaikat karena telah menjadi sumber dana pendidikannya selama bertahun-tahun, tanpa Aveline sangka ternyata memiliki sikap kejam dan manipulatif. Ia membuat Aveline menjadi budak yang dipenjara di sebuah superyacht (kapal pesiar) mewah miliknya, dan harus siap setiap malam untuk melayani hasratnya. Namun di balik itu semua, tak ada yang tahu jika Dominic menyimpan luka yang dalam, luka yang menjadi alasan di balik donasi pendidikan serta obsesinya kepada Aveline. *** instagram @blackauroranovels
Lihat lebih banyakBerdiri di atas podium megah, dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri.
Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri. Tapi juga karena seseorang yang... bahkan hingga saat ini, saya tak tahu namanya. Seseorang yang entah dari mana telah membiayai seluruh pendidikan saya, hingga saya bisa berada di sini sebagai lulusan terbaik.” Ia menahan napas sejenak, menunduk lalu tersenyum kembali. “Kepada Anda, siapapun Anda... terima kasih karena telah mempercayai saya, seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan kecil yang tak memiliki apa pun, selain mimpi yang tinggi dan keinginan yang besar untuk belajar. Dan hari ini, satu mimpi saya telah tercapai, berkat Anda.” Ia menunduk untuk memberi hormat, lalu turun dari podium. Sorak sorai dan suara tepuk tangan kembali membahana saat semua berdiri untuk memberikan standing ovation. ... termasuk satu sosok misterius yang duduk di antara para tamu undangan. Pria itu duduk tenang di deretan belakang, dengan mengenakan setelan jas hitam yang mahal, kacamata hitam, serta masker wajah. Penampilannya tidak mencolok, namun auranya sungguh terasa berbeda. Tegap, tenang dan penuh wibawa. Saat Aveline tadi menyebut “seseorang yang tak tahu namanya”, bibir di balik masker itu pun seketika menyeringai. “Gadis kecil itu masih polos,” gumannya pelan. Ia pun ikut bertepuk tangan. Tak cukup keras, namun cukup untuk ikut dalam euforia kemenangan Aveline. Lalu tiba-tiba ia mendengar dua pria yang duduk di sebelahnya saling berbisik. “Wow, jadi itu yang namanya Aveline Rose, ya? Yang lulusan terbaik?” “Sangat cantik dan juga pintar, kan? Tapi sayang, dia bukan siapa-siapa, cuma anak miskin dari panti asuhan.” “Iya. Sangat disayangkan, ya? Kalau saja dia dari keluarga kaya, pasti sudah jadi rebutan.” Manik gelap pria bermasker itu seketika melempar lirikan ke arah mereka, dengan sorot yang dingin dan tajam seperti pisau. Namun tetap saja tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berdiri dengan perlahan, lalu berjalan meninggalkan ruangan auditorium itu dengan tanpa suara. Pintu mobil hitam mewah jenis Bentley itu telah terbuka sebelum pria itu mendekat, oleh sang supir mengenakan seragam rapi dengan topi khas sopir pribadi. “Selamat siang, Tuan Wolfe,” ucap sang sopir seraya mengangguk penuh hormat. Pria itu membuka masker dan kacamatanya. Masih tanpa kata, ia tersenyum kepada supirnya, lalu duduk di kursi belakang. Wajah yang muncul itu bagaikan pahatan sempurna... rahang tegas, hidung tinggi, mata coklat yang tajam dan dalam, serta ekspresi dingin penuh perhitungan. Dominic Wolfe. Pria yang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang disegani di Chicago, namun juga dermawan misterius yang tak banyak orang tahu keberadaannya. “Kita mau ke mana, Tuan?” tanya sang sopir. Dominic bersandar santai di kursi yang empuk, dan menatap ke luar jendela. Sebersit senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Pulang. Aku sedang menunggu tamu spesial yang akan segera datang.” *** Sementara itu Aveline yang baru saja turun dari panggung penuh dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Teman-temannya berebut untuk memeluk serta memberikan ucapan selamat, namun fokusnya tetiba teralih ketika ponselnya bergetar. 1 (satu) Pesan Masuk. Dari nomor tak dikenal. “Selamat atas kelulusanmu, Aveline Rose. Jika kamu masih ingin bertemu denganku, aku siap menerimamu malam ini. Aku kirimkan alamatnya, datanglah sendirian. -D” Aveline terbelalak. Maniknya yang sebiru laut tampak membesar, lalu buru-buru menutup layar ponselnya sambil menahan rasa ingin menjerit karena terlalu bahagia. “Oh my God... akhirnya!” bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Setelah tiga tahun ia selalu mencari, menanyakan kepada pihak kampus, bertanya kepada yayasan beasiswa, menyurati berbagai lembaga dan hasilnya selalu saja nihil. Sosok penolongnya terlalu rapi menyembunyikan jejak. Tapi kini... dia sendiri yang mengundang Aveline secara langsung! Aveline merasa dadanya nyaris meledak karena sangat gembira. Ia sering membayangkan sosok malaikatnya sebagai pria paruh baya yang bijaksana dan penuh senyum, atau wanita dewasa dengan aura keibuan dengan helai-helai rambut yang mulai memutih. Seseorang yang tak suka menonjolkan diri, penyayang, dan memiliki hati selembut sutra, namun sangat kaya raya. “Aku akan bertemu malaikatku malam ini...” bisiknya dengan kedua tangan terkepal erat, seakan tak sabar untuk menantikan malam agar segera tiba. *** Malam itu Aveline berdiri di depan sebuah Mansion megah bergaya klasik-modern di wilayah North Shore, kawasan elit di pinggiran Chicago. Ia tidak membawa apa pun selain seikat bunga mawar kuning yang harum, serta hati yang penuh dengan harapan. Semoga saja... pahlawannya menyukai bunga yang ia bawa. Pagar besi tinggi dan kokoh itu pun otomatis terbuka, setelah wajahnya dikenali oleh kamera keamanan. Seorang pria setengah baya membukakan pintu utama dan membawanya masuk tanpa banyak bicara, hanya memberi kode sopan. Langkah Aveline sedikit ragu, dan jantungnya semakin berdetak cepat. Gaun sederhana berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak begitu kontras dengan interior mewah Mansion itu: marmer hitam mengilat, chandelier kristal, tangga spiral berlapis emas. Akhirnya ia pun dibawa ke sebuah ruang tamu yang remang-remang namun hangat. Lalu... muncullah sosok pria itu dari balik bayangan. Mengenakan jas dan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka dan celana panjang abu gelap. Tanpa sepatah kata pun, ia menatap lurus ke arah Aveline. Aveline pun serta-merta menahan napas penuh keterkejutan. Itu... bukan pria paruh baya. Bukan juga pria tua bijak seperti bayangannya. Tapi... Seorang pria matang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya tinggi sekali. Dan sangat tampan. Juga... Dingin. Seolah dipenuhi oleh aura kekuasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya yang penuh otot maskulin. “Aveline Rose,” ucap Dominic pelan, namun tatapannya seolah berkata bahwa Aveline adalah miliknya. “Akhirnya kita bertemu.” ***“Aku masih tidak mengerti…” Aveline akhirnya bersuara dengan lirih, bahkan hampir tenggelam di antara semilir angin laut yang menerpa lembut wajah mereka. “Kenapa aku, Tuan? Dari sekian banyak wanita yang jauh lebih baik, cantik dan sempurna di luar sana, kenapa Anda malah menargetkanku?” Dominic yang sedang memutar gelas anggurnya perlahan, seketika menghentikan gerakannya. Jemarinya yang panjang dan kokoh kini menggenggam kaki gelas itu lebih erat. Ia mengangkat kepalanya, dan menatap Aveline tanpa berkedip sedetik pun. “Karena kamu adalah satu-satunya wanita di dunia ini, yang memiliki sesuatu yang sangat berharga untukku. Sesuatu, yang tidak akan pernah bisa dimiliki oleh wanita lain.” Aveline menatapnya dengan alis berkerut bingung dan tubuh yang perlahan condong ke depan seolah ingin mendekat. “Sesuatu yang berharga?” gadis bersurai coklat keemasan itu pun mengulang dengan suara ragu. “Apa maksud Anda? Aku bahkan tak memiliki apa-apa. Dan aku juga bukan siapa-si
Deru baling-baling helikopter mulai melambat, ketika akhirnya kendaraan udara itu mendarat mulus di atas geladak kapal pesiar yang luar biasa besar. Aveline, yang duduk diam di sisi Dominic sepanjang perjalanan, seketika membelalakkan mata saat melihat ke luar jendela. Kapal itu… lebih mirip istana yang terapung di lautan. Kilauan lampu-lampu hangat di sepanjang sisinya memantul di permukaan laut malam yang tenang. Struktur bertingkatnya menjulang anggun dengan garis desain modern, elegan, dan mahal. Aveline pun baru sadar jika yang ia lihat bukankah yacht biasa, melainkan superyacht! Ada kolam renang, bar terbuka, dan tempat berjemur serta bersantai di salah satu dek yang bisa ia lihat sekilas dari atas. Aveline bahkan nyaris lupa untuk bernapas saking terkesimanya. Helikopter itu belum sepenuhnya berhenti, ketika dua orang wanita berseragam putih khas staf kapal mulai membuka pintu."Selamat datang di NORD, Tuan Dominic dan Nona Aveline," ucap salah seorang wanita ser
Aveline kembali mencoba memutar gagang pintu kamar mewah itu untuk kesekian kalinya, tapi hasilnya tetap sama. Terkunci. Tak bergeming. Ia memukulnya dengan kepalan tangan, menendangnya kuat dengan kaki telanjang, hingga akhirnya tubuhnya pun limbung karena lelah yang menyerang. Sebelumnya, Dominic telah membopong tubuhnya dari ruang kerja ke dalam kamar ini dengan tiba-tiba, mengabaikan semua jeritan serta pukulan Aveline di tubuh pria itu. Meskipun berusaha sekuat tenaga meronta-ronta, namun Aveline tetap saja tidak bisa melepaskan dirinya dari cengkeraman Dominic, hingga akhirnya pria itu membawanya ke dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar tanpa berkata-kata. Udara di dalam ruangan ini begitu hening, seolah ikut menikmati penderitaannya. Padahal kamar ini terlalu indah untuk disebut sebagai kurungan. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal yang gemerlap, dinding putih berlapis panel kayu mengkilat, karpet lembut yang mahal, dan ranjang berkanopi denga
Ucapan dingin itu bagaikan palu godam yang menghantam Aveline. ((Bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam)) Napas gadis itu pun seketika tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk sejenak, sebelum kembali memukul dinding dadanya dengan ritme irama yang kacau. Aveline hanya bisa terdiam membeku untuk beberapa saat. Seolah tak percaya, dan tak sanggup mengerti dengan apa yang barusan saja ia dengar. “... A-apa?” bisiknya pelan dan hampir tak terdengar. Kakinya yang gemetar pun refleks membawa langkah mundur yang goyah. Tumit sepatunya berderit pelan di atas lantai marmer yang mengilap. Manik birunya melebar dan bibirnya terbuka, namun tak ada satu pun kata yang bisa keluar. Ia hanya bisa menatap Dominic dengan sorot tak percaya, bahwa pria itu baru saja menunjukkan wajah aslinya. Wajah seorang yang terlalu tenang untuk disebut manusia biasa, setelah mengucapkan kalimat kejam yang tak pernah Aveline bayangkan akan keluar dari bibir sosok malaikat y
Suara langkah mundur dari sepatu flat milik Aveline terdengar menggema dengan lembut di ruang tamu yang megah namun sunyi itu. Maniknya yang biru tak bisa berpaling dari sosok pria berjas hitam yang berdiri tak jauh darinya. Sorot mata pria itu tampak terlalu tajam untuk diabaikan, terlalu dalam untuk ditebak. Bahkan kini udara di dalam ruangan itu terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. Aveline membuka mulutnya, namun ternyata suaranya tak kunjung keluar. Ia harus memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak, meski kini lututnya terasa lemas dan jantungnya berdetak semakin cepat seperti ingin meloncat keluar dari dada. “Maaf,” ucap Aveline akhirnya, dengan suara pelan dan gugup. “Bolehkah aku... bertanya sesuatu?” Dominic Wolfe tak menjawab dengan kata. Ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah memberikan izin. Sorot mata coklatnya tetap menusuk, seakan mampu menembus langsung ke dalam pikiran Aveline. Gadis bersurai keemasan itu pun menelan ludah.. “Apakah... Anda
Berdiri di atas podium megah, dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri. Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri. Tapi juga karena seseorang yang... bahkan hingga saat ini
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen