makasih buat yg masih baca. semoga kalian semua sehat dan bahagia 🤍🤍🤍
Matahari telah tenggelam saat Dominic dan Aveline kembali ke Mansion. Tubuh mereka lebih segar dan rileks. Aroma mawar dan melati masih melekat di kulit mereka setelah spa. Dominic menggenggam tangan Aveline saat mereka memasuki kamar yang kini dipenuhi cahaya lilin serta taburan kelopak bunga mawar kuning segar di sepanjang lantai marmer. Aveline tertawa pelan. “Ya ampun. Kamu menyiapkan ini juga??” Dominic menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Aku ingin kamu tahu, bahwa kamu bukan hanya sekedar istriku. Tapi kamu adalah semua hal yang selalu aku panjatkan dalam setiap doa.” Aveline tak mampu menahan senyumnya. “Kenapa kamu selalu tahu kata-kata yang membuatku jatuh cinta lagi dan lagi?” Dominic mendekat, mengangkat jemari Aveline dan menyentuh bibirnya dengan kecupan lembut. “Karena setiap hari adalah kesempatan bagiku untuk membuatmu jatuh cinta, dengan pria yang akhirnya tahu caranya mencintai.” Ia lalu membuka pintu balkon lebar-lebar, memperlihatkan meja makan
Langit Portofino hari itu berwarna biru terang, dengan angin musim panas yang menari pelan di antara dedaunan bougainvillea. Aveline mengenakan gaun putih selutut dengan kacamata hitam di atas kepala dan sandal kulit tipis, tampak santai tapi tetap anggun saat menyusuri lorong butik antik di pusat kota kecil. Zeus, macan kumbang hitam besar yang kini telah resmi menjadi penjaga pribadinya, sedang duduk tenang di luar toko. Namun matanya yang kuning tetap awas seperti biasa. Aveline sedang memandangi deretan rak berisi parfum home-made lokal, ketika sebuah perasaan aneh tiba-tiba saja menyelusup di tengkuknya. Tubuhnya pun sontak menegang, terutama saat menyadari bahwa Zeus sudah tidak ada di tempatnya. "Zeus...?" Aveline pun buru-buru keluar dari toko dan menatap ke sekeliling. Jalanan terlihat sepi. Tidak ada Zeus, dan tidak ada siapa pun yang ia kenali. Lalu saat itulah perasaan aneh itu datang. Seperti... ada sepasang mata yang memandangi punggungnya. Aveline
Sudah lewat tengah malam di kastil tua itu, namun Dominic masih terjaga. Ia berdiri di balkon kamar, setelah memastikan Aveline tertidur dengan pulas dan hangat dengan selimut yang nyaman serta usapan lembut di ubun-ubunnya. Istrinya akan lebih cepat tertidur saat Dominic membelainya seperti itu. Saat ini ia masih mengenakan setelan hitam dengan kancing yang separuh dilepas, serta dasi yang tergantung longgar di lehernya. Di tangannya ada selembar koran bisnis internasional yang baru saja dikirim langsung oleh kurir khusus. Halaman utamanya memuat sebuah tajuk besar: "Ezra Blaine Menggelar Pameran Amal Global untuk Menyorot Etika Bisnis Industri Internasional" Tapi bukan itu yang membuat rahangnya mengeras karena geram, melainkan kutipan langsung dari Ezra yang dicetak dalam kolom editorial: "Dunia korporat bukan hanya soal keuntungan. Ini tentang moralitas. Dan kita harus bertanya, apakah mereka yang pernah mengorbankan nyawa demi posisi... pantas memimpin industri
Di sudut ruang kerja mewah dengan interior kayu mahoni tua dan lukisan klasik tergantung di dinding, Ezra Blaine berdiri di depan jendela kaca besar dengan tatapan gelap. Tangannya mengepal di belakang punggung. Di meja kerjanya, sebuah tablet menyala, menampilkan headline: "Pernikahan Privat Dominic Wolfe dan Aveline Rose di Kastil Tertutup – Cinta di Tengah Kontroversi Warisan Blaine?" Wajah Ezra memucat. Matanya menyala oleh amarah yang ditahan terlalu lama. Seorang asistennya masuk dengan gugup. “Tuan Blaine, saya telah mengecek semua jalur media. Bocornya info itu tidak berasal dari pihak internal kami.” Ezra menoleh perlahan. “Tutup semua kontak dengan media. Hentikan segala hubungan eksternal dengan Wolfe Industries. Mulai dari sekarang, mereka adalah entitas musuh.” Asisten itu menelan ludah. “Apakah... Anda ingin kami mengirimkan pesan ulang kepada Dominic Wolfe untuk... negosiasi ulang?” Ezra mendesis. “Negosiasi...?” Tangannya menghempaskan gelas kristal ke l
Langit malam di atas kastil pribadi yang sunyi itu diselimuti bintang-bintang yang bersinar. Sambil menggenggam erat tangan Aveline, Dominic membuka pintu kamar yang malam ini akan menjadi kamar pengantin mereka. Dinding batu krem berpadu dengan nuansa lilin aromaterapi serta kelopak mawar di lantai, menciptakan suasana yang hangat dan menggetarkan. Aveline masih mengenakan gaun elegan dari satin putih, rambut pirangnya disanggul ringan dengan beberapa helaian yang terlepas dengan manis, menambah kesan lembut serta menggoda. Dominic yang kini tengah berdiri di ambang pintu pun menatapnya dalam-dalam. “Malam ini terlalu indah untuk dilewatkan dengan hanya tidur,” gumannya, dengan suara rendah dan serak. Aveline tersenyum kecil. “Memangnya kamu tidak lelah?" Jari Dominic terulur untuk menyentuh pipi Aveline, menyusuri lekuk-lekuk lembut wajahnya dan merasakan kulitnya yang halus. “Aku merasa sangat hidup, Little Dove. Dan itu karena kamu.” Lalu dengan lembut, Dominic
Langit Portofino menjelang siang itu tampak sempurna. Biru lembut tanpa awan, dengan angin musim panas yang hangat menyapu tenang sepanjang tepi laut. Aveline berdiri di depan Mansion, masih dalam balutan dress berpotongan manis rancangan desainer dunia berwarna putih gading, yang ia pilih sendiri untuk hari ini. Wajahnya memancarkan kebingungan saat Dominic mengatakan bahwa mereka akan makan siang di luar. “Kita mau ke mana?” Dominic hanya tersenyum kecil, lalu meraih tangan Aveline dan mengecup jemarinya. “Percayalah padaku, Little Dove. Kamu hanya perlu mengikuti instruksiku.” Beberapa detik kemudian tiba-tiba terdengar suara baling-baling yang menggelegar di udara. Sebuah helikopter pribadi berwarna hitam elegan, perlahan mendarat di helipad pribadi di ujung bukit. Aveline menoleh cepat. “Kita naik itu?” Dominic mengangguk, lalu memeluk pinggang Aveline dan membisikkan kalimat dengan suara rendahnya yang khas. “Ya. Dan bersiaplah. Ini akan menjadi makan siang