-Pagi harinya, di rumah
Suara mesin mobil terdengar dari luar, menghentikan langkah Kartini yang tengah mondar-mandir di ruang tamu. Dengan langkah tergesa, ia keluar rumah dan berdiri di depan pintu. Matanya langsung tertuju pada mobil yang berhenti di depan pagar. Dari balik kaca, ia mengenali sosok suaminya yang turun dengan langkah santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Namun, sebelum Kartini bisa melangkah mendekat, mobil itu kembali melaju pergi. Ia hanya bisa melihat bagian belakang kendaraan yang menghilang di tikungan. Kartini mengepalkan tangan, dadanya bergemuruh. Bastian berjalan menuju pintu tanpa rasa bersalah, seolah-olah semuanya wajar. Tapi sebelum ia sempat masuk, Kartini sudah berdiri di hadapannya dengan mata yang memerah karena menahan marah. "Mas, kamu baru pulang sekarang?" Kartini langsung menyerang tanpa basa-basi. Bastian mendesah pelan, berusaha tetap tenang. "Iya, Tin. Kerjaan semalam banyak banget. Aku harus lembur sampai pagi." "Lembur sampai pagi? Mas, aku ini enggak bodoh!" suara Kartini meninggi, matanya tajam menusuk suaminya. "Kalau memang lembur, kenapa harus diantar Kadita? Kenapa enggak pulang sendiri?" Bastian terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar. "Kadita itu juga lembur, Tin. Dia kebetulan satu arah sama aku, makanya dia nganterin. Enggak ada yang salah, kan?" Kartini mendekat, menatap wajah suaminya dengan penuh emosi. "Enggak ada yang salah? Mas, ini sudah kesekian kalinya kamu pulang diantar dia! Kamu pikir aku enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi?" Bastian mulai kehilangan kesabaran. "Kartini, kamu ini kenapa, sih? Selalu curiga enggak jelas! Aku ini kerja, bukan main-main!" "Kerja? Sampai jam segini, Mas? Apa kamu pikir aku ini enggak punya hati? Aku di rumah menunggu sampai pagi dengan pikiran macam-macam, sementara kamu di luar dengan dia!" Bastian mendengus, mengangkat tangan seolah ingin menghentikan pembicaraan. "Sudahlah, aku capek. Aku mau istirahat." Namun, Kartini tidak berhenti. Ia mengikuti Bastian yang hendak masuk ke rumah. "Mas, aku ini istrimu! Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" Bastian berbalik dengan ekspresi marah. "Kamu ini terlalu drama, Tin! Kadita itu enggak seperti yang kamu pikirkan. Dia itu perempuan yang hebat, mandiri, dan enggak ribet seperti kamu!" Kartini terpaku mendengar kata-kata suaminya. Suara Bastian tajam dan menyakitkan, tapi ia tetap berusaha untuk tidak menangis. "Mas... kamu bilang aku ribet? Jadi sekarang aku kalah sama Kadita? Itu yang kamu maksud?" Bastian melipat tangan di dada, tatapannya dingin. "Kamu lihat sendiri, kan? Kadita itu beda. Dia kerja keras, dia enggak cuma ngeluh atau ngeluh soal hidup. Dia enggak cuma duduk di rumah dan berharap segalanya jatuh dari langit." Kartini menahan napas, tapi air matanya mulai mengalir. "Mas, aku ini di rumah bukan karena aku malas. Aku di rumah karena aku ingin jadi istri dan ibu yang baik untuk keluarga kita. Aku mendukungmu dari belakang, aku menjaga anak-anak kita..." "Tapi apa hasilnya, Tin?" potong Bastian tajam. "Kamu pikir itu cukup? Lihat dirimu. Kamu bahkan enggak bisa menjaga dirimu sendiri. Lihat Kadita, dia tahu bagaimana caranya merawat diri. Dia tahu bagaimana caranya membuat orang menghormatinya!" Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Kartini. Ia menatap suaminya dengan mata penuh luka. "Jadi sekarang aku ini cuma beban untukmu, Mas? Aku ini cuma seorang istri yang tidak pantas berdampingan denganmu?" Bastian menghela napas panjang, lalu menggeleng. "Aku enggak mau bertengkar, Tin. Aku capek." Ia berbalik dan berjalan menuju kamar, meninggalkan Kartini yang berdiri kaku di ruang tamu. Kartini hanya bisa memandang punggung suaminya yang menghilang di balik pintu kamar. Tubuhnya gemetar, hatinya hancur. Tangannya mengepal erat, tapi air matanya tak bisa dihentikan. Di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya apa yang salah dalam pernikahannya. Apa benar ia tak cukup baik? Apa benar dirinya sudah menjadi beban bagi suaminya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuinya, membuat malam yang panjang itu terasa semakin gelap.Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg
Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias
Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan
Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah
Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f
Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.