Home / Rumah Tangga / Pelakormu vs Aku / Bab 4: Retakan di Tengah Cinta

Share

Bab 4: Retakan di Tengah Cinta

Author: Vivits
last update Last Updated: 2024-12-31 20:45:49

*Di Dalam Mobil

Bastian dan Kadita duduk di dalam mobil yang melaju pelan menuju rumah Bastian. Sudah hampir sebulan ini, Kadita yang selalu mengantar Bastian pulang. Bastian kini tak pernah membawa motor lagi, selalu memilih untuk menumpang mobil Kadita.

Di dalam perjalanan, Bastian menatap Kadita yang tampak santai mengemudi. Wajahnya terlihat tenang dan penuh percaya diri. Ia menghela napas pelan, lalu membuka pembicaraan.

"Kadita, kamu selalu semangat kerja, ya? Enggak pernah kelihatan capek," ujar Bastian, mencoba mencairkan suasana.

Kadita tersenyum, melirik sekilas ke arah Bastian. "Saya pikir, kalau kita suka sama pekerjaan kita, capeknya jadi enggak terlalu terasa, Pak."

Bastian tertawa kecil. "Hebat kamu. Kadang aku iri sama orang-orang kayak kamu."

"Iri? Kenapa, Pak? Kan Bapak juga hebat. Jabatan Bapak jauh di atas saya," balas Kadita, nada suaranya merendah.

Bastian menggeleng pelan. "Bukan soal jabatan. Tapi cara kamu menghadapi hidup. Kamu mandiri, punya karier, dan tetap bisa menjaga profesionalitas. Kamu tipe wanita yang tangguh. Kadang aku berpikir, kalau saja..."

Bastian berhenti sejenak, tampak ragu melanjutkan kalimatnya.

Kadita menoleh sedikit, penasaran. "Kalau saja apa, Pak?" tanyanya pelan, tapi penuh rasa ingin tahu.

Bastian menghela napas, lalu melanjutkan. "Kalau saja istriku punya semangat seperti kamu, mungkin hidupku akan lebih mudah. Ekonomi keluarga kami bisa lebih baik."

Kadita tersenyum tipis, merasa tersanjung tapi juga canggung. "Jangan bilang begitu, Pak. Saya yakin istri Bapak punya kelebihan yang enggak saya punya."

Bastian tertawa kecil, kali ini terdengar getir. "Iya, mungkin. Tapi... aku sering merasa dia terlalu nyaman hanya menjadi ibu rumah tangga. Seolah semua beban ekonomi ini sepenuhnya tanggung jawabku."

Kadita terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Pernikahan memang butuh kerja sama, Pak. Tapi saya yakin istri Bapak punya alasan sendiri."

Bastian menoleh, menatap Kadita dengan ekspresi serius. "Kadita, aku serius. Kamu itu contoh wanita yang kuat, independen. Itu yang dibutuhkan dalam pernikahan. Kalau saja..."

Kadita merasa pipinya memanas. Ia tersenyum malu-malu, mencoba meredakan ketegangan. "Pak Bastian, jangan terlalu memuji saya. Saya ini biasa saja."

"Tidak, Kadita. Kamu lebih dari biasa. Kamu luar biasa," kata Bastian, matanya penuh arti.

Kadita tersenyum canggung, tapi dalam hatinya merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara Bastian memandangnya.

---

*Di Rumah

Saat Bastian turun dari mobil, Kartini yang sedang menidurkan anak mereka di ruang tamu, melihat dari balik jendela. Ini bukan pertama kalinya ia melihat suaminya diantar oleh seorang wanita. Naluri wanitanya mulai waspada.

Bastian masuk ke rumah tanpa menoleh ke arah Kartini. Ia langsung menuju dapur untuk mengambil segelas air. Kartini mengikutinya, mencoba membuka pembicaraan dengan nada halus.

"Mas," panggil Kartini lembut.

Bastian menoleh. "Apa?" tanyanya singkat.

Kartini mencoba tersenyum, meski hatinya cemas. "Itu... siapa wanita yang sering ngantar kamu pulang? Sudah beberapa kali aku lihat dia."

Bastian menghela napas panjang, terlihat tidak suka dengan pertanyaan itu. "Itu Kadita, manager Front Office di kantor."

"Oh," jawab Kartini singkat. Ia mencoba menahan diri, lalu melanjutkan. "Kenapa kamu enggak bawa motor lagi, Mas? Bukannya itu lebih praktis?"

Bastian meletakkan gelas di meja dengan sedikit kasar. "Aku capek naik motor, Tin. Kadita nawarin tumpangan, aku terima. Apa itu salah?"

Kartini menggigit bibirnya, menahan emosi. "Bukan salah, Mas. Tapi aku khawatir. Kamu sudah punya istri, sudah punya anak. Enggak baik terlalu dekat dengan wanita lain."

Mendengar itu, Bastian langsung menatap Kartini tajam. "Kamu mulai menuduh, ya? Kamu pikir aku selingkuh?"

"Mas, aku enggak bilang begitu," jawab Kartini, suaranya masih lembut. "Aku cuma bilang, hati-hati. Wanita itu..."

"Kadita itu baik," potong Bastian cepat. "Dia selalu ada buat aku di kantor. Kalau aku lagi stres, dia dengar. Kalau aku butuh bantuan, dia bantu. Beda sama kamu!"

Kartini tertegun, hatinya terasa tersayat. "Beda gimana, Mas? Aku juga selalu ada buat kamu di rumah."

Bastian tertawa sinis. "Di rumah? Kamu cuma tahu soal anak dan dapur, Tin. Kamu enggak pernah ngerti tekanan yang aku hadapi di luar sana. Kadita ngerti. Dia paham."

Kartini mencoba menahan air matanya. "Mas, aku juga paham. Aku mungkin enggak kerja di luar, tapi aku selalu berusaha mendukung kamu di rumah."

"Pendukung macam apa? Kamu cuma diam di rumah, nunggu aku pulang. Lihat Kadita, dia wanita mandiri, tangguh. Dia enggak cuma ngurusin rumah, tapi juga kariernya. Itu yang aku butuhkan!"

Kartini akhirnya tak bisa menahan emosinya. "Mas! Aku ini istrimu! Kalau kamu merasa aku kurang, kenapa enggak bilang dari dulu? Kenapa malah membandingkan aku dengan wanita lain?"

"Karena aku capek, Tin! Capek sama semuanya! Capek jadi satu-satunya yang mikirin masa depan keluarga ini!" balas Bastian, suaranya meninggi.

Suasana menjadi tegang. Kartini menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, sementara Bastian hanya menghela napas panjang, lalu berbalik menuju kamar tanpa berkata apa-apa lagi.

Di ruang tamu yang sunyi, Kartini terduduk. Ia tahu, ada sesuatu yang salah dalam pernikahannya. Tapi ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakormu vs Aku   Bab 96 – Langkah yang Berwarna

    Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg

  • Pelakormu vs Aku   Bab 95: Hadiah Tak Terduga

    Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias

  • Pelakormu vs Aku   Bab 94: Kanvasku, Kamu

    Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan

  • Pelakormu vs Aku   Bab 93 : Lukisan di Kamar

    Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah

  • Pelakormu vs Aku   Bab 92 – Tepat Sasaran

    Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f

  • Pelakormu vs Aku   Bab 91 – Pertemuan yang Tak Pernah Tenang

    Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status