"Kenapa kau melihatku begitu?"
Ucapan yang terdengar sedikit tegas itu membuyarkan kebingungan Laura. Bahkan, Laura sampai tak sadar jika pria tersebut telah duduk di hadapannya.
Dengan suara terbata, "Bukankah anda sedang ada keperluan di luar?" tanya Laura gugup.
Pria itu mengangguk sembari membolak-balikan berkas di mejanya. "Tadinya iya. Tapi setelah aku mendapat laporan bahwa kau datang ke kantorku, tentu saja aku harus kembali secepat mungkin." jawabnya dengan nada santai.
Laura masih diam, sementara pria itu beralih menatap Laura dengan serius.
"Ada apa? Kau tak suka jika aku yang ada di sini? Aku akan panggilkan asistenku kalau begitu," ujarnya seraya meraih gagang telepon.
Laura spontan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu, Kak. Um, maaf! Maksudku, Tuan Ray." terangnya dengan sedikit terbata.
Ray kembali meletakkan gagang telepon tersebut, kemudian menatap Laura dengan tatapan intens. Hal itu membuat Laura langsung memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Kau bisa panggil aku sesukamu. Kau calon adik iparku dan kau tak perlu seformal itu. Sekarang katakan, apa perlumu kemari?" ucap Ray dengan ekspresi datar.
Laura menelan salivanya kasar kemudian menatap Ray dengan senyuman canggung. "Terima kasih, Kak. Sebelumnya, aku minta maaf karena telah mengganggu waktumu. Sebenarnya, aku membutuhkan bantuanmu untuk mengatasi masalah di perusahaan ayahku. Dalam hal ini, hanya kau saja yang bisa dipercaya untuk membantu kami. Ayahku sakit saat ini dan akulah yang harus mengelola perusahaan itu." jelasnya dengan suara bergetar.
Ray mengangguk, mengerti kegelisahan yang dirasakan Laura. "Ya, aku sudah cukup tahu akan masalah di perusahaan itu. Bahkan, beberapa berita telah tersebar. Aku pun sudah pernah mengalami masalah seperti ini. Dan iya, apa hanya itu bantuan yang kau inginkan?"
Laura sontak mengangguk, "Iya, Kak, hanya itu. Aku benar-benar ingin masalah ini cepat selesai." jawab Laura dengan tatapan sendu.
Ray kembali menganggukkan kepala dan menatap Laura dengan lebih serius. Seringai senyuman pun muncul dari wajahnya. "Aku bisa membantumu. Tapi, ada syarat yang harus kau penuhi. Kau tahu, 'kan, tak semua orang bisa membantu di saat-saat kesulitan kita seperti ini?"
Mendengar itu, Laura kembali mengangguk. "Asal itu tak melebihi batas kemampuanku, aku pasti akan melakukannya. Aku pasti akan memenuhinya. Apa aku harus menandatangani surat perjanjian, atau aku harus memberikan jaminan sebagai bentuk kepercayaan?" balas Laura dengan nada serius.
Ray justru tertawa sembari geleng-geleng kepala. Hal itu jelas membingungkan Laura.
"Bukan itu, Laura. Ini memang urusan bisnis, tapi bukan syarat seperti itu yang kuinginkan darimu. Lagi pula, ini masih berada dalam jangkauan kemampuanmu dan aku yakin kau bisa melakukannya." jelas Ray dengan tatapan yang lebih santai.
Dengan masih berekspresi bingung, "Lalu, syarat seperti apa yang kau maksud?" tanya Laura.
"ONE NIGHT STAND WITH ME!"
Mendengar hal itu, sontak Laura melongo dengan mata yang membelalak. Jantungnya berdebar kencang, dengan perasaan tak menyangka. Ia pun langsung berdiri, menatap tajam Ray, dengan deru napas tak beraturan yang keluar begitu saja karena menahan emosi.
"What? Apa aku tak salah dengar?"
Ray pula berdiri, menatap Laura dengan senyuman santai. Seolah-olah, ia tak merasa ada yang salah dari apa yang ia ucapkan sebelumnya. "Ya, aku serius, Laura. Sleep with me, dan masalahmu akan selesai saat itu juga."
Laura menggelengkan kepala, dengan kekecewaan yang tergambar jelas di matanya. "Apa ini, Kak? Kau itu calon suami Kak Alin. Bahkan, kau sendiri yang baru saja mengatakan kalau aku adikmu juga. Bagaimana kau bisa memintaku bermalam denganmu?" ucapnya tegas dengan mata berkaca-kaca.
Ray hanya mengangkat kedua bahunya, masih menanggapi suasana itu dengan santai. "Apa masalahnya? Alin juga hanya kakak tirimu dan dia juga tak akan tahu." balas Ray dengan senyuman smirk.
Laura menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku tak menyangka kau pria yang seperti ini. Aku pikir, kau benar-benar bisa membantuku dengan cara yang baik. Tapi nyatanya, kau sengaja ingin memanfaatkan keadaan ini. Sayangnya, aku tak bisa memenuhi persyaratanmu. Aku juga tak mau menyakiti Kak Alin, meski dia memang bukan kakak kandungku. Atas semuanya, terima kasih banyak, Tuan Ray." ucap Laura dengan nada bergetar.
Laura segera merapikan berkasnya. Barulah kemudian, ia mulai melangkah pergi.
"Jadi kau memilih keadaan ayahmu semakin buruk?"
Sontak ucapan itu menghentikan langkah Laura.
"Berita itu sudah tersebar, Laura. Jika sampai ayahmu tahu, nyawanyalah yang jadi taruhannya. Bukankah ia sesak napas sebelumnya?"
Ucapan Ray itu membuat pikiran Laura kacau. Tapi yang paling ia cemaskan adalah keadaan ayahnya. Laura tahu, dirinyalah satu-satunya harapan Niko saat ini.
Hingga tiba-tiba, Ray menempatkan sesuatu di atas berkas yang masih Laura genggam dalam diam.
"Aku menunggumu malam ini." ujar Ray dengan langsung berlalu begitu saja.
Laura makin terpaku, kemudian menatap alamat dari pria yang menjanjikan bantuan untuknya. Hatinya gelisah, pikirannya kacau, dan haruskah ia melakukan hal tersebut demi kepentingan yang mendesak?
*
Sore itu, Marcel mendekati Laura yang baru saja kembali dari perusahaan Ray. Rautnya sangat tak bersahabat dan ia bahkan kembali begitu terlambat. Marcel sampai khawatir terjadi sesuatu di tengah perjalanan Laura.
Namun faktanya, Laura tengah mencari bantuan lain. Namun sayangnya, hanya Ray saja yang benar-benar bisa membantunya menyelesaikan masalah besar tersebut.
"Bagaimana, Laura? Apa Ray setuju dan mau membantu kita?" tanya Marcel dengan begitu penasaran.
Laura hanya diam, tatapannya kosong, hingga membuat Marcel menatap bingung pada keadaan gadis itu.
"Laura, kau baik-baik saja?"
Laura menghela napas panjang, kemudian menatap Marcel dengan senyum tipis. "Ya, aku baik-baik saja, Paman."
Marcel pun tersenyum lega. "Laura, tadi ayahmu menghubungiku dan menanyakan masalah di perusahaan kita ini. Aku tak berani menjelaskan secara detail dan aku hanya mengatakan jika kau akan menangani semuanya." ungkapnya dengan tatapan gelisah.
Laura masih diam, mendengarkan dengan menatap kosong ke depan. Hingga kemudian, Laura menoleh dan tersenyum kecil.
"Tak apa, Paman. Kau melakukan hal yang benar. Aku akan berusaha mengatasi semua ini. Kak Ray pula akan membantu kita. Jadi, kau tenang saja, Paman." jelas Laura yang membuat Marcel tersenyum lega.
*
Malam itu, Laura sampai di hunian yang tak disangkanya akan sebesar dan semewah istana. Bahkan bisa dibilang, hampir semua bagian dari hunian itu terbuat dari emas.
"Apa ini benar-benar tempat tinggalnya?" gumamnya dengan kembali menatap kartu alamat yang ada di tangannya.
"Selamat datang Laura," ujar seorang pria dengan suara khasnya.
Sontak Laura terkejut dengan suara yang tak asing itu. Dan benar, sosok Ray muncul saat ia baru saja berbalik.
"Akhirnya, kau datang juga. Ayo, masuklah," ucap Ray dengan berjalan lebih dulu.
Laura masih tak mau bersuara, lalu ia pun terpaksa mengikuti langkah pria yang berjalan memasuki hunian itu. Dan saat sampai di ruang tamu, Ray menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Laura.
"Aku sudah menyiapkan hidangan sambutan untukmu. Semuanya ada di kamar. Tapi, apa kau setuju jika kita ke sana sekarang?" ucapnya dengan seringai senyuman.
Laura hanya mengangguk, dengan rasa gelisah dan takut yang berpadu menjadi satu. Sementara itu, Ray justru merasa santai dan juga merasa senang akan persetujuan Laura. Ray kembali melanjutkan langkahnya, dengan Laura yang masih mengikutinya.
Hingga tak lama kemudian, keduanya telah sampai di kamar pribadi nan mewah milik Ray. Laura masih terpaku di depan pintu, namun dengan segera Ray menarik tangannya dan membawanya masuk.
Memang benar jika semua fasilitas dan bahkan sajian telah tertata begitu lengkap di sana. Bahkan, yang membuat Laura tak menyangka adalah karena kamar tersebut layaknya menyambut pengantin untuk malam pertama.
Dengan senyuman lebar, "Ini adalah kamarku. Apa kau suka?" ujar Ray sembari berjalan untuk mengambil bunga mawar dari tempatnya.
Laura hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Namun kemudian, tatapan matanya terkejut saat mendapati Ray mengelupas tiap kelopak bunga mawar itu dan menaburkannya ke atas ranjang.
"A... apa yang kau lakukan itu, Kak?" tanya Laura dengan sedikit gagap.
Di depan sebuah hunian yang dipenuhi kobaran api, Laura terduduk lemas begitu saja. Rumah yang merupakan tempat masa kecilnya tumbuh hingga sedewasa itu, namun nyatanya telah menjadi makanan 'Si Jago Merah'."Bagaimana ini bisa terjadi?" ujar Laura dengan masih tak menyangka."Apa kau baik-baik saja, Laura?" Niko mendekat dan membangunkan putrinya itu. Laura mengangguk meski masih terisak. "Kenapa rumah kita bisa terbakar, Pa?" tanyanya kecewa. Niko pun tak kuasa menahan raut sedih di wajahnya, "Papa juga tak tahu, Nak. Papa masih di kantor sampai akhirnya mamamu menelepon dengan ia yang sudah terbatuk-batuk. Papa pun kemari dan semua sudah hangus terbakar." jelasnya seraya memeluk putrinya itu. "Lalu, bagaimana dengan Mama dan Kak Alin, Pa?" Laura menatap Niko dengan penuh tanda tanya dan menuntut jawaban. Niko menghela napas kasar seraya menunduk, "Mereka sudah dibawa ke rumah sakit, Laura. Yang Papa tak habis pikir, mereka terkunci dan tak bisa keluar dari rumah sampai mereka p
"Kak Ray?"Ray menyeringaikan senyum seraya menyilangkan tangan di depan dada. "Kenapa? Kau terkejut?""Bagaimana aku bisa di sini?" Laura sontak menunduk dan memeriksa pakaiannya. Kebingungan terpampang jelas di wajahnya. "Aku sama sekali tak berbuat apa pun padamu. Tenang saja," ucap Ray datar. Laura menatap Ray serius, mencari jawaban atas kebingungan yang melandanya. "Kau yang membawaku kemari?""Lalu apa? Kau ingin berada bersama Arhan yang hampir berniat gila padamu, begitu?" tanyanya balik.Mendengar nama Arhan, seketika memori yang tadinya kabur mulai tersusun kembali di benak Laura. Ia teringat saat-saat terakhir sebelum ia pingsan, di mana Arhan dengan senyum manisnya memberikan minuman yang ternyata mengandung sesuatu yang membuatnya tak sadarkan diri. "Jadi dia yang membuatku pingsan lewat minuman itu?"Ray tersenyum sinis, "Kau baru sadar? Masih untung aku tahu dan kau sekarang aman di sini," jelasnya dengan nada yang penuh kekesalan. "Sama saja," gumam Laura yang memb
Sampai di rumah, Laura terkejut mendapati Alin sudah berada di rumah. Ia tengah duduk santai di sofa ruang tamu sembari menonton televisi. "Kak, kapan kau pulang?" Alin menoleh sekilas, kemudian kembali menatap drama kesukaannya. "Sejak pukul 10 pagi tadi. Apa kau tak lihat i* story-ku?" jawabnya sembari menoleh kembali pada Laura. Laura menggeleng, tanda ia tak tahu. Sedangkan Alin menghela napas kasar, kemudian matanya membulat saat tahu Ray muncul di belakang Laura. Dengan ekspresi cemburu, Alin menatap tajam Ray. "Ray? Kenapa kau bersama Laura?" tanyanya dengan nada yang terdengar tak suka. "Hanya kebetulan, Sayang. Tadi aku melihat dia dihadang oleh pria nakal, karena itu aku mengajaknya pulang, sekaligus karena aku memang ingin menjengukmu." jawab Ray dengan begitu enteng. "Padahal dia sendiri pria nakal itu." batin Laura kesal. Laura memalingkan wajah kala Ray menoleh ke arahnya dengan seringai senyuman yang menyebalkan. Sementara itu, Nera yang mendengar penjelasan
"Boleh kucoba dulu makanannya? Aku ingat kau punya alergi kacang dan aku hanya ingin memastikan makananmu tak mengandung bahan-bahan itu." Ucapan Laura itu membuat Ray tersenyum sinis seraya geleng-geleng kepala. Sementara itu, Alin justru mengangguk, merespon ucapan Laura dengan baik. Ray pun menyerahkan makanan itu pada Laura, dengan tatapan mereka yang saling beradu dengan begitu serius. Ray tahu, Laura pasti menduga jika ia membubuhkan sesuatu dalam makanan Alin itu. Hingga setelah Laura mencoba makanan itu, tak ada reaksi apa pun dalam dirinya. "Sekarang, aku yakin makananmu aman, Kak. Makanlah," ujarnya sembari tersenyum lembut. Alin pun mengangguk dan balas tersenyum. "Terima kasih karena sudah memastikan ini, Laura.""Sama-sama, Kak."Ray tiba-tiba mengulurkan tangannya, "Biar aku yang menyuapi kakakmu," ucapnya yang membuat Laura langsung menyerahkan makanan tersebut padanya. Ray dengan lembut mulai menyuapi Alin dan tepat di hadapan Laura. Pria itu terlihat begitu perh
Sampai di restoran yang dituju, Ray segera memesan dua porsi makanan. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Laura. Meski Laura sudah menolak, namun Ray tetap menarik paksa Laura keluar dari mobil dan agar mau makan bersamanya."Ini benar-benar pemaksaan." Ray hanya tertawa kecil seraya masih menikmati hidangannya. Entah mengapa, ia begitu senang melihat kekesalan wanita di hadapannya itu. Belum lagi, ekspresinya yang kesal saat makan, membuat sisa makanan menempel di sudut bibirnya.Laura yang masih menyendokkan garpu ke makanannya sontak terkejut saat Ray tiba-tiba menyeka bibirnya menggunakan tangannya langsung. Yang lebih membuat ia terkejut, Ray menyesap sisa makanan itu dari tangannya, tanpa rasa jijik sedikit pun."Kau makan seperti anak TK." Ray tersenyum sembari geleng-geleng kepala.Laura sendiri masih terpaku, merasa tak menyangka akan hal yang baru saja ia lihat itu.Ray yang masih mengunyah makanannya pun sontak terhenti kala melihat diamnya Laura. "Ada apa?"Laura spont
Ray mendekat, menatap Laura dengan senyuman sinis. "Menurutmu apa? Aku tak mungkin melakukan sesuatu hal tanpa sebab. Harusnya, kau sedikit berterima kasih karena aku membantu keadilan untuk ibumu." jelasnya dengan kemudian langsung meninggalkan Laura begitu saja.Dalam kebingungan dan kekhawatiran yang mendalam tentang apa yang sebenarnya terjadi, Laura pun menyusul langkah cepat Ray. Hingga saat sampai di depan ruang Alin, Laura mencekal tangan pria itu, hingga membuatnya terkejut dan menatap intens padanya. "Ada apa?""Apa yang sebenarnya kau ketahui?" Tatapan Laura benar-benar tajam, seolah penuh penuntutan. Ray tersenyum tipis, kemudian memegang tangannya. "Aku tak bisa mengatakannya.""Kenapa tak bisa? Kau harus mengatakannya!" tuntut tegas Laura.Ray hanya diam, kemudian tiba-tiba melepas jasnya dan ia gunakan itu untuk menutup punggung Laura. Laura sendiri terkejut dengan tindakan Ray, dengan tatapannya yang masih tajam. "Aku memintamu menjawab pertanyaanku, bukan meminta