Beranda / Rumah Tangga / Pelakor Sebaya / Wanita Lain di Ranjang yang Lain

Share

Pelakor Sebaya
Pelakor Sebaya
Penulis: Kutudollar

Wanita Lain di Ranjang yang Lain

Penulis: Kutudollar
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-23 11:07:35

Janice melenguh panjang saat sapuan hangat dari embusan napas lelaki di atasnya menelusuri seluruh tubuh sintalnya. Wanita 23 tahun itu meremas sprei hingga kusut. Mata lentiknya terpejam lama demi menikmati setiap detik kehangatan bersama Satriyo. Lelaki yang 20 tahun lebih tua darinya itu terus meluapkan seluruh kehangatannya pada wanita yang hampir dua minggu ini tidak ditemuinya.

"Mas ... jangan tinggalin Janice lagi, ya!" ucap Janice tak berdaya saat semua kenikmatan mencapai puncaknya. Satriyo tergeletak tak berdaya di samping tubuh Janice. Lengan kokohnya memeluk pinggang aduhai milik wanita itu.

Satriyo tersenyum manis di tengah kelelahannya. "Iya, Sayang." Sebuah kecupan hangat dan lama mendarat di kening sang wanita. Janice memeluk lelaki itu seolah tak ingin dipisahkan.

"Mas, sih, lama nggak ke sini!" Janice merajuk. Satriyo meraih dagu belahnya dan menciumnya sekilas. Wanita itu semakin cemberut.

"Kan Mas harus ngajar semester pendek, Sayang!"

"Ah, bohong!"

Janice melepaskan pelukan dan berbalik, membelakangi Satriyo. Lelaki itu tersenyum menatap punggung mulus Janice. Dia mendekat, meraba kulit sehalus porselen itu, dan mengecupnya. Lengan kokohnya melingkari pinggang Janice.

"Kok, bohong, sih. Mas jujur, lho!"

"Bilang aja lagi sibuk liburan sama mereka, iya, kan?"

Satriyo menarik tubuh Janice untuk menghadapnya. "Kok nggak percayaan gitu, sih, sama Mas?"

Janice masih cemberut. Membuat Satriyo semakin gemas. Dielusnya pipi halus tanpa make-up itu dengan lembut. Bibir sensual dan tebal Janice diusap dengan ibu jarinya. Gemas, Satriyo menyerangnya dengan ciuman bertubi-tubi. Janice berusaha memberontak. Namun sayang, dia juga sangat membutuhkan dan amat menyukai perlakukan Satriyo itu. Jadilah mereka kembali bergumul hangat di balik selimut yang menahan hawa dingin karena hujan di luar. Suara rintik hujan bagai backsound untuk kemesraan mereka di malam itu. Berpadu dengan suara desahan dan jeritan kecil menahan nikmat dari mulut keduanya. Seluruh kerinduan tumpah. Bersamaan dengan keringat dan cairan kenikmatan dari keduanya. Membuatnya terus terbuai hingga akhirnya lelah dan terlelap.

Dering ponsel membangunkan Janice. Wanita cantik itu menggeliat. Memerhatikan sekitar dan tersenyum menatap sosok di sampingnya. Sosok yang tengah melingkarkan lengannya di perut Janice. Sosok lelaki yang tengah tertidur pulas. Jemari Janice bergerak pelan mengusap bibir dan menelusuri wajahnya. Bibirnya tersenyum penuh bahagia.

"Aku sayang banget sama kamu, Mas," ucapnya pelan.

Tiba-tiba Satriyo bergerak dan memeluknya erat. Jemari lelaki itu menggelitik pinggang Janice. Janice berteriak geli dan meronta. Bukannya berhenti, Satriyo semakin beringas. Bukan hanya gelitikan, tapi ciuman dan gigitan kecil menghampiri tubuh seksinya.

"Udah, Mas. Please!" ucap Janice berusaha menahan gerakan Satriyo. Lelaki itu terengah-engah di atas tubuh Janice. Jemari Janice mengusap dada bidang dan kokoh lelaki yang sudah berkepala lima itu.

"Ada telepon tuh!" Janice melirik ponsel Satriyo di atas meja yang terus berdering sejak tadi. Satriyo hanya mencebik dan tak menoleh.

"Aku tidak peduli! Kamu mencuri perhatianku!" Satriyo menjawil hidung bangir wanita blasteran Indo-Rusia itu. Janice hanya tersenyum dan mengecup hidung Satriyo sekilas.

"Mas nggak ngajar?"

Satriyo bergerak. Dia duduk di tepi ranjang, menatap Janice yang berselimut tak sempurna di sampingnya. "Ngajar, kok, nanti jam 10."

Janice ikut duduk. Dia melendot manja dan bersandar di bahu Satriyo.

"Kenapa? Masih kangen, ya?"

Janice mengangguk cepat. Satriyo tersenyum. Dia meraih Janice ke dalam rengkuhannya. Jemari mereka saling bertaut. Menyalurkan kehangatan dan kerinduan masing-masing. Mereka saling tatap penuh arti.

"Nanti malem pasti nggak ke sini!" ucap Janice merajuk. Satriyo mengusap bibirnya pelan.

"Aku sudah dua hari nggak pulang, Sayang. Mereka nanti curiga!"

"Ah, biarin aja!"

"Kok gitu?"

"Ya biar mereka sekalian tahu hubungan kita."

"Ehm, jangan sekarang, ya. Sabar, ya!"

"Sampai kapan?"

Satriyo mengerling dan berpikir. "Entahlah!"

Janice merajuk. Dia bangkit dan meninggalkan Satriyo di ranjang. Tubuh sintal dan padat itu tanpa busana. Dia melenggang menuju kursi. Satriyo menahan napas memperhatikan tubuh yang semalaman dipeluknya itu. Janice meraih kimono dan mengenakannya. Dia duduk di kursi rias, menyisir rambut.

"Aku juga butuh kepastian, Mas."

Satriyo menghela napas panjang. Dia menatap Janice dari pantulan cermin. Wanita itu tengah membersihkan wajahnya dengan kapas dan pembersih.

"Mas tega ngeliat aku hidup begini terus?"

Satriyo menunduk. Matanya menatap benda perak yang melingkari jari manisnya. Cincin yang sudah ada di sana 20 tahun ini. Benda yang juga masih melingkar dengan setia di jari yang lain.

"Emang Mas nggak bosen liat Mbak Manda terus? Masih sakit-sakitan kan dia?"

Dada Satriyo berdesir halus. Mendengar nama Manda, dia mendadak resah. Ada rasa bersalah ketika wanita yang mengenakan cincin satunya itu membayang di dalam pikirannya. Apalagi dia muncul di saat-saat seperti ini. Saat dia tengah bersama wanita muda yang empat bulan ini dia sembunyikan. Wanita muda, cantik, dan menggoda yang sering dia jumpai di kampus tempat dia mengajar.

"Ehm, kamu ujian jam berapa?" tanya Satriyo seolah mengalihakn pembicaraan. Janice menoleh dengan wajah masam. Di kembali merengut.

"Malah ngalihin topik!" rutuknya.

Satriyo hanya tersenyum. Dia berdiri, menutupkan handuk di tubuh bagian bawahnya. Lelaki itu menuju meja, mengambil ponsel. Matanya sempat melihat name tag-nya yang berdekatan dengan kartu ujian Janice. Satriyo Singgih yang bersebelahan dengan kartu nama bertuliskan Janice Michella Harsono lengkap dengan foto cantik wanita itu.

"Mau Mas anterin atau ...."

"Naik mobil sendiri aja! Lagian kan Mas langsung pulang ke rumah!" jawab Janice sewot. "Pulang ke rumah tempat anak dan istri Mas tercinta!"

Janice membanting daun pintu kamar mandi dengan keras, meninggalkan Satriyo yang menggelengkan kepala dan terkekeh.

"Tapi tetap kamu tempat Mas pulang sesungguhnya, Sayang!" ucap Satriyo sedikit berteriak dari lubang kunci daun pintu kamar mandi. Janice yang mendengar itu tersenyum senang. Semakin tersenyum saat menatap pantulan wajah semringahnya di cermin. Dengan cepat dia bergerak, menarik lengan Satriyo yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Lelaki itu terkejut, tapi kemudian langsung mengangkat tubuh Janice hingga menempel di dinding. Mereka berpagut mesra.

Sementara di sebuah rumah mewah yang lain. Seorang wanita dengan wajah pucat menatap ke halaman. Seolah menunggu seseorang. Kacamatanya berembun karena terlalu dekat dengan teras dan terkena embun dari hujan deras yang belum juga reda.

"Mami ngapain di situ, sih?" tegur seorang remaja dengan seragam SMA mendekati kursinya. Gadis berlesung pipi dan berkulit manis itu adalah Pelangi. Kilau Pelangi Princhesa Satriyo, begitu nama di name tag seragamnya. Dia berjongkok di samping sang mami. Hidung dan bibirnya menciumi tangan yang mulai keriput, tapi tetap halus itu.

"Nggak apa-apa, Nak. Seneng aja liat hujan."

"Seneng apa lagi mikir yang lain?" celetuk seorang lelaki dari dalam. Dia mengibas-ngibaskan rambut gondrongnya yang masih basah. Membuat cipratan airnya mengenai Pelangi.

"Abang Langit! Basah ini!" teriaknya. Yang dipanggil Langit hanya tergelak lantas memapah sang mama untuk masuk ke rumah.

"Haha, kan kamu belum mandi! Weekk!"

Pelangi merutuk kesal. Sementara mami mereka hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Mereka lantas duduk berdekatan di meja makan. Satu kursi masih kosong. Kursi untuk kepala keluarga mereka. Namun kemudian terisi karena Langit duduk di sana.

"Yuk, aku yang pimpin doa!" ucap Langit menengadahkan tangan, memimpin doa sebelum makan.

Sarapan yang dibuat Pelangi memang enak, tapi tetap terasa hambar di lidah Manda. Wanita 50 tahun itu menahan getir ketika menyadari sang suami yang sudah dua hari ini tidak pulang. Entah ke mana dia sekarang, Manda hanya bisa menebak. Berbeda dengan kedua anaknya yang hanya tahu jika papi mereka tengah lembur dan disibukkan dengan tugasnya sebagai seorang dosen. Langit percaya itu, karena di kampus dia masih sering bertemu sang papi. Begitupun Pelangi yang juga sering melihat papinya ketika di musola kampus yang bersebelahan dengan yayasan tempat dia bersekolah.

Hujan terus turun, bahkan semakin deras. Langit memutuskan menggunakan mobil maminya untuk ke kampus sekalian mengantar sang adik. Manda melepas mereka dengan senyum bangga. Senyum yang menutupi luka yang mulai menimbulkan borok bernanah karena terlalu lama dipendam. Luka yang hanya dia dan Tuhan yang tahu.

....

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelakor Sebaya   Pesona Mama Tiri

    Sebulan berlalu. Janice membaik dengan cepat. Sikapnya tetap baik dan manis di depan semua orang. Kini dia tidak lagi bekerja di butik. Janice dan Satriyo memutuskan untuk menjual saja butiknya dan menggunakan uangnya untuk meneruskan kuliah Janice yang sempat tertunda. Wanita itu hanya sesekali menerima tawaran design pakaian dan dibayar kemudian. Janice senang melakukannya. Di rumah, Janice banyak belajar pada Manda. Mengurus rumah, memasak, membuat kue, merawat tanaman, hingga membuat sulaman. Manda pun dengan senang hati mengajarinya. Selama sebulan ini Janice bersikap baik padanya. Bahkan Janice lah yanh selalu menyediakan obat terapi untuk Manda. Satriyo pun senang melihat keakraban keduanya. Meski sempay terbersit ragu rumah tangganya akan baik-baik saja dengan dua istri dalam satu rumah. Namun semua tertepis saat melihat kedamaian keduanya. "Kalau terlihat baik-baik saja, berati ada yang disembunyikan.""Nggak akan baik-baik saja perasa

  • Pelakor Sebaya   Kasihan Mereka, Nak

    Tengah malam Satriyo mengajak Langit kembali ke Rumah Sakit. Kasihan Manda jika harus menunggu Janice sendirian. Di mobil, mereka berdua tak banyak bicara. Satriyo diam dengan pikiran yang penuh dan Langit fokus menyetir. Di Rumah Sakit, Manda baru saja melapor, Janice siuman. Kali iji wanita yang baru saja kehilangan bayinya itu tidak histeris lagi. Dia hanya menangis sesenggukkan merasa kehilangan. "Aku jahat, ya?" tanyanya pelan ketika dokter selesai memeriksanya. Tali pengikatnya sudah dilepas. Janice lebih tenang sekarang. "Nggak, kok. Allah punya rencana lain. Itu saja!" jawab Manda lembut dan mengusap lengan madunya. Janice semakin terisak. "Kenapa Mbak baik banget sama aku?"Manda menghela napas panjang dan tersenyum. "Karena aku juga wanita. Sama sepertimu!""Tapi aku nggak pernah mikir perasaan Mbak sedikit pun.""Hanya belum."Janice terdiam. Diraihnya lengan Manda dan memeluknya. Manda mendekat,

  • Pelakor Sebaya   Pengakuan

    Menjelang tengah malam Janice siuman. Dia langsung menjerit ketika meraba perutnya yang kini rata. Manda memeluk dan menghiburnya. Wanita itu nyaris kewalahan karena Janice terus meronta dan menjerit histeris. Sementara Satriyo belum juga pulang. "Mana anakku?" gumam Janice lemah setelah dokter kembali membiusnya. Suster memasang tali pengaman agar Janice tidak menyakiti dirinya sendiri dan membuat tim dokter kewalahan. Apalagi Manda yang kini harus ditangani serius karena dicakar Janice di beberapa tempat. "Kalau dia sadar, segera panggil kami!"Manda hanya mengangguk patuh. Lantas kembali menatap Janice yang tertidur. Wajahnya semakin pucat dengan rambut berantakkan. "Bagaimana ya rasanya kehilangan anak?" Manda mengusap perutnya sendiri. Seolah di sana sesosok malaikat kecil pernah hadir dan kemudian pergi. "Pasti menyenangkan ya merasakan gerakkan mereka setiap saat?" Air mata Manda mengalir pelan. Dia mengusap

  • Pelakor Sebaya   Bayi yang Tak Berdosa

    Satriyo diam menatap Janice yang belum juga siuman. Kata dokter detak jantungnya semakin lemah, termasuk bayi yang dikandungnya. Tim dokter tinggal menunggu persetujuan Satriyo untuk mengambil janinnya. Janin yang belum sempat melihat dunia tidak akan selamat. "Kenapa kamu tega?" ucap Satriyo pelan. Diusapnya punggung tangan Janice yang pucat. Seorang perawat mendatangi Satriyo untuk menandatangani beberapa dokumen terkait operasi dadakan Janice serta memberitahu sejumlah uang yang harus dia bayarkan. "Ini nggak salah, Bu?" tanya Satriyo tidak percaya ketika melihat jumlah nominal yang harus dia bayar. Petugas Rumah Sakit itu menggeleng dan tersenyum. "Ini perawatan terbaik, Pak. Lagipula ini juga tindakan beresiko yang kami ambil."Satriyo diam. Ditatapnya sejumlah digit angka biaya Rumah Sakit Janice. Lelaki itu mengurut kening. Diingatnya sejumlah uang di ATM yang bahkan tidak mencapai seperempat dari biaya yang harus dia bayar. Me

  • Pelakor Sebaya   Dia Tetap Istriku

    "Ampun, Mas!" Janice menjerit dan bersimpuh di bawah kaki Satriyo. Dia memeluk kaki Satriyo erat dan meraung-raung. Satriyo mengepalkan tangan, meredam emosinya yang memuncak. "Dia anak siapa?" Pertanyaan Satriyo tanpa jawaban. Janice masih terus menangis. Dengan kuat Satriyo mencengkeram bahu Janice, membuatnya berdiri tepat di depannya. Mata tajam dan berkilat Satriyo menatap Janice yang menangis. "Dia anak Dave, kan?"Janice sesenggukkan dan menggeleng lemah. "JAWAB JANICE!"Janice terpekik ketika Satriyo menghentakkan tubuhnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dengan cepat dia merangkak dan memeluk kaki Satriyo lagi. Satriyo menepisnya dengan kaki. Sialnya hentakkan kecil kakinya mengenai wajah Janice. Wanita itu menjerit kesakitan. Satriyo sempat menatapnya sekilas, tapi kemudian acuh dan meninggalkan Janice ke kamar. "Mas?"Janice bangkit, berusaha mengejar Satriyo ke kamar. Dilihatnya Satriyo yang men

  • Pelakor Sebaya   Lalu Dia Anak Siapa?

    Satriyo tidak fokus saat meeting sedang berlangsung. Pikirannya tetap pada Janice dan Dave yang terlihat aneh. Satriyo memang tidak sepenuhnya mengenal keluarga istri mudanya itu. Dia hanya tahu papa Janice bercerai dengan mamanya saat dia masih duduk di bangku TK. Keduanya berpisah. Papa Janice menetap di Rusia dan mamanya tingga di Indonesia bersama dirinya. Hubungan kurang akrab antar mama dan anak membuat Janice kecil sudah biasa hidup mandiri. Apalagi papany selalu mengirim uang banyak untuknya hidup. Sekali lagi Satriyo mengingat rupa Dave yang memang agak sedikit bule. Hidung mancung dan kulit putih bersih. Tidak mirip memang, tapi itu bukan berati dia bohong. Satriyo lantas teringat pertemuan pertamanya dengan Dave. Semua pembicaraannya saat itu terekam jelas. Dave yang menyarankan dia untuk pisah rumah saja. Selesai meeting Satriyo berniat langsung pulang. Namun diurungkan ketika dilihatnya Langit duduk di kursi ruang kerjanya. Anak bujangnya itu tengah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status