Home / Rumah Tangga / Pelakormu vs Aku / Bab 3: Api yang Mulai Menyala

Share

Bab 3: Api yang Mulai Menyala

Author: Vivits
last update Last Updated: 2024-12-31 20:31:14

Setelah kepergian Bastian, suasana di ruang tamu perlahan kembali mencair. Namun, Ibu Sulastri masih tampak kesal, duduk dengan wajah merengut sambil menyeruput teh. Dini, yang sedari tadi menikmati pujian, mencoba menenangkan mertuanya.

"Sudahlah, Bu. Jangan terlalu diambil hati. Mungkin Bastian cuma lagi stres," ujar Dini lembut sambil menepuk punggung Ibu Sulastri.

Alex, suami Dini, malah tersenyum miring. "Tapi apa yang Ibu katakan tadi memang benar. Kalau Kartini mau bantu Bastian kerja, mereka enggak akan ketinggalan seperti sekarang."

Dini menoleh ke suaminya, sedikit terganggu dengan komentarnya, tapi memilih untuk diam. Sementara itu, Dita, menantu pertama sekaligus kesayangan Ibu Sulastri, yang sedari tadi mendengarkan perdebatan dengan raut tak nyaman, akhirnya angkat bicara.

"Ibu, saya tahu Ibu peduli sama Bastian, tapi terus-terusan membandingkan seperti ini, rasanya enggak baik," kata Dita dengan nada hati-hati.

Ibu Sulastri menoleh dengan ekspresi tajam. "Apa maksudmu, Dita? Ibu hanya ingin Bastian dan Kartini punya hidup yang lebih baik. Apa itu salah?"

"Bukan salah, Bu, tapi caranya mungkin kurang tepat," balas Dita, mencoba tetap tenang. "Enggak semua orang punya jalan yang sama. Kartini itu berbeda. Kalau Ibu terus-terusan menekan mereka, yang ada mereka malah tambah tertekan."

Ibu Sulastri menggeleng. "Tidak, Dita. Justru Kartini harus belajar dari kamu. Kamu bisa jadi dokter, bekerja, dan tetap mengurus keluarga. Kenapa dia tidak bisa? Kalau dia sedikit saja berusaha seperti kamu, Bastian pasti tidak akan malu seperti tadi."

Dita terdiam, merasa percuma untuk berdebat lebih jauh. Sementara itu, Dini menatap Ibu Sulastri dengan pandangan ambigu. Di satu sisi, ia menikmati bagaimana Kartini terus disalahkan, tapi di sisi lain, suasana ini membuatnya sedikit risih.

---

Di Kantor

Bastian duduk di ruangannya di hotel, menatap layar komputer tanpa benar-benar fokus. Ia merasa berat di dada. Kata-kata ibunya tadi terus terngiang di telinganya.

"Makanya, wanita harus kerja juga, biar ekonomi cepat naik dan tidak melarat."

Bastian menghela napas panjang, melirik jam di tangannya. Sudah pukul 11 malam. Kantornya yang biasanya penuh aktivitas kini sepi, hanya ada beberapa petugas shift malam. Ia menggerutu pelan.

"Memalukan. Kepala departemen Housekeeping dan Front Office, tapi mobil pun enggak punya," gumamnya dengan nada frustrasi. "Sementara manager-manager di bawahku sudah pada punya mobil baru."

Ia mengacak-acak rambutnya, rasa malu dan marah bercampur jadi satu. Ia merasa apa yang ibunya katakan tadi mungkin benar.

Di tengah lamunannya, terdengar suara ketukan di pintu. Bastian mendongak, dan seorang wanita melangkah masuk. Kadita, manager Front Office, dengan raut wajah khawatir.

"Pak Bastian? Kok masih di sini? Ini sudah malam," kata Kadita, suaranya lembut.

Bastian melirik sekilas. "Kerjaan belum selesai," jawabnya singkat.

Kadita mendekat, berdiri di depan mejanya. "Tapi ini sudah larut. Bapak harus istirahat. Nanti kalau sakit, malah tambah repot."

Bastian hanya mendengus kecil, tidak menatap Kadita. "Kalau istirahat bikin masalah selesai, saya pasti sudah pulang dari tadi," katanya sinis.

Kadita menatapnya dengan prihatin. "Ada masalah, Pak? Biasanya Bapak enggak seperti ini."

Bastian mendongak, matanya tajam menatap Kadita. "Apa aku terlihat seperti orang yang tidak punya masalah?" tanyanya dingin.

Kadita terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kalau ada yang bisa saya bantu, Pak, saya siap."

Bastian tertawa kecil, tapi nadanya pahit. "Mau bantu apa? Beliin mobil buat saya? Supaya saya enggak malu sama ibu saya atau sama bawahan saya yang sudah punya mobil duluan?"

Kadita sedikit terkejut, tapi tetap tenang. "Saya enggak bermaksud menyinggung, Pak. Kalau Bapak butuh tumpangan pulang, saya bisa antar. Kebetulan mobil saya masih di bawah."

Bastian menatapnya dengan pandangan tajam. "Kamu mau menghinaku, Kadita? Kepala departemen tapi pulang naik motor?"

Kadita tersenyum tipis. "Bukan begitu, Pak. Saya cuma mau membantu. Lagi pula, Bapak sudah cukup banyak membantu saya selama ini. Kalau ini bisa membuat Bapak merasa lebih baik, kenapa tidak?"

Bastian terdiam. Tawaran itu sebenarnya mengusik egonya, tapi di saat yang sama, ia merasa lelah. Akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi jangan pikir saya menerima ini karena saya lemah."

Kadita mengangguk sopan. "Tentu, Pak. Saya hanya ingin memastikan Bapak pulang dengan aman."

---

Di Mobil

Di perjalanan, suasana di dalam mobil terasa canggung. Bastian duduk di kursi penumpang, memandang ke luar jendela, sementara Kadita menyetir dengan tenang.

"Pak, sebenarnya saya salut sama Bapak," kata Kadita tiba-tiba, memecah keheningan.

Bastian melirik sekilas. "Salut? Untuk apa? Untuk jadi kepala departemen yang bahkan enggak punya mobil?"

Kadita tersenyum, kali ini lebih tulus. "Bukan, Pak. Saya salut karena Bapak tetap bekerja keras meskipun mungkin ada banyak tekanan dari berbagai pihak. Tidak semua orang bisa bertahan seperti itu."

Bastian tertawa kecil, getir. "Tekanan? Itu sudah jadi makanan sehari-hari saya."

Kadita menoleh sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. "Tapi itu membuktikan kalau Bapak kuat. Tidak semua orang punya mental seperti itu."

Bastian terdiam, merasa kata-kata Kadita entah bagaimana sedikit menenangkan. Ia melirik Kadita, memperhatikan wajahnya yang tampak tenang meskipun sudah larut malam.

"Kamu tidak pulang ke rumah?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

Kadita tersenyum. "Rumah saya tidak terlalu jauh dari sini. Lagi pula, saya tidak ingin meninggalkan Bapak dalam keadaan seperti tadi."

Bastian merasakan sesuatu yang hangat di dadanya. Perhatian kecil dari Kadita ini terasa berbeda. Ia tidak tahu apakah itu rasa syukur atau sesuatu yang lain, tapi ia membiarkan perasaan itu menggantung.

Saat mobil berhenti di depan rumahnya, Kadita menoleh. "Kalau ada apa-apa, Pak, jangan sungkan untuk cerita. Saya di sini untuk membantu."

Bastian hanya mengangguk pelan, tapi tatapannya lebih lama dari seharusnya. "Terima kasih," ucapnya, nadanya lebih lembut.

Kadita tersenyum sebelum Bastian keluar dari mobil. "Selamat malam, Pak. Jangan terlalu keras pada diri sendiri."

Saat mobil Kadita pergi, Bastian berdiri di depan rumahnya, memandang punggung mobil itu yang menjauh. Di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang baru saja dimulai. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, tapi entah mengapa sulit untuk dihentikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakormu vs Aku   Bab 96 – Langkah yang Berwarna

    Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg

  • Pelakormu vs Aku   Bab 95: Hadiah Tak Terduga

    Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias

  • Pelakormu vs Aku   Bab 94: Kanvasku, Kamu

    Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan

  • Pelakormu vs Aku   Bab 93 : Lukisan di Kamar

    Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah

  • Pelakormu vs Aku   Bab 92 – Tepat Sasaran

    Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f

  • Pelakormu vs Aku   Bab 91 – Pertemuan yang Tak Pernah Tenang

    Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status