"Buk! Nasib sial atau nggak itu urusan Allah! Jadi, bukan perkara pelangkahan nikah, yang membawa kesialan dan keberuntungan mereka!”
“Mbak, tapi aku tetap harus menanyakan itu, biar aku yakin kalau Mbak sudah rela kalau aku menikah lebih dulu!” kata Linda memohon.“Baik, aku rela kamu menikah lebih dulu, Linda ...! Landu ... kalau kamu mau nikah sekarang juga silakan, nggak usah ngasih apa-apa!”“Beneran, Mbak?” Landu tampak tidak percaya“Ya, bener, lah! Jadi, Mbak nggak akan minta pelangkahan, kalau mau nikah ya, nikah saja! Mbak terima dengan lapang dada, tanpa syarat apa-apa!”Sejenak suasana menjadi hening.“Mbak kenal Ismaya, kan?” Landu tiba-tiba bertanya.“Ya!” jawabku setelah mengingat tentang nama yang disebutkannya itu.“Aku sekarang dekat sama dia, Mbak. Dia nggak mau pacaran dan maunya langsung dilamar!” kata Landu dengan mata yang berbinar menceritakan gebetannya.Aku tersenyum dan setuju dengan pernikahan Landu dan wanita itu. Aku mengenalnya belum lama, saat aku pulang beberapa bulan yang lalu, dan kebetulan dia ikut ayahnya membeli ikan koi yang dijual adikku. Kata ibu, wanita itu sering ikut ayahnya ke sana. Ah, ternyata dia cuma modus karena mau bertemu dengan adikku.Aku juga kenal Pak Samad dan Bu Vina, dua orang tua Ismaya itu pedagang sayur sukses di desa tetangga. Pertaniannya banyak dan termasuk orang kaya pula. Ismaya adalah anak perempuan satu-satunya. Kata Landu, dia punya dua kakak laki-laki yang sebaya denganku. Namun, anehnya aku tidak kenal karena tidak satu sekolah dengan mereka. Hanya satu yang membuatku penasaran dengan Ismaya, wajahnya mirip sekali dengan Ismawati, temanku yang sudah meninggal dunia, saat masih SMA.“Kamu beruntung kalau menikahi Ismaya, Lan!” kataku, “Kalau begitu, cepat lamar dia sebelum diambil orang. Kamu sudah sukses dan mapan, punya mobil juga, jadi nikahi saja dia!”“Aku mau ngelamar dia, sama mbak Mina, ya? Biar dia yakin kalau Mbak merestui pernikahan kami nantinya!”“Kenapa harus sama Mbak?”“Soalnya, dia bilang, takut kualat kalau melangkahi kakak perempuan nikah duluan karena dianggap tidak sopan!”Hatiku memang sedikit tersayat, dilangkahi dua adik kembar menikah lebih dulu, itu memang memalukan. Namun, sekali lagi, nasib itu Allah yang menentukan.Aku pernah dekat dengan beberapa laki-laki atau pernah juga meminta seorang ustdzah di kampung untuk mencarikan jodoh, tapi sampai saat ini, tidak pernah ada yang cocok.Kalau aku mau, laki-laki itu tidak mau, kalau laki-laki itu mau, aku yang tidak cocok. Kalau soal pendekatan dengan cara biasa, aku sudah dekat dengan banyak pria. Namun, di antara mereka tidak ada satu pun yang datang melamarku di hadapan bapak dan ibu.Ada satu orang yang dekat denganku dan kisahnya cukup lucu, namanya Firman. Dia datang menemuiku dan bilang kalau mau melamarku, tapi saat datang rumah, entah kenapa dia justru mundur dengan teratur, setelah secara tidak sengaja mendengar ucapan ibu.Waktu itu ibu menemuinya lebih dulu dan menyambut kedatangan pria itu. Saat aku datang sambil membawa kopi, ibu bicara padaku.“Ingat kalau bicara sama laki-laki, pakai otakmu yang bener buat mikir! Jalan itu bukan Cuma kaki, tapi otak juga harus jalan, biar nggak karatan!”Entahlah, kenapa tiba-tiba Firman jadi bersikap tidak seperti biasanya. Bahkan, jadi canggung dan susah bicara di depanku, apalagi di depan ayah dan ibu. Lalu, dia pulang tanpa berpamitan. Setelah itu kabar yang aku dengar, dia pergi merantau di pulau seberang. Dia teman sekampung dan satu sekolah, tentu saja dia tahu soal perbedaan prestasi dua adik kembarku dan juga prestasiku di sekolah yang selalu mendapatkan nilai terendah di kelas dulu.Awalnya, kegagalan Firman melamar itu aku nisbahkan kesalahannya pada ibu. Namun, setelah berpikir positif, barulah aku sadar bahwa, dia memang bukan yang terbaik untukku. Kalau dia benar-benar mencintaiku, dia tidak akan peduli aku bodoh atau idiot sekali pun. Dia tetap akan tetap teguh menjadi suamiku.Aku memang bodoh di kelas, tapi soal kehidupan, memasak dan urusan lainnya aku tak kalah pintarnya dengan Linda dan Landu. Jadi, di mana letak kesalahanku?Sejak saat itu aku mulai berdamai dengan nasib, dan yang namanya jodoh, aku benar-benar tidak peduli dan tidak berusaha mencari. Bahkan, aku pernah berharap jodoh itu jatuh dari langit.Lucu sekali, kan? Biarlah, toh itu aku, bukan kalian!“Permisi!” tiba-tiba kulihat Mas Ragil berdiri di depan pintu. Dia tersenyum sangat manis sampai menggoda imanku. Ahk, aku tak tahu apa arti senyumannya itu, tapi jantungku pun tiba-tiba bergetar hebat.Ada apa dia kemari? Aku khawatir ibu mempermalukan aku di depannya lagi.“Mas Ragil, ada apa, ya?” aku berdiri menyambutnya.“Ini, saya kebetulan panen cabe dan tomat, siapa tahu bisa bermanfaat. Semua tetangga juga kebagian, Kok! Tapi buat Dek Mina agak lebih banyak, soalnya ada tamu, bisa buat oleh-oleh nantinya!” katanya lembut dan teratur, membuatku tercengang.Aku belum pernah mendengarnya bicara cukup banyak seperti kali ini. Aku jadi sangsi kalau kalimat yang meluncur tadi, diucapkan oleh orang yang sehari-harinya hanya mengurus ayam pelung saja.“Maasyaallah, Alhamdulillah, terima kasih, Mas!” kataku sambil menerima pemberiannya itu, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan, hingga tubuhku jadi menegang.Perasaan apa ini? Apa karena aku melihat senyumannya tadi?Hai diriku! Dia tidak setampan itu!“Eh, iya!” jawabnya sambil tersenyum lebih lebar lagi, seraya memperlihatkan kegugupan yang sama.Mampus! Dia lebih tampan dari yang tadi.“Sama-sama, Dek Mina, saya permisi dulu, maaf mengganggu!”Mas Ragil pun berlalu dengan langkah cepat.Aku kembali duduk dan membuka kantong keresek yang isinya cabe, tomat, paprika, dan ada beberapa buah jeruk juga. Aku tak menyangka, dia bisa bertani sebaik ini, di sebidang tanah yang tidak begitu luas di kontrakannya.Walau ini cukup mengesankan, tapi dia tetap tidak layak untuk menjadi seorang suami. Rumah tangga butuh biaya, keluarga juga butuh makan nasi dan tidak bisa kenyang hanya dengan tomat dan cabai saja. Apalagi, punya pasangan sama artinya dengan punya masalah tambahan, bagaimana bisa menyelesaikan masalah kalau setiap hari yang di sayang cuma ayam?“Mbak, lihat hadiahku juga, dong!” kata Linda membuyarkan pemikiranku tentang Mas Ragil.“Oh iya, gara-gara sibuk bicara soal jodoh, aku lupa membuka bungkusannya, maaf, ya?”Aku sudah menebak apa isinya, dari nama pembungkusnya saja aku tahu kisaran harganya. Aku tidak bisa membeli barang itu dengan gajiku sebulan. Kalaupun bisa beli, aku harus makan apa? Aku sudah tidak mau lagi mengganggu keuangan Ayah dan Ibu, sejak aku memutuskan untuk bekerja.“Subhannallah! Ini bagus banget, Lin! Alhamdulillah! Terima kasih banyak, ya? Mbak nggak akan bisa beli kalau bukan kamu yang membelinya!”Aku hanya bisa memujinya dan memeluk tas branded warna putih dengan tali rantai itu.“Kamu tahu aja warna kesukaan Mbak, Lin!”“Iya, mbak! Aku juga senang kalau Mbak Mina senang, itu Mas Abid yang ngasih, dia tahu aku mau ke sini, jadi kemarin dia kasih itu buat Mbak!” ujar Linda antusias.“Nama pacarmu, Adid?”“Bukan pacar! Tapi calon suami!” Kata Ibu.“Iya, Mbak, nama lengkapnya Abidin Samarchandra!”“Oh!” Entah kenapa aku sedikit familiar dengan nama Samarchandra, siapa ya?Ah! Aku memang lupa.❤️❤️❤️❤️"Iya, Mbak!" jawab Linda."Eum ... Samarchandra itu nama Bapaknya?” tanyaku penasaran. “Iya, Mbak, nama keluarganya gitulah! Kakek-kakeknya juga punya nama yang sama!” “Oh!” “Jadi, Mbak! Kapan bisa pulang, dan kita ke rumah Pak Samad?” Landu bertanya membuatku sontak tertawa. “Dih, nggak sabar amat, sih? Beneran kalian mau ngadain acara nikah barengan?” “Ya, nggak apa kalau cocok waktunya, biar Ibuk repotnya sekalian, mereka juga lahirnya barengan!” Ibu menyela pembicaraanku dan Landu. Deg. Hatiku tiba-tiba berdegup, aku sepertinya benar-benar harus siap. Kata orang kalau di langkahi adik laki-laki nikah duluan, bakalan lama dapet jodohnya. “Gimana kalau aku juga dapet jodoh barengan, Buk?” Aku berkata setelah berhenti tertawa. “Loh, ya malah bagus. Ibuk ngunduh mantu sekaligus tiga!” “Maasyaallah!” gumamku sambil menggelengkan kepala, “Berarti, rezeki Ibuk benar-benar besar, ya?” “Kata siapa besar, justru berkurang! Soalnya kalian mau jadi milik orang, Ibuk nggak punya hak
“Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi. Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil. “Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!” “Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri. “Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya. “Ya!” Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya. Seola
Ah, yang benar saja! Aku tanpa sadar telah memelototi Mas Ragil dari pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba hatiku menyesal telah melemparkan segitiga pengaman itu hingga campur dengan pakaian lainnya. Mas Ragil salah tingkah dan bingung, ia membuang muka saking malunya. Kulihat dia menggaruk kepala. “Maaf, celana yang tadi, jatuh dan kotor, makanya nggak saya campurkan dengan yang lain!” Nah, benar, kan dugaanku ... aku tidak terkejut tapi kesal. Kalau celana itu basah, berarti pakaian lainnya juga ikut basah dan kotor, dong? Kenapa baru terpikirkan.Ya Robbi! Selamatkan hamba-Mu ini dari rasa malu! "Oh, eh, iya, gak apa, sekali lagi terima kasih!" Setelah berkata seperti itu aku pun segera menutup pintu, dari luar kudengar samar suara Mas Ragil mengucapkan kata-kata, "Ya, sama-sama!"Lalu, aku segera mengangkat celana yang terkena lumpur itu. Benar, kan! Baju yang lain ikut ketularan kotor. Akhirnya aku mencuci ulang semua pakaian yang terkena lumpur dari celana itu. Selama ak
“Hmm ... baunya enak, wangi!” Kubuka kantong keresek putih, yang sudah ada kemasan mangkuk sekali pakai di dalamnya, hingga aku tak perlu lagi mencuci setelah menggunakannya. Soto aku tuangkan dari bungkusnya dan aku cicipi rasanya ... enak juga! Kebetulan aku belum pernah singgah di warung soto ayam yang dikatakannya. Aku menikmatinya sampai habis, dan kenyang karena ada lontongnya. Setelah selesai makan dan minum, aku melihat smart phone-ku. Membalas semua pesan dari bapak dan ibu satu persatu. Mereka menanyakan kabarku dan bertanya kenapa aku tidak bisa dihubungi sejak sore hari. Tentu saja aku tidak mengatakan yang sebenarnya, dan aku membalas dengan mengetik bahwa aku baik-baik saja. Namun, ada satu pesan aneh, dari nomor yang tidak kukenal, yang baru di kirim saat aku mengaktifkan data ponsel. Pesan yang tertulis dari nomor itu sangat membuatku tercengang. “Gimana sotonya, enak? Dihabiskan, ya?” Deg! Nomor siapa ini? Kalau menanyakan soto, itu berarti Mas Ragil, tapi dar
“Alhamdulillah, semua sehat dan normal! Tapi ....” kata seseorang, yang sedang berdiri di sampingku, aku yakin dia dokter yang memeriksa keadaanku setelah siuman. “Tapi apa, Dok?” itu suara Mas Ragil. “Tapi, lukanya cukup dalam, jadi butuh pemulihan lebih lama dari biasanya!” “Oh!” kata para ibu hampir bersamaan. “Bu Mina, bisa mendengar saya?” dokter itu bicara pelan dekat telinga dan aku pun mengangguk. “Istirahat saja ya, Bu! Untuk sementara jangan banyak gerak, terutama di bagian kepala, karena terluka, untung Ibu cepat dibawa ke sini sama suami! Alhamdulillah! Jadi, Ibu tidak kehabisan darah!” Apa? Aku hampir kehabisan darah? Siapa lagi itu yang mengaku suami? Enak saja! Sekali lagi aku mengangguk. Setelah tahu aku bisa merespons dengan baik, dokter itu pun berlalu. “Alhamdulillah, Dek Mina dengar dokter tadi bicara, kan?” kata Mas Ragil dan aku sekali lagi hanya mengangguk. “Ya, sudah, istirahat saja, jangan mikirin apa-apa, yang penting sembuh aja dulu!” kata pria itu
“Gak usah, Mas! Gak apa saya sendiri saja!” Aku memaksakan diri untuk bicara dengan halus, menolak keberadaan pria itu sekamar denganku. “Gak apa, Mbak Mina, bair ada yang jaga! Kan, enak kalau butuh apa-apa!” Bukan Mas Ragil yang menjawab pertanyaanku melainkan para ibu tukang gosip itu. Memangnya aku butuh apa? Di kasihani? Tidak! Aku Cuma butuh suami bucin yang mau aku nikahi! Ups! “Nggak apa, kok, Dek Mina! Saya nggak keberatan sama sekali!” kata Mas Ragil menanggapi ucapan ibu-ibu tadi. “Terima kasih Buibu!” akhirnya aku cuma bisa bilang begitu. Sebelum pergi, Bu RT, Teh Mela dan Teh Nena serta, Bu Kokom, melirik padaku dengan tatapan penuh selidik. Namun, sekali lagi aku tidak berdaya untuk menolak pria itu tetap berada di sisiku. “Dek, mau minum? Pasti haus, kan?” tanya Mas Ragil begitu para tetanggaku itu pergi. Aku mengangguk. “Kamu ini sebenarnya sudah sadar dari tadi malam, tapi dokter ngasih obat tidur biar bisa istirahat,” katanya, sambil meraih air mineral dalam
“Assalamualaikum, Mbak Mina! Loh, Mbak Mina kenapa?” Sudah kuduga akan seperti itu reaksi Ismaya. Ia tampak begitu terkejut karena tidak ada kabar apa pun tentang keadaanku padanya. Ah, mana ada bencana yang memberi berita sebelum kedatangannya.Mata Ismaya tampak berkaca-kaca, aku tidak menyangka kalau calon istri adikku itu, begitu sensitif perasaannya. Landu segera menceritakan apa yang dia alami barusan hingga mendapati aku yang terbaring di rumah sakit. Tak lupa ia mengatakan kejadian kecelakaan sesuai versi Mas Ragil.“Oh, jadi kepala Mbak Mina bocor?” tanyanya, mungkin kepalaku bisa disamakan dengan panci. Tiba-tiba ibu mendekat.“Lihat, nih! Kepala calon Mbak ipar kamu ini botak! Profesor juga bukan!” kata ibu seraya membuka jilbabku dan memperlihatkan perban yang begitu besar di sisi sebelah kiri kepalaku. Tentu saja aku terkejut melihat penampakan diriku di layar itu. Kepalaku botak sebelah! Ternyata sebegitu parahnya lukaku hingga sebagian rambut hilang karena di c
“Maaf, saya tidak tahu! Ada apa ya Mbak?” lagi-lagi Abid balik bertanya.“Nggak apa-apa, kayaknya saya salah orang!”“Sudah, sudah! Biar adikmu pulang, kamu ini malah tanya yang bukan-bukan!” Ibu berkata sambil melambaikan tangannya pada Linda dan Abid, isyarat untuk mengabaikanku.Mereka lantas berpamitan, tapi masih kurasakan tatapan Abid yang tajam ke arahku. “Mina, gimana sekarang kepalamu?” tanya bapak dengan wajah yang khawatir.“Alhamdulillah, Pak. Kepalaku masih nempel di leher!”“Hus! Kamu ini selalu saja kalau ngomong sama orang tua nggak pake otak!” kata ibuku sambil menepuk kakiku karena beliau duduk di ujung tempat tidur sedangkan bapak duduk di kursi sebelahku.Aku duduk bersandar di kepala brankar rumah sakit yang sudah di setel oleh Linda tadi, sebelum pergi. Melihat bapak dan ibu berada di dekatku, membuat hatiku bahagia. Namun, hal yang mengganjal adalah kebersamaan kami karena harus menungguku di rumah sakit. Kalau aku melihat bapak, beliau adalah laki-lak