Share

Bab 6

Saat petang, Ardan pulang dengan wajah letih. Sementara Arni yang sejak tadi sudah menunggu kepulangan suaminya di ruang tamu, langsung berdiri untuk menyambut Ardan sekaligus menyuarakan seluruh pertanyaan yang berdesakan dalam pikirannya.

"Mas Ardan," panggil Arni agak keras.

"Apa!" jawab Ardan dengan nada agak tinggi. Terlihat jelas di wajah Arni, bahwa ia akan menanyakan ini itu tentang kejadian siang tadi. Sehingga Ardan berusaha menghindar dengan memasang wajah masam dan berjalan terburu-buru ke ruang kerjanya.

"Mas, tunggu dulu! Ada yang mau aku tanyakan," ujar Arni sambil mengekor suaminya yang berjalan dengan langkah lebar.

Namun Ardan tak menghiraukannya. "Nggak ada yang perlu kamu tanyakan!" kata Ardan ketus sambil berdiri pada mulut pintu ruang kerjanya.

"Tapi Mas, aku butuh penjelasan," ujar Arni ngeyel.

Blam!

Bukannya menjawab atau menanggapinya, Ardan lebih memilih membanting pintu ruang kerjanya. Sehingga membuat Arni yang berada tepat didepan daun pintu jadi terlonjak kaget.

"Astaghfirullah," ucap Arni sambil mengelus dadanya. "Semakin hari, sikap Mas Ardan semakin semena-mena. Ia bahkan sangat cuek sama aku dan anak-anak. Mas Ardan benar-benar sudah berubah!" lanjut Arni pada dirinya sendiri.

Arni masuk ke kamar. Kedua anaknya sedang bermain dipojok ruang kamar.

"Bu, ibu, ayah lagi marah ya?" tanya anak sulungnya.

Hati Arni bagai teriris mendengar pertanyaan dari bocah berusia lima tahun itu. Arni memaksakan sebuah senyum sambil menahan air mata yang masih berusaha keluar. "Nggak kok! Mungkin ayah sedang kecapekan saja, karena akhir-akhir ini ayah sering lembur." tutur Arni dengan lembut. Anak sulungnya hanya mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi dan melanjutkan bermain bersama adiknya.

"Ah, kasihan anak-anakku, keadaan ini membuat mereka terlalu dewasa dibandingkan anak-anak seusianya. Aku tahu, mereka pasti merindukan perhatian dan kasih sayang dari ayahnya, namun Mas Ardan terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia bahkan jarang ada di rumah, sekalinya di rumah, tak pernah ada waktu untuk kami. Karena dia sering kali mengurung diri dalam ruang kerjanya untuk mengerjakan pekerjaannya yang belum selesai atau hanya tidur." batin Arni.

Arni menengok jam dinding, jarum jam itu menunjukkan angka tujuh. Tapi diluar rumah terlalu sepi, biasanya pukul segini masih ada orang atau kendaraan yang lewat didepan rumahnya. Dalam keadaan sepi seperti ini membuat indra pendengaran Arni semakin tajam, sehingga saat ada suara sekecil apapun, Arni dapat mendengarnya dengan sangat jelas.

Ia mendengar derit pelan suara pintu depan yang dibuka, lalu perlahan berjalan mendekat untuk melihat apakah Ardan yang membukanya. Benar saja, Ardan ada di teras. Dia sudah berpakaian rapi dan memakai jaket kulit, bau harum menguar keluar dari tubuhnya. Ponsel menempel pada telinga Ardan, sepertinya dia hendak menelepon seseorang.

"Mas Ardan! Jam segini kamu mau kemana? Inikan sudah malam?" tanya Arni yang tidak bisa membendung rasa penasarannya lagi.

Ardan menoleh, namun ponsel yang semula menempel pada telinganya, kini telah ia simpan kedalam saku jaket kulit. "Bu Amy meneleponku, katanya malam ini harus menemani dia keluar kota. Karena besok pagi-pagi sekali ada rapat di kota sebelah," jelas Ardan tanpa secuilpun keraguan.

Namun Arni malah menaikkan sebelah alisnya, "memangnya tidak bisa orang lain saja Mas?" tanya Arni mencoba mencegah agar suaminya tidak pergi.

"Tidak bisalah Ar! Bu Amy kan atasanku langsung, aku sekretarisnya. Jadi wajar kalau beliau mengajakku pergi, bukan orang lain." jelas Ardan.

"Tapi Mas, memangnya rapatnya tidak bisa diundur? Biar berangkatnya pagi saja. Apa lagi, ini sudah diluar jam kerja dan terkesan mendadak sekali."

Ardan mulai tak sabar meladeni Arni yang sedang berusaha menghalanginya agar tidak pergi. "Arni! Kamu itu tidak usah cerewet! Tinggal nurut saja kenapa si? Lagi pula, aku itu pergi untuk bekerja. Untuk mencari uang buat kasih makan kamu sama anak-anak!" suara Ardan mulai meninggi.

Anak-anak mengintip dari jendela kamar, untuk melihat ribut-ribut yang terdengar dari luar.

"Mas, tolong kecilkan suaramu. Anak-anak belum tidur, mereka bisa mendengar suara ribut ini nanti." ucap Arni agak khawatir. Karena dia tidak mau anak-anaknya melihat mereka sedang bertengkar, walaupun hanya pertengkaran kecil seperti ini.

"Makanya Arni, kamu itu jangan menghalangiku! Kamu itu cukup menuruti saja ucapanku, jaga rumah sama anak-anak," ucap Ardan dengan suara yang sudah berubah jadi lebih lirih, namun penuh penekanan.

Setelah berkata demikian, Ardan langsung pergi. Meninggalkan Arni yang masih berdiri di teras menatap kepergian sang suami dengan hati kesakitan.

Lalu, kedua anaknya menyusul keluar. "Bu, ayah mau kemana?" tanya si bungsu.

"Ayah mau kerja nak," jawab Arni.

"Tapi inikan sudah malam bu," sahut anak sulung Arni. Dia tidak tahu harus beralasan apa, karena yang dikatakan oleh anaknya benar. Arni hanya bisa memaksakan sebuah senyum yang getir, kemudian memeluk kedua buah hatinya. "Ayah ada rapat yang sangat penting besok, pagi-pagi sekali. Makanya malam ini ayah mau menginap ditempat kerjanya." Arni tahu, tidak seharusnya dia berkata bohong kepada anak-anaknya. Namun, tidak mungkin juga kalau ia harus berkata jujur kepada mereka tentang perilaku sang ayah.

***

Ardan menepikan motornya, lalu merogoh saku jaket kulit yang ia kenakan untuk mengambil ponselnya.

Ia menelepon Tante Amy, tak membutuhkan waktu lama, karena panggilannya langsung dijawab.

"Tante, ini aku lagi jalan kesitu. Tante sudah siapkan?" tanya Ardan tanpa basa-basi.

"Iya sayang, ini sudah siap kok. Sekarang lagi jalan ke tempat kita janjian." jawab Tante Amy dari seberang telepon. "Ah iya, tapi nanti bagaimana sama motor kamu?"

"Nanti biar aku titipkan di rumah temanku Tante, rumahnya dekat kok sama tempat kita janjian."

"Baguslah kalau begitu. Ya sudah, Tante matikan ya teleponnya?"

"Jangan Tante, tunggu dulu. Aku masih kangen sama suara sexinya Tante," rayu Ardan dengan suara manja.

"Ah, kamu bisa saja!" ujar Tante Amy terdengar malu-malu. "Lagi pula, setelah inikan kita mau ketemu sayang."

"Baiklah Tante, kalau begitu sampai ketemu," ucap Ardan. Lalu ia menyempatkan memberi ciuman manja sebelum mematikan panggilannya.

Ardan kembali menyimpan ponsel itu kedalam saku jaket kulitnya, lalu melajukan motor menuju ke tempat ia janjian untuk bertemu dengan Tante Amy.

Tanpa Ardan ketahui, dibelakangnya ada motor yang terus mengikuti Ardan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status