“Siapa, Pak? Ragil Samudra itu lagi? Kan, sudah Mina bilang kalau tidak ada?” Aku mengulangi nama yang disebutkan bapak tadi, sebab aku ragu, apakah Ragil yang bapak maksudkan adalah Mas Ragil yang jadi tetanggaku. Sudah tiga kali bapak bertanya soal ini dan aku pun menjawab dengan jawaban yang sama lagi.
“Iya! Panggilannya Ragil, alamat rumahnya juga di Jalan Widuri, sama persis sama alamat kontrakanmu, Nduk?” tanya bapak lagi.Kemudian bapak menyebutkan ciri-ciri orang yang dimaksudkannya, dia memiliki ciri yang sama dengan Mas Ragil.“Apa Bapak nggak salah orang? Jalan Widuri itu luas, Pak! Mana Mina tahu soal orang itu!”“Sudah, sudah makan dulu, Pak!” kata ibu sambil mengarahkan layar telepon ke dirinya sendiri.“Nanti ngobrol lagi sama Mina, sekarang habiskan dulu makanannya!” katanya.“Ya!”Bapak mengakhiri panggilannya. Aku menghabiskan makananku, begitu juga dengan ibuku. Landu dan Linda sibuk dengan iPhone mereka, seolah tidak ada orang yang hidup di sekitarnya.Seolah dunia hanya milik mereka dan benda di tangannya.Ibu, Landu dan Linda pamit pulang setelah selesai makan, dan membereskan bekasnya. Ibu membawa kembali tempat makanan dari bahan plastik merek terkenal dengan harga mahal itu. Sayang sekali beliau dengan barang-barang dari merek idola ibu-ibu sebangsa dan setanah airku.Mereka pulang dengan mobil milik Landu. Dia membelinya setelah berhasil membuka cabang ketiga toko ikan hiasnya. Tepatnya saat ia masih kuliah semester lima.Landu sekarang menjadi guru SMP juga, dia lebih dikagumi karena usahanya, dari pada prestasinya menjadi pegawai negeri, setelah lulus perguruan tinggi. Jangan di tanya bangganya bapak padanya seperti apa. Tidak sia-sia rasanya beliau merelakan sebidang tanah dan menjual sapi kesayangannya, untuk membiayai kuliah dan usahanya.Kehidupan keluargaku sederhana dan berkecukupan. Bapak seorang guru SD negeri dan masih mengajar sampai sekarang. Ibu bekerja di rumah saja. Beliau membantu bapak merawat ayam untuk menambah penghasilan, karena gaji bapak pas-pasan..Perguruan tinggi negeri yang ada di provinsi kami sangat jauh dari rumah. Butuh waktu tiga jam untuk ke sana dengan Bis antar kota. Kalau tanpa beasiswa, tentu bapak dan ibu tak sanggup membiayainya.Sapi bapak satu-satunya pun di jual, untuk biaya mereka dan berjaga-jaga dari pengeluaran tidak terduga. Contohnya, untuk biaya wisuda.Pendidikan sangat penting bagi keluarga kami, sebab bapak seorang guru, tentu ingin anaknya jadi sarjana dan melebihi dirinya. Namun, aku sebagai anak pertama, tidak cukup memenuhi harapannya. Mungkin, karena itulah ibu kecewa. Lalu, memperlakukan aku dengan cara berbeda.Dahulu, nenek yang paling memanjakanku saat beliau masih hidup. Ia marah kalau bapak dan ibu memaksaku. Oleh karena itu aku jadi malas belajar.Setelah Keluargaku pulang, aku tidur siang, hal yang tidak bisa aku lakukan kalau bekerja. Makanya aku jarang pulang, karena tidak bisa tidur siang. Ada saja yang aku kerjakan kalau di rumah, ibu memanfaatkan kepulanganku untuk bersih-bersih.“Kamu kan jarang pulang, jarang bantuin Ibuk!” itu alasan ibuku yang masih saja senang memelihara ayam.$$$$$$$$$$$“Mbak! Mbak Mina!” kudengar suara orang memanggil dan mengetuk pintu sangat keras. Padahal baru sebentar aku memejamkan mata. Itu suara Teh Nena tetangga yang paling cerewet sedunia. Aku salut dengan suaminya yang selalu sabar mendengar ocehannya.Aku segera mengumpulkan nyawa, memakai jilbab dan bangkit untuk membuka pintu.“Hujan besar, Mbak! Jemurannya basah, tuh! Lagi diangkatin sama Mas Ragil!” katanya, setelah melihat wajah mengantukku di depan pintu.“Hah?” aku celingukan ke arah jemuran besi berukuran sedang di teras petakanku. Ada Mas Ragil dengan wajah serius menatap dan membawa pakaianku.Mampus!Di sana ada celana dalamku yang sudah .... Akh! Entahlah apa warnanya.Aku segera menghampirinya sedang Teh Nena sudah masuk ke petakannya, sambil membawa jemuran juga.“Terima kasih, Mas!” Aku buru-buru mengambil baju-bajuku dari tangannya. Pasti pria itu melihat dalamanku, dan wajah bantalku sekaligus.Hai! Aku kan bukan gebetannya dan dia juga bukan gebetanku, buat apa malu?Huh! Aku tidak takut dengan komentarnya!Setelah aku masuk dan menutup pintu, aku memeriksa semua bajuku yang setengah kering di karpet, dan—di mana dalamanku yang aduhai itu?Saat itu aku kepikiran—jangan-jangan--ah!Seketika aku memikirkan Mas Ragil dan teh Mela, hubungan mereka berdua agak tidak biasa.Kembali ke masalah celana. Sebelum aku berbalik tadi, aku sempat melihat wajah Mas Ragil yang kebingungan.Tidak mungkin kalau celana dalamku masih ada di tangannya. Atau dia sengaja mengambil pakaian yang paling menarik di matanya.Aku kembali membuka pintu, untuk memastikan celana favorit itu tidak ketinggalan. Ternyata, masih ada Mas Ragil yang mengacungkan benda itu di depan pintu. Kulihat wajahnya memerah.Kalau pria itu saja malu, apalagi aku.Dobel mampus!Aku mengambil benda itu dari tangannya secepat kilat, bahkan kilat juga kalah cepat dariku.“Maaf, Mas! Dan terima kasih!” Aku bicara sambil, melemparkan benda itu di antara tumpukan pakaian lainnya. Lalu, dengan cepat menutup pintu.Namun, belum sempat tertutup rapat, pria itu kembali memanggil nama lengkapku.“Dek Mina Anasya! Celana itu—“Aku pun kembali menoleh padanya."Apa, Mas? Celana itu, kenp--" Aku pun tidak bisa melanjutkan ucapanku karena seketika otakku yang lambat ini memikirkan kalau sebenarnya celana dalamku itu ...Ah! Yang benar saja!❤️❤️❤️❤️Ikuti terus ceritaku, ya! Banyak rahasia tersembunyi dariku yang perlu kalian tahu!Salam dariku El Geisya Tin 😊“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju