Home / Urban / Pelatih Renang Idaman Para Sosialita / Bab 149. Ancamannya Semakin Nyata

Share

Bab 149. Ancamannya Semakin Nyata

Author: WAZA PENA
last update Last Updated: 2025-10-24 19:09:02

Sesampainya di kelab. Aku melihat Bunga belum datang. Justru Bu Rani yang terlihat heran melihatku. Dia lalu meminta aku ke ruangannya. Aku tahu, mungkin dia penasaran kenapa aku pulang dengan cepat.

"Dion. Apa yang terjadi? Kenapa kamu balik lagi? Apa semuanya baik-baik saja?" tanyanya.

"Saya memilih pulang karena Bu Dewi meminta hal yang aneh, dan menurut saya itu gila," jawabku singkat.

Bu Rani menghela napas panjang sambil menatap Dion dalam-dalam. "Dion... kamu tahu kan, Bu Dewi itu bukan perempuan biasa. Dia punya koneksi besar. Kalau dia benar-benar ingin menjatuhkan kamu, dia bisa melakukannya dengan mudah," ucap Bu Rani dengan nada serius.

Aku menunduk, rahangku menegang. "Saya tahu, Bu. Tapi saya nggak mungkin melakukan hal sekeji itu. Saya nggak mau menghancurkan diri saya sendiri cuma karena takut sama ancaman dia."

Bu Rani berjalan mendekat, nada suaranya kini lebih pelan, seolah menasihati. "Saya paham posisi kamu. Tapi kamu juga harus mikir realistis. Kalau Bu Dewi mara
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 164. Di depan Calon Mertua

    Matahari mulai condong ke barat, sinarnya menimpa permukaan kolam renang yang kini tampak berkilau seperti kaca cair. Aku masih duduk di tepi kolam bersama Bunga. Dia menepuk-nepuk air dengan ujung jarinya, menimbulkan riak kecil yang pecah di permukaan. Aku menatapnya diam-diam. Entah kenapa, setiap kali dia tersenyum, aku selalu merasa seperti semua hal buruk di hidupku bisa menguap begitu saja.Tapi kali ini, di balik senyum itu, pikiranku masih kacau. Aku belum bisa melupakan kata-kata Bobi pagi tadi. "Gua kasih kesempatan sama lo! Lo mau nurutin gua atau nggak?! Gua minta hubungan lo sama Bunga jangan diterusin!" Kalimat itu terus terngiang di kepalaku. Bobi bukan cuma teman biasa, dia sepupu yang dulu sangat dekat denganku. Tapi entah kenapa, sejak aku dekat dengan Bunga, dia jadi berubah."Kenapa diam, Kak?" suara lembut Bunga memecah lamunanku.Aku tersentak kecil, lalu tersenyum menutup kegelisahan. "Nggak apa-apa. Cuma capek aja latihan hari ini. Kamu tadi keren banget, loh.

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 163. Ancaman Bobi Kembali

    Sesampainya di kosan, aku duduk di tepi ranjang dengan kepala bersandar di dinding. Pikiran terus berputar, memutar ulang percakapan dengan Raka. Temanku itu sudah bersedia membantuku, menjadi perwakilan keluarga untuk menemui orangtua Bunga. Sejujurnya, aku sangat lega. Tapi di balik kelegaan itu, muncul rasa cemas yang pelan-pelan merayap seperti kabut dingin di malam hari."Kalau mereka tahu Raka bukan keluargaku... habislah aku," gumamku lirih.Aku memijat pelipis, berusaha menenangkan diri. Raka memang teman dekat, bahkan sudah seperti saudara sendiri. Tapi kalau nanti orangtua Bunga sampai tahu kebenarannya, mereka pasti merasa dibohongi. Dan kalau itu terjadi, semua yang sudah kujalani selama ini akan sia-sia.Kupandangi foto Bunga di layar ponsel, dia tersenyum manis, mata beningnya seperti tak tahu apa pun soal kekacauan yang kurasakan sekarang. "Aku cuma mau semuanya lancar, Bunga…" ucapku pelan. "Aku cuma mau kita benar-benar bahagia."**Pagi ini, udara terasa berat sejak

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 162. Penekanan Bu Dewi

    Dalam perjalanan pulang dari rumah Raka, pikiranku masih penuh dengan bayangan tentang Bunga dan orangtuanya. Aku sudah berjanji pada Bunga kalau semuanya akan segera diatur, tapi nyatanya sampai sekarang aku masih belum tahu harus bagaimana. Mobil yang kukendarai melaju pelan di jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu jalan memantul di kaca depan, dan pikiranku melayang ke mana-mana.Tiba-tiba ponselku berdering. Saat kulihat nama yang muncul di layar, jantungku langsung terasa berat "Bu Dewi".Aku menghela napas panjang, lalu menjawab dengan nada datar, "Halo, Bu."Suara di seberang langsung terdengar lembut tapi menekan, "Dion, kamu di mana sekarang?""Dalam perjalanan pulang, Bu. Abis dari rumah temen," jawabku singkat."Jangan pulang dulu. Datang ke rumah saya sekarang. Ada yang ingin Ibu bicarakan," ucapnya tegas.Aku langsung terdiam. Rasa malas bercampur cemas mulai menyergap. Aku tahu setiap kali Bu Dewi memintaku datang, pasti bukan hal baik. Tapi menolak juga bukan pilih

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 161. Pembuktian Keseriusan

    Aku masih duduk di tepi kolam yang mulai gelap, lampu-lampu sudah dimatikan satu per satu. Udara malam terasa lembab dan dingin, tapi pikiranku justru semakin panas, berputar-putar pada satu hal yang sama, bagaimana caranya aku bisa memenuhi permintaan orangtua Bunga? Siapa yang akan menjadi perwakilan keluargaku?Aku mengusap wajahku yang mulai lelah. Aku benar-benar kehabisan akal. Keluarga pamanku sudah jelas menolak, bahkan memutuskan hubungan kalau aku masih bersikeras bersama Bunga. Kakek? Tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menemui orang itu.Aku menatap pantulan diriku di air yang gelap. Bayangan itu tampak asing, seperti seseorang yang kehilangan arah. Aku menarik napas panjang. Tidak bisa terus begini. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus bicara dengan seseorang yang bisa menilai dari luar, seseorang yang tidak terlibat dalam lingkaran rumit ini."Siapa yang harus aku percaya?" gumamku. "Paman sudah jelas-jelas melarang dan bahkan sekarang sampai Bobi menantang..."Setela

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 160. Janji Yang Tertunda

    Setelah latihan berakhir, kolam renang mulai sepi. Airnya tenang, hanya sesekali bergoyang lembut saat hembusan angin malam menyentuh permukaannya. Aku dan Bunga duduk berdampingan di tepi kolam, kaki kami masih basah, menggantung menyentuh air yang dingin. Lampu-lampu di sekitar kolam memantulkan cahaya kekuningan yang membuat suasana terasa hangat.Bunga terlihat bahagia. Rambutnya yang sedikit basah menempel di pipi, dan senyum itu, senyum yang selalu berhasil membuatku melupakan segalanya kembali muncul. Ia menatap ke arah air dengan pandangan yang lembut, lalu menoleh ke arahku."Kak, hari ini aku seneng banget, sumpah," ucapnya lirih tapi penuh perasaan.Aku ikut tersenyum, meskipun hatiku terasa berat. "Seneng kenapa emang?" tanyaku sambil berusaha terdengar santai."Soalnya Kak Dion kelihatan bahagia lagi. Aku takut aja akhir-akhir ini Kak Dion kayak banyak pikiran. Tapi sekarang kayak udah agak lega," ujarnya, menatapku dengan mata jernihnya.Aku menahan napas sejenak, lalu t

  • Pelatih Renang Idaman Para Sosialita   Bab 159. Ancaman Nyata Sepupu

    Setelah Bobi pergi meninggalkan café dengan tatapan penuh kebencian dan kata-kata ancaman yang menusuk, aku hanya bisa duduk terpaku. Gelas kopi di depanku sudah dingin, tapi tanganku masih gemetar memegangnya. Suara langkah kaki Bobi yang menjauh seolah masih terngiang di telingaku, bergema bersama kalimat terakhirnya yang terus mengulang di kepala. "Gua bakal hancurin hidup lu, Dion!" Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi dada terasa sesak. Aku tahu Bobi tidak sedang melebih-lebihkan. Dia bukan tipe orang yang mengancam tanpa maksud. Sejak kecil, Bobi selalu keras kepala dan tempramen. Kalau dia sudah marah, tidak ada yang bisa menahannya. Kali ini aku tahu masalahnya bukan sekadar adu mulut antar saudara. Ini sudah menyangkut harga diri, keluarga, dan perasaan. Dan aku berada di tengah-tengah pusaran itu. "Apa yang akan dia lakukan?" gumamku. Aku menyandarkan kepala di kursi, memejamkan mata sebentar, lalu menegakkan tubuh. Tidak ada gunanya berlama-lama d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status