Share

Jatuh Cinta Kedua pada Wanita Lain

"Pi?" panggil Langit ketika membuka daun pintu dengan nama Satriyo Singgih. Lelaki yang dipanggil Pi lantas mendongak, mengalihkan pandangan dari laptop di depannya.

"Eh, Langit."

Langit lantas duduk di depan meja sang papi. Lelaki semester akhir itu memperhatikan jemari papinya yang tengah sibuk.

"Mami sehat?"

Langit mengangguk. "Ya, kalau minum obat ya pasti baikan, Pi."

Satriyo berdehem paham. "Pelangi gimana?"

"Tadi kuanterin, kok. Pakai mobil mama. Ujan soalnya, hehe," ucap Langit menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Nggak apa-apa!"

Keduanya diam. Langit hanya terus memperhatikan sang papi yang bekerja. Sesekali dia menatap tumpukkan kertas dan map di mejanya.

"Nanti papa pulang, kan?" tanya Langit ragu.

"Iya. Tapi malem, ya. Masih banyak yang harus dikerjain!"

Langit mengangguk. Merasa papinya tengah sibuk, mahasiswa Tekhnik Elektro itu pamit. Dia keluar ruangan papinya dan menuju fakultasnya yang lumayan jauh.

Kampus tengah masa senggang karena para mahasiswa sudah melewati ujian. Hanya ada semester pendek dan ujian susulan beberapa fakultas. Langit ke kampus karena ingin melihat nilai ujiannya yang sudah keluar sekalian mengantar sang adik.

Saat di lorong menuju fakultasnya, Langit berpapasan dengan seorang wanita yang langsung menarik perhatiannya. Wanita dengan setelah celana panjang ketat, kemeja pas badan, sepatu hak tinggi, dan rambut indah yang dibiarkan tergerai. Langit mengerutkan kening. Daerah itu adalah fakultas Pendidikan yang notabene adalah kawasan sopan yang melarang mahasiswanya mengenakan pakaian seksi.

Ketika berpapasan, Langit sempat melirik sang wanita yang berjalan mantap dan menatap ke depan. Suara ketukan sepatu tingginya menggema. Langit pura-pura tidak melihatnya, hingga wanita itu hilang di belokan.

***

"Kok, kamu ke sini?" tanya Satriyo sembari mengintip dari balik kaca jendela, mengamati keadaan di luar. Janice tersenyum jahil dan mengunci pintu.

"Kan nanti kita nggak ketemu lagi, masak nggak boleh aku ke sini," jawab Janice merengut. Satriyo mendekat dan memeluk pinggangnya.

"Bukan nggak boleh, Sayang, kan ini kampus. Nggak enak kalau ada yang lihat!"

"Nggak akan ada yang lihat. Kan cuma kita berdua!" Janice memeluk pinggang kokoh Satriyo dan mencium bibirnya sekilas. Satriyo hanya tersenyum. Lelaki itu mendadak ingat Langit, putra bungsunya yang beberapa menit lalu menemuinya. Kini dia teringat Manda, sang istri yang sedang di rumah. Kesehatan wanita yang dinikahinya hampir 25 tahun itu terus memburuk. Leukimia, diabetes, dan anemia akut seolah setia menemaninya sejak sepuluh tahun ini.

"Istri mas masih sakit?" tanya Janice duduk di kursi Satriyo dan memainkan laptop. Sementara Satriyo duduk di meja, menghadap sang kekasih.

"Ya gitu, lah."

"Ehm, nggak bisa sembuh, ya? Kasihan!"

Satriyo diam. Diingatkan tentang Manda, lelaki itu semakin resah. Apalagi dia kini tengah bersama Janice. Matanya tak sengaja menatap bingkai foto keluarganya. Foto yang diambil lima tahun lalu, saat mereka tengah berlibur dan Manda sedang sehat. Mereka tersenyum bahagia.

"Kok melamun, Mas?" tanya Janice mengusap pipi Satriyo lembut. Lelaki itu menggeleng dan tersenyum. Diusapnya pipi halus Janice.

"Kamu ke kelas dulu aja, Mas masih ada kerjaan."

"Mas ngusir?"

"Bukan, Sayang—"

"Takut nggak konsentrasi, ya, hihi."

Satriyo tergelak. Dicubitnya hidung bangir wanita itu hingga menjerit manja. Setelah mendaratkan kecupan dan pagutan mesra, Janice melenggang keluar. Tentu saja setelah merapikan kemejanya yang sedikit berantakkan.

Tinggalah Satriyo sendiri. Kembali merenungi hidupnya. Dalam hati kecilnya, Satriyo sadar jika yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan besar. Hampir setengah tahun ini lelaki yang masih terlihat tampan dan lebih berwibawa di usia setengah abadnya itu menjalin kasih dengan mahasiswinya sendiri. Janice, mahasiswi Ilmu Pemerintahan yang saat itu tengah menempuh mata kuliah Bahasa Indonesia dengannya. Entah mengapa wanita blasteran itu begitu menggoda akal sehatnya.

Bermula dari saling senyum, konsultasi mata kuliah, sering bertemu, hingga kemudian bertukar nomor WA.

[Saya sudah berkeluarga.]

Tulis Satriyo saat itu. Saat dia meyadari jika mereka semakin hari semakin dekat. Lelaki itu siap kehilangan Janice andai dia memang akan pergi. Satriyo tahu diri posisinya yang hanya sebatas dosen dan mahasiswi. Namun ....

[Saya sudah tahu dari dulu, kok, Pak. Dan saya tidak peduli!]

Di luar dugaan, Janice tetap memaksa dekat dan tidak peduli statusnya. Satriyo bingung. Dia senang, karena ternyata apa yang dia rasakam selama ini benar-benar cinta. Jatuh cinta kedua pada wanita selain istrinya. Namun di lain sisi dia malu dan merasa bersalah. Statusnya dengan Janice sudah jelas, sebagai pasangan yang berselingkuh. Malu, karena Satriyo tahu usianya dan Janice terpaut jauh. Dia yang mendekati kepala lima sedangkan Janice masih seusia putra sulungnya, 23 tahun. Namun siapa yang peduli? Jika cinta sudah kadung melekat, usia bukan lagi sekat!

Hubungan mereka semakin akrab. Tidak ada yang menyangka jika kedekatan mahasiswi dan dosen itu lebih dari hubungan biasa, karena mereka pandai menyembunyikannya. Di kampus, Satriyo boleh saja bersikap biasa saja. Namun di luar, dia bagai remaja yang tengah kasmaran. Begitu pun Janice. Mahasiswi yang juga mempunyai usaha butik kecil-kecilan itu tak peduli apapun tentang Satriyo. Baginya Satriyo adalah cinta sejatinya yang selama ini ditunggu.

[Mas nggak takut ketahuan Mbak Manda?]

Satriyo yang kala itu tengah membaca diktat kuliah terdiam.

[Entahlah!]

Akhirnya hanya itu yang dijawab Satriyo.

Merasa pembahasan tentang istri selalu menjadi pemicu dinginnya hubungan mereka, keduanya berkomitmen untuk tidak pernah mengungkit rumah tangga Satriyo lagi. Mereka merasa dipertemukan oleh takdir yang berpihak untuk menyatukan mereka. Tidak peduli bagaimana pun keadaannya.

****

Menjelang tengah malam, Satriyo baru pulang ke rumah. Langit yang belum tidur membukakan pintu untuk sang papi.

"Kok malem banget, Pi?"

"Baru kelar kerjaannya!"

Langit mengangguk dan membuntuti sang papi yang duduk di sofa. Wajah lelaki itu terlihat lelah. Langit lantas menawarkan segelas air dingin yang langsung disetujui Satriyo.

"Mami sudah tidur?"

"Sudah, Pi. Habis minum obat tadi."

"Pelangi gimana?"

"Baik. Minggu depan dia ujian."

Satriyo mengangguk. Langit mengulurkan segelas air pada sang papi yang tak lupa mengucap terima kasih. Saat Satriyo memejamkan mata, diam-diam Langit memperhatikannya. Baginya sang papi adalah panutan sejak kecil. Lelaki pekerja keras, bertanggung jawab, dan penyayang. Senakal apapun Langit dan Pelangi, lelaki itu tidak pernah marah sedikitpun. Langit tersenyum. Senyum karena kini sang papi kembali setelah dua hari di luar, mencari nafkah untuknya dan sang adik. Senyum yang menyatakan setidaknya papi mereka benar-benar bekerja dan pulang untuk mereka. Sementara Satriyo langsung merebahkan tubuh di samping Manda. Di samping wanita yang beberapa hari ini dia tinggalkan. Wanita yang selalu setia menunggu cerita apa saja yang akan dibawa oleh sang suami.

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status