Share

Tentang Sebuah Nama

"Iya, Mbak!" jawab Linda.

"Eum ... Samarchandra itu nama Bapaknya?” tanyaku penasaran.

“Iya, Mbak, nama keluarganya gitulah! Kakek-kakeknya juga punya nama yang sama!”

“Oh!”

“Jadi, Mbak! Kapan bisa pulang, dan kita ke rumah Pak Samad?” Landu bertanya membuatku sontak tertawa.

“Dih, nggak sabar amat, sih? Beneran kalian mau ngadain acara nikah barengan?”

“Ya, nggak apa kalau cocok waktunya, biar Ibuk repotnya sekalian, mereka juga lahirnya barengan!” Ibu menyela pembicaraanku dan Landu.

Deg. Hatiku tiba-tiba berdegup, aku sepertinya benar-benar harus siap. Kata orang kalau di langkahi adik laki-laki nikah duluan, bakalan lama dapet jodohnya.

“Gimana kalau aku juga dapet jodoh barengan, Buk?” Aku berkata setelah berhenti tertawa.

“Loh, ya malah bagus. Ibuk ngunduh mantu sekaligus tiga!”

“Maasyaallah!” gumamku sambil menggelengkan kepala, “Berarti, rezeki Ibuk benar-benar besar, ya?”

“Kata siapa besar, justru berkurang! Soalnya kalian mau jadi milik orang, Ibuk nggak punya hak lagi pada kalian!” Ibuku hampir menangis saat bicara.

“Siapa bilang?” kata Landu, kemudian laki-laki itu meyakinkan ibu, bahwa bila anaknya menikah bukan berarti hilang, seperti kematian. Sebab pernikahan bukan menjadi penghalang seorang anak untuk berbakti pada kedua orang tua. Mereka sudah susah payah mendidik dan membesarkan anak-anaknya.

Aku terharu mendengar penjelasannya itu, dia akan menjadi imam yang baik buat istrinya kelak. Wanita yang dicintainya akan seberuntung ibu yang telah melahirkannya. Aku mendekat dan merangkul bahunya, lalu berbisik di telinganya.

“Jadi, gimana kalau melamar Ismaya bulan depan?"

Adikku itu tersenyum, dan melirik Linda, “Nanti saja, setelah pernikahan Linda!” katanya.

“Kalau kamu lamar Ismaya habis nikahannya Linda, kamu nikahnya tahun depan?” tanya Ibu terlihat kesal. Aku menautkan alis saat menatap perempuan separuh baya itu.

“Ya, nggak lah, Bu, paling bulan depannya lagi, masa menunda lama banget, kalau sudah dilamar, lebih baik nikah secepatnya!” jawab Landu dengan cemberut.

“Jadi, cuma sebulan jaraknya dari Linda? Halah! Kok nanggung amat, bareng saja sekalian!” kata Ibu kemudian.

“Mina! Kamu Minggu depan pulang pas libur kerja, buat lamaran ke rumah Ismaya!” titahnya padaku.

Kenapa aku yang jadi ujung tombak mereka, sih?

“Baik, Buk!” itulah jawaban terbaikku agar tidak menambah masalah.

Ibu membuka bungkusan yang sejak tadi diletakkannya di tengah. Ternyata itu nasi dan lauk pauk, buatan ibu yang selalu enak dilidahku. Walau sederhana, tapi menggugah selera.

Nasi liwet, tumis teri campur kulit melinjo, ikan pindang, tempe bacem dan lalap daun singkong serta sambal.

Aku mengambil nasi yang sudah kumasak di penanak nasi, lalu menyajikannya di antara hidangan.

“Ibu juga bawa nasi, kok! Jangan anggap Ibumu ini bodoh, nggak bawa nasi tapi bawa sayurnya!” kata ibu sambil mengambil nasi dari bekalnya.

Aku diam dan hanya menyediakan piring saja.

“Eh, ini, Mina!” kata ibu lagi, sambil menaruh tumis kulit melinjo, ikan pindang dan tempe bacem ke dalam satu piring, “Kasih buat tetanggamu yang tadi ngasih tomat!”

Aku melihat piring yang penuh. Sepertinya itu terlalu banyak buat Mas Ragil seorang, lagi pula aku tidak tahu apa dia doyan makanan seperti itu? Aku ragu.

“Oh! Ya, Buk!” jawabku pasrah.

“Kasih itu saja, sebagai balasannya, dia sudah baik mau ngasih semua ini buat kamu! Jarang-jarang, ada orang tinggal di kota kayak dia!”

“Ya, Buk!” Aku pun beranjak berdiri, setelah menerima piring itu dari tangannya.

“Yaa, kalo kamu mah, nggak bakalan ngasih apa-apa ... lah, masak saja jarang!”

“Hehe!”

Aku pikir beliau akan melanjutkannya dengan kata-kata makian seperti sebelumnya sebab sudah biasanya begitu. Setiap kali aku telat mikir dan tidak peka, ibu selalu mengataiku bodoh dan semacamnya.

Namun, kali ini tidak. Aku pun menyimpulkan bahwa, beliau mungkin sudah lupa.

Aku ke luar rumah dan mendatangi petakan Mas Ragil, yang pintunya setengah terbuka. Sekilas kulihat di dalamnya tidak banyak barang Hanya ada satu set meja dan kursi malas, dengan desainnya unik dan tidak biasa, terkesan mewah. Bahkan, karpet yang melapisi lantainya pun terlihat berkelas baik dari segi motif dan bahannya.

Ada juga sebuah nakas kecil terbuat dari kaca gelap hingga isi di dalamnya tak terlihat. Benda itu pun tak kalah mewahnya. Ada sepatu kulit yang terlihat jarang dipakai di bawah meja.

“Dengar! Aku tidak mau tahu, bereskan semuanya! Kalau perlu, hubungi orang itu dan katakan kebenarannya!” kudengar sebuah suara Mas Ragil di dalam sana.

“Assalamu’alaikum!” sapaku sambil mengetuk pintu, yang tidak tertutup rapat itu.

“Hmm ... sudah cukup! Aku tahu!” kata Mas Ragil sambil menyembulkan kepalanya di balik pintu, dengan telepon genggam di telinga. Begitu tatapan kami beradu, ia terlihat terkejut dan mematikan panggilan secara tiba-tiba.

Nada bicaranya saat bicara di telepon tadi, sedikit berwibawa, seolah-olah dia sedang bicara dengan bawahannya.

“Eh, Dek Mina! Ada apa, ya?” tanyanya gugup, tapi lembut. Dia segera ke luar dan menutup pintu rumahnya.

Kenapa aku jadi curiga?

“Ini, Mas, ada sedikit makanan, Ibuk yang bawa dari kampung!” kataku seperti baru belajar bicara.

“Oh!” kata Mas Ragil seraya menatap makanan di piring dengan wajah yang ceria dan penuh senyuman di bibirnya.

Saat dia menerima piring, lagi-lagi tangan kami bersentuhan. Sepertinya dia sengaja.

Huh!

“Nanti, ya, saya kembalikan piringnya!”

“Eh, nggak usah dibalikin juga nggak apa, Mas. Itu cuman piring plastik biasa!”

“Beneran, nih, nggak usah dibalikin?” tanyanya sambil mengangkat alisnya.

“Iya, iya! Kalau gitu, saya permisi dulu!”

“Iya, terima kasih ya, Dek Minari Anasya!” katanya dengan ucapan mendayu.

Tiba-tiba aku jadi merinding dibuatnya, sejak kapan ia tahu nama lengkapku? Perasaan aku tidak pernah memperkenalkan diri padanya secara resmi, dengan menyebut nama pemberian ibu dan bapak itu.

Tidak semua anak ibu dan ayah memiliki nama belakang yang sama denganku. Landu dan Linda memiliki nama belakang Wijaya, dari nama bapak saja. Sekali lagi alasannya adalah, karena mereka kembar. Landu tidak mungkin diberi nama belakang Anasya, kan?

Anasya adalah gabungan nama bapak, Ananto Wijaya dan Syanita Harun, ibuku. Jadi, dari mana Mas Ragil tahu? Tuhan, beri aku petunjuk-Mu!

Aku harus tanyakan soal ini pada dua orang yang tahu nama lengkapku. Yaitu Pak RT, atau pemilik kontrakan--Teh Mela--yang rumahnya cukup besar di pertigaan jalan masuk kontrakan.

Katanya, lima jajar kontrakan di sekitarku ini adalah miliknya. Kaya sekali dia.

Setelah aku kembali ke rumah, kulihat ibu dan dua adikku tengah asyik makan dalam diam, karena mereka sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing. Ah, benda itu hampir membuatku cemburu, manusia memperlakukannya lebih berharga dari nyawa.

Sementara ibu melakukan panggilan video dengan bapak.

Kulihat wajah bapak yang datar dan masih makan juga dengan menu yang sama di layar kaca.

Aku mengambil makananku dan mulai menikmatinya.

“Gimana, kabarmu, Nduk?” tanya bapak seperti biasa kalau menegurku. cuma aku yang di panggil seperti itu. Sedangkan Linda, mendapatkan panggilan sayang. Maknanya sama saja, tapi anak-anak yang merasa dirinya berbeda. Aku pun merasa menjadi anak kesayangan. Padahal beliau sama sekali tidak pernah membeda-bedakan.

“Alhamdulillah, sehat. Bapak gimana?”

“Eh, Mina!” Bapak tidak menjawabku dan bertanya,, “Mina, coba tanya sama tetanggamu atau orang-orang di sana siapa tahu kenal sama orang yang namanya Ragil Samudra di situ?”

"Siapa, Pak? Ragil Samudra?"

❤️❤️❤️❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status