“Sekarang kamu sudah berani menyerang Mas ya,” ucap Siswanto yang menjeda serangan itu. Nafas mereka saling memburu.
“Mas yang mulai dulu, masa aku diam saja.”
“Bagus. Sering-seringlah seperti ini, supaya Mas semakin nafsu menyerang kamu, Fatimah yang liar.”
Fatimah tidak menjawab. Dia menyerahkan bibirnya. Tanpa membuang waktu, Siswanto menyFatimahnya. Sungguh pagi itu rasanya luar biasa, di mana mereka bisa bersenggama karena saling suka. Berbeda dengan beberapa waktu yang lalu, Fatimah yang terpaksa melakukannya. Namun sekarang, dia terbawa oleh arus hasrat yang di bawa oleh Siswanto.
Dengan bibir yang masih menyatu, Siswanto mengganti posisi dengan menindih. Sedangkan Fatimah yang tergencet oleh tubuh tambun hanya bisa pasrah. Terlebih saat sesuatu di bawah sana yang melesak.
Semakin buas pertautan mereka, semakin cepat Siswanto memompa. Teriakan Fatimah hanya tertahan di ten
“Ayolah, Sayang. Sebentar saja. Setelah ini, Mas berangkat kerja lagi.”Fatimah tidak bisa berkutik tatkala sang suami mendorong pintu. Dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk mengalihkan perhatian sang suami, tetapi semua serasa percuma. Dia membuang pandangannya tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi.“Kok malah disitu? Ayo masuk?” Handoko yang sudah berada di dalam kamar. Menarik tangannya. Fatimah terlempar ke dalam dan melongo saat melihat ranjang yang sudah rapi kembali.Handoko langsung mendekapnya. Melakukan pemanasan ala kadarnya yang sama sekali tidak menggairahkan. Fatimah hanya memejamkan pasrah saat Handoko melepas dasternya dan membimbingnya untuk telentang di atas ranjang.Lima menit berlalu, Handoko sudah ambruk di atas dirinya. Fatimah bisa merasakan tubuh bagian depan sang suami bergerak naik turun. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, Handoko hanya mampu bermain singkat.Setelah cukup ber
Rizal menindih Fatimah. Gadis polos itu terdiam, namun reaksi tubuhnya menggeliat liar seiring dengan gigitan kecil yang menyeluruh. Fatimah tahu kalau tubuhnya yang Rizal mau. Asalkan Rizal mau mengurungkan niatnya untuk putus, Fatimah rela diperlakukan seperti itu. Cintanya kepada Rizal yang membutakannya.“Cantik dan indah.” Gumaman Rizal yang tertangkap jelas oleh pendengaran Fatimah. Pujian yang tentu membuatnya bangga. Apalagi terlontar dari orang yang dia kagumi.Sejurus kemudian, Rizal berada tepat di atasnya. Dengan kedua tangan kekar yang tertumpu di samping Fatimah sehingga membuat dada mereka berjarak.Tatapan Rizal mampu menghanyutkan Fatimah. Mata gadis itu sampai terpejam karena tersipu. Namun, semakin lama terpejam, Fatimah merasakan seperti dihentak. Rasa perih seiring dengan sesuatu yang besar masuk begitu saja.Pukulan kecil yang tidak seberapa melayang ke pundak kekar Rizal yang justru membuat pria beralis tebal itu semakin
Pria tua itu mengulurkan tangannya. Mengusap pipi Fatimah yang basah. Batin Fatimah menolak keras, namun tubuhnya seakan menikmati perhatian dari Siswanto. Terlebih tatapan matanya yang mampu membuatnya tenggelam akan syahwat yang begitu dalam.“Kenapa menangis? Pasti karena apem yang gosong ya?” tebaknya. Apa-apaan ini, baru saja Fatimah merutuki hubungan terlarang dengan Siswanto, kini seolah dia dibuat tidak berdaya oleh senyuman yang sangat menawan.“Tidak usah bersedih, sampai kapanpun Apemmu adalah yang paling terbaik, bahkan melebihi dari semua perawan yang ada di desa ini.” Fatimah sedikit bingung dengan maksud perkataan Siswanto sampai dia tersentak saat tangan liar menyusup begitu saja.“Benar kan yang aku bilang, baru disentuh sedikit saja sudah basah kuyub seperti ini. hehe,” kelakarnya. Fatimah hanya memegang kedua pundak kokoh itu dengan pasrah. Sekuat apapu
“Bagaimana?” Fatimah terjingkat saat mendengar suara barinton dari belakang.“Mas Rizal!” pekiknya tertahan karena tangan kekar itu buru-buru membekap mulutnya.“Jangan keras-keras, Ayo masuk,” bisik Rizal lembut. Perasaan yang tidak terkendali yang membuat Fatimah hanya mengangguk dan mengikuti langkah Rizal masuk ke dalam rumah kosong itu.Fatimah salah tingkah. Mana mungkin dia bisa bersikap normal jika dihadapkan dengan Rizal, terlebih Fatimah sempat merasakan badan yang tercetak kokoh menempel dipunggungnya. Darahnya mengalir dengan cepat. Fantasinya kemana-mana.Fatimah dituntun untuk duduk di sofa. Sementara, Rizal menempatkan diri di seberangnya. Sosok gagah itu membungkukkan badannnya hingga condong ke arah Fatimah. Wajah merah tersipu tak mampu Fatimah sembunyikan.“Bagaimana? Kamu mau jadi pacarku?” tanyanya. Fatimah yang
“Sudah berapa kali kamu melakukannya dengan Siswanto?” cecar Dewi sambil menahan sesak di dada.“Hanya sekali, Bu.”“Bohong! Jawab yang jujur!” pekik Dewi histeris. Suara ibunya cukup melengking. Akan sangat berbahaya kalau sampai didengar oleh tetangga. Fatimah tidak punya pilihan lain selain mengatakannya sejujurnya.“Hampir setiap pagi, Bu, kalau rumah sepi.”Dewi menggeleng tidak percaya. Iblis apa yang merasuki anaknya sampai berani melakukan percintaan terlarang seperti itu.“Maafkan aku, Bu. Aku khilaf,” elak Fatimah. Bagaimana bisa dikatakan khilaf kalau dia sendiri menikmati setiap kedatangan Siswanto di rumahnya. Meski ada sesal, namun libido lebih mendominasi.“Saya bingung mau bicara apa, Fatimah. Yang jelas ibu sangat kecewa denganmu. Terlebih jika suaminya tahu…” kata-kata Dewi terjeda saat tubuhnya dihantam pelukan.“Fatimah mohon
“Woi! Mau ngapain kalian!” pekik suara barinton dari balik helm full face yang menggedor sisi dari angkutan. Siswanto mendecak kesal. Disaat dia sudah tidak sabar ingin melampiaskan hasrat, justru datang penganggu. Dia pun beranjak dari Fatimah untuk menghadap pria misterius itu. “Heh! Siapa kamu! Berani mengusik kesenangan saya,” ucap Siswanto sambil berkacak pinggang. Namun, beberapa saat kemudian dia tersungkur karena hantaman yang bertubi-tubi mengenai tubuhnya. Siswanto gelagapan, tidak mampu untuk membalas. Pria dihadapannya terlalu kuat. “Masih untung baru aku yang memergoki. Bagaimana kalau satu kampung. Bisa mampus kamu Siswanto!” bentak Pria itu yang sepertinya familiar bagi Fatimah. Dia pun segera turun sebelum Siswanto mati konyol di tangannya. “Stop! Jangan hajar Mas Siswanto!” Fatimah dengan sigap memegang tangan pria itu yang kemudian menatapnya seperti terkesiap. Sekarang Fatimah bisa tahu melalui sorot matanya, siapa pria itu.
Pria itu membawanya ke sebuah bangunan yang tinggi menjulang. Bisa dibilang khawasan elit karena di sekitarnya begitu banyak bangunan pencakar langit yang menjadi pusat bisnis dan perbelanjaan. Cukup strategis untuk area perkotaan. Fatimah tidak mampu membantah tatkala Pria itu memintanya untuk turun dari mobil. Sejenak, dia tercenung melihat area parkir itu di mana terdapat begitu banyak mobil mewah. Menandakan penghuni apartemen ini bukan kaleng-kaleng. Seketika Fatimah teringat dengan apartemen Andrew dan Manto yang dulu pernah direbutnya. Sebenernya, bisa saja dia berlaku jahat bagai mafia. Tetapi, dia lebih memilih menahannya. Ingin tahu seberapa kejam pria ini akan memperlakukannya. “Melamun saja, ayo ikut aku!” hardik Pria itu yang sudah berada beberapa meter di depan mobil. Fatimah yang terhenyak segera mendekatinya. Dia memegang erat tas jinjing dengan kedua tangannya. Hanya berisi perlengkapan sehari-sehari seadan
“Ini kamar kamu!” ketus Lily di depan sebuah kamar. Fatimah melihat wanita setengah baya itu yang terlihat membuang wajahnya, seperti jijik walau hanya sekedar bersitatap. “Makasih Bu,” Fatimah memutar gagang pintu dan membukanya. “Apa Ibu? Sejak kapan saya nikah sama bapak kamu. Panggil saya Kak, Kak Lily,” protes Lily dengan suara meninggi. Menyentak Fatimah yang akan masuk ke kamar. “Baik, K-kak Lily,” jawab Fatimah jengah. Sabar-sabar, kalau bukan dalam kondisi terdesak dan juga Lily yang lebih tua, sudah dia jahit mulut nenek lampir itu. “Kamu enggak ada pakaian yang lebih mendingan?” tanya Lily saat Fatimah meletakan tas jinjingnya di atas kasur. Baru saja dia akan menganggumi kamarnya yang luas dan cantik, suara cempreng itu kembali mengusik telinganya. Fatimah mencibir sambil menyudutkan matanya ke atas, baru kemudian dia berbalik arah sambil tersenyum yang dipaksa manis. “Enggak ada, Kak Lily. Yang saya pakai ini sud