“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Kamarnya di mana, Pak?”Pria paruh baya berambut putih itu menunjuk lantai dua kamar indekosnya. Ia melirik dua orang pria bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam di belakang wanita itu, dan dua orang wanita yang sudah siap dengan ponsel mereka.Malam masih begitu tinggi, ia terpaksa mengikuti langkah orang-orang asing yang datang ke rumahnya ketika ia tertidur pulas.“Tolong jangan buat keributan,” ujar Warsono, ketua RT di tempat itu yang langsung dihubungi oleh pemilik indekos.“Pak, kami bukan mau buat keributan, kami mau cek kebenaran apa suami teman kami selingkuh sama salah satu anak kosan Bapak ini. Lagian Bapak masa kos-kosan khusus putri bebas bawa cowok nginep,” ujar Tini, salah satu dari tiga wanita yang datang malam itu.“Kalau ternyata kami salah, kami akan bertanggung jawab. Kami akan ganti rugi semua kerusakan yang ada, dan kalau perlu, kami juga akan bayar kosan ini satu tahun penu
“Kamu serius mau ceraikan perempuan itu demi aku, Mas?” Suara itu terdengar cemas dan senang di saat bersamaan. Ia memeluk manja punggung pria yang tengah memakai kembali kemejanya.“Sayang, aku belum bisa ceraikan Bian sekarang. Tapi, gugatan cerai ini akan buat dia takut setengah mati. Kamu tau sendiri dia itu nggak bisa apa-apa tanpa aku. Selama ini ayah mertuaku cuma percaya sama aku buat handle semua kerjaan penting di kantor. Dia nggak bisa apa-apa, Sayang. Gugatan cerai ini akan buat dia sadar sama posisi dan kemampuannya, dan nanti, dia pasti akan ngemis-ngemis buat minta aku batalin gugatan ini.” Dandy berbali, memeluk mesra gadis itu.“Tapi kalau sampai ayah mertuamu tau hubungan kita gimana, Mas?”“Kamu tenang aja, Sayang. Walaupun tau, dia nggak akan peduli. Baginya uang itu yang paling penting, dan lagi pula, selama ini dia juga punya banyak simpanan. Makanya, selama keadaan finansial perusaha
2 Bulan Sebelumnya.BRAK! BRAK! BRAK!“BI! BUKA!” Tini berteriak panik di depan kamar Bianca. Ia melirik Sandra yang juga berwajah serius.“Sudah berapa lama Bianca di dalam?” tanya Sanda kepada Lia, asisten rumah tangga Bianca yang kini tampak pucat pasi. Ia meremas lap di tangannya, gemetar ketakutan.“Se… sekitar dua jam…,” ujar Lia gugup. Ia berusaha mengingat-ngingat kembali untaian kejadian sebelum majikannya membanting pintu kamar, lalu mengunci diri dan belum keluar lagi setelah itu.BRAK! BRAK! BRAK!“BIANCA, BUKA PINTUNYA!”Lagi-lagi Tini menggebrak pintu kamar Bianca yang masih tertutup rapat. Kedua tangannya sudah mulai memerah karena terlalu keras memukul pintu itu.Setelah menerima telepon panik dari Lia satu jam yang lalu, keduanya langsung bergegas berangkat ke rumah Bianca. Wanita itu sangat panik, ia menelepon sambil menangis, mengatak
“BIANCA!”Teriakan itu bergema marah. Dandy hartono, sang menantu yang digadang-gadang akan menggantikan mertuanya untuk menjadi direktur, datang dengan murka.Ia baru saja melihat video yang tengah viral di sosial media, dan sialnya, dia tau betul siapa yang berada di dalam video itu meski wajahnya disamarkan.“BIANCA!”Bianca muncul di anak tangga teratas.“Mas, akhirnya kamu pulang.” Bianca tidak bisa menahan air matanya saat melihat pria itu. Ia berlari menuruni tangga, lalu melompat ke dalam pelukan Dandy. “Akhirnya kamu pulang, Mas. Aku kangen kamu.”Namun, dengan kasar pria itu mendorong tubuh istrinya menjauh.“Mas?”“DIAM! KAMU KAN YANG SUDAH SEBAR VIDEO SEMALAM?! KAMU GILA, HAH?!” bentak Dandy geram. Ia mencengkram lengan istrinya, membuat lengan putih Bianca memerah seketika.“Video apa, Mas?” tanya Bianca dengan mata basah.
“Jadi sekarang kamu mau pindah ke apartmentnya si Jess?” Pertanyaan itu mengandung dengusan tak percaya.Nindi mengibaskan rambut panjangnya yang kini lebih terawat. “Iya, kita nanti jadi tetangga, iya kan, Jess?”Jessica tersenyum tipis. “Mungkin,” katanya sambil mengangkat bahu tak acuh.Mereka berempat sudah berteman sejak pertama kali masuk ke kampus, dan baik Jessica maupun Vira tau betapa miskinnya Nindi, ia mengandalkan beasiswa untuk kuliah. Tapi bagaimana mungkin tiba-tiba saja ia bisa pindah ke apartment yang lumayan mahal seperti tempat tinggal Jessica.“Ah, kamu memang hebat, Nin!” sorak Risti riang.Nindi tersenyum lebar. Sebentar lagi ia bisa membalas tatapan sebelah mata orang-orang atas label kemiskinannya.“Eh, tunggu ada telepon.” Nindi mengangkat ponselnya yang bergetar.“Cieee dari pacarmu, ya?” goda Risti, yang hanya dijawab dengan ke
PLAK! Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya. “B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi. Air mata Bianca jatuh berurai. “Aku minta maaf, Mas!” Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!” Sampah? Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu. “Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!” PLAK! Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras. “PEREMPUAN GILA
“Maaf, Kak, kartu ini sudah tidak bisa digunakan,” ujar seorang gadis muda yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Nggak bisa? Mbak salah kali. Kartu ini masih aktif kok, dan nggak akan expired!” ujar Dinda kesal. Ia menatap gadis resepsionis itu dengan tatapan sinis. Bisa-bisanya pegawai rendahan mencoba untuk mempermalukannya. Rissa menghela napas pelan, lalu mencoba kembali. “Maaf Kak, tetap tidak bisa,” ujar Rissa sesopan mungkin. “Heh, kamu anak baru, ya?! Kok nggak becus banget! Coba panggil pegawai lainnya yang lebih kompeten! Saya langganan di sini loh! Nggak mungkin kartu ini tiba-tiba nggak bisa dipakai!! Atau panggil manager kamu sekalian. Anak nggak becus kok ditaro di resepsionis. Nyusahin aja!” runtuk Dinda kesal. Salah satu temannya datang mendekat. “Kenapa, Din?” tanyanya bingung. “Nih, resepsionisnya b*go, begini aja nggak bisa!” maki Dinda kesal. Sena melirik ke meja resepsionis yang kosong. Tampaknya resepsionis