Hari ini aku dikejutkan dengan kedatangan seseorang dikontrakan dan mengganggu hari liburku. Seharusnya aku menikmati waktu tidur siangku yang nyenyak, tapi orang yang mengetuk pintu itu begitu menjengkelkan.“Awas kalau itu Mas Ragil! Aku langsung tutup lagi pintunya!” aku menggerutu sambil meninggalkan tempat tidur dan memakai kerudung.Sudah senang aku tidak melihat batang hidung laki-laki itu selama beberapa hari, sejak insiden ayam Lestari yang hilang. Eh, sekarang menggangguku waktu masih tidur siang.“Katanya calon suami tercinta, harusnya ngerti kalau sekarang waktunya tidur siang calon istrinya!” aku masih mengomel sambil memutar kunci.Begitu pintu kontrakanku terbuka, aku dibuat heran dengan laki-laki gagah yang berdiri sambil menyunggingkan senyuman manisnya. Sontak saja aku berpikir keras, dan bertanya dalam hati, siapa laki-laki ini?Pasti alisku berkerut karena alam pikiranku yang cetek tidak mampu mengingatnya.“Maaf, benar ini kamu, Minari, kan?” katanya dengan
“Abid beruntung, bisa nikah sama adikmu, Linda!” kata Firman lagi, dan aku mengangguk tanda setuju dengan ucapannya itu, sebab Linda adalah adik kandungku.“Iya, kamu benar! Mereka pasangan yang serasi! Nggak kayak aku, sampai sekarang belum ada yang mau!” Aku berseloroh demi membuka pembicaraan lainnya.Firman tertawa kecil dan dia menggelengkan kepalanya sambil menatapku dengan tatapan yang sulit kualihkan. Dia seperti menggoda imanku untuk mengingat masa lalu yang menyedihkan.Haruskah aku ungkit sekarang tentang bagaimana ia dulu pernah menyakitiku. Ia memberikan harapan setinggi langit tapi kemudian aku dihempaskan dengan sangat keras ke dasar bumi. Rasanya perih di ulu hati dan itulah kali pertama aku merasakan sakit, karena patah hati.Dia pergi tanpa permisi dari rumah, saat aku izin ke kamar mandi, padahal kedatangannya ke rumah waktu itu jelas ingin melamarku.Waktu itu aku terima keinginannya untuk melamar, walau belum lama aku dan dia pacaran—yaitu menjelang kelulusan
“Mina! Tapi, kamu cinta pertamaku!” kata Firman berusaha meyakinkan aku soal perasaannya.“Cinta pertama itu nggak bisa jamin untuk cinta jadi terakhirmu, Fir! Apalagi perasaan kita hanyalah masa di mana kita masih remaja dulu, aku yakin kamu sudah beberapa kali pula jatuh cinta!” aku menukas ucapan Firman yang menurutku konyol itu.Memangnya siapa yang menjamin dia akan menjadikan aku sebagai cinta terakhir dan istri satu-satunya? Bukankah masih banyak kemungkinan terjadi setelah menikah? Lagi pula, tidak ada yang tahu soal takdir manusia dalam pernikahannya, apakah pasti bisa hidup bahagia bersama sampai tua dan tutup usia. Rasanya aku sulit mempercayainya. Mengingat aku tidak benar-benar mengenal Firman, meski kami pernah punya hubungan asmara.Masa lalu memang menjadi bukti adanya masa sekarang, tetapi bukan berarti boleh diungkit terus-terusan, apalagi kalau hanya untuk mengungkapkan sebuah penderitaan. Aku tidak bisa menerima perasaan Firman kembali padaku. Walaupun, aku dan
“Siapa dia? Untuk apa mereka ke sini?” kata sebuah suara yang kudengar dari arah belakang kepala. Tentu saja aku terkejut dan langsung menoleh.Ahk, dia lagi!Ternyata Mas Ragil sudah berdiri tepat di belakang punggungku hingga saat aku berusaha menghindar, senggolan antar bahu tak bisa kuhindari.“Mas Ragil ini ngagetin aja, sih!” Aku berkata dengan ketus, hampir saja tidak bisa menahan diri dan ingin rasanya memukul pria itu.Aku juga kesal pada Mas Ragil ia sudah bagus menghilang lebih dari sepekan ini, tahu-tahu muncul seperti hantu di siang hari. Lagian, dia lewat dari mana, sih? Perasaan sejak aku tadi berdiri di pintu pagar kontrakan, tidak ada orang lain lagi yang lewat, selain nyamuk atau lalat.Mas Ragil tidak mengomentari gerutuan di mulutku, tapi dia terus melihat ke arah Abid dan Firman yang masih berdiri di dekat mobil mereka masing-masing. Namun, tak lama kemudian mereka pergi.Setelah itu, aku melangkah pergi ke kontrakanku sendiri dan Mas Ragil mengikuti.“Siap
“Kamu mau bicara soal Abid apa soal pernikahan kita?” balasan dari Mas Ragil begitu cepat, membuatku merasa berarti.Percaya diri sekali dia. Aku tidak menjawab lagi pesannya, karena aku berniat untuk menghubunginya kembali setelah selesai melipat pakaian. Namun, ternyata dia menghubungiku terlebih dahulu.Aku membiarkan telepon berdering beberapa saat lamanya hingga panggilannya berakhir dengan sendirinya. Tak lama setelah itu, ia mengirimkan pesan.“Katanya mau ngomong di telepon, kenapa nggak diangkat?” Aku pun menjawab, “Nanti!”Tak ada jawaban. Baru setelah aku selesai membersihkan baju dan mandi serta sholat ashar, barulah aku meneleponnya kembali.“Halo! Gimana, Dek?” Mas Ragil langsung menjawab panggilanku, setelah bunyi nada sambung ke satu.Wah, wah, semangat sekali sih, calon suamiku itu.“Udah sholat ashar belum, Mas?” tanyaku sekedar memastikan kalau ia sudah melaksanakan kewajibannya itu.“Sudah! Itu nomor satu, seperti kamu!”Aku memilih diam mendengar gombalannya ya
Firman menoleh saat ia mendengar suara seseorang memanggil nama Mina, tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia langsung menutup teleponnya terserah sepihak dan tidak peduli kalau Abid marah padanya. Ia menyimpan benda lebih itu ke dalam saku celana, lalu menghampiri Mina. Gadis Itu tampak sedang berbicara dengan salah seorang tetangga kontrakannya. Firman baru mendekat, tidak seberapa mengerti tentang apa yang dibicarakan oleh dua orang wanita itu, tetapi, ia baru kalau ternyata Mina tidak berada di rumahnya. “Saya itu mau pulang, Teh Nena!” kata Mina pada wanita yang telah mengagetkannya. “Loh, memangnya dari mana?” tanya Nena. “Dari laundry Teh Mela, lagi males nyuci!” “Jangan malas-malas Mbak Mina, biar nanti calon suaminya ganteng!” “Ah, teh Nena bisa saja!” “Mina! Kamu di sini? Aku baru saja mau ke rumahmu?” kata Firman memutus percakapan dua wanita, yang segera menoleh dngan cepat, ke arah pria yang tiba-tiba menyapa mereka. “Siapa dia, Mbak Mina, ganteng sekali, calon suamin
“Fir! Kita ngobrolnya di sini saja!” kata Mina seraya melambaikan tangan pada Firman agar mempercepat langkahnya.“Kenapa di sini, nggak di rumahmu saja?” tanya Firman, karena ia merasa kurang bebas kalau harus ngobrol di sana, ada sesuatu yang ingin ditanyakan secara rahasia kepada Mina.Laki-laki itu menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat di sekitarnya ada beberapa ibu-ibu yang memperhatikan mereka. “Memangnya kenapa kalau di sini? Nggak enak kalau kita bicara berdua di dalam rumah, Fir, takut ada fitnah!” kata Mina, ia tidak ingin pada tetangganya berpikiran macam-macam tentang dirinya dan firman. Ia juga khawatir kalau tiba-tiba saja Ragil datang, saat ia berbicara dengan firman di dalam rumah tentu akan jadi masalah.Terkadang kemunculan pria itu tidak bisa diprediksi—tahu-tahu muncul, tapi kemudian ia menghilang.Mina sudah tahu bahwa, ibu-ibu itu memang sangat kurang kerjaan sehingga mereka senang sekali, melihat sesuatu yang baru dan bisa dijadikan bahan gosipan.Apalagi
“Jadi, kamu nggak percaya?” tanya Ragil ikut berdiri.Sebenarnya Ragil tidak mengharapkan perkelahian ataupun ucapan kasar dari laki-laki itu. Walaupun, Firman tampak seperti pria berpendidikan, tapi ia terkesan meremehkan orang lain tanpa pertimbangan. Padahal, yang Ragil katakan hanyalah kejujuran saja. Dalam hati Ia juga gemas dengan Mina, yang terlihat enggan mengakuinya sebagai calon suaminya.Ragil sempat berpikir negatif apakah ia tampak begitu buruk di hadapan calon istrinya.Hari itu Ragil sengaja pergi ke sebuah barbershop untuk memangkas rambutnya agar rapi. Mengingat sebentar lagi adalah hari pernikahan yang sangat penting baginya. Jadi, ia cukup sibuk. Ragil sibuk mempersiapkan pernikahannya, termasuk mas kawin yang sesuai keinginan calon istrinya. Memberi informasi kepada saudara, dan kerabatnya, baik yang dekat, maupun yang jauh. Apalagi, beberapa keluarga wakil dari ayah dan ibunya, mereka tidak bisa hanya sekedar diberitahu saja. Hari ini ia sengaja memakai pak