Setelah bisa menguasai dirinya kembali, Ara melangkah menuju meja makan bergabung bersama kedua orang tuanya.
"Selamat pagi," sapa Ara kepada kedua orangtuanya.
"Pagi sayang, kok telat?"
"Bukannya pak satpam sudah bilang? Tadi aku ada telepon dadakan Bu."
Ibu Ara yang bernama Tika mengangguk dan kemudian menatap lekat wajah Ara yang terlihat begitu tenang sambil mengambil nasi goreng ke dalam piring nya.
Benar saja apa yang telah Ara duga bahwa ibunya itu akan memasak banyak saat mendengar kabar dirinya akan datang walaupun sering sekali ia mengingkari janji nya untuk pulang itu.
"Ardan, mengapa kau disitu nak. Sini, duduklah bersama." Titah sang ayah saat melihat Ardan yang hanya berdiri di tempat ia menyambut kedatangan Ara tadi.
Ardan mengangguk dan kemudian berjalan mendekati meja makan.
"CK! Masih punya muka ternyata kau pulang setelah kejadian itu." Sinis Ara sambil memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut nya.
"Kenapa aku harus tidak punya muka untuk pulang ke rumah orang tuaku sendiri?" Balas Ardan.
Ara masih tampak tenang sambil memakan nasi goreng nya dengan lahap. Habis berdebat panjang bersama Tian tadi dan kemudian harus menerima kehadiran Ardan yang tiba-tiba sungguh sangat menguras banyak tenaga.
"Apa yang membawamu pulang huh?"
"Habiskan dulu sarapanmu itu, setelah itu temui aku di kamarku. Ku rasa, kita perlu bicara untuk sedikit meluruskan semua yang masih belum bisa dikatakan jelas untuk mu."
"Kenapa baru sekarang kita harus bicara? Kau kira dirimu siapa hm?" Balas Ara masih dengan kesinisannya itu.
"Terserah, yang jelas aku menunggumu di kamar ku Ara." Setelah mengatakan itu Ardan langsung melangkah menaiki anak tangga untuk sampai ke kamarnya. Ibu dan ayahnya pun hanya bisa saling tatap melihat kedua anaknya itu yang seperti dua orang musuh padahal dulu sebelum kejadian itu mereka berdua orang yang saling ketergantungan satu sama lain.
"Tunggulah semampumu. Aku tidak akan datang menemui mu." Teriak Ara dengan lantang agar suaranya bisa didengar oleh Ardan yang sudah berada di lantai atas untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Ara," tegur sang ibu.
Ara menatap sinis ke arah ibunya, "Kenapa? Mau marah lagi huh? Belain aja terus anak kesayangan ibu itu."
"Ara!"
Ara menjatuhkan sendok dan garpu nya begitu saja diatas meja.
"Tujuh tahun berlalu dan kalian sama sekali masih sama."
"Ara dengar kan ayah dulu nak,"
"Tidak! Kalian yang harusnya dengarkan Ara sekarang. Sudah cukup selama ini Ara diam."
Ibu langsung menepuk kasar meja di hadapannya dan kemudian ia langsung pergi dari meja makan tanpa mengatakan apa-apa. Ara tersenyum sambil menatap punggung sang ibu yang semakin lama semakin hilang dari pantauan matanya itu.
"Kenapa? Kenapa ibu selalu bersikap seperti itu di setiap kali kita hampir membahas tentang tujuh tahun yang lalu hm? Apa kak Kirana sungguh tidak ada artinya sama sekali? Dimana peran kalian sebagai orang tua, mengapa kasus meninggalkan putri kalian hilang dalam daftar berita yang paling menghebohkan dunia tujuh tahun lalu itu ditutup kalian hanya diam? Kenapa Yah?"
"Tiara,"
"Apa? Apa lagi kali ini alasan kalian untuk buat aku kembali diam hm? Dulu aku mungkin masih sangat bocah tapi sekarang aku akan mengusut kasus ini sampai tuntas." Setelah mengatakan itu, Ara langsung berlari menuju lantai dua Dimana kamarnya berada meninggalkan ayahnya yang menegang di tempat.
Ayahnya diam, bayangan senyuman putri sulungnya itu menari-nari di ingatan. Jujur saja, ia sangat merindukan anak nya itu dan ia sungguh menyesali Kematian anaknya tujuh tahun yang lalu itu.
Andai saja waktu itu ia bisa sedikit mengerti dengan keadaan, atau andai saja dulu ia tak terlalu penakut pasti saat ini kebenaran itu tidak akan menghancurkan keluarganya itu.
Ia harus bermati-matian berjauhan dengan kedua anaknya itu. Menahan setiap rindu yang kadang datang meminta untuk sebuah temu yang tak pernah kesampaian.
Entah apa yang diPikirkan anak laki-laki nya itu hingga tiba-tiba semalam sudah ada di depan pintu rumah dengan membawa semua barang-barang nya. Padahal, waktu Ardan masih ada satu tahun lagi tinggal disana. Kejadian malam itu seperti meminta untuk mendapatkan titik temu dengan cara tiba-tiba.
**
Ara menatap keluar jendela, pikirannya kosong dengan mata yang menerawang jauh ke depan sana.
Bayangan saat bersama kakaknya bermain di ingatan mengajak dirinya untuk sebentar bernostalgia.
Flashback on
"Kemari lah Ara," ucap Kirana sambil menepuk-nepuk sebuah tempat kosong di sebelahnya.
Ara yang masih kecil itu langsung menganggukkan kepalanya dan kemudian berjalan mendekati sang kakak.
Saat ini mereka sedang berlibur bertiga di sebuah pantai. Ardan sedang mencari makanan yang bisa membuat adiknya itu tidak kelaparan.
Di depan mereka terbentang laut lepas dengan pemandangan yang begitu indah.
"Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti?"
"Menikah." Jawab Ara dengan polosnya.
Kirana terkekeh mendengar jawaban adik bungsunya, "Setiap orang pasti menikah Ara, dan menikah juga bukan merupakan sebuah cita-cita."
"Lalu, apa itu cita-cita kak? Apa itu sejenis makanan ringan atau makanan berat?"
Kembali Kirana terkekeh mendengar jawaban Ara, wajar saja jika ia seperti itu karena selama ini ia hidup dalam lingkungan tertutup. Bahkan sekolah pun ia sekolah dirumah, kedua orang tuanya tidak mengizinkan Ara untuk bergaul dengan siapa saja. Pertumbuhan Ara begitu dipantau oleh kedua orang tuanya."
"Ara, berjanjilah jika suatu saat aku terlebih dahulu dipanggil oleh Tuhan. Berjanjilah kau harus tetap menerima apapun penjelasan dari ayah atau ibu. Kau harus menerima semua yang mereka katakan."
Ara mengernyitkan alisnya, sungguh ia benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan sang kakak sebenarnya. Ia masih delapan belas tahun dan masih sangat susah mencerna ucapan orang dewasa.
"Apa kau akan pergi jauh kak?" Tanya Ara. Entah kenapa jawaban itu muncul begitu saja dari Mulutnya.
Kirana tersenyum dengan begitu tulus membuat Ara terpesona dengan kecantikan sang kakak.
"Suatu saat Ra, kau akan mengetahui semuanya dan saat hari itu ku harap kau akan benar-benar siap Ra. Kau adikku, dan ku harap kau akan tetap menjadi adikku pada suatu hari nanti." Jawab Kirana.
Flashback off
Suara ketukan pintu membuat Ara tersadar dari lamunan panjang nya tentang sang kakak. Padahal ia benar-benar ingin mengingat dengan jelas kenangan terakhir bersama sang kakak dulunya.
"Siapa?" Tanya Ara sambil melihat pintu berwarna putih yang sedang tertutup itu.
"Aku."
Tanpa disebut nama juga Ara sudah begitu mengenal suara yang ada di balik pintu itu. Dia Ardan, kakak nya yang entah kenapa begitu Ara benci padahal dulu ia begitu mengidolakan sang kakak, tapi semuanya berubah ketika Kirana terserat dalam kasus kematian di sebuah club malam yang mengisahkan banyak tanya di benak Ara. Karena pada malam kejadian itu Ardan dan Kirana pergi bersama, lalu penjelasan seperti apa yang harus ia terima saat tiba-tiba saat pagi tiba dan berita pembunuhan tersebar Ardan sudah menghilang bagaikan ditelan bumi bersama barang-barang nya.
Alasan apa yang bisa menjelaskan kejadian tujuh tahun lalu itu? Entahlah, dirinya juga tidak tahu karena ia selalu menolak untuk lupa peristiwa malam itu.
Tok..tok..tokPintu kembali diketuk oleh manusia Yang sangat malas Ara lihat. Ia tidak tahu mimpi apa dirinya semalam sampai bisa menerima nasib kurang bagus pagi ini."Ara." Panggil Ardan dari luar dengan begitu lembut.Setelah malam itu ia tak pernah lagi mendengar suara Ardan bahkan ia lupa bagaimana suara Ardan yang selalu menenangkan dirinya dalam tangis."Ara, please bicaralah. Aku tahu kau ada di dalam."Ara diam, ia masih menatap kosong ke arah pintu itu. Bahkan untuk membuka mulut saja rasanya begitu susah. Apakah sebegitu benci nya dirinya terhadap Ardan?"Ara beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya Ra." Ucap Ardan lagi di balik pintu itu sambil mengetuk pintu kamar Ara.Dengan langkah gontai Ara melangkah mengambil baju di lemari dan kemudian langsung melangkah menuju kamar mandi miliknya. Sepertinya ia butuh menenangkan
Lepas." Ucap Ara sambil mengeluarkan dirinya dari pelukan Ardan.Ardan menganga tak menyangka bahwa Ara bisa melakukan itu kepada nya. Sejak tadi ia berharap bahwa Ara akan kemabli menjadi adik bungsu nya seperti dulu lagi. Namun entah kenapa rasanya sulit sekali untuk menghara hak itu untuk terjadi mengingat tujuh tahun berlalu tak pernah ada sapaan ataupun komunikasi antara mereka berdua"Jangan sentuh aku lagi. Tolong, tetaplah pada batasanmu."Ardan terdiam cukup lama akibat ucapan Ara barusan. Namun setelah ia bisa menguasai dirinya ia berdehem sebelum untuk mencair kan suasana.Matanya menyapu sekeliling kamar Ara dan berhenti di sebuah bingkai foto. Bibirnya mengembangkan senyuman yang entah mau dikatakan apa
"Hai nona Pelacur." Sapa orang itu sambil mengembangkan senyumnya.Ara terdiam, ditatap nya laki-laki yang berada di hadapan itu."Kamu lagi!" Ucap Ara yang sedikitpun tidak membuat senyum di wajah laki-laki itu luntur."Mau ngapain kamu kesini? Aku rasa telinga mu sedang tidak bermasalah hingga perkataan ku tadi pagi pasti bisa kamu dengar dengan baik bukan?" Lanjut Ara."Apa pembantu mu tadi tidak mengatakan siapa yang datang padamu hm?"Dengan polosnya Ara mengangguk, "Pacar katanya."Tian mengangguk, "Nah itu kamu sudah tahu. Jadi ceritanya itu sekarang pacar kamu ini mau ngajak kamu maka
Ardan terdiam di dalam kamarnya, pikirannya menerawang saat melihat Tian dan Ara bersama tadi. Entahlah ia merasa seperti sesuatu yang buruk akan segera terjadi pada adik bungsunya itu."Bagaimana bisa Ara mengenal Tian? Ah, laki-laki itu juga seperti kurang puas dengan kejadian yang pernah terjadi?" Tidak! Ia tidak akan ingin membuat nasib adiknya itu sama seperti Kirana. Cukup Kirana jangan Ara.Sepertinya kepulangan nya itu merupakan hal yang benar. Tidak masalah jika Ara belum bisa menerima nya yang jelas ia akan terus memantau apa saja yang dilakukan Ara mulai sekarang. Ia harus bergerak cepat sebelum semuanya kembali sia-sia lagi.Matanya beralih menatap foto tujuh tahun yang lalu saat masih ada Kirana diantara mereka. Rasanya hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan di dunia. Sungguh, ia begitu merindukan hari itu lagi.Andai waktu bisa diulang sebentar saja, ia ingin kembali me
Ardan membuka pintu kamarnya saat sejak tadi ia mendengar Ara tak henti-hentinya mengedor pintu kamarnya."Kenapa?" Tanya Ardan saat melihat Ara yang sudah begitu rapi dan pakaiannya juga sedikit terbuka dan begitu ketat menampakkan bentuk tubuhnya itu."Pinjam mobil." Jawab Ara dengan begitu sinis."Untuk apa?""Mau pergi.""Kemana?""Pergilah pokoknya.""Ya kemana dulu.""Pergi yang jauh.""Ya udah gue antar ya." Jawab Ardan akhirnyaMendengar itu Ara langsung terbelalak, "No!" Pekik Ara kuat. Tak akan ia biarkan Ardan mengantar nya.Melihat itu Ardan langsung menaikkan alisnya, ia menangkap sesuatu yang aneh pada diri Ara."Why?""Aku dan kamu tidak dekat jadi berhentilah untuk peduli tentangku. Aku tidak membut
Ara membawa langkah kakinya ke sebuah club malam dimana ia dan Tian kemarin. Hati nya benar-benar kesal dengan sikap Ardan tadi. Dia pikir dirinya siapa bisa mengatur-ngatur hidupnya seperti itu!Wajah kesal itu tak pudar sedikitpun sampai ia masuk ke dalam club malam yang langsung disambut Dengan berisik nya bunyi DJ yang merusak gendang telinga. Di beberapa tempat juga banyak sekali orang yang sedang bertukar oksigen dibawa redupnya lampu itu.Dirinya benar-benar sedang malas hari ini, moodnya hancur karena Ardan tadi. Entahlah, dirinya juga tidak tahu apa alasan dari kepulangan Ardan itu.Tapi apapun alasannya itu Tiara tidak peduli. Ia sudah malas dengan Ardan. Laki-laki yang sangat ia cinta dulu itu mengapa harus menjelma menjadi orang pertama yang menyakitinya tujuh tahun yang lalu hingga saat ini.Masih segar di ingatan nya itu bagaimana Ardan begitu menyayangi Dirinya dan juga Karina si kemba
"Akhirnya kamu datang juga." Ucap seseorang yang langsung menyadarkan Ara dari lamunannya tentang kedua kakak kembarnya itu.Ara menoleh ke arah sumber suara, di sana sudah ada Tian yang sedang tersenyum melihat nya."Hai nona pelacur, kita bertemu lagi." Sapa Tian.Ara mengalihkan pandangannya ke arah lain, entah kenapa hari ini ia begitu sial bertemu dengan Tian berkali-kali serta sang kakak yang menyebalkan."Apa mau mu tuan?" Tanya Ara sinis.Mendengar nada bicara sinis Ara, Tian terkekeh."Hei, tidakkah kau harus belajar ramah tamah dulu sebelum menjadi seorang pelacur itu hm?""Oh ya? Mungkin aku akan ramah tamah nya nanti saat benar-benar menemukan orang yang ingin membeli ku." Jawab Ara yang kembali mengundang tawa dari Tian."Ahahha, seseorang yang ingin membelimu? Kau bercanda nona?""Ak
Ara pulang ke kostnya pukul dua dini hari. Ia sangat malas untuk pulang kerumah besar itu. Malas untuk berdebat dengan Ardan yang entah kenapa terlalu begitu posesif sekarang kepada nya.Tapi tunggu dulu, posesif? Ah iya, ia lupa jika laki-laki yang Pernah ia taruh harapan untuk dinikahi itu memang begitu posesif kepada dirinya dan juga Karina.Masih ingat dengan jelas bagaimana ia begitu menyayangi dan menjaga dirinya dan juga Karina dengan begitu penuh sayang.Tapi itu dulu, dulu sekali sebelum kejadian tujuh tahun itu membuat semuanya menjadi berubah. Tak ada lagi cinta dan sayang yang diperlihatkan oleh Ardan. Tak ada lagi sosok yang selalu menajdi sandaran untuk dirinya. Semuanya benar-benar berubah setelah kejadian Kematian Karina waktu itu.Dan hidupnya juga berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Orang tuanya yang begitu menutup rapat tentang pembunuhan ini serta polisi yang la