Share

03 : A - Bersamamu Di Louister's

St. Louister’s Cathedral, Manhattan, USA. | 08.19 AM.

Meski saat weekday suasana Louister’s tidak pernah sepi akan pengunjung. Sebuah Gereja dengan nuansa klasik ini terlihat begitu terawat, dan bersih. Orang-orang tampak hilir mudik atau bisa juga disebut dengan keluar masuk. Gereja yang terletak di bagian barat kota Manhattan ini selalu menjadi tempat singgah yang nyaman dan menenangkan pikiran.

Semilir angin terasa begitu menyejukkan ketika Sean sudah berada di luar Gereja. Pandangan matanya terlihat selalu tajam meski dalam situasi biasa saja. Jas berwarna biru gelap yang dia sampirkan di bahu kanannya kini hendak dia kenakan, dari tempat tinggalnya Sean tidak langsung berangkat ke kantor. Melainkan menghabiskan waktu dua jamnya untuk beribadah di sini.

Burung-burung mulai berkicau sehingga menghasilkan suara indahnya. Taman yang berada di halaman belakang Louister’s terlihat begitu terawat dengan bunga-bunga yang bermekaran indah. Cahaya matahari pagi menyorot sehingga membuat berbagai macam bunga itu mengkilau.

Sean mengenakan kembali kacamata hitamnya yang selalu menjadi pelengkap penampilannya. Kakinya berjalan ke depan menuju ke tempat di mana mobilnya terparkir cantik, suara ketukan sepatu pentofelnya terdengar sedikit nyaring, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arahnya dengan berbagai macam tatapan. Laki-laki itu fokus dengan langkahnya, matanya tidak menoleh ke sana ke mari karena baginya itu tidaklah penting.

Sean yang mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Julian seketika terlepas, dan dia mengumpat dengan suara yang terdengar sedikit keras ketika seorang perempuan yang berlari dari arah yang berlawanan menabrak bahunya dengan gerakan yang tidak santai, sehingga bahu kirinya terdorong sedikit ke belakang.

“Sorry Pak, saya terlalu buru-buru.” Perempuan itu berhenti di hadapan Sean dan menyatukan kedua tangannya untuk membentuk sebuah permohonan maaf.

“Lain kali kalau berlari perhatikan juga ke depan. Selain ke bawah, mata juga digunakan untuk melihat ke depan!” Sean mendesis, dia tidak menatap perempuan di hadapannya.

“Ya, sekali lagi saya minta maaf Pak,” kata perempuan itu, napasnya terdengar normal kembali. “Ponsel anda...” Perempuan itu menunduk dan mengambil sebuah ponsel mewah, kaca layarnya terlihat sudah retak akibat terjatuh dari tangan pemiliknya.

“Ya Tuhan … kau merusak ponselku!” Sean buru-buru mengambil ponsel miliknya dari tangan si perempuan. Matanya berkilat marah sehingga membuat perempuan tersebut meringis kala melihat tatapan tajam dengan aura permusuhan yang begitu ketara.

Perempuan itu melepaskan kacamata coklatnya dan memasukan kacamata itu ke dalam saku blazernya. Manik hijaunya berkedip beberapa kali ketika Sean juga melepas kacamata hitamnya itu. Membuat mata mereka saling bertatapan selama sepuluh detik lamanya. Tidak lama kemudian perempuan yang tidak Sean ketahui namanya itu tersenyum sembari meringis.

“Saya akan bertanggung jawab dengan mengganti ponsel anda, Pak.”

Jika Sean tidak menatap perempuan di hadapannya ini, maka sama saja dengan mengabaikan salah satu ciptaan tuhan yang nyaris sempurna ini. Bayangkan saja, perempuan dengan tubuh ramping dan berisi di bagian tertentu. Bola matanya yang berwarna hijau safir membuat siapa pun akan terlena jika menatapnya, ditambah dengan bulu mata yang lentik sehingga ketika berkedip terlihat sangat cantik. Hidungnya lancip, dengan bibir yang tipis.

Rambutnya berwarna brown terjuntai melewati bahu terlihat begitu indah. Perempuan itu mengenakan turtleneck berwarna hitam dan dilapisi oleh blazer berwarna cream sebatas lutut. Di bawahnya dia mengenakan celana berbahan cotton berwarna hitam.

“Apa yang anda lihat, Pak?” tanya perempuan itu yang balas menatap Sean dengan alis naik turun.

Sean langsung tersentak dan kembali mengingat ponselnya. Sialan, baru saja dia terpesona oleh perempuan itu. Tapi Sean tidak munafik, perempuan itu begitu cantik bahkan cantik sekali. Dan satu hal yang dapat Sean simpulkan kalau perempuan di hadapannya adalah perempuan berada, jadi Sean tidak akan ragu untuk meminta ganti rugi.

“Siapa namamu?” Sean berdeham pelan, tangan laki-laki itu mengambil sebuah tisu untuk mengelap ponselnya.

“Katherine.” Perempuan bernama Katherine itu mengambil sebuah kartu nama dalam tasnya. Kartu nama yang berisikan nama lengkapnya, nomor ponsel dan surel. “Ini kartu nama saya,” katanya sambil menyerahkan kartu namanya.

Sean menerima kartu itu dan membacanya dengan detail. “Katherine Margaretha Amberlane. Nama yang bagus tetapi tidak sesuai dengan tingkah cerobohnya,” Laki-laki itu memasukan kartu namanya ke dalam saku jasnya.

“Saya sedang buru-buru Pak, kirimkan saja nomor rekening anda.” Kate menatap Sean, sedang melakukan tak-tik bernegosiasi agar tidak memakan waktu yang lama.

Laki-laki itu menaikan kedua alisnya secara bersamaan dan berkata, “Aku tidak meminta uang. Melainkan sebuah ponsel baru, yang sama persis seperti ini.”

Kate dapat melihat sekelebat aura permusuhan yang akan keluar dalam wujud laki-laki tampan di hadapannya ini. Dan jika Kate menolak, maka dia sama sama dengan menawarkan diri kepada sebuah masalah. Lagi pula Kate harua sadar kalau di adalah pendatang di kota ini.

“Fine, besok saya mencari ponsel yang sama seperti milik anda. Sekarang saya buru-buru,” kata Kate. Dia menatap ke samping dan kembali menatap Sean. “Permisi!” Saat Kate berjalan hendak meninggalkan Sean yang masih tetap berada di posisinya. Ketika melewati tubuh tegap Sean, sebelah tangan Kate ditahan dengan gerakan pelan sehingga membuat perempuan itu berhenti melangkah.

“Besok pukul satu siang, aku tunggu di pusat belanja kota Manhattan. Jika kau terlambat, maka aku tidak segan-segan untuk menuntutmu. Paham?” ucap Sean beserta sebuah geraman yang terdengar menakutkan.

Demi tuhan, Kate tahu betul kalau laki-laki seperti Sean bukanlah laki-laki sembarangan. Dia tidak mungkin mau berurusan dengan seorang pendatang sepertinya. Tapi jika dipikir ulang, ini adalah perihal ponsel mahal yang terjatuh dari tangan Sean karena Kate menabrak bahu laki-laki itu. Kate tidak tahu apa yang menjadi alasan dasarnya, kenapa Sean mau berurusan dengan orang sepertinya?

Sean tidak pernah mengira kalau pikirannya akan menjadi seperti ini. Seperti laki-laki yang baru pertama kali menemukan perempuan cantik setelah sekian lama berpetualang. Namun, kecantikan perempuan bernama Katherine itu tidak dapat Sean hindari meski satu detik sekali pun. Maka Sean akan terus mencari alasan agar dia bisa bertemu lagi dengan Kate.

Sean bukanlah tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta, tapi kali ini rasanya begitu berbeda ketika bertemu dengan Kate. Seolah perempuan itu memiliki magnet yang dapat menarik dirinya ke dalam pesona perempuan itu.

“Baik. Sekarang tolong lepaskan tangan saya, Pak?” Kate menarik tangannya yang ditahan oleh laki-laki yang belum Kate ketahui siapa namanya.

Karena yang jelas menurut pandangan pribadi Kate, laki-laki ini bukanlah seorang laki-laki biasa. Dari penampilannya saja terlihat begitu luar biasa. Jadi tidak heran jika prediksinya menyangka seperti itu.

Sean melepaskan tangan halus Kate dan membiarkan perempuan itu kembali berlari menuju gerbang keluar dari Gereja. Meninggalkan Sean dengan perasaan yang tidak menentu. Sean berpikir dalam benaknya, apa-apaan ini? Mengapa dia jadi tidak sabar untuk hari esok? Sekilas Sean tersenyum tipis, melupakan ponsel mahalnya yang layarnya rusak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status