eaa langsung dijebak buat nikah deh tuh kan ( ꈍᴗꈍ) bisa aja Dominic 🫶
Baru saja Dominic berniat menyergap bibir Aveline yang menggiurkan, tiba-tiba ponselnya yang diletakkan di samping botol air tiba-tiba berdering nyaring. Layarnya menunjukkan sebuah panggilan video masuk dari ibunya. Dominic mendengus, separuh kesal karena momen intim mereka terpotong. Tapi ia tetap menjawab dan menegakkan tubuhnya, menyambungkan panggilan ke layar lebar yang terpasang di dinding gym. Sedetik kemudian wajah kedua orangtuanya muncul di layar. Ayah Dominic yang mengenakan sweater rajut dan terlihat lebih sehat, serta ibunya yang duduk di sampingnya di balkon apartemen mereka di Swiss, dengan latar pegunungan Alpen yang membentang indah. "Hey, pria besar dan keras kepala!” sapa ibunya ceria. “Dan halo menantuku yang cantik!” Aveline tersenyum seraya melambaikan tangan. “Halo, Ibu. Ayah.” “Aku melihat perubahan besar di wajah Dominic,” ujar ibunya sambil tersenyum hangat. “Dia kelihatan lebih bahagia dan hidup.” Ayah Dominic terkekeh pelan. “Mungkin kar
Udara pagi di NORD terasa segar, sejuk dengan aroma khas hutan pinus yang membungkus bangunan kaca tempat gym terbuka itu berada. Sinar matahari menerobos langit-langit transparan, menari di atas permukaan baja peralatan gym, menciptakan refleksi keemasan yang hangat di lantai kayu yang bersih. Dominic Wolfe mengenakan kaus berwarna abu gelap yang melekat sempurna di tubuh kekarnya. Celana training hitam membingkai kakinya yang kokoh saat ia berbaring di bangku, mengangkat barbel baja seberat lebih dari tubuh manusia biasa. Setiap gerakan ototnya terukur, tegang, dan penuh kendali. Tapi bukanlah beban yang membuat dahinya berkerut dalam konsentrasi penuh, melainkan sosok perempuan yang berlari di atas treadmill tidak jauh darinya. Aveline. Keringat membasahi pelipis dan tengkuk istrinya, tapi ia tetap saja terlihat sangat menawan. Rambut pirangnya diikat tinggi, dan tubuhnya yang ramping terus bergerak dengan mantap di atas mesin. Namun manik coklat gelap Dominic yang ta
Aveline menggigit bibir, dan matanya mulai berkaca-kaca karena hasrat yang mulai perlahan menyala di dalam dirinya, bukan karena tangis. Dominic tahu itu, dan ia menyukai bagaimana istrinya meleleh di bawah sentuhannya. Bagaimana sensualnya tubuh gemetar Aveline yang membuatnya merasa dibutuhkan dan diinginkan. Dominic lalu mengangkat Aveline dan kembali membaringkannya perlahan di tempat tidur yang luas. Lampu kamar yang berpendar membuat bayangan tubuh mereka menari di dinding kaca superyacht yang menghadap laut lepas. Ciumannya yang lembut kini berubah dalam dan menggoda, dan jemari Dominic menjelajahi dadanya dengan perlahan namun penuh tuntutan. Sementara Aveline memejamkan mata, menyerahkan dirinya pada pria yang selalu tahu bagaimana membuatnya merasa aman, dan juga terbakar dalam waktu yang sama. “Biarkan aku yang menyembuhkanmu malam ini…” bisik Dominic lembut, sebelum bibirnya berpindah untuk menyesap rakus puncak dada Aveline yang semula ia sentuh dengan jar
Saat malam turun semakin pekat, Aveline pun mengeluarkan suara erangan lirih dalam tidurnya. Keningnya berkerut dalam, tubuhnya bergeraklah dengan gelisah. Ia sedang bermimpi ada kabut putih yang menelannya, serta suara lembut seorang wanita yang memanggilnya dari kejauhan. "Aveline… Aveline..." Ia menoleh, dan samar-samar melihat sosok perempuan tak dikenal yang berdiri di bawah pohon besar. Wanita itu tersenyum hangat, namun anehnya senyum itu terasa mengiris hatinya. "Aveline, kemarilah…" Tanpa sadar, kaki Aveline pun mulai bergerak untuk berlari menghampirinya. Tapi tiba-tiba saja, tanah yang diinjaknya pun runtuh dan tubuhnya pun terjatuh, terjun ke dalam air yang sedingin es. Serta-merta Aveline menjerit, namun anehnya tak terdengar satu suara pun yang keluar dari bibirnya. Tubuhnya tenggelam semakin dalam dan air dingin yang tajam mulai memasuki paru-parunya. Ia kembali mencoba untuk menggapai permukaan, tapi ia tetap saja tak bisa bernapas. “Aaaakh!”
Langit di luar jendela kaca kapal NORD membentang biru pucat, tenang tanpa awan. Laut tampak seperti kaca luas yang memantulkan cahaya mentari sore. Di dalam salah satu ruang santai pribadi kapal, Dominic Wolfe duduk di kursi berlengan yang menghadap ke laut, mengenakan kemeja hitam dengan celana abu gelap. Ada sebuah buku tebal yang terbuka di tangannya, dan jemarinya sesekali menyusuri setiap halaman seperti tengah mencari sesuatu yang tersembunyi di balik kata-kata. Sementara itu, Aveline terlihat rebahan santai di sofa panjang dengan selimut lembut yang menyelimuti kakinya. Ia sibuk mengutak-atik ponselnya, membuka video-video pendek yang muncul tanpa henti. Sesekali ia tersenyum kecil atau mengangkat alis karena hal-hal lucu atau aneh yang lewat di layar. Selama beberapa saat, yang terdengar hanya suara desiran pendingin udara dan gemuruh pelan mesin kapal dari kejauhan. Lalu tiba-tiba saja Dominic menutup bukunya perlahan, setelah menyisipkan pembatas pada hal
Lokasi : Vosges, bagian Timur Prancis Salju turun sejak subuh tadi, menutupi atap sebuah Mansion yang berdiri menyendiri di kaki pegunungan Vosges. Udara terasa dingin menggigit seperti pisau tipis yang tajam mengiris kulit. Namun di dalam ruang tamu yang remang-remang dengan sistem pemanasnya adalah sebuah perapian kayu tua, kehangatan itu terasa seperti pelukan lembut dari masa lalu. Masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Di ruangan itu, ada seorang pria paruh baya yang duduk sendiri di kursi berlengan kulit yang mengkilat. Ia mengenakan sweater biru tua dari wol kualitas terbaik serta celana panjang coklat muda. Meskipun usia yang tak lagi muda, namun keseluruhan sosoknya memperlihatkan guratan dada yang berotot namun halus, seolah dibentuk oleh waktu dan luka. Matanya yang tajam menatap ke luar sebuah jendela besar, mengamati salju yang jatuh perlahan seperti kenangan buruk yang enggan lenyap. Di tangannya ada secangkir teh hitam beraroma bergamot yang m