Bab 13. Suami Pecundang Menyesal Bohongan
*****
“Aku rela kau tendang seperti tadi, seribu kalipun kau menendangku seperti tadi aku pasrah. Kalau memang hal itu bisa menebus kesalahanku.”
Astaga! Apa yang kudengar ini? Mas Gilang berkata seperti itu setelah aku menendangnya? Apa yang terjadi dengannya? Jangan-jangan dia geger otak gara-gara tendanganku tadi? Gawat, apakah benturan di kepalanya begitu parah?
“Mas, apakah kepalamu sakit? Kau masih waras, bukan?” tanyaku menatapnya lekat. Tapi, aku tetap bersiap siaga menjaga segala kemungkinan, termasuk bila tiba-tiba dia mencelakaiku.
“Aku sehat, Mel. Aku enggak apa-apa. Tapi, jujur, setelah kesulitan yang ditimbulkan oleh Harum, aku semakin sadar kalau langkah yang kutempuh selama ini salah.”
“Kau … kau sehat? Setelah tadi pagi kau bilang bisa gila bila t
Bab 14. Kedipan Mata dari Abang Sang PelakorJujur, aku sangat tegang dengan kedatangan sekutu musuhku. Ibu dan abangnya datang pasti untuk menyerang. Menyerang suamiku tentu saja. Pasti mereka menuntut pertangung-jawaban dari Mas Gilang karena telah mengganggu Harum. Mengganggu? Hah, kata Mas Gilang sih, Harum yang memulai. Merayu dan menjebak Mas Gilang di saat aku kesulitan memenuhi kebutuhan biologisnya. Tapi, tentu saja tetap suamiku yang salah. Mas Gilang yang durjana.Aku juga salah, kenapa aku memperkerjakan seorang gadis cantik, belia, murahan lagi di rumahku. Duh, kalau ingat awalnya, rasanya ingin kuulang kembali. Bagaimana ibunya memelas bahkan menghiba-hiba agar aku mau menerima anak gadisnya bekerja di rumahku. Andai waktu itu aku menolak, pasti semua ini tidak akan terjadi.Tapi, tunggu dulu. Sebenarnya, kalaupun aku tidak menerima Harum bekerja di rumahku, mereka sudah sering memancing di air
Bab 15. Permainan Dimulai****“Mas. Kamu tahu enggak toko kami yang di kecamatan?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku mulai menggiringnya masuk perangkap.“Kecamatan mana? Toko kalian kan hampir di setiap kecamatan ada cabangnya?”“Yang kecamatan kita, Mas. Yang dekat dengan desa kita?”“Oh, iya. Kenapa?”“Sekarang semua toko mau aku awasi, Mas. Aku yang akan turun langsung sekarang. Mas Gilang sedang fokus mau nikahin Harum,” paparku sambil senyum di kulum.Pemuda itu kaget, matanya terbelalak menatapku. Tentu dia kaget. Mereka pasti mengira aku belum tahu rancana suamiku menikahi adiknya. Atau jangan-jangan dia pikir aku tidak tahu tentang perselingkuhan Mas Gilang dengan Harum.“Kenapa, Mas?” tanyaku pura-pura tidak mengert
Bab 16. Tuntutan Keluarga Sang Pelakor“Kau aneh! Kau benar-benar aneh! Harusnya kau melarangku kawin lagi! Bukan malah mendukung!”“Aku tidak mau menghalangimu, Mas. Bukankah sudah kau katakan sejak awal kalau kau sangat mencintai Harum? Bahkan kau bilang, kau bisa gila bila tidak bersamanya?”“Itu, dulu, Mel?”“Dulu kau bilang? Baru sehari, Mas! Kau mengatakan itu kemarin pagi.”“Iya, sebelum kau berubah. Saat itu kau masih berdaster, rambut digelung acak-acakkan, kau … kau … masih jelek pokoknya!”Aku tersenyum kecut, dasar laki-laki durjana. Pasti sekarang dia berat melepasku. Semakin ketakutan karena semakin kudorong menikahi selingkuhannya. Aku yakin, dia ingin memiliki dua perempuan sekaligus. Enak aja!“Mas! Ayolah kita temui mereka, enggak enak sepert
Bab 17. Ibu Sang Pelakor Meradang“Kan, udah dijelasin sama Mas Yanto, saya sayang sama Harum. Saya enggak mau dia dihancurkan oleh suami saya sendiri,” jawabku datar.“Sesayang-sayang apapun, tak mungkin kau rela menyerahkan suamimu sendiri kepada perempuan lain?” tanyanya mulai menyelidik.Aku tersenyum, menyiapkan jawaban yang akan membuat mereka semua terbakar.Mak Uda mengernyitkan kening, seperti sedang berusaha berpikir keras. Matanya menatapku penuh curiga. Aku hanya tersenyum menikmati pemandangan indah di meja makan pagi ini.“Rum, coba kau buka dulu toko, gih! Bentar lagi para karyawan berdatangan!” perintahku kepada putri keayangannya.“Harum bukan babumu! Enak aja kau nyuruh-nyuruh!” protesnya“Bik Ina! Chika tidur enggak?” teriakku me
Bab 18. Rahasia TerbongkarMas Gilang kian mengkerut di kursinya. Aku tersenyum menatap perempuan itu mulai gemetar menahan amarah.“Mas Gilang tidak mau mentalak saya. Tapi jangan khawatir, tanpa kata talak dari mulutnya pun, saya sudah bukan istrinya lagi. Saya tidak akan pernah mau berbagi suami dengan perempun mana pun. Saya bukan Harum, yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan selangkangan suami orang. Kalau saya, jijik! Saya enggak mau lagi bersuamikan Mas Gilang. Ambil! Ambil saja lelaki berengsek itu buat putri kesayangan Mak Uda!” terangku menambah murkanya.“Kalau begitu, pergi kau dari rumah calon menantuku ini! Bawa anak yang kau bangga-baggakan itu!” hardiknya sambil berdiri.“Maaf, ini rumah saya, atau lebih tepatnya rumah mertua saya yang telah diserahkan kepada saya. Ini bukan rumah Mas Gilang,” sahutku tetap tenang.“K
Bab 19. Pengorbanan Melur Di Mata Sang Mertua“Kenapa masalah sebesar ini kau tutupi dari kami? Ini masalah yang sangat besar. Ini menyangkut kelangsungan rumah tangga kalian, lho! Ini bukan masalah kecil. Kau lihat, ibu perempuan itu bahkan nekat mau mengusirmu dari rumahmu sendiri? Bagaiman mungkin kau bisa mengatasi hal ini sendiri? Bagaiman dengan ibumu di kampung? Apakah dia juga tidak kau beritahu?”Aku menggeleng pelan.“Hebat! Kau sombong Mel. Kau merasa dirimu hebat!”“Maaf, Ma, Pa. Saya sengaja merahasiakan ini dari kalian, karena saya takut Papa dan Mama kenapa-napa. Ibu saya juga, saya enggak mau menambah beban pikiran kalian. Saya sudah kehilangan suami saya, Ma. saya enggak mau kehilangan mertua dan ibu saya juga. Saya enggak mau ….”Tangisku pecah seketika. Beban berat yang coba kusimpan dan kutahan selama ini akhirnya jeb
Bab 20. Keputusan Sang Mertua“Siapa bilang anak saya tidak perawan? Harum saya jaga dua puluh empat jam sehari, dia tidak pernah pacaran apa lagi sampai tidur dengn laki-laki!” bantah Ibu Harum sambil berdiri. Matanya tajam menatap mas Gilang.“Sudah, Bu. Perawan atau tidak, itu gak penting di bahas. Sekarang kita bahas masalah pernikahan mereka saja. Ini, ini ada uang dua juta. Cukupkan untuk biaya nikah? Ambil! Bawa Gilang bersama kalian! Silahkan kalian nikahkan dia! Kami tidak akan ikut campur. Mulai detik ini, dia bukan putra saya! Jangan pernah injak rumah ini lagi! Keluar dari rumah saya! Keluar!”Bagai disambar petir, seisi ruangan terperanjat kaget.Suasana tegang kian mencekam. Semua mata tertuju kepada papa mertuaku. Tatapan tak percaya kami arahkan pada wajah yang kian pucat pasi. Keputusan yang telah diambilnya tentu saja sangat me
Bab 21. Kuseret Sang Pelakor Keluar“Aku enggak mau pergi kalau enggak bareng Mas Gilang. Kalau Mas Gilang enggak pergi, aku juga enggak mau pergi dari sini. Aku mau sama Mas Gilang, Bu …” Harum menangis sesegukan.“Gilang itu sudah miskin! Mau apa kau hanya dengan uang dua juta? Enggak bisa. Kau harus cari suami yang lebih kaya. Engak usah sama lelaki yang sudah nyata-nyata kere. Cepat! Ambil pakaianmu! Kita pergi dari sini!”“Enggak mau! Aku mau nikah sama Mas Gilang! Ak cinta sama Mas Gilang, Bu …” isak Harum memeluk kaki ibunya.“Tidak bisa! Ibu enggak mau kau nikah sama gembel. Kau harus cari laki-laki yang lebih dari suami Melur yang sombong ini. Kau jauh lebih cantik dari pada dia. Kenapa pula dia lebih kaya dari pada kau? Kau harus buktikan kepada ibu, kalau kau itu jauh lebih hebat dari pada anak si Ruminah ini!”