Home / Romansa / Pelabuhan Akhir Sang Pewaris / 03 : B - Janji Yang Kembali Terucap

Share

03 : B - Janji Yang Kembali Terucap

Author: Eunmon
last update Last Updated: 2022-08-14 01:03:16

Mandiley’s Restaurant, Manhattan, USA. | 09.07 AM.

Alunan musik klasik menjadi teman dengar yang baik, seakan iramanya berjodoh dengan Mandiley’s yang bertema klasik tetapi juga terlihat begitu modern. Tentu saja karena pemiliknya tidak ingin ketinggalan jaman. Tidak hanya klasik, Mandiley’s juga terkesan seperti retro dengan kursi dan meja yang terbuat dari kayu kokoh yang diukir tanpa menghilangkan warna aslinya.

Terlihat kuno tetapi begitu mewah. Membuat siapa pun tidak akan pernah bosan untuk mengunjungninya. Apa lagi Mandiley’s juga disediakan sebuah bar yang terletak di depan pintu masuk. Selain bar, ada juga sebuah private room yang sering digunakan orang yang bermain billiard atau sekedar bersantai. Dan di sampingnya ada ruang karaoke yang yang dikhususkan untuk lima orang.

Sebelah selatan ada sebuah mini panggung yang dilengkapi dengan alat-alat musik. Itu adalah tempat untuk band yang manggung di Mandiley’s ketika petang. Karena waktu sore pengunjung akan semakin banyak.

Kate datang terlambat menemui Liam karena sebuah gangguan yang dia alam di Louister’s Cathedral. Sehingga membuatnya harus berurusan dengan laki-laki yang baru di temuinya. Sesaat dia tersenyum senang ketika melihat sosok Liam yang bersandar menunggunya dan menatapnya dari jarak tiga meter.

“Kau terlambat tujuh menit, honey.” Liam Xaviendra terlihat bersandar pada pada kursi, sambil memainkan kunci mobil yang berada di atas meja bundar. Tapi matanya tetap fokus pada perempuan cantik yang berjalan ke arahnya. Kemudian laki-laki itu menegakkan tubuhnya secara perlahan untuk menyambut pelukan hangat sang kekasih.

Aroma khas yang selalu menguar dari tubuh tegap Liam selalu menjadi kesukaan Kate. Dia benar-benar merindukan sosok Liam yang sudah jarang di temuinya karena terhalang urusan pekerjaan.

“I’m sorry, Liam. Aku mengalami gangguan kecil setelah dari Gereja.” Kate melepaskan pelukannya dan dia merasakan Liam mengecup keningnya dengan lembut.

“You okay, honey?” tanya Liam, laki-laki itu menatap Kate dengan tatapan yang terlihat jelas ada pancaran khawatir di dalamnya.

Kate mengangguk pelan, dia balas mengecup pipi Liam sembari berjinjit. Setelahnya baru membalas, “Aku baik-baik saja.”

Perempuan itu menatap sekeliling restaurant yang mulai banyak pengunjung. Dia sudah melihat dua porsi makanan kesukaan mereka berdua yang sudah tersusun secara apik di atas meja. Liam mempersembahkan Kate untuk duduk di hadapannya, laki-laki itu menatap Kate sambil tersenyum begitu manis.

Tangan Liam mengusap punggung tangan Kate yang sehalus sutra dengan telapak tangannya, lantas berkata, “Makanlah, aku sudah memesankannya untukmu. Kesukaanmu.” ucapnya.

Kate mengangguk sambil mempertahankan selama beberapa detik senyumannya, dan tidak lupa untuk mengatakan terima kasih. Dia selalu senang dengan cara sederhaga bagaimana Liam memperlakukannya. Hal kecil yang terasa begitu manis dan tulus itu berhasil menggetarkan hati Kate yang paling dalam sehingga tidak memberi celah bagi siapa pun yang ingin menyelinap masuk ke dalamnya.

Liam terlihat begitu tampan dengan kemeja yang digulung mencapai siku. Rambutnya yang sedikit panjang terlihat acak-acakan sehingga menambah kesan manly yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Jas kerja laki-laki itu tersampir di atas kursi kosong di sebelah kirinya. Liam memiliki bola mata yang sama sepertinya, hijau. Yang membedakannya adalah dari tatapannya, Liam memiliki tatapan yang tajam dan lembut dalam waktu bersamaan.

“Bagaimana kegiatanmu selama di Madrid? Apakah terasa menyenangkan?” tanya Liam mulai membuka obrolan baru.

“Seperti biasa, tidak ada yang menarik. Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tetapi Mommy mendesakku untuk pulang. Kalau aku sampai tidak pulang, dia mengancam untuk segera menikahkanku dengan Jason,” papar Kate. Perempuan itu terlihat tidakk begitu semangat jika sudah membicarakan yang menyangkut dengan dirinya.

Liam tertawa dengan pelan. Dia meminum air putih yang sudah disediakan lalu bertanya, “Bibi Lauren masih mendesakmu untuk menikah dengan Jason Maxwel, honey?”

Perempuan itu langsung mengangguk dengan cepat. “Seperti itulah yang terjadi, Liam.”

“Honey, aku tidak ingin kehilanganmu, aku membutuhkanmu untuk berada di sisiku. Aku ingin segera memintamu kepada keluargamu, tapi kita masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula kau harus mengejar passionmu dibidang Seni.”

“Aku tidak ingin menjadi penghalangmu dalam meraih apa yang kau inginkan, semua kerja kerasmu akan terbuang percuma karena hal ini. Dan aku tahu kalau Bibi Lauren tidak akan terus-menerus mendesak anak pintarnya untuk menikah, percayalah padaku.” Liam berkata begitu panjang dengan suara yang terdengar begitu menenangkan.

“Namun, sampai kapan Liam? Ini sudah terlalu lama dengan yang pernah kau janjikan.” Kate bertanya dengan nada yang gamang. Perempuan itu menatap Liam seolah meminta sebuah ketegasan.

“Aku belum siap untuk menikah Kate, aku sudah mengatakan itu berulang kali. Lagi pula bagaimana dengan impianmu? Kau sudah berhasil lulus kuliah dengan waktu yang bisa dikatakan sebentar, aku tidak mau semua kerja kerasmu mengejarnya berakhir dengan menikah denganku. Setidaknya carilah apa yang membuatmu senang, selain dengan bersamaku,” papar Liam begitu tegas. Laki-laki itu teramat peduli dengan pendidikan Kate.

“Selalu saja seperti ini. Kau itu belum siap, apa memang tidak akan pernah siap?” ucap Kate dengan nada dingin. Perempuan itu menatap Liam tajam, sedangkan Liam justru menatapnya dengan tenang. Seolah tidak merasa terusik dengan sindirannya barusan. Membuat Kate lagi-lagi menarik napasnya dan mengambil gelas yang berisi air putih.

“Kate! Sudah berapa kali kita bahas ini? kau tidak perlu cemas. Keputusanku tidak akan berubah, suatu saat nanti aku akan melamarmu. Kau percaya padaku bukan?”

Kate diam, perempuan itu menatap Liam dalam. Memikirkan perkataan Liam yang ada benarnya juga, Liam terlihat tidak membatasinya untuk mencari kesenangannya yang lain. Ini terasa aneh, Liam yang dulu tidak seperti ini. Hubungan jarak jauh yang mereka jalani tentu saja tidak menjamin bahwa tidak ada orang ke tiga di dalamnya.

Kate sempat curiga akan hal itu, tapi justru sikap Liam yang tidak menampilkan kalau laki-laki itu mencari kesenangan baru dengan perempuan lain. Membuat Kate membuang pemikiran konyolnya itu sejauh mungkin. Meskipun sedari dulu, Kate tidak pernah percaya dengan yang namanya hubungan jarak jauh. Namun dengan Liam, Kate merasa tidak akan ada sebuah penghianatan dalam hubungan mereka berdua, semoga saja.

“Baiklah aku mengerti, Liam,” jawab Kate akhirnya, karena sudah tidak ingin memperpanjang pembicaraan lagi.

Liam tersenyum lantas kembali melanjutkan acara makannya. Sesekali menatap Kate yang sedari dulu menjadi cinta pertamanya, dia akan berusaha untuk membuat Kate bertahan di sisinya apa pun caranya.

Meskipun di belakang Kate dia sudah melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan seorang laki-laki yang sudah memiliki kekasih. Tapi Liam tetaplah manusia, dia bisa tergoda dengan perempuan di sekitarnya.

“Maafkan aku, Kate.” Batin Liam berteriak mengatakan permintaan maaf.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   Pelabuhan Akhir Sang Pewaris

    POV Katherine MargarethaHal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya adalah menua bersama seseorang yang kau cintai dan kau kasihi dengan sepenuh hati, seseorang yang mampu mengubah hidupmu menjadi lebih indah dari sekadar angan-angan yang samar di ujung pikiran. Sean Axel William, pria yang kini menjadi suamiku, telah berhasil menjadikanku perempuan paling beruntung di dunia ini. Dengan kesabaran yang tak pernah goyah, usaha yang tulus dalam setiap langkahnya, dan cinta yang dia tunjukkan melalui tindakan-tindakan kecil yang penuh makna, dia mampu menyentuh diriku dari berbagai sudut yang bahkan aku sendiri tidak pernah sadari sebelumnya. Ada saat-saat ketika aku bertanya pada diriku sendiri, bagaimana mungkin seorang pria seperti Sean—dengan segala kelebihan yang dimilikinya, dengan ketegasan dan kelembutan yang berdampingan—memilih untuk mencurahkan hatinya sepenuhnya kepadaku? Namun, jawaban itu selalu sama: cinta sejati tidak memerlukan alasan yang rumit, hanya ketulusan untuk

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   57 : Gamaliel Nicholas William

    Hospital International, Manhattan, USA | 18.45 PMTiga bulan kemudian, di sebuah rumah sakit besar di pusat New York, suasana ruang bersalin dipenuhi ketegangan sekaligus harapan yang membumbung tinggi di antara dinding-dinding putih steril yang mencerminkan cahaya lampu neon terang. Ruangan itu luas namun terasa sesak oleh emosi yang bergolak, dengan aroma antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan suara monitor detak jantung bayi yang berdengung pelan di latar belakang. Ritme cepat dan teratur dari monitor itu menjadi pengingat bahwa kehidupan baru sedang berjuang untuk hadir ke dunia, sebuah suara yang sekaligus menenangkan dan menegangkan. Kate terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi namun penuh tekad, rambut cokelatnya yang basah oleh keringat menempel di dahi dan pipinya, membingkai wajahnya yang lelah. Kontraksi datang bertubi-tubi seperti gelombang yang tak kenal lelah, membuatnya menggenggam tangan Sean dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuhnya

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   56 : Pregnancy

    William’s Mansion, Manhattan, USA | 07.21 AMPagi itu, sinar matahari lembut menyelinap melalui celah-celah tirai beludru tebal yang menghiasi jendela besar kamar tidur utama di kediaman Sean dan Kate, sebuah rumah mewah bergaya modern yang berdiri di pusat kota dengan pemandangan taman hijau yang luas. Cahaya keemasan itu memantul di lantai marmer putih mengilap, menciptakan pola-pola halus yang menari-nari di sekitar ranjang besar berkanopi kayu mahoni tempat Kate duduk. Dia mengenakan gaun katun longgar berwarna putih yang lembut, kainnya mengalir lembut menutupi perutnya yang kini membuncit di usia kehamilan lima bulan. Beberapa bantal tambahan disusun di punggungnya, memberikan sedikit kenyamanan pada tubuhnya yang terasa semakin berat setiap hari. Udara pagi membawa aroma kopi yang baru diseduh oleh pelayan dari dapur di lantai bawah, bercampur dengan hembusan angin sejuk yang menyelinap melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa serta wangi samar bunga mawar dari taman. Kate

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   55 : Family Reunion

    Mansion William’s, Manhattan, USA | 20.54 PMMalam itu, kediaman keluarga Sean di kawasan pinggiran kota dipenuhi kehangatan yang khas dari reuni keluarga. Rumah besar bergaya Victorian itu berdiri megah dengan dinding bata merah dan jendela-jendela lengkung yang dikelilingi taman kecil penuh bunga mawar. Ruang makan di dalamnya luas, dengan meja kayu mahoni panjang yang sudah berusia puluhan tahun, permukaannya dipoles hingga mengilap. Lampu gantung antik dari kuningan dan kristal bergoyang pelan di langit-langit, menyebarkan cahaya kuning keemasan yang lembut ke seluruh ruangan. Aroma daging panggang yang baru keluar dari oven bercampur dengan wangi kentang tumbuk dan sayuran segar, menciptakan suasana yang menggugah selera sekaligus nostalgia. Angeline sibuk mengatur hidangan di atas meja dan dibantu oleh beberapa pelayan. Wanita berusia lima puluh lima tahun itu mengenakan gaun biru tua yang sederhana namun elegan, rambutnya yang mulai memutih disanggul rapi. Mark duduk di ujung m

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   54 : Maria And James

    Manhattan, USA | 09.12 PMPagi itu, sebuah kafe kecil di pinggir kota menjadi saksi pertemuan Maria dan James. Bangunan sederhana dari kayu dengan jendela-jendela besar itu berdiri di tepi jalan yang sepi, dikelilingi pepohonan maple yang daunnya mulai menguning di awal musim gugur. Di dalam, aroma kopi panggang dan roti bakar mengisi udara, bercampur dengan suara mesin espresso yang berdengung pelan di belakang konter. Meja kayu kecil di sudut ruangan, tempat Maria dan James duduk berhadapan, tampak sederhana dengan dua cangkir kopi yang mulai mendingin dan beberapa remah roti di piring kecil. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menyinari wajah mereka, namun suasana di antara keduanya terasa jauh dari hangat. Maria duduk dengan tangan bertopang di dagu, matanya yang cokelat tua menatap James dengan campuran harap dan frustrasi yang sulit disembunyikan. Rambutnya yang hitam panjang tergerai di bahunya, sedikit berantakan karena dia berkali-kali mengusapnya dengan gelisah. Dia menge

  • Pelabuhan Akhir Sang Pewaris   53 : Meeting

    William Group’s, Manhattan, USA | 08.00 AMPagi itu, pukul delapan tepat, sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela-jendela besar ruang rapat di lantai dua puluh gedung William Group, perkantoran modern yang menjulang di pusat kota. Cahaya keemasan itu memantul di permukaan kaca tempered yang menjadi dinding ruangan, menciptakan kilau lembut yang kontras dengan suasana tegang di dalam. Meja konferensi panjang dari kayu walnut mengilap mendominasi ruang, dikelilingi kursi-kursi kulit hitam yang ergonomis, tempat duduk para karyawan senior perusahaan. Aroma kopi yang baru diseduh menguar dari mesin espresso di sudut, bercampur dengan suara lembut kertas-kertas yang dibolak-balik dan ketukan pelan jari di tablet digital. Sean, direktur operasional berusia tiga puluh empat tahun yang baru menikah tiga bulan lalu, duduk di ujung meja, posisinya mencerminkan otoritas yang telah dia bangun selama bertahun-tahun di perusahaan ini. Sean mengenakan setelan abu-abu gelap dengan potongan sem

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status