Home / Urban / Pelangkah Tanpa Syarat / Pelangkah Tanpa Syarat

Share

Pelangkah Tanpa Syarat

Author: El GeiysyaTin
last update Last Updated: 2023-07-13 11:44:29

"Buk! Nasib sial atau nggak itu urusan Allah! Jadi, bukan perkara pelangkahan nikah, yang membawa kesialan dan keberuntungan mereka!”

“Mbak, tapi aku tetap harus menanyakan itu, biar aku yakin kalau Mbak sudah rela kalau aku menikah lebih dulu!” kata Linda memohon.

“Baik, aku rela kamu menikah lebih dulu, Linda ...! Landu ... kalau kamu mau nikah sekarang juga silakan, nggak usah ngasih apa-apa!”

“Beneran, Mbak?” Landu tampak tidak percaya

“Ya, bener, lah! Jadi, Mbak nggak akan minta pelangkahan, kalau mau nikah ya, nikah saja! Mbak terima dengan lapang dada, tanpa syarat apa-apa!”

Sejenak suasana menjadi hening.

“Mbak kenal Ismaya, kan?” Landu tiba-tiba bertanya.

“Ya!” jawabku setelah mengingat tentang nama yang disebutkannya itu.

“Aku sekarang dekat sama dia, Mbak. Dia nggak mau pacaran dan maunya langsung dilamar!” kata Landu dengan mata yang berbinar menceritakan gebetannya.

Aku tersenyum dan setuju dengan pernikahan Landu dan wanita itu. Aku mengenalnya belum lama, saat aku pulang beberapa bulan yang lalu, dan kebetulan dia ikut ayahnya membeli ikan koi yang dijual adikku. Kata ibu, wanita itu sering ikut ayahnya ke sana. Ah, ternyata dia cuma modus karena mau bertemu dengan adikku.

Aku juga kenal Pak Samad dan Bu Vina, dua orang tua Ismaya itu pedagang sayur sukses di desa tetangga. Pertaniannya banyak dan termasuk orang kaya pula. Ismaya adalah anak perempuan satu-satunya. Kata Landu, dia punya dua kakak laki-laki yang sebaya denganku. Namun, anehnya aku tidak kenal karena tidak satu sekolah dengan mereka. Hanya satu yang membuatku penasaran dengan Ismaya, wajahnya mirip sekali dengan Ismawati, temanku yang sudah meninggal dunia, saat masih SMA.

“Kamu beruntung kalau menikahi Ismaya, Lan!” kataku, “Kalau begitu, cepat lamar dia sebelum diambil orang. Kamu sudah sukses dan mapan, punya mobil juga, jadi nikahi saja dia!”

“Aku mau ngelamar dia, sama mbak Mina, ya? Biar dia yakin kalau Mbak merestui pernikahan kami nantinya!”

“Kenapa harus sama Mbak?”

“Soalnya, dia bilang, takut kualat kalau melangkahi kakak perempuan nikah duluan karena dianggap tidak sopan!”

Hatiku memang sedikit tersayat, dilangkahi dua adik kembar menikah lebih dulu, itu memang memalukan. Namun, sekali lagi, nasib itu Allah yang menentukan.

Aku pernah dekat dengan beberapa laki-laki atau pernah juga meminta seorang ustdzah di kampung untuk mencarikan jodoh, tapi sampai saat ini, tidak pernah ada yang cocok.

Kalau aku mau, laki-laki itu tidak mau, kalau laki-laki itu mau, aku yang tidak cocok. Kalau soal pendekatan dengan cara biasa, aku sudah dekat dengan banyak pria. Namun, di antara mereka tidak ada satu pun yang datang melamarku di hadapan bapak dan ibu.

Ada satu orang yang dekat denganku dan kisahnya cukup lucu, namanya Firman. Dia datang menemuiku dan bilang kalau mau melamarku, tapi saat datang rumah, entah kenapa dia justru mundur dengan teratur, setelah secara tidak sengaja mendengar ucapan ibu.

Waktu itu ibu menemuinya lebih dulu dan menyambut kedatangan pria itu. Saat aku datang sambil membawa kopi, ibu bicara padaku.

“Ingat kalau bicara sama laki-laki, pakai otakmu yang bener buat mikir! Jalan itu bukan Cuma kaki, tapi otak juga harus jalan, biar nggak karatan!”

Entahlah, kenapa tiba-tiba Firman jadi bersikap tidak seperti biasanya. Bahkan, jadi canggung dan susah bicara di depanku, apalagi di depan ayah dan ibu. Lalu, dia pulang tanpa berpamitan. Setelah itu kabar yang aku dengar, dia pergi merantau di pulau seberang.

Dia teman sekampung dan satu sekolah, tentu saja dia tahu soal perbedaan prestasi dua adik kembarku dan juga prestasiku di sekolah yang selalu mendapatkan nilai terendah di kelas dulu.

Awalnya, kegagalan Firman melamar itu aku nisbahkan kesalahannya pada ibu. Namun, setelah berpikir positif, barulah aku sadar bahwa, dia memang bukan yang terbaik untukku. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia tidak akan peduli aku bodoh atau idiot sekali pun. Dia tetap akan tetap teguh menjadi suamiku.

Aku memang bodoh di kelas, tapi soal kehidupan, memasak dan urusan lainnya aku tak kalah pintarnya dengan Linda dan Landu. Jadi, di mana letak kesalahanku?

Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan nasib, dan yang namanya jodoh, aku benar-benar tidak peduli dan tidak berusaha mencari. Bahkan, aku pernah berharap jodoh itu jatuh dari langit.

Lucu sekali, kan? Biarlah, toh itu aku, bukan kalian!

“Permisi!” tiba-tiba kulihat Mas Ragil berdiri di depan pintu. Dia tersenyum sangat manis sampai menggoda imanku.

Ahk, aku tak tahu apa arti senyumannya itu, tapi jantungku pun tiba-tiba bergetar hebat.

Ada apa dia kemari? Aku khawatir ibu mempermalukan aku di depannya lagi.

“Mas Ragil, ada apa, ya?” aku berdiri menyambutnya.

“Ini, saya kebetulan panen cabe dan tomat, siapa tahu bisa bermanfaat. Semua tetangga juga kebagian, Kok! Tapi buat Dek Mina agak lebih banyak, soalnya ada tamu, bisa buat oleh-oleh nantinya!” katanya lembut dan teratur, membuatku tercengang.

Aku belum pernah mendengarnya bicara cukup banyak seperti kali ini. Aku jadi sangsi kalau kalimat yang meluncur tadi, diucapkan oleh orang yang sehari-harinya hanya mengurus ayam pelung saja.

“Maasyaallah, Alhamdulillah, terima kasih, Mas!” kataku sambil menerima pemberiannya itu, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan, hingga tubuhku jadi menegang.

Perasaan apa ini? Apa karena aku melihat senyumannya tadi?

Hai diriku! Dia tidak setampan itu!

“Eh, iya!” jawabnya sambil tersenyum lebih lebar lagi, seraya memperlihatkan kegugupan yang sama.

Mampus! Dia lebih tampan dari yang tadi.

“Sama-sama, Dek Mina, saya permisi dulu, maaf mengganggu!”

Mas Ragil pun berlalu dengan langkah cepat.

Aku kembali duduk dan membuka kantong keresek yang isinya cabe, tomat, paprika, dan ada beberapa buah jeruk juga. Aku tak menyangka, dia bisa bertani sebaik ini, di sebidang tanah yang tidak begitu luas di kontrakannya.

Walau ini cukup mengesankan, tapi dia tetap tidak layak untuk menjadi seorang suami. Rumah tangga butuh biaya, keluarga juga butuh makan nasi dan tidak bisa kenyang hanya dengan tomat dan cabai saja. Apalagi, punya pasangan sama artinya dengan punya masalah tambahan, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kalau setiap hari yang di sayang cuma ayam?

“Mbak, lihat hadiahku juga, dong!” kata Linda membuyarkan pemikiranku tentang Mas Ragil.

“Oh iya, gara-gara sibuk bicara soal jodoh, aku lupa membuka bungkusannya, maaf, ya?”

Aku sudah menebak apa isinya, dari nama pembungkusnya saja aku tahu kisaran harganya. Aku tidak bisa membeli barang itu dengan gajiku sebulan. Kalaupun bisa beli, aku harus makan apa? Aku sudah tidak mau lagi mengganggu keuangan Ayah dan Ibu, sejak aku memutuskan untuk bekerja.

“Subhannallah! Ini bagus banget, Lin! Alhamdulillah! Terima kasih banyak, ya? Mbak nggak akan bisa beli kalau bukan kamu yang membelinya!”

Aku hanya bisa memujinya dan memeluk tas branded warna putih dengan tali rantai itu.

“Kamu tahu aja warna kesukaan Mbak, Lin!”

“Iya, mbak! Aku juga senang kalau Mbak Mina senang, itu Mas Abid yang ngasih, dia tahu aku mau ke sini, jadi kemarin dia kasih itu buat Mbak!” ujar Linda antusias.

“Nama pacarmu, Adid?”

“Bukan pacar! Tapi calon suami!” Kata Ibu.

“Iya, Mbak, nama lengkapnya Abidin Samarchandra!”

“Oh!” Entah kenapa aku sedikit familiar dengan nama Samarchandra, siapa ya?

Ah! Aku memang lupa.

❤️❤️❤️❤️

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Perdamaian (TAMAT)

    “Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Otopsi

    POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Melakukan Sesuatu Untuk Linda

    “Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Pengangguran Sejati

    Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Siapa Dia Yang Sebenarnya

    Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me

  • Pelangkah Tanpa Syarat    Sekarang Mulai Tahu

    “Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status