[ Mature 21+ ] Dion Pratama adalah pelatih renang muda di klub elite tempat para sosialita berkumpul. Dan berbeda dari kelab renang biasanya, tempatnya bekerja mengharuskan para pelatihnya menawarkan jasa penuh sensualitas. Mampukah Dion melawan godaan dari para muridnya? Atau justru sebaliknya. Menjadi pemuas bagi para sosialita?
View More"Kak Dion berbaring aja, biar aku yang main di atas," ucap wanita itu dengan senyum nakal menggoda. Napasnya memburu saat dia duduk di pangkuanku.
Payudaranya nyaris menyentuh wajahku, dan aku pun mencondongkan wajahku, mencium, menggigit ringan. Dia mendesah, pinggulnya bergerak perlahan. Nikmat. Terlalu nikmat. "Ahhh... Terus, Kak..." Tubuhnya naik turun. Gerakannya belum cepat, tapi tiap gesekan membuatku nyaris kehabisan kendali. Aku mencengkeram pinggulnya, menahan hasrat untuk membalikkan badan dan mengambil alih. "Lebih cepat, Sayang," pintaku, yang langsung diturutinya dengan mempercepat gerakan, membuatku tidak kuat menahan aliran darah yang makin memuncak. “Sedikit lagi ….” "Ahhh... Iya, Kak.. kita keluarkan bareng-bareng..." Suaranya terdengar lembut dan menggoda membuat aku makin bernafsu, dan wangi tubuhnya benar-benar menambah gairah dalam diri ini. Dia terlihat begitu cantik, wajah memerah, rambut berantakan, dan ekspresi yang seakan memintaku untuk segera melepaskan sesuatu yang kini rasanya seperti sudah di ujung. Tidak berselang lama desahannya semakin keras dibarengi dengan gerakannya yang makin cepat. Di saat itu juga, aku tak tahan lagi. “Arghh...!” Segalanya meledak. Tubuhku bergetar, napas tersendat, dan... BRUK! “Aduh!” Aku menabrak meja nakas sebelah ranjang dan sangat jelas telah jatuh dari kasur dengan selimut melorot dan celana pendek basah yang lengket di bawah. Masih ngos-ngosan, aku melihat sekeliling. Kamar kos sempit. Kipas berdengung. Tidak ada perempuan. Tidak ada kolam. Tidak ada suara manja yang memanggil "Kak Dion." “Gila … gua cuma mimpi …?” Aku bangkit setengah sadar, menarik napas dalam-dalam, lalu melirik ke jam dinding yang menunjukkan pukul 07.45. Seketika, aku terbelalak. “Sial! Gua telat!” Tanpa pikir panjang, aku langsung bangkit, meraih handuk di gantungan, dan menyeka cepat keringat dingin yang membasahi tubuh. Kaus tipis dan celana training kuganti secepat kilat, hampir tersandung saat menarik celana ke atas. Kamar kosku sempit, cuma muat satu kasur single, meja kayu usang, dan lemari kecil yang mulai reot di salah satu pintunya. Bau kopi sisa semalam masih tercium samar dari cangkir di meja, bercampur aroma lembap khas kamar tak ber-AC. Aku mencomot roti tawar sisa kemarin yang terbungkus setengah di meja, menyelipkannya di antara bibir sambil menyambar tas selempang. Sandal kucalungi tanpa benar-benar melihat kanan kiri. Begitu pintu terbuka, udara pagi langsung menyergap. “Waduh, Dion, telat lagi?” sapa Pak Sardi, tetangga kos yang duduk santai di kursi plastik sambil menyeruput kopi. Aku hanya tersenyum singkat, roti masih di mulut. “Iya, Pak… pergi dulu ya,” jawabku, suaraku agak teredam tapi tetap datar dan mantap. Beberapa puluh menit kemudian, aku sampai di klub dalam kondisi setengah basah karena keringat. Tapi belum juga bisa bernapas stabil, seorang staf menyuruhku langsung ke ruang Bu Rani, manager kelab tempatku bekerja. ‘Fix, ini pasti kena omel,’ batinku meronta. Bagaimana tidak? Baru seminggu aku kerja di sini. Setelah dua bulan menganggur akibat memutuskan berhenti di kelab renang lama karena perselisihan internal, seorang teman memperkenalkanku posisi pelatih di kelab elite ini. Sebuah tempat mewah yang punya member dari kalangan sosialita, pengusaha, sampai artis. Katanya, pekerjaannya akan santai karena kebanyakan klien di sini tidak benar-benar niat belajar. Namun, kenyataannya, tekanan kerja di sini sangat gila. Semua serba profesional, aturan ketat, dan persaingan antar pelatih terasa seperti arena perang diam-diam. Aku tahu, satu kesalahan kecil saja bisa bikin aku dikeluarkan. Dan sekarang, baru seminggu kerja, aku sudah telat dan berakhir dipanggil manajer pagi-pagi begini. Dan benar saja, sesuai dugaan begitu masuk … aku sudah disuguhi wajah masam Bu Rani. "Pagi, Bu...." Aku berusaha menyapa seperti biasanya. "Duduk!" bentaknya yang langsung membuatku menangis dalam hati. Aku pun duduk di hadapannya selagi berusaha untuk tetap tenang, tapi jujur saja, jantung ini berdetak cepat menunggu vonis. "Kenapa kamu telat?" tanya Bu Rani tajam. Mataku melirik jam di dinding, 08:25, masih ada lima menit lagi sebelum jam kerja, tapi aku dinyatakan telat? Tidak ingin berdebat, aku pun menjawab, "Maaf, Bu. Saya lupa menyalakan alarm." "Kamu sadar tidak kalau kamu itu sedang kerja di sini? Bukan main-main! Baru juga kerja semingguan, tapi sudah berani telat. Kamu kira kelab ini punya kamu?!” Aku hanya bisa diam. Walau memang masih ada lima menit lagi menuju jam kerja, tapi melawan tegurannya yang notabenenya adalah bos di kelab ini sama dengan bunuh diri. “Maaf, Bu ….” Bu Rani menghela napas kasar, lalu memijit pelipisnya, seakan benar-benar pusing menghadapiku. "Bukan cuma telat, tapi sudah satu minggu pun kamu masih belum mampu menarik klien menjadi murid tetapmu.” Detik itu, aku mengangkat pandangan. ‘Ah, jadi ini masalah utamanya ….’ “Dengar ya, Dion. Di kelab ini, yang dilihat dari seorang pelatih bukan cuma soal kemampuan mengajarkan teknik saja, tapi kamu harus punya daya tarik juga! Kalau kamu tidak punya daya tarik, sampai kapan pun kamu tidak akan mendapatkan murid tetap! Paham?!" “Paham, Bu …" jawabku singkat, dusta. “Bagus. Kalau begitu, saya tegaskan sekali lagi sama kamu. Kelab kita ini tidak menggaji pelatih secara cuma-cuma. Kalau memang dalam satu bulan kamu tidak bisa mendapatkan murid tetap, kamu akan saya keluarkan!” Usai memberikan ultimatum itu, Bu Rani langsung menunjuk pintu keluar. “Sekarang, cepat lakukan pekerjaanmu!” Keluar dari ruangan Bu Rani, aku langsung pergi ke ruang ganti untuk mengganti baju. Setelah siap, aku pun kembali ke area kolam dan duduk sambil menunggu panggilan. Mengingat kalimat manager kelabku itu, aku menghela napas panjang, kembali merasa tertekan selagi menatap sejumlah pelatih yang sedang melayani murid mereka masing-masing. Omongan Bu Rani sebenarnya sangat masuk akal. Sebagai pelatih renang di kelab privat, memang tugas seorang pelatih bukan hanya mengajar murid, tapi juga membuatnya nyaman dan tertarik untuk terus belajar. Akan tetapi, member-member kelab ini seperti apa? Mereka adalah para sosialita yang sama sekali tidak niat belajar dan kentara hanya ingin memamerkan bikini mereka selagi bersenang-senang. Sedangkan aku? Aku hanyalah pelatih renang biasa yang cuma tahu caranya mengajarkan teknik renang! Gimana caranya aku mempertahankan murid-murid seperti mereka!? "Bengang bengong aja lo. Niat kerja nggak sih?” Dengan cepat aku menoleh karena sedikit kaget. Ternyata itu Arief. Salah satu pelatih senior yang sikapnya cenderung angkuh. Anehnya, banyak murid yang nempel padanya. "Maaf, Bang. Gua cuma lagi bingung aja," jawabku. "Bingung?" Dia mengernyitkan dahinya. “Bingung kenapa?” Akhirnya, aku pun menceritakan semua percakapanku dengan Bu Rani. Namun, bukannya prihatin, pria itu malah tertawa seakan meledek. "Hahaha, haduh, konyol banget!” ucapnya. “Jangankan satu bulan, kalo lo nggak ganti cara main, sampai tahun depan juga belom tentu lo dapet murid tetap, Yon! Bodoh banget sih!” Aku hanya diam mendengar perkataannya yang benar-benar meremehkanku. Melihatku terdiam dan tidak bereaksi, sepertinya Arief merasa sedikit canggung. Akhirnya, dia berdeham dan berkata, "Gini, gua kasih tau ya sama elo! Kalo lo mau bertahan di sini, jangan cuma jual teknik.” Dia menoleh ke kanan-kiri sesaat, lalu berbisik, “tapi lo harus jual diri." Sontak, mataku membesar. Aku menatapnya kaget dan berseru, “Hah?!” Ya, namaku Dion Pratama, seorang pelatih renang di sebuah kelab elite. Dan ini... adalah kisah tentang bagaimana aku belajar ‘melayani’ para sosialita yang haus hiburan dan sentuhan penuh sensasi. *****Mobil akhirnya berhenti di depan gedung apartemen A. Dari balik kaca depan, aku menatap bangunan tinggi yang menjulang dengan jendela-jendela bercahaya, seperti mata yang mengawasi setiap langkah orang yang mendekat.Aku menarik napas panjang, mencoba menata debaran jantungku. "Inilah tempatnya…" bisikku. Ada rasa gentar yang menjalari tubuhku, tapi juga dorongan kuat untuk melangkah maju.Begitu memasuki lobi apartemen, hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menyambut. Aroma karpet yang wangi bercampur dengan suara langkah kaki penghuni yang lalu-lalang. Semua terasa asing, tapi langkahku mantap menuju meja resepsionis.Seorang petugas wanita menatapku dengan senyum formal. "Selamat malam, ada yang bisa dibantu, Pak?"Aku berusaha menahan kegugupan. "Saya… saya mencari seseorang. Namanya Bunga."Wanita itu sempat menatapku sejenak, lalu menunduk memeriksa layar komputer. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Aku menahan napas, berharap-harap cemas. Namun beberapa detik k
Aku masih terdiam, berusaha mencerna setiap kata yang baru saja kudengar dari Anya. Apartemen A, setidaknya aku sudah punya petunjuk jelas. Tapi sebelum semangatku meledak dan aku benar-benar bangkit, Raka tiba-tiba mengangkat tangan, seolah ingin menghentikanku."Dion, denger dulu," ucapnya dengan nada tenang tapi tegas. "Gue tahu kamu sekarang lagi kebawa emosi. Tapi jangan gegabah. Datang ke sana tanpa persiapan bisa bikin semua berantakan."Aku menoleh cepat. "Ka, gue nggak bisa diem aja. Gue udah terlalu lama nunggu. Sekarang gue udah tahu di mana dia tinggal, jadi gue harus ke sana."Raka menggeleng pelan. "Dengerin gue dulu, bro. Lo sendiri bilang, lo nggak tahu pasti siapa pria yang bareng Bunga. Kalau ternyata bener tunangannya, apa lo siap lihat itu dengan mata kepala sendiri? Apa Lo udah siap dengar langsung dari mulut Bunga kalau dia udah menentukan pilihannya?"Pertanyaan itu menghantamku keras. Aku terdiam, lidahku kelu. Dadaku terasa sesak, seperti ada batu besar yang m
Aku masih tenggelam dalam pikiran sendiri, selang beberapa saat, tiba-tiba suara langkah mendekat membuatku menoleh. Mataku membesar begitu melihat sosok yang tak asing."Anya?" ucapku refleks.Dia tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan seolah kedatangannya hal biasa. Aku belum sempat berkata apa-apa ketika Raka dengan santai berdiri. "Gue yang nyuruh dia datang, Dion. Santai aja."Aku mengernyit, bingung dengan maksud Raka. "Lo yang nyuruh? Buat apa?"Anya melangkah mendekat, lalu duduk di kursi kosong di antara kami. Senyumnya ramah, seperti berusaha mencairkan suasana. "Hai, Kak Dion. Hai juga, Kak Raka. Aku kesini memang karena diminta Kak Raka. Katanya ada hal penting yang harus aku jelaskan."Aku langsung menoleh ke Raka, wajahku penuh tanya. Raka hanya mengangguk pelan, ekspresinya serius. "Iya, Dion. Aku pikir udah saatnya kamu tahu. Anya pernah cerita ke gue."Jantungku berdetak cepat, aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Tahu apa? Jangan bikin aku makin bingung, Ka."
Begitu aku melangkah keluar dari café itu, dunia rasanya jadi kabur. Suara orang-orang yang lalu lalang di trotoar terdengar jauh, seperti gema samar yang nggak nyata. Kakiku terasa berat, tapi entah kenapa aku terus melangkah ke arah mobil.Begitu sampai, aku langsung membuka pintu dan menjatuhkan diri ke kursi sopir. Tanganku otomatis menutup pintu dengan keras, bunyinya menggema menusuk telinga.Aku duduk terdiam beberapa detik, menatap kosong ke arah setir. Napasku berat, dada sesak, dan tangan ini masih bergetar hebat. "Bunga... Kamu beneran sama pria lain?"Aku memukul setir mobil dengan keras. Sekali. Dua kali. Hingga rasa sakit menjalar ke tulang. Tapi rasa sakit itu nggak ada apa-apanya dibanding rasa hancur yang merobek hati ini."Kenapa, Bunga?" suaraku serak, nyaris bergetar. "Kenapa kamu ngelakuin ini ?"Air mata akhirnya pecah, menetes tanpa bisa kutahan. Aku buru-buru mengusapnya kasar, menolak terlihat lemah, meski nggak ada siapa-siapa di sini. Tapi perasaan ini... be
Sepanjang perjalanan menuju alamat yang Raka kasih, pikiranku benar-benar kacau. Tanganku gemetar saat menggenggam setir, bahkan beberapa kali aku hampir kehilangan fokus. Rasanya sesak di dada, seolah ada batu besar menekan dan bikin sulit bernapas. Kata-kata Raka terus berputar di kepalaku. "Bunga sering bersama pria lain."Aku menggertakkan gigi, mencoba menepis kalimat itu. "Nggak mungkin. Bunga nggak kayak gitu. Dia bukan cewek yang gampang dekat sama cowok lain." Tapi semakin aku menyangkal, semakin kalimat itu menghantam pikiranku. Apa mungkin Raka salah? Apa mungkin orang yang disuruh ngawasin salah lihat?Mataku panas, hampir meneteskan air mata, tapi aku tahan sekuat tenaga. Campur aduk, marah, takut, kecewa, cemburu. Semuanya bikin kepalaku pusing. Bayangan wajah Bunga terus muncul, senyumnya, suara lembutnya, tatapan matanya. Semua kenangan indah itu mendadak terasa asing, seakan bisa hancur kapan saja.Aku menggeleng keras, bahkan sempat menampar pipiku sendiri. "Nggak mu
Raka menatapku dengan wajah yang sulit kubaca. Nafasnya berat, dan dia sempat memejamkan mata sebelum akhirnya berkata pelan, "Dion… sumpah, orang yang kasih info ke gue bilang gitu… Bunga sering terlihat bersama seorang pria."Kata-kata itu menancap tajam di telingaku. Untuk sesaat, aku terpaku, tak mampu merespons. Suara di sekeliling café mendadak lenyap, hanya gema kalimat itu yang terus berputar di kepalaku."Ap- apa maksud lo, Ka? Lo jangan asal ngomong!" suaraku serak, hampir tak terdengar.Raka menatapku serius, lalu mengangguk sekali. "Ya. Katanya, beberapa kali dia lihat Bunga sama cowok itu. Mereka keliatan deket."Sontak tubuhku terasa lumpuh. Aku terperanjat, dadaku seperti diremas dari dalam. Kata-kata Raka menghantamku lebih keras daripada pukulan apapun.Seolah bayangan mimpi yang pernah menghantuiku, mimpi ketika aku melihat Bunga bersama pria lain, kini menjelma nyata. Aku teringat jelas senyum Bunga dalam mimpi itu, senyum yang bukan ditujukan untukku. Seketika hati
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments