Share

Tentang Tujuh Tahun Lalu

Setelah bisa menguasai dirinya kembali, Ara melangkah menuju meja makan bergabung bersama kedua orang tuanya.

"Selamat pagi," sapa Ara kepada kedua orangtuanya.

"Pagi sayang, kok telat?" 

"Bukannya pak satpam sudah bilang? Tadi aku ada telepon dadakan Bu."

Ibu Ara yang bernama Tika mengangguk dan kemudian menatap lekat wajah Ara yang terlihat begitu tenang sambil mengambil nasi goreng ke dalam piring nya.

Benar saja apa yang telah Ara duga bahwa ibunya itu akan memasak banyak saat mendengar kabar dirinya akan datang walaupun sering sekali ia mengingkari janji nya untuk pulang itu.

"Ardan, mengapa kau disitu nak. Sini, duduklah bersama." Titah sang ayah saat melihat Ardan yang hanya berdiri di tempat ia menyambut kedatangan Ara tadi.

Ardan mengangguk dan kemudian berjalan mendekati meja makan.

"CK! Masih punya muka ternyata kau pulang setelah kejadian itu." Sinis Ara sambil memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut nya.

"Kenapa aku harus tidak punya muka untuk pulang ke rumah orang tuaku sendiri?" Balas Ardan.

Ara masih tampak tenang sambil memakan nasi goreng nya dengan lahap. Habis berdebat panjang bersama Tian tadi dan kemudian harus menerima kehadiran Ardan yang tiba-tiba sungguh sangat menguras banyak tenaga.

"Apa yang membawamu pulang huh?"

"Habiskan dulu sarapanmu itu, setelah itu temui aku di kamarku. Ku rasa, kita perlu bicara untuk sedikit meluruskan semua yang masih belum bisa dikatakan jelas untuk mu."

"Kenapa baru sekarang kita harus bicara? Kau kira dirimu siapa hm?" Balas Ara masih dengan kesinisannya itu.

"Terserah, yang jelas aku menunggumu di kamar ku Ara." Setelah mengatakan itu Ardan langsung melangkah menaiki anak tangga untuk sampai ke kamarnya. Ibu dan ayahnya pun hanya bisa saling tatap melihat kedua anaknya itu yang seperti dua orang musuh padahal dulu sebelum kejadian itu mereka berdua orang yang saling ketergantungan satu sama lain.

"Tunggulah semampumu. Aku tidak akan datang menemui mu." Teriak Ara dengan lantang agar suaranya bisa didengar oleh Ardan yang sudah berada di lantai atas untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Ara," tegur sang ibu.

Ara menatap sinis ke arah ibunya, "Kenapa? Mau marah lagi huh? Belain aja terus anak kesayangan ibu itu."

"Ara!"

Ara menjatuhkan sendok dan garpu nya begitu saja diatas meja.

"Tujuh tahun berlalu dan kalian sama sekali masih sama."

"Ara dengar kan ayah dulu nak,"

"Tidak! Kalian yang harusnya dengarkan Ara sekarang. Sudah cukup selama ini Ara diam."

Ibu langsung menepuk kasar meja di hadapannya dan kemudian ia langsung pergi dari meja makan tanpa mengatakan apa-apa. Ara tersenyum sambil menatap punggung sang ibu yang semakin lama semakin hilang dari pantauan matanya itu.

"Kenapa? Kenapa ibu selalu bersikap seperti itu di setiap kali kita hampir membahas tentang tujuh tahun yang lalu hm? Apa kak Kirana sungguh tidak ada artinya sama sekali? Dimana peran kalian sebagai orang tua, mengapa kasus meninggalkan putri kalian hilang dalam daftar berita yang paling menghebohkan dunia tujuh tahun lalu itu ditutup kalian hanya diam? Kenapa Yah?"

"Tiara,"

"Apa? Apa lagi kali ini alasan kalian untuk buat aku kembali diam hm? Dulu aku mungkin masih sangat bocah tapi sekarang aku akan mengusut kasus ini sampai tuntas." Setelah mengatakan itu, Ara langsung berlari menuju lantai dua Dimana kamarnya berada meninggalkan ayahnya yang menegang di tempat.

Ayahnya diam, bayangan senyuman putri sulungnya itu menari-nari di ingatan. Jujur saja, ia sangat merindukan anak nya itu dan ia sungguh menyesali Kematian anaknya tujuh tahun yang lalu itu.

Andai saja waktu itu ia bisa sedikit mengerti dengan keadaan, atau andai saja dulu ia tak terlalu penakut pasti saat ini kebenaran itu tidak akan menghancurkan keluarganya itu.

Ia harus bermati-matian berjauhan dengan kedua anaknya itu. Menahan setiap rindu yang kadang datang meminta untuk sebuah temu yang tak pernah kesampaian.

Entah apa yang diPikirkan anak laki-laki nya itu hingga tiba-tiba semalam sudah ada di depan pintu rumah dengan membawa semua barang-barang nya. Padahal, waktu Ardan masih ada satu tahun lagi tinggal disana. Kejadian malam itu seperti meminta untuk mendapatkan titik temu dengan cara tiba-tiba.

**

Ara menatap keluar jendela, pikirannya kosong dengan mata yang menerawang jauh ke depan sana.

Bayangan saat bersama kakaknya bermain di ingatan mengajak dirinya untuk sebentar bernostalgia.

Flashback on

"Kemari lah Ara," ucap Kirana sambil menepuk-nepuk sebuah tempat kosong di sebelahnya.

Ara yang masih kecil itu langsung menganggukkan kepalanya dan kemudian berjalan mendekati sang kakak.

Saat ini mereka sedang berlibur bertiga di sebuah pantai. Ardan sedang mencari makanan yang bisa membuat adiknya itu tidak kelaparan.

Di depan mereka terbentang laut lepas dengan pemandangan yang begitu indah.

"Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti?"

"Menikah." Jawab Ara dengan polosnya.

Kirana terkekeh mendengar jawaban adik bungsunya, "Setiap orang pasti menikah Ara, dan menikah juga bukan merupakan sebuah cita-cita."

"Lalu, apa itu cita-cita kak? Apa itu sejenis makanan ringan atau makanan berat?"

Kembali Kirana terkekeh mendengar jawaban Ara, wajar saja jika ia seperti itu karena selama ini ia hidup dalam lingkungan tertutup. Bahkan sekolah pun ia sekolah dirumah, kedua orang tuanya tidak mengizinkan Ara untuk bergaul dengan siapa saja. Pertumbuhan Ara begitu dipantau oleh kedua orang tuanya."

"Ara, berjanjilah jika suatu saat aku terlebih dahulu dipanggil oleh Tuhan. Berjanjilah kau harus tetap menerima apapun penjelasan dari ayah atau ibu. Kau harus menerima semua yang mereka katakan."

Ara mengernyitkan alisnya, sungguh ia benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan sang kakak sebenarnya. Ia masih delapan belas tahun dan masih sangat susah mencerna ucapan orang dewasa.

"Apa kau akan pergi jauh kak?" Tanya Ara. Entah kenapa jawaban itu muncul begitu saja dari Mulutnya.

Kirana tersenyum dengan begitu tulus membuat Ara terpesona dengan kecantikan sang kakak.

"Suatu saat Ra, kau akan mengetahui semuanya dan saat hari itu ku harap kau akan benar-benar siap Ra. Kau adikku, dan ku harap kau akan tetap menjadi adikku pada suatu hari nanti." Jawab Kirana.

Flashback off

Suara ketukan pintu membuat Ara tersadar dari lamunan panjang nya tentang sang kakak. Padahal ia benar-benar ingin mengingat dengan jelas kenangan terakhir bersama sang kakak dulunya.

"Siapa?" Tanya Ara sambil melihat pintu berwarna putih yang sedang tertutup itu.

"Aku." 

Tanpa disebut nama juga Ara sudah begitu mengenal suara yang ada di balik pintu itu. Dia Ardan, kakak nya yang entah kenapa begitu Ara benci padahal dulu ia begitu mengidolakan sang kakak, tapi semuanya berubah ketika Kirana terserat dalam kasus kematian di sebuah club malam yang mengisahkan banyak tanya di benak Ara. Karena pada malam kejadian itu Ardan dan Kirana pergi bersama, lalu penjelasan seperti apa yang harus ia terima saat tiba-tiba saat pagi tiba dan berita pembunuhan tersebar Ardan sudah menghilang bagaikan ditelan bumi bersama barang-barang nya.

Alasan apa yang bisa menjelaskan kejadian tujuh tahun lalu itu? Entahlah, dirinya juga tidak tahu karena ia selalu menolak untuk lupa peristiwa malam itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status