(Cerita utk 21+) "Jadi kamu ingin membalas budi untuk semua kebaikanku, Aveline? Itu mudah, bayar saja dengan tubuhmu. Setiap hari. Setiap malam." ---Dominic Wolfe *** Aveline Rose semula hanya ingin bertemu untuk mengucapkan terima kasih, kepada pria misterius yang selama ini telah mendonasikan uang untuk pendidikannya hingga kini Aveline telah lulus kuliah. Maka dengan hati yang tulus serta senyum yang lebar, ia pun menemui pria dermawan itu, tanpa mengetahui siapa sebenarnya jati dirinya. Dominic Wolfe, pria yang semula dikira memiliki hati malaikat karena telah menjadi sumber dana pendidikannya selama bertahun-tahun, tanpa Aveline sangka ternyata memiliki sikap kejam dan manipulatif. Ia membuat Aveline menjadi budak yang dipenjara di sebuah superyacht (kapal pesiar) mewah miliknya, dan harus siap setiap malam untuk melayani hasratnya. Namun di balik itu semua, tak ada yang tahu jika Dominic menyimpan luka yang dalam, luka yang menjadi alasan di balik donasi pendidikan serta obsesinya kepada Aveline. *** visual tersedia di instagram @blackauroranovels
View MoreBerdiri di atas podium megah dengan latar belakang logo universitas bergengsi di Chicago, Aveline Rose mengangkat dagunya dengan percaya diri.
Cahaya lampu sorot menyinari gaun toga hitamnya yang menjuntai sempurna hingga mata kaki. Rambut pirang keemasannya yang disanggul sederhana tampak berkilau ketika terkena cahaya. Di tangannya ada sebuah mikrofon, dan di balik dadanya ada jantung yang berdetak cepat karena gugup dan haru. Ia baru saja menerima medali serta piagam penghargaan sebagai lulusan terbaik. Suara sorakan teman-teman seangkatannya serta tepuk tangan orang tua para mahasiswa terdengar menggema di aula. Namun sayangnya, Aveline tak memiliki satu pun keluarga di antara mereka. Dengan senyum yang tulus, ia pun mulai berbicara. Suaranya terdengar lembut namun tegas, seperti embusan angin musim semi yang mampu menyentuh relung hati. "Hari ini, saya berdiri di sini bukan hanya karena kerja keras saya sendiri... tapi juga karena seseorang yang bahkan hingga saat ini, saya pun tak tahu namanya. Seseorang yang telah membiayai seluruh pendidikan saya, hingga akhirnya saya bisa berada di sini sebagai lulusan terbaik.” Ia menahan napas sejenak, menunduk lalu tersenyum kembali. “Kepada siapapun Anda... terima kasih karena telah mempercayai saya, seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan kecil yang tak memiliki apa pun, selain mimpi yang tinggi dan keinginan yang besar untuk belajar. Dan hari ini, satu mimpi saya telah tercapai... berkat Anda.” Ia menunduk untuk memberi hormat, lalu turun dari podium. Sorak sorai dan suara tepuk tangan kembali membahana saat semua berdiri untuk memberikan standing ovation. ... termasuk satu sosok misterius yang duduk di antara para tamu undangan. Pria itu duduk tenang di deretan belakang, dengan mengenakan setelan jas gelap yang tampak mahal, kacamata hitam, serta masker yang menutupi wajahnya. Penampilannya tidak mencolok, namun auranya sungguh terasa berbeda. Tegap, tenang dan penuh wibawa. Saat Aveline tadi menyebut “seseorang yang tak tahu namanya”, bibir di balik masker itu pun seketika menyeringai. “Gadis kecil itu masih polos,” gumannya pelan. Ia pun ikut bertepuk tangan. Tak cukup keras, namun cukup untuk ikut dalam euforia kemenangan Aveline. Lalu tiba-tiba ia mendengar dua pria yang duduk di sebelahnya saling berbisik. “Wow, jadi itu yang namanya Aveline Rose, ya? Yang lulusan terbaik?” “Sangat cantik dan juga pintar, kan? Tapi sayang, dia bukan siapa-siapa, cuma anak miskin dari panti asuhan.” “Iya. Sangat disayangkan, ya? Kalau saja dia dari keluarga kaya, pasti sudah jadi rebutan.” Manik gelap pria bermasker itu seketika melempar lirikan ke arah mereka, dengan sorot yang dingin dan tajam seperti pisau. Namun tetap saja tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya berdiri dengan perlahan, lalu berjalan meninggalkan ruangan auditorium itu dengan tanpa suara. Pintu mobil hitam mewah jenis Bentley itu telah terbuka sebelum pria itu mendekat, oleh sang supir mengenakan seragam rapi dengan topi khas sopir pribadi. “Selamat siang, Tuan Wolfe,” ucap sang sopir seraya mengangguk penuh hormat. Pria itu membuka masker dan kacamatanya. Masih tanpa kata, ia tersenyum kepada supirnya, lalu duduk di kursi belakang. Wajah yang muncul itu bagaikan pahatan sempurna... rahang tegas, hidung tinggi, mata coklat yang tajam dan dalam, serta ekspresi dingin penuh perhitungan. Dominic Wolfe. Pria yang dikenal sebagai salah satu pengusaha yang disegani di Chicago, namun juga dermawan misterius yang tak banyak orang tahu keberadaannya. “Kita mau ke mana, Tuan?” tanya sang sopir. Dominic bersandar santai di kursi yang empuk, dan menatap ke luar jendela. Sebersit senyum dingin muncul di sudut bibirnya. “Pulang. Aku sedang menunggu tamu spesial yang akan segera datang.” *** Sementara itu Aveline yang baru saja turun dari panggung penuh dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Teman-temannya berebut untuk memeluk serta memberikan ucapan selamat, namun fokusnya tetiba teralih ketika ponselnya bergetar. 1 (satu) Pesan Masuk. Dari nomor tak dikenal. “Selamat atas kelulusanmu, Aveline Rose. Jika kamu masih ingin bertemu denganku, aku siap menerimamu malam ini. Aku kirimkan alamatnya, datanglah sendirian. -D” Aveline terbelalak. Maniknya yang sebiru laut tampak membesar, lalu buru-buru menutup layar ponselnya sambil menahan rasa ingin menjerit karena terlalu bahagia. “Oh my God... akhirnya!” bisiknya dengan mata berkaca-kaca. Setelah tiga tahun ia selalu mencari, menanyakan kepada pihak kampus, bertanya kepada yayasan beasiswa, menyurati berbagai lembaga dan hasilnya selalu saja nihil. Sosok penolongnya terlalu rapi menyembunyikan jejak. Tapi kini... dia sendiri yang mengundang Aveline secara langsung! Aveline merasa dadanya nyaris meledak karena sangat gembira. Ia sering membayangkan sosok malaikatnya sebagai pria paruh baya yang bijaksana dan penuh senyum, atau wanita dewasa dengan aura keibuan dengan helai-helai rambut yang mulai memutih. Seseorang yang tak suka menonjolkan diri, penyayang, dan memiliki hati selembut sutra, namun sangat kaya raya. “Aku akan bertemu malaikatku malam ini...” bisiknya dengan kedua tangan terkepal erat, seakan tak sabar untuk menantikan malam agar segera tiba. *** Malam itu Aveline berdiri di depan sebuah Mansion megah bergaya klasik-modern di wilayah North Shore, kawasan elit di pinggiran Chicago. Ia tidak membawa apa pun selain seikat bunga mawar kuning yang harum, serta hati yang penuh dengan harapan. Semoga saja... pahlawannya menyukai bunga yang ia bawa. Pagar besi tinggi dan kokoh itu pun otomatis terbuka, setelah wajahnya dikenali oleh kamera keamanan. Seorang pria setengah baya membukakan pintu utama dan membawanya masuk tanpa banyak bicara, hanya memberi kode sopan. Langkah Aveline sedikit ragu, dan jantungnya semakin berdetak cepat. Gaun sederhana berwarna putih tulang yang dikenakannya tampak begitu kontras dengan interior mewah Mansion itu: marmer hitam mengilat, chandelier kristal, tangga spiral berlapis emas. Akhirnya ia pun dibawa ke sebuah ruang tamu yang remang-remang namun hangat. Lalu... muncullah sosok pria itu dari balik bayangan. Mengenakan jas dan kemeja hitam dengan kancing bagian atas terbuka dan celana panjang abu gelap. Tanpa sepatah kata pun, ia menatap lurus ke arah Aveline. Aveline pun serta-merta menahan napas penuh keterkejutan. Itu... bukan pria paruh baya. Bukan juga pria tua bijak seperti bayangannya. Tapi... Seorang pria matang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya tinggi sekali. Dan sangat tampan. Juga... Dingin. Seolah dipenuhi oleh aura kekuasaan yang menyelimuti seluruh tubuhnya yang penuh otot maskulin. “Aveline Rose,” ucap Dominic pelan, namun tatapannya seolah berkata bahwa Aveline adalah miliknya. “Akhirnya kita bertemu.” *** Halo. Selamat datang di buku baruku 🎀 yang mau lihat visual Aveline dan Dominic, silahkan bertandang ke i* blackauroranovels ya ❤️Dominic menutup telepon dari Devon dengan napas panjang. Ia masih menatap layar laptopnya, email dari Edgar terpampang jelas. Tidak ada keraguan lagi, hasil tes DNA menunjukkan kecocokan 98,54%. Lucien Deveraux memang ayah kandung Aveline. Perlahan, Dominic berdiri dari kursi kerjanya dan berjalan ke arah master bedroom. Saat ini mereka menginap di sebuah hotel di kawasan Vesgos.Aveline sedang duduk di tepi ranjang memandangi ponsel. Saat mendengar langkah kaki suaminya, ia pun menoleh perlahan. “Hei. Ada apa?” tanyanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu terlihat berbeda.” Dominic duduk di sampingnya seraya mengecup tangan Aveline dengan lembut. “Aveline,” ujarnya perlahan. “Aku baru saja menerima hasilnya. Tes DNA-mu dan Lucien Deveraux…” Aveline menahan napas dan tubuhnya menegang. Mata birunya menatap Dominic penuh harap dan juga ketakutan. “…kecocokannya adalah 98,54%. Dia ayah kandungmu.” Dalam sekejap, air mata Aveline mengalir tanpa bisa ia cegah. Isak
Langit senja menggantung di balik jendela kaca. Suara deru angin dari luar bersahutan dengan derit halus kursi yang ia duduki. Di meja depannya, ada segelas espresso yang mulai dingin tetap tak tersentuh sejak sepuluh menit lalu. Di dalam genggaman tangan kirinya ada sebuah ponsel, dengan layarnya terpampang sebuah nama, Devon. Dominic menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelipisnya sejenak. “Apa media sudah tenang?” tanyanya. “Sudah,” jawab Devon di seberang sana dengan suaranya yang tenang tapi tegas. “Kredibilitas Clarissa diruntuhkan dengan perlahan. Aku pribadi mengatur satu sesi khusus dengan manajer editorial Le Monde de Paris. Selebihnya, tim hukum kita akan menyebarkan data medis dan laporan polisi yang menunjukkan bahwa kecelakaan Clarissa sepenuhnya adalah akibat kelalaian sopir. Nama Ayah pun telah dibersihkan.” Dominic menghela napas lega dan mengangguk, meskipun Devon tak bisa melihatnya. Kakak tirinya ini memang selalu bisa ia andalkan. “Terim
Langkah kaki Aveline bergema lembut di lantai marmer lorong rumah sakit, saat ia dan Dominic berjalan menuju parkiran VIP. Udara malam terasa dingin, dan pikirannya masih belum lepas dari tatapan tajam Clarissa yang tadi sempat ia tangkap sebelum keluar dari ruang rawat. “Dia kelihatannya sangat membenciku,” ujar Aveline akhirnya, memecah keheningan. “Hiraukan saja,” Dominic menyahut tenang seraya menekan tombol kunci mobil dari kejauhan. “Kita tidak akan pernah bisa mengatur perasaan orang lain terhadap kita. Selama dia tidak bertindak sembrono atau sengaja ingin menjatuhkan." Baru saja mereka melewati pilar besar di depan gedung rumah sakit, tiba-tiba seorang anak kecil dengan hoodie biru mendekati Aveline. Tanpa berkata apa-apa, anak itu menarik ujung mantelnya dan menyodorkan secarik kertas yang terlipat kecil. “Eh?” Aveline spontan menunduk. “Apa ini untukku?” Anak itu hanya mengangguk pelan, lalu berlari seperti angin yang kencang sebelum sempat Aveline bertan
Di dalam pesawat pribadi dengan kabin mewah berlapis kulit putih gading dan detail emas, sepasang suami-istri itu pun duduk berdampingan. Dominic menggenggam tangan Aveline, lali mencium punggung tangannya dengan lembut. "Aveline." "Hm?" "Apa pun yang menunggu kita di Prancis... Clarissa, polisi, media. Tolong jangan pernah ragu padaku." Aveline menatap suaminya dalam-dalam, lalu menyandarkan diri ke bahu kokoh itu. "Aku tidak akan pernah ragu. Tapi, aku mungkin akan tetap menggoda kalau ada yang memanggilmu 'Ayahku'." Dominic menoleh, menatap tajam istrinya yang masih saja memggodanya. "Jangan buat aku mencium bibirmu keras-keras di depan pilot." Aveline mengedikkan bahunya, lalu berjata pelan namun menantang, "Silakan." Dan di detik berikutnya, kursi pesawat itu pin menjadi saksi betapa seriusnya Dominic menanggapi sebuah tantangan di depannya. *** Begitu roda pesawat menyentuh landasan bandara kecil di Vesgos, Dominic langsung berdiri dari kursinya. Aveline ya
Lokasi : Bandara Internasional Pau Pyrénées Desing baling-baling helikopter terdengar mengeras saat rotor perlahan melambat. Helikopter hitam matte dengan logo La Maison du Nord itu mendarat mulus di lapangan helipad khusus milik Bandara Internasional Pau Pyrénées, gerbang terdekat menuju wilayah Vesgos di barat daya Prancis. Angin dari baling-baling mengacak rambut pirang Aveline yang kini ditata rapi dalam ponytail, membuat beberapa helai melambai liar sebelum Dominic mengulurkan tangannya, membenahi rambut istrinya dengan lembut. "Pegangan." Suara Dominic terdengar pelan di tengah bisingnya mesin yang masih menggerung. Ia membantu Aveline turun dari helikopter terlebih dahulu, lalu menyusul dengan langkah tenang dan penuh kontrol. Tiga mobil hitam Mercedes Benz V-Class menanti mereka di sisi landasan, diiringi petugas berseragam khusus dari bagian penerbangan privat. Tas dan koper mereka langsung ditangani staf, dan Dominic tetap setia berjalan di sisi Aveline, tidak sed
Pagi itu di NORD, suasana yang biasanya damai berubah tegang. Dominic Wolfe baru saja selesai melakukan panggilan kerja di ruang komunikasinya, ketika layar laptopnya menampilkan sebuah e-mail resmi dengan lambang Police Nationale – République Française (Kepolisian Negara Republik Perancis). Judulnya singkat tetapi memuat beban yang tidak bisa disepelekan: Convocation Officielle : Témoignage dans une enquête criminelle – Accident Mortel Vosges Dominic membaca dengan cepat. Email itu berisi panggilan resmi dari kepolisian Prancis, meminta kehadirannya untuk memberikan keterangan terkait kecelakaan mobil yang menewaskan Ezra Blaine. Nama Clarissa Blaine tercantum jelas di dokumen itu sebagai saksi sekaligus pihak yang menuduhnya terlibat dalam insiden tersebut. Sebelum Dominic menutup laptop, pintu ruang kerjanya tetiba terbuka dari luar. Aveline muncul dengan membawa dua cangkir teh. Senyumnya yang biasanya menenangkan, mendadak memudar saat melihat ekspresi suaminya. “Domi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments