Beranda / Rumah Tangga / Pelakormu vs Aku / Bab 7: Malam yang Panjang

Share

Bab 7: Malam yang Panjang

Penulis: Vivits
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-31 21:41:26

Malam sudah merangkak ke pukul 1 dini hari, dan Kartini masih duduk di ruang tamu. Pandangannya kosong menatap ke arah pintu. Jam dinding terus berdetak, seakan mengejek kekhawatirannya yang semakin menjadi-jadi.

Bastian belum pulang, dan ini bukan kebiasaannya. Biasanya, meskipun lembur, suaminya akan tiba di rumah paling lambat pukul 10 malam.

"Mas, di mana kamu?" gumam Kartini pelan sambil meremas ujung pakaiannya. Ia mencoba menelepon, tapi panggilannya selalu berakhir di nada tunggu tanpa jawaban.

Langkah kaki terdengar dari arah kamar. Ibu Sulastri muncul dengan kain batik yang disampirkan di bahunya. Ia menguap kecil, tapi wajahnya langsung mengerut ketika melihat Kartini masih duduk sendirian.

"Kartini, ngapain kamu duduk di sini? Sudah tengah malam," tanyanya, suaranya datar tapi penuh rasa ingin tahu.

Kartini menoleh, mencoba tersenyum kecil untuk menyembunyikan kegelisahannya. "Saya lagi nunggu Mas Bastian, Bu. Dia belum pulang."

Ibu Sulastri mendekat, duduk di kursi berhadapan dengan menantunya. Tatapannya tajam, tapi ada sedikit keheranan di matanya. "Belum pulang? Biasanya dia pulang jam berapa?"

"Biasanya jam 9 atau 10, Bu. Tapi ini sudah lewat tengah malam," jawab Kartini sambil menunduk, suaranya lirih.

Ibu Sulastri menyandarkan punggungnya, matanya memperhatikan Kartini dengan seksama. "Kamu sudah coba telepon?"

"Sudah, Bu. Tapi enggak diangkat," jawab Kartini pelan.

Hening sesaat. Ibu Sulastri menarik napas panjang, lalu mendesah pelan. "Kartini, saya tahu kita sering enggak cocok. Tapi kamu harus dengar saya. Laki-laki, kalau mulai aneh-aneh, biasanya ada sesuatu. Apalagi kalau dia enggak pulang tepat waktu seperti biasanya."

Kartini mengangkat wajahnya, menatap mertuanya dengan mata penuh kebingungan. "Maksud Ibu... Mas Bastian kenapa, Bu?"

Ibu Sulastri mengangkat alis, tatapannya dingin tapi serius. "Saya enggak bilang apa-apa. Tapi saya ini pernah ditinggalkan suami, tahu? Waktu itu, saya juga sering merasa ada yang enggak beres. Saya abaikan tanda-tandanya sampai akhirnya terlambat. Kamu jangan bodoh seperti saya dulu."

Kartini terdiam. Kata-kata mertuanya menusuk hati, meskipun nadanya tetap datar. Ia mencoba mencari alasan untuk membela suaminya, tapi rasa khawatir dalam hatinya semakin besar.

"Bu, saya percaya sama Mas Bastian. Dia enggak mungkin seperti itu," kata Kartini akhirnya, meskipun suaranya tidak terdengar meyakinkan.

Ibu Sulastri tersenyum kecil, sinis tapi tidak terlalu menyakitkan. "Percaya itu bagus. Tapi waspada juga penting. Jangan sampai nanti kamu cuma jadi wanita bodoh yang dibohongi laki-laki."

Kartini menunduk, memainkan ujung pakaiannya dengan gugup. "Bu, Mas Bastian memang sibuk. Mungkin dia memang masih kerja."

Ibu Sulastri mengangguk pelan, tapi matanya tetap penuh kewaspadaan. "Mungkin saja. Tapi kalau kejadian ini terus berulang, kamu harus mulai berpikir. Laki-laki itu, kalau sudah merasa nyaman di luar, biasanya susah kembali ke rumah."

Kartini terdiam. Ia tahu mertuanya tidak sepenuhnya salah, tapi ia juga tidak ingin berpikir terlalu jauh.

Ibu Sulastri berdiri, bersiap kembali ke kamarnya. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh, menatap Kartini dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Jangan terlalu percaya sama orang, Tin. Kadang yang kita pikir akan melindungi kita justru yang paling menyakiti."

Kartini hanya bisa memandang punggung Ibu Sulastri yang menghilang di balik pintu kamar. Perasaan cemas dan takut semakin menyesakkan dadanya. Ia memandang kembali ke arah pintu depan, berharap suaminya segera pulang dan kekhawatirannya hanyalah sebuah kesalahpahaman.

Namun, di dalam hatinya, Kartini mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Naluri wanitanya berbisik bahwa ada sesuatu yang salah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelakormu vs Aku   Bab 96 – Langkah yang Berwarna

    Kartini masih duduk di tepi ranjang, jemarinya menyentuh lembut gelang kaki yang baru saja dipasangkan Antonio. Pikirannya melayang. Dari sekian banyak jenis perhiasan yang ada di dunia ini, kenapa gelang kaki yang dipilih Antonio? Pria itu memang selalu penuh kejutan. Tapi ia juga sadar, di balik setiap tindakan Antonio, pasti ada alasan yang tak tertebak. Dengan sedikit ragu, Kartini akhirnya bertanya, “Pak Antonio…” suaranya hampir seperti bisikan, membuat pria yang sedang berdiri memandangi jendela berbalik perlahan. “Kenapa… memilih gelang kaki?? Maksud saya, Anda bisa memilih cincin, kalung, atau bahkan anting. Tapi kenapa ini?” Antonio menatapnya, senyum tipis yang khas itu kembali muncul di wajahnya. Sorot matanya seperti menembus jiwa, membuat Kartini merasa seperti satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pria itu mendekat, langkahnya tenang namun penuh wibawa. Ia berhenti di depannya, menunduk sedikit hingg

  • Pelakormu vs Aku   Bab 95: Hadiah Tak Terduga

    Kartini menatap lukisan yang baru saja ia selesaikan dengan hati berdebar. Kuas-kuas telah disisihkan, cat yang sedikit belepotan di tangannya menjadi saksi bagaimana ia mengerahkan seluruh perasaannya ke dalam karya itu. Dengan sedikit ragu, ia mendorong kanvas ke depan Antonio, memperlihatkan hasilnya. “Sudah selesai…” suaranya pelan, hampir seperti bisikan. “Saya harap… Pak Antonio nanti menyukainya.” Antonio, yang masih berbaring santai di ranjang, memiringkan kepala untuk melihat lukisan itu. Tatapannya tajam dan serius, tak ada ekspresi yang bisa Kartini tebak. Ia hanya diam, membuat suasana semakin menegangkan. Kartini mulai gelisah, jemarinya tanpa sadar meremas gaunnya. “Pak Antonio? Apa… apa ada yang salah dengan lukisannya?” tanyanya gugup. Beberapa detik berlalu sebelum pria itu akhirnya berbicara, suaranya rendah tetapi menggema penuh wibawa. “Kamu benar-benar… luar bias

  • Pelakormu vs Aku   Bab 94: Kanvasku, Kamu

    Ruangan kamar Antonio yang luas, dengan jendela besar yang menampilkan langit malam, kini terasa semakin intim. Di sudut, Kartini berdiri gugup sambil melirik ke arah lemari besar yang ditunjuk Antonio. Suara bariton pria itu menggema lembut namun tegas. “Di situ ada kanvas dan cat. Ambil semuanya. Mulailah melukis,” katanya, matanya yang tajam mengunci Kartini dalam kebimbangan. Kartini mengangguk pelan, tubuhnya bergerak menuju lemari. Setiap langkah terasa berat, bukan karena beban yang ia bawa, melainkan karena kehadiran Antonio yang begitu dominan. Ketika ia membuka lemari, pandangannya jatuh pada set lengkap peralatan melukis yang tersusun rapi. “Semua ini… untuk saya gunakan?” tanyanya pelan, suaranya nyaris berbisik. Antonio, yang kini sudah duduk di sisi ranjangnya, hanya mengangguk kecil sambil melepas arloji dari pergelangan tangan. Ia meletakkannya di meja samping dengan

  • Pelakormu vs Aku   Bab 93 : Lukisan di Kamar

    Langit sore mulai meredup ketika Antonio melangkah masuk ke rumahnya setelah selesai dengan sesi latihan tembaknya. Kaus polo hitam yang ia kenakan melekat sempurna pada tubuh atletisnya, menyiratkan kelelahan sekaligus kesan menawan yang tak terbantahkan. Langkahnya tenang, tetapi tatapannya tajam menyusuri ruangan, mencari seseorang—Kartini. Namun, Kartini tidak terlihat di mana-mana. Antonio mengerutkan dahi. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung melangkah menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia berhenti sejenak. Kartini ada di sana. Wanita itu berdiri diam di depan dinding besar yang dihiasi sebuah lukisan wanita mengenakan gaun marun. Kartini tampak terpaku, matanya menatap lekat pada detail lukisan itu. Antonio bersandar di ambang pintu, kedua lengannya menyilang di dada. Matanya mengamati Kartini yang tampak begitu terpesona, tetapi ekspresinya tetap dingin. “Kartini,” suara baritonnya memecah

  • Pelakormu vs Aku   Bab 92 – Tepat Sasaran

    Antonio berdiri di area latihan tembak dengan postur tegap, mengenakan pakaian olahraga hitam yang membuat auranya semakin mencolok. Sebuah pistol semi-otomatis berada di genggamannya, siap untuk digunakan. Ia menarik napas panjang, menatap target yang berada beberapa meter di depannya—sebuah lingkaran dengan titik merah di tengah. DOR! Tembakan pertama melesat, tepat mengenai tepi lingkaran tengah. Antonio sedikit menghela napas, tampak tak puas. Ia mengangkat pistolnya lagi, tetapi kali ini wajahnya tampak lebih serius. Dalam pikirannya, ia membayangkan wajah seseorang. “Bastian,” gumamnya sambil mengarahkan pistol. “Kalau saja kamu tahu betapa menyebalkannya dirimu…” DOR! Kali ini tembakannya tepat di tengah. Antonio menyeringai kecil, senang membayangkan dirinya sedang "mengalahkan" Bastian, meski hanya di pikirannya. “Pak Antonio, Anda tampaknya sangat f

  • Pelakormu vs Aku   Bab 91 – Pertemuan yang Tak Pernah Tenang

    Antonio berjalan dengan tenang di lorong hotel, memeriksa setiap detail dari pelayanan hingga suasana hotel. Mata tajamnya memperhatikan kerapian meja, keramahan staf, hingga suasana yang dihadirkan. Hari itu seharusnya menjadi hari biasa. Tapi, tentu saja, tidak bagi Bastian. “Antonio!” suara khas itu memecah keheningan. Antonio berhenti sejenak, menoleh, lalu kembali berjalan. Namun, seperti biasa, Bastian tak menyerah. Ia mengejar dengan langkah cepat, membawa senyum yang seolah penuh kemenangan. “Kenapa selalu buru-buru kalau ketemu aku? Takut kalah debat, ya?” goda Bastian sambil menyamakan langkah dengan Antonio. Antonio menghela napas pelan, menoleh tanpa banyak ekspresi. “Kalau tidak ada yang penting, lebih baik kembali ke pekerjaanmu.” “Tenang dulu, bos. Aku cuma mau ngobrol ringan. Kamu tahu Kartini pindah kerja ke mana?” tanyanya tiba-tiba, mencoba terdengar santai, tapi matanya penuh selidik.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status