Share

03 : B - Janji Yang Kembali Terucap

Mandiley’s Restaurant, Manhattan, USA. | 09.07 AM.

Alunan musik klasik menjadi teman dengar yang baik, seakan iramanya berjodoh dengan Mandiley’s yang bertema klasik tetapi juga terlihat begitu modern. Tentu saja karena pemiliknya tidak ingin ketinggalan jaman. Tidak hanya klasik, Mandiley’s juga terkesan seperti retro dengan kursi dan meja yang terbuat dari kayu kokoh yang diukir tanpa menghilangkan warna aslinya.

Terlihat kuno tetapi begitu mewah. Membuat siapa pun tidak akan pernah bosan untuk mengunjungninya. Apa lagi Mandiley’s juga disediakan sebuah bar yang terletak di depan pintu masuk. Selain bar, ada juga sebuah private room yang sering digunakan orang yang bermain billiard atau sekedar bersantai. Dan di sampingnya ada ruang karaoke yang yang dikhususkan untuk lima orang.

Sebelah selatan ada sebuah mini panggung yang dilengkapi dengan alat-alat musik. Itu adalah tempat untuk band yang manggung di Mandiley’s ketika petang. Karena waktu sore pengunjung akan semakin banyak.

Kate datang terlambat menemui Liam karena sebuah gangguan yang dia alam di Louister’s Cathedral. Sehingga membuatnya harus berurusan dengan laki-laki yang baru di temuinya. Sesaat dia tersenyum senang ketika melihat sosok Liam yang bersandar menunggunya dan menatapnya dari jarak tiga meter.

“Kau terlambat tujuh menit, honey.” Liam Xaviendra terlihat bersandar pada pada kursi, sambil memainkan kunci mobil yang berada di atas meja bundar. Tapi matanya tetap fokus pada perempuan cantik yang berjalan ke arahnya. Kemudian laki-laki itu menegakkan tubuhnya secara perlahan untuk menyambut pelukan hangat sang kekasih.

Aroma khas yang selalu menguar dari tubuh tegap Liam selalu menjadi kesukaan Kate. Dia benar-benar merindukan sosok Liam yang sudah jarang di temuinya karena terhalang urusan pekerjaan.

“I’m sorry, Liam. Aku mengalami gangguan kecil setelah dari Gereja.” Kate melepaskan pelukannya dan dia merasakan Liam mengecup keningnya dengan lembut.

“You okay, honey?” tanya Liam, laki-laki itu menatap Kate dengan tatapan yang terlihat jelas ada pancaran khawatir di dalamnya.

Kate mengangguk pelan, dia balas mengecup pipi Liam sembari berjinjit. Setelahnya baru membalas, “Aku baik-baik saja.”

Perempuan itu menatap sekeliling restaurant yang mulai banyak pengunjung. Dia sudah melihat dua porsi makanan kesukaan mereka berdua yang sudah tersusun secara apik di atas meja. Liam mempersembahkan Kate untuk duduk di hadapannya, laki-laki itu menatap Kate sambil tersenyum begitu manis.

Tangan Liam mengusap punggung tangan Kate yang sehalus sutra dengan telapak tangannya, lantas berkata, “Makanlah, aku sudah memesankannya untukmu. Kesukaanmu.” ucapnya.

Kate mengangguk sambil mempertahankan selama beberapa detik senyumannya, dan tidak lupa untuk mengatakan terima kasih. Dia selalu senang dengan cara sederhaga bagaimana Liam memperlakukannya. Hal kecil yang terasa begitu manis dan tulus itu berhasil menggetarkan hati Kate yang paling dalam sehingga tidak memberi celah bagi siapa pun yang ingin menyelinap masuk ke dalamnya.

Liam terlihat begitu tampan dengan kemeja yang digulung mencapai siku. Rambutnya yang sedikit panjang terlihat acak-acakan sehingga menambah kesan manly yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Jas kerja laki-laki itu tersampir di atas kursi kosong di sebelah kirinya. Liam memiliki bola mata yang sama sepertinya, hijau. Yang membedakannya adalah dari tatapannya, Liam memiliki tatapan yang tajam dan lembut dalam waktu bersamaan.

“Bagaimana kegiatanmu selama di Madrid? Apakah terasa menyenangkan?” tanya Liam mulai membuka obrolan baru.

“Seperti biasa, tidak ada yang menarik. Sebenarnya aku tidak ingin pulang, tetapi Mommy mendesakku untuk pulang. Kalau aku sampai tidak pulang, dia mengancam untuk segera menikahkanku dengan Jason,” papar Kate. Perempuan itu terlihat tidakk begitu semangat jika sudah membicarakan yang menyangkut dengan dirinya.

Liam tertawa dengan pelan. Dia meminum air putih yang sudah disediakan lalu bertanya, “Bibi Lauren masih mendesakmu untuk menikah dengan Jason Maxwel, honey?”

Perempuan itu langsung mengangguk dengan cepat. “Seperti itulah yang terjadi, Liam.”

“Honey, aku tidak ingin kehilanganmu, aku membutuhkanmu untuk berada di sisiku. Aku ingin segera memintamu kepada keluargamu, tapi kita masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula kau harus mengejar passionmu dibidang Seni.”

“Aku tidak ingin menjadi penghalangmu dalam meraih apa yang kau inginkan, semua kerja kerasmu akan terbuang percuma karena hal ini. Dan aku tahu kalau Bibi Lauren tidak akan terus-menerus mendesak anak pintarnya untuk menikah, percayalah padaku.” Liam berkata begitu panjang dengan suara yang terdengar begitu menenangkan.

“Namun, sampai kapan Liam? Ini sudah terlalu lama dengan yang pernah kau janjikan.” Kate bertanya dengan nada yang gamang. Perempuan itu menatap Liam seolah meminta sebuah ketegasan.

“Aku belum siap untuk menikah Kate, aku sudah mengatakan itu berulang kali. Lagi pula bagaimana dengan impianmu? Kau sudah berhasil lulus kuliah dengan waktu yang bisa dikatakan sebentar, aku tidak mau semua kerja kerasmu mengejarnya berakhir dengan menikah denganku. Setidaknya carilah apa yang membuatmu senang, selain dengan bersamaku,” papar Liam begitu tegas. Laki-laki itu teramat peduli dengan pendidikan Kate.

“Selalu saja seperti ini. Kau itu belum siap, apa memang tidak akan pernah siap?” ucap Kate dengan nada dingin. Perempuan itu menatap Liam tajam, sedangkan Liam justru menatapnya dengan tenang. Seolah tidak merasa terusik dengan sindirannya barusan. Membuat Kate lagi-lagi menarik napasnya dan mengambil gelas yang berisi air putih.

“Kate! Sudah berapa kali kita bahas ini? kau tidak perlu cemas. Keputusanku tidak akan berubah, suatu saat nanti aku akan melamarmu. Kau percaya padaku bukan?”

Kate diam, perempuan itu menatap Liam dalam. Memikirkan perkataan Liam yang ada benarnya juga, Liam terlihat tidak membatasinya untuk mencari kesenangannya yang lain. Ini terasa aneh, Liam yang dulu tidak seperti ini. Hubungan jarak jauh yang mereka jalani tentu saja tidak menjamin bahwa tidak ada orang ke tiga di dalamnya.

Kate sempat curiga akan hal itu, tapi justru sikap Liam yang tidak menampilkan kalau laki-laki itu mencari kesenangan baru dengan perempuan lain. Membuat Kate membuang pemikiran konyolnya itu sejauh mungkin. Meskipun sedari dulu, Kate tidak pernah percaya dengan yang namanya hubungan jarak jauh. Namun dengan Liam, Kate merasa tidak akan ada sebuah penghianatan dalam hubungan mereka berdua, semoga saja.

“Baiklah aku mengerti, Liam,” jawab Kate akhirnya, karena sudah tidak ingin memperpanjang pembicaraan lagi.

Liam tersenyum lantas kembali melanjutkan acara makannya. Sesekali menatap Kate yang sedari dulu menjadi cinta pertamanya, dia akan berusaha untuk membuat Kate bertahan di sisinya apa pun caranya.

Meskipun di belakang Kate dia sudah melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan seorang laki-laki yang sudah memiliki kekasih. Tapi Liam tetaplah manusia, dia bisa tergoda dengan perempuan di sekitarnya.

“Maafkan aku, Kate.” Batin Liam berteriak mengatakan permintaan maaf.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status