“Yang tewas beberapa tahun yang lalu adalah Bu Clara, dan dia bukan bunuh diri, melainkan dibunuh oleh Layla. Sedangkan Bu Claire masih hidup.”
Damian mendengus tidak percaya. “Anda pasti bercanda, Anthoni,” ujar Damian. Namun kedua tangannya mulai sedikit bergetar. “Itu sama sekali tidak masuk akal.” Kini napas pria itu mulai terasa sedikit berat. Bayangan saat Clara meminta izin untuk membawa kedua putrinya ke Amerika kembali terlintas.
Saat itu, semenjak kematian Claire, Damian tidak bisa melihat mata adik iparnya secara langsung. Karena sosok Clara yang berdiri di hadapannya selalu mengingatkan Damian kepada mendiang istrinya.
Damian tidak pernah mengakuinya di hadapan siapa pun, tapi meski ia adalah suami yang buruk, kehilangan seorang istri adalah sebuah pukulan telak yang menyakitkan. Bahkan kedua putrinya hanya memberikan rasa nyeri yang sama setiap kali Damian melihat mereka, hingga ia mengizinkan Clara membawa keduan
Waktu tidak akan menyembuhkan luka,Tapi waktu akan mengajarimu untuk terus hidup dan melewatinya.- Bianca Peruka***Hidup dan mati hanya terpisahkan oleh sebuah garis tipis tak kasat mata. Bisa jadi kau yang tengah tersenyum begitu cerah, tanpa beban, tanpa luka, akan tiba-tiba mati esok hari.Hidup dan mati tidak pernah dapat diprediksi.Seperti petuah kuno yang mengatakan ada tiga hal yang tidak bisa kau tentukan dalam hidup. Kapan kau dilahirkan, kapan kau mati, dan dari siapa kau akan dilahirkan.Pertuah itu benar.Suasana area pemakaman siang itu terasa sangat damai. Tampak pengelola begitu repot membuat area pemakaman seindah taman di surga, seakan itu bisa menghibur orang-orang yang ditinggal mati kerabat mereka dan mengembalikan hal yang paling berharga, yang sudah hilang selamanya.Sebuah pohon mahoni berdiri kokoh di sudut area pemakaman. Rindang dedaunannya menjadi payung sempurna yang m
“SAYA NGGAK BERSALAH! PEREMPUAN GILA ITU YANG BERSALAH! LEPAS! SAYA NGGAK MAU DIPENJARA! LEPASSS!!” Teriakan Nindi terus menggema setelah hakim membacakan putusan akhir dari persidangannya. “DIA YANG HARUSNYA DIPENJARA! DIA JEBAK SEMUA KELUARGANYA! DIA JUGA PASTI SUDAH SOGOK SEMUA ORANG TERMASUK HAKIM!” Tuk. Tuk. Hakim kembali mengetuk palu untuk membuat kebisingan di ruang sidang kembali kondusif. Dua orang petugas polisi langsung menarik paksa tangan Nindi yang meronta-ronta seperti orang gila. Keluarganya yang ikut hadir dari kampung menangis di kursi pengunjung, tapi tidak bisa berbuat apa pun. Bukti-bukti tentang perzinahan Nindi dan upaya penyerangannya sangat kuat. Kini ia harus mendekam di penjara sembari menjalani hidup sebagai pasien HIV Aids yang ditularkan oleh Dandy. “LEPASSSS!!!!” Nindi terus memberontak keras. “MAS TOLONG AKU!!! AKU NGGAK MAU DIPENJARA! MAS!” teriak Nindi, memanggil Dandy yang kini bertuga
Beberapa saat yang lalu, ketika Mario menangkap tubuh Bianca, untuk beberapa saat Bianca sempat berpikir bahwa itu adalah Indra. Sebuah perasaan lega yang muncul tiba-tiba menguap secepat kehadirannya. Indra tidak datang, ia sudah memberikan kesaksiannya di persidangan bagian pertama. Dan Bianca mulai membenci dirinya sendiri yang belum juga terbiasa dengan ketidak beradaan Indra. Selama ini, pria itu selalu ada untuk menggenggam tangan Bianca, menjaga tubuhnya saat mulai terhuyung, atau membantunya membereskan semua masalah yang ada. Kini, pria itu tak lagi ada di sisinya, dan Bianca harus membiasakan diri untuk mengurus masalahnya sendiri. Ia harus mulai membiasakan diri hidup tanpa seorang Indrawan Bimasena. Bianca berdeham pelan, lalu menatap lalu lintas yang padat di hadapannya tanpa berkedip. “Kita ke kantor dulu, saya harus periksa berkas-berkas urgent.” Mario dan Haris saling melempar pandang dalam diam. ***
Langkah Indra berhenti di balik lorong rumah sakit saat mendengar isak tangis samar yang begitu asing di telinganya. Wajahnya sedikit tertunduk, kedua tangannya terkepal erat. Suara isakkan itu mengingatkan Indra pada air mata Bianca yang mengalir saat ia terlelap beberapa waktu yang lalu. Air mata yang mengalir tanpa persetujuan dan kesadaran Bianca, karena dalam keadaan sadar, Bianca takkan pernah menunjukkan lukanya di hadapan siapa pun. Selama ini, setelah kematian ibunya 18 tahun yang lalu, Bianca berubah drastis. Ia berubah menjadi gadis pembuat masalah yang terlihat begitu ceria, dan penuh canda tawa. Seiring berjalannya waktu, Bianca kembali berubah menjadi sosok yang begitu kuat dan dingin. Siapa sangka di balik senyuman menawannya, Bianca menyimpan lautan luka yang begitu dalam. Seluruh kesedihan yang selama ini tersembunyi, luka, ketakutan, kekecewaan, keputus asaan, kesepian, akhirnya pecah berantakan, menghancurkan pertahanan yang
“Mama!!! Aku mau Mama!! Mama mana???” Tangisan itu menggema di seluruh penjuru rumah. Semua orang tampak sibuk menghibur dan mencoba mengalihkan perhatian gadis kecil itu, berharap ia akan segera berhenti menangis dan mau melahap makanannya. Bianca duduk di tepi ranjangnya yang megah. Tidak peduli sekeras apa ia menutup telinga, isak tangis itu terus terdengar. Bianca mengambil ponsel di sampingnya, lalu memasang earphone, memutar musik secara acak dengan suara maksimal. Kepalanya terasa pening karena suara yang memenuhi telinganya, tapi entah mengapa suara tangis itu tak juga memudar. Sekarang justru terdengar semakin kencang. Dengan langkah lemah, Bianca berjalan ke pintu balkon yang kini terkunci rapat, bahkan mereka menggemboknya agar Bianca tidak pergi ke balkon dan mengingat kejadian naas itu. Namun, agaknya semua orang dewasa itu lupa jika Bianca tidak perlu datang ke balkon yang sama untuk mengenang kejadian menyeramk
“Sekarang mungkin dia benar-benar terluka karena kejadian ini, Kak. Dan aku bahkan nggak tau cara buat menghiburnya. Aku nggak tau apa aku berhak bahagia karena ibuku masih hidup, sedangkan ibunya sudah mati.” Sheila tertunduk menatap lantai rumah sakit di bawah kakinya. Selama ini, tidak pernah sekalipun Sheila melihat kakaknya menangis. Bahkan saat mereka berdua terjatuh dari sepeda yang dikendarai Bianca, wanita itu tidak pernah menangis. Padahal ia memiliki luka yang lebih dalam, dengan darah yang menetes lebih banyak, tapi ia sama sekali tidak menangis. Sama seperti ketika mereka menghadiri pemakaman sang ibu, Sheila menangis meraung melihat tanah melalap sosok ibunya yang perlahan-lahan menghilang, tapi Bianca hanya menitikkan air mata tanpa isakkan. Bahkan ketika ia menceritakan perselingkuhan Dandy dulu, Bianca sama sekali tidak menunjukkan air matanya. Wanita itu selalu tampak kuat di mata Sheila. Ia adalah tombak runcing yang tak pernah terpatahkan,
“Kamu pasti capek.” Bianca membelai kepala Sheila yang kini tersembunyi di dalam rangkulannya. “Sudah nangisnya?” tanya Bianca lembut.Sheila mengerucutkan bibirnya pada pertanyaan itu. Wajahnya bengap karena menangis tanpa henti selama satu jam penuh. Ia meraung di lorong rumah sakit, sampai beberapa perawat berdatangan untuk memeriksa jika sesuatu terjadi kepada pasien di dalam ruangan.Sheila mempererat rangkulannya di pinggang Bianca, seperti yang ia lakukan ketika mereka masih kecil. Kedua mata indahnya menatap tubuh lemah di atas ranjang rumah sakit dengan dada yang semakin sesak.“Tante akan baik-baik aja kan, Bi?” tanya Sheila.“Aku nggak tau, Shei,” jawab Bianca jujur. Setelah ratusan rasa sakit yang mereka alami, Bianca bahkan sudah tidak berani berharap terlalu tinggi lagi.“Aku… aku minta maaf, Bi….”Bianca menghela napas panjang. Sheila sudah mengata
“Kamu juga berhak bahagia, Bi,” bisik Sheila tulus. “Apa, sih?” gerutu Bianca sambil melepas pelukan adiknya. Sheila tersenyum penuh arti, lalu menoleh kepada Indra. “Jaga Bian ya, Kak. Kalau Kakak sampai macam-macam, apalagi mendua, Kakak akan berurusan langsung sama aku.” Sheila meletakkan ibu jarinya di leher, menirukan gerakan menyayat leher dengan wajah serius. “Sheila!” Indra menyentuh tengkuknya sambil berdeham berkali-kali. “Udah sana pergi, aku mau istirahat.” Sheila melambaikan tanganya penuh semangat, tapi Bianca tetap mematung di tempat dengan tatapan ragu. “Kak Indra, sekarang tolong bawa orang ini pergi, aku benar-benar mau istirahat! Udah sana, Bi. Ampun deh. Kalau kamu nggak pergi sekarang aku akan tunjukin isi buku harianmu ke Kak Indra!” “Sheila!” “Hahahaha.” “Mmm… memang apa isinya?” tanya Indra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bianca. “Ehm, selamat pagi.” Bianca dan Indra men