Setelah berdebat terlalu panjang bersama Tian akhirnya keduanya berakhir di sebuah warung pinggir jalan untuk memakan bubur ayam sebagai pengganjal perut di pagi hari.
"Ck! Tak hanya pelit kau juga perhitungan ternyata."
Tian menaikkan alisnya dan menghentikan suapan lontong yang ia pesan tadi. "kenapa?" Tanya Tian seperti tidak bersalah sama sekali.
"Kenapa?" Ara mengulang pertanyaan Tian tadi dengan nada yang sangat kesal.
"Yang seperti ini kah yang membuat kau menelponku malam-malam? Sarapan seperti inikah yang kau maksud?" Lanjut Ara yang masih tak percaya bahwa Tian mengajak dirinya sarapan di warung pinggir jalan seperti saat ini.
Bukannya dirinya tidak suka atau tidak level makan di warung seperti ini melainkan dirinya masih tidak terima bahwa pengusaha sukses dan terkenal seperti Tian itu mengajak dirinya sarapan ditempat ini.
Bukankah seharusnya Tian mengajak dirinya makan di sebuah restoran mewah atau di sebuah cafe gitu? Seenggaknya bukankah Tian harus menjaga image nya seperti kebanyakan laki-laki saat pertama kali kenal?
Astaga, bahkan semuanya itu tak satupun dilakukan oleh Laki-laki di hadapannya itu. Hanya tadi malam ia menikmati keindahan cafe yang diakui punya laki-laki di hadapannya itu.
"Ck! Habis kan saja bubur mu itu nona. Jangan pernah menjadi orang yang sangat mubazir. Kau tahu, betapa sulitnya mencari uang seribu rupiah itu. Dan tak akan ku izinkan kau membuang makanan ini walau satu suap pun." Ucap Tian santai.
Ara memutar bola matanya malas,"Astaga, kau terlalu perhatian sekali ternyata."
"Terimakasih nona atas pujiannya, aku sangat tersanjung."
"Astaga, kau tidak mengerti mimik wajah, cara bicara yang mengandung sindiran ternyata."
"Aku lebih suka yang langsung pada intinya tanpa sindir menyindir memberikan kode agar peka nona. Aku sangat simpel dan maka itu aku tidak menyukai orang yang ribet. Seperti anda contoh nya."
"Maksudnya, aku orang yang ribet?" Tanya Ara tak terima.
"Aku tidak mengatakan seperti itu nona."
"Astaga kau sangat menguji kesabaran ku ternyata tuan."
"Aku sedang tidak menguji kesabaranmu nona, aku sedang mengajak mu sarapan. Seharusnya kau mengatakan kepadaku betapa baiknya diriku ini."
"Ah sudahlah, aku sungguh tidak ada selera untuk makan lagi. Berdebat denganmu sejak tadi saja sudah membuat ku menjadi kenyang."
"Iyakah seperti itu? Jika kau mengatakan sejak tadi sebaiknya kita berdebat saja agar aku tidak perlu repot-repot membayar semangkuk bubur mu itu. Setidaknya uang ku masih aman di dompet."
Ara benar-benar tidak tahan lagi untuk masih berada di warung itu, tanpa mengatakan apapun lagi Ara mengambil tas selempang nya dan mengeluarkan uang seratus ribu rupiah dan ia letakkan di atas meja.
"Terima Kasih untuk tawaran sarapan nya tuan sampai repot-repot menelponku tengah malam. Jika tahu seperti ini aku lebih memilih untuk sarapan bersama ayah dan ibuku di rumah saja. Sudah pasti mereka sudah menyiapkan sarapan yang spesial untuk kedatangan anaknya ini. Agar kau tidak merasa mubazir karena aku tidak menghabiskan makanan ku jadi biarkan aku saja yang membayar nya." Ucap Ara dengan begitu marah.
Rasa kesal dan menyesal membawa langkah nya untuk meninggalkan warung makan itu. Tapi baru beberapa langkah kakinya berhenti dan menoleh ke arah Tian yang masih sangat santai di tempatnya sambil menikmati sarapan lontong sayur nya itu.
"Semoga ini menjadi hari terakhir kita untuk bertemu tuan, setelah ini jangan pernah menelpon ku lagi. Sial sekali nasib ku, baru pertama menjadi pelacur malah mendapat pembeli yang sangat pelit seperti mu." Ucap Ara dan kemudian langsung melanjutkan langkahnya kembali tanpa berniat menoleh kebelakang lagi.
Hatinya sudah benar-benar kesal saat ini dengan kalakuan Tian yang entah mau dikatakan apa itu.
Sampai pada ia menghentikan kakinya di sebuah terminal di dekat situ pun tak ia lihat tanda-tanda bahwa Tian mengejar nya. Bukannya ia berharap tapi apa memang tidak ada sedikitpun niat di hati Tian itu? Bagaimanapun dialah yang mengajak Ara untuk sarapan bersama.
Tanpa memperdulikan lagi tentang Tian, Ara langsung menghentikan sebuah taksi yang melintas di depannya itu. Ara memberikan alamat nya pada supir itu dan taksi pun melaju dengan kecepatan rata-rata. Ara benar-benar kesal saat ini dan ia tak ingin lagi bertemu dengan Tian meskipun Takdir memaksa nya. Tidak! Tidak akan pernah itu terjadi selagi Tian masih begitu pelit dan perhitungan seperti itu.
Mungkin inilah yang dinamakan durhaka kepada orang tua. Seharusnya ia memenuhi janjinya pada sang ayah untuk hadir di meja makan pagi ini mengikuti sarapan bersama. Tapi karena Tian itu semuanya telah menjadi semu. Kini ia hanya tinggal berharap dengan pak Satpam penjaga rumah nya itu untuk menyelamatkan dirinya.
Bayang-bayang wajah ayahnya yang marah begitu menghantui dirinya saat ini saat ia hampir sampai di depan gerbang rumahnya itu. Beberapa doa turut ia panjatkan di detik-detik taksi akan berhenti.
Ara turun dari taksi setelah membayar uang taksinya. Hatinya berdebar-debar tak karuan saat melihat pintu pagar yang telah di buka oleh satpam. Namun ia langsung mengendalikan dirinya untuk tetap seperti biasanya di depan para pembantu di rumah sang papa nya itu.
"Selamat pagi Non." Sapa satpam itu
Ara melihat Arlojinya yang baru menunjukkan pukul 08:15. "Hm, pagi."
"Saya sudah mengatakan kepada Tuan tadi bahwa anda datang."
"Lalu?" Tanya Ara mendengar laporan dari Satpam nya itu.
"Tadi saya katakan bahwa nona ada telpon dadakan yang mengharuskan anda untuk pergi lagi."
"Hm, baiklah aku mengerti kembalilah bekerja lagi. Sisanya biar aku yang urus." Ucap Ara dan kemudian langsung melangkah untuk masuk ke rumahnya.
"Non,"
Ara menghentikan langkahnya saat pak Satpam itu kembali memanggilnya. "Ada apa?"
"Itu non,"
Ara menaikkan alisnya melihat wajah Satpam nya itu yang nampak ingin mengatakan sesuatu.
"Apa?"
"Tuan Ardan kembali semalam." Ucap Pak satpam itu setelah cukup lama diam.
Mendengar itu Ara langsung menegang di tempat nya, entahlah ia juga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi ia tak ingin menyimpulkan semua nya terlalu cepat.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Ara langsung berjalan cepat untuk masuk ke dalam rumah megah papanya itu. Dan kakinya langsung terhenti saat melihat Ardan di meja makan. Seperti nya laki-laki itu baru selesai makan.
"Ara." Ucap Ayah dan ibunya serentak saat melihat Ara di hadapan mereka.
"Morning baby." Sapa Ardan sambil melangkah menuju ke arah Ara.
Ara terdiam, tubuhnya menegang saat Ardan memeluk nya.
"Aku merindukanmu adikku sa-yang." Bisik Ardan ditelinga Ara sambil meniup leher jenjang Ara.
Setelah mengatakan itu, Ardan Langsung menatap wajah Ara yang tanpa ekspresi itu. Dapat ia lihat bahwa Ara benar-benar terkejut saat ini.
"Mari kita mulai semuanya sekarang." Ucap Ardan sambil mengembangkan sebuah senyuman yang memiliki banyak arti disana.
Setelah bisa menguasai dirinya kembali, Ara melangkah menuju meja makan bergabung bersama kedua orang tuanya."Selamat pagi," sapa Ara kepada kedua orangtuanya."Pagi sayang, kok telat?""Bukannya pak satpam sudah bilang? Tadi aku ada telepon dadakan Bu."Ibu Ara yang bernama Tika mengangguk dan kemudian menatap lekat wajah Ara yang terlihat begitu tenang sambil mengambil nasi goreng ke dalam piring nya.Benar saja apa yang telah Ara duga bahwa ibunya itu akan memasak banyak saat mendengar kabar dirinya akan datang walaupun sering sekali ia mengingkari janji nya untuk pulang itu."Ardan, mengapa kau disitu nak. Sini, duduklah bersama." Titah sang ayah saat melihat Ardan yang hanya berdiri di tempat ia menyambut kedatangan Ara tadi.Ardan mengangguk dan kemudian berjalan mendekati meja makan."CK! Masih punya muk
Tok..tok..tokPintu kembali diketuk oleh manusia Yang sangat malas Ara lihat. Ia tidak tahu mimpi apa dirinya semalam sampai bisa menerima nasib kurang bagus pagi ini."Ara." Panggil Ardan dari luar dengan begitu lembut.Setelah malam itu ia tak pernah lagi mendengar suara Ardan bahkan ia lupa bagaimana suara Ardan yang selalu menenangkan dirinya dalam tangis."Ara, please bicaralah. Aku tahu kau ada di dalam."Ara diam, ia masih menatap kosong ke arah pintu itu. Bahkan untuk membuka mulut saja rasanya begitu susah. Apakah sebegitu benci nya dirinya terhadap Ardan?"Ara beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya Ra." Ucap Ardan lagi di balik pintu itu sambil mengetuk pintu kamar Ara.Dengan langkah gontai Ara melangkah mengambil baju di lemari dan kemudian langsung melangkah menuju kamar mandi miliknya. Sepertinya ia butuh menenangkan
Lepas." Ucap Ara sambil mengeluarkan dirinya dari pelukan Ardan.Ardan menganga tak menyangka bahwa Ara bisa melakukan itu kepada nya. Sejak tadi ia berharap bahwa Ara akan kemabli menjadi adik bungsu nya seperti dulu lagi. Namun entah kenapa rasanya sulit sekali untuk menghara hak itu untuk terjadi mengingat tujuh tahun berlalu tak pernah ada sapaan ataupun komunikasi antara mereka berdua"Jangan sentuh aku lagi. Tolong, tetaplah pada batasanmu."Ardan terdiam cukup lama akibat ucapan Ara barusan. Namun setelah ia bisa menguasai dirinya ia berdehem sebelum untuk mencair kan suasana.Matanya menyapu sekeliling kamar Ara dan berhenti di sebuah bingkai foto. Bibirnya mengembangkan senyuman yang entah mau dikatakan apa
"Hai nona Pelacur." Sapa orang itu sambil mengembangkan senyumnya.Ara terdiam, ditatap nya laki-laki yang berada di hadapan itu."Kamu lagi!" Ucap Ara yang sedikitpun tidak membuat senyum di wajah laki-laki itu luntur."Mau ngapain kamu kesini? Aku rasa telinga mu sedang tidak bermasalah hingga perkataan ku tadi pagi pasti bisa kamu dengar dengan baik bukan?" Lanjut Ara."Apa pembantu mu tadi tidak mengatakan siapa yang datang padamu hm?"Dengan polosnya Ara mengangguk, "Pacar katanya."Tian mengangguk, "Nah itu kamu sudah tahu. Jadi ceritanya itu sekarang pacar kamu ini mau ngajak kamu maka
Ardan terdiam di dalam kamarnya, pikirannya menerawang saat melihat Tian dan Ara bersama tadi. Entahlah ia merasa seperti sesuatu yang buruk akan segera terjadi pada adik bungsunya itu."Bagaimana bisa Ara mengenal Tian? Ah, laki-laki itu juga seperti kurang puas dengan kejadian yang pernah terjadi?" Tidak! Ia tidak akan ingin membuat nasib adiknya itu sama seperti Kirana. Cukup Kirana jangan Ara.Sepertinya kepulangan nya itu merupakan hal yang benar. Tidak masalah jika Ara belum bisa menerima nya yang jelas ia akan terus memantau apa saja yang dilakukan Ara mulai sekarang. Ia harus bergerak cepat sebelum semuanya kembali sia-sia lagi.Matanya beralih menatap foto tujuh tahun yang lalu saat masih ada Kirana diantara mereka. Rasanya hari itu merupakan hari yang paling membahagiakan di dunia. Sungguh, ia begitu merindukan hari itu lagi.Andai waktu bisa diulang sebentar saja, ia ingin kembali me
Ardan membuka pintu kamarnya saat sejak tadi ia mendengar Ara tak henti-hentinya mengedor pintu kamarnya."Kenapa?" Tanya Ardan saat melihat Ara yang sudah begitu rapi dan pakaiannya juga sedikit terbuka dan begitu ketat menampakkan bentuk tubuhnya itu."Pinjam mobil." Jawab Ara dengan begitu sinis."Untuk apa?""Mau pergi.""Kemana?""Pergilah pokoknya.""Ya kemana dulu.""Pergi yang jauh.""Ya udah gue antar ya." Jawab Ardan akhirnyaMendengar itu Ara langsung terbelalak, "No!" Pekik Ara kuat. Tak akan ia biarkan Ardan mengantar nya.Melihat itu Ardan langsung menaikkan alisnya, ia menangkap sesuatu yang aneh pada diri Ara."Why?""Aku dan kamu tidak dekat jadi berhentilah untuk peduli tentangku. Aku tidak membut
Ara membawa langkah kakinya ke sebuah club malam dimana ia dan Tian kemarin. Hati nya benar-benar kesal dengan sikap Ardan tadi. Dia pikir dirinya siapa bisa mengatur-ngatur hidupnya seperti itu!Wajah kesal itu tak pudar sedikitpun sampai ia masuk ke dalam club malam yang langsung disambut Dengan berisik nya bunyi DJ yang merusak gendang telinga. Di beberapa tempat juga banyak sekali orang yang sedang bertukar oksigen dibawa redupnya lampu itu.Dirinya benar-benar sedang malas hari ini, moodnya hancur karena Ardan tadi. Entahlah, dirinya juga tidak tahu apa alasan dari kepulangan Ardan itu.Tapi apapun alasannya itu Tiara tidak peduli. Ia sudah malas dengan Ardan. Laki-laki yang sangat ia cinta dulu itu mengapa harus menjelma menjadi orang pertama yang menyakitinya tujuh tahun yang lalu hingga saat ini.Masih segar di ingatan nya itu bagaimana Ardan begitu menyayangi Dirinya dan juga Karina si kemba
"Akhirnya kamu datang juga." Ucap seseorang yang langsung menyadarkan Ara dari lamunannya tentang kedua kakak kembarnya itu.Ara menoleh ke arah sumber suara, di sana sudah ada Tian yang sedang tersenyum melihat nya."Hai nona pelacur, kita bertemu lagi." Sapa Tian.Ara mengalihkan pandangannya ke arah lain, entah kenapa hari ini ia begitu sial bertemu dengan Tian berkali-kali serta sang kakak yang menyebalkan."Apa mau mu tuan?" Tanya Ara sinis.Mendengar nada bicara sinis Ara, Tian terkekeh."Hei, tidakkah kau harus belajar ramah tamah dulu sebelum menjadi seorang pelacur itu hm?""Oh ya? Mungkin aku akan ramah tamah nya nanti saat benar-benar menemukan orang yang ingin membeli ku." Jawab Ara yang kembali mengundang tawa dari Tian."Ahahha, seseorang yang ingin membelimu? Kau bercanda nona?""Ak