Sirine ambulans terdengar di pelataran rumah sakit. Para petugas terlihat menurunkan seorang perempuan berwajah pucat lalu mendorong brankarnya menuju ruang IGD. Terlihat pula David dan Dini yang mengantar sampai depan ruangan gawat darurat tersebut. "Kok bisa begini, sih, Ndut? Gue kira dari tadi Meli udah dibawa ke rumah sakit," sentak David sesaat setelah mereka duduk di ruang tunggu. "Gue juga nggak tahu, Bang. Habis dari tadi dia ngeyel nggak perlu ke dokter. Katanya cuma demam biasa. Padahal mukanya pucet banget, mana muntah-muntah mulu.""Udah kasih tahu Abang iparnya?"Dini menggeleng. "Dia udah wanti-wanti, kalau ada apa-apa jangan hubungin Bang Cakra katanya, biar dia bisa fokus sama Mbak Dani dulu."David tertegun. "Bener juga, sih. Lagian tuh laki kayaknya masih dilema sama perasaannya sendiri.""Gimana?" Dini menatapnya dengan dahi berkerut. David lekas menggeleng. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan Melinda. Dia melirik David dan Dini sejenak, lalu b
Cukup lama keheningan panjang memenuhi ruangan. Keterkejutan luar biasa yang ditunjukkan wajah lelaki tampan dengan almamater kedokteran itu tak urung merenda, kala David sengaja menyulut emosinya makin berkobar. "Saat ini Danita sedang dirawat akibat pendarahan pada kehamilan keduanya. Liat, Bang. Perempuan itu aja berhasil move on. Masa lo gini-gini aja. Penyesalan nggak akan mengubah apa pun. Kalau lo terus sembunyi kayak pengecut, selamanya dia bakal mengingat lo sebagai lelaki nggak bertanggung jawab dan paling br*ngsek di duni--" "Diam, David!" Candra mulai habis kesabaran. Dibentak seperti itu David bukannya mundur dia malah semakin tertantang. "Belum lagi kalau Bang Cakra tahu yang sebenarnya. Hubungan kalian yang udah buruk pasti bakal makin buru--""Keluar! Keluar lo sialan!"David akhirnya menyerah. Dia tersenyum kecil sebelum berlalu dari pandangan Candra. Suara pintu yang dibanding keras terdengar. Candra merobohkan diri di atas kursi kebesarannya. Rasa ingin teriak
Suara derap langkah terdengar pelan memasuki ruangan rawat dengan nama dalam brankar yang bertulis 'Ny. Melisa Anandia'Lelaki jangkung dengan jas kedokteran dan stetoskop yang melingkar di lehernya itu berhenti tepat di samping perempuan yang terbaring dalam keadaan terlelap. Lekat dia amati wajah jelita yang terlihat sedikit pucat di hadapannya. Satu-satunya perempuan yang membuat dia tertarik setelah tiga tahun menghabiskan waktu dalam penjara penyesalan. Tak menyangka takdir bisa mempermainkan hidup mereka sampai seperti ini. Ternyata perempuan yang selama ini dia anggap memiliki banyak kesamaan dengan dirinya ini adalah adik kandung dari seseorang yang tiga tahun lalu dia campakkan. Seperti dejavu, kejadian itu kembali terulang. Dia ada dalam situasi yang sama, tapi kondisi yang berbeda. Bisa dibilang, perempuan ini datang di waktu yang tepat, tapi dalam keadaan yang salah. Tangan besar itu terulur menyibak selimut yang menutupi setengah tubuh pasiennya. Kemudian meletakkan
"Dia anakku, kan?"Gerakan David yang baru saja hendak memutar hendel pintu terhenti. "Iya."Deg!"Kalau begitu, mari kita menikah!"Tangan besar itu mengepal seketika. Tubuhnya mundur selangkah dengan rahang yang sudah mengeras dan wajah merah padam. Emosi yang baru saja teredam kembali muncul ke permukaan. Panas yang menjalari kepala sampai ke ubun-ubunnya bukan hanya karena perempuan yang dia suka baru saja dilamar kakak tirinya, tapi juga fakta bahwa anak yang dikandung Melinda adalah benih Candra."Bang! Ada apa?" Dini yang baru saja datang dibuat keheranan karena melihat David hanya berdiri mematung di depan ruangan. "Udah samperin Melinya?"Lelaki itu hanya menoleh sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab. "Kenapa, sih tuh orang?" Dini menggerutu. Kemudian mengedikkan bahu. Memilih mengabaika David, dia mengulurkan tangan hendak membuka pintu, tapi seseorang sudah mendahului dari dalam.Bola mata perempuan itu melebar saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya seka
"Ceritain semua tentang Melinda, selain nama aslinya yang adalah Melisa."Dini mengernyitkan dahinya saat Melihat David datang tiba-tiba menemuinya yang baru saja keluar dari ruangan Melinda dan langsung menyeretnya menuju taman. "Anjir mulut lu bau naga, Bang. Habis mabok, ya? Gue yakin bukan semprit yang sekarang mah." Dini menutup hidungnya saat Cakra berbicara tepat di depan wajahnya. "Iya. Gue baru pulang dari club langsung ke sini," jawab David santai, sembari menuntun Dini untuk duduk di kursi taman bersamanya. "Edan emang lu, ye," sungut Dini kesal. "Emang iye. Dari kemarin gue dah kayak orang gila, Ndut. Sakit banget nih kepala. Gue butuh pencerahan sebelum hajar tuh orang," aku David sembari menggaruk rambutnya yang sudah semrawut. Mata Dini langsung melebar mendengarnya. "Minta pencerahan kok mau hajar orang? Sinting juga ada levelnya kali, Bang. Lu mah udah over dosis," ledek Dini sambil melet. "Dahlah. Nggak usah banyak cing-cong, Ndut. Langsung ceritain aja sama g
"Jadi, sekarang rencana lo gimana?" David bertanya tentang keputusan Candra setelah diskusi panjang mereka."Gue bakal tetep nikahin Melinda dan lamar dia di acara ulang tahun papi di aula apartemen akhir pekan ini," pungkasnya."Terus kalau masa lalu lo sama Danita kebongkar gimana?""Setiap tindakan selalu ada resikonya, Dave. Dan gue udah siap untuk itu. Setidaknya gue masih punya itikad baik buat tanggung jawab walaupun kehamilan Melinda bukan sepenuhnya salah gue.""Tapi pernikahan kalian terjalin bukan atas dasar cinta. Lo mau semuanya berakhir kayak papi, Bu Nina, dan mami?""Nggak semua pernikahan yang berawal tanpa cinta itu berakhir dengan perpisahan, David. Selalu ada jalan untuk orang yang mau berusaha. Sebisa mungkin gue akan berusaha mempertahankan pernikahan kita nanti. Gue yakin Cakra pun begitu. Dia cuma perlu dihajar dulu biar sadar.""Lo bisa ngomong sesantai ini seolah-olah udah bener-bener bisa lepas aja dari masa lalu. Padahal gue tahu gimana bucinnya lo sama Dan
Ceklek! Cakra hampir terlonjak dari tempatnya saat melihat Dini dan Melinda tiba. Namun, Danita segera menahan pergerakan lelaki itu beberapa detik sebelum dia beranjak dari sisinya."Ah, maaf kalau aku ganggu," cetus Melinda sungkan setelah beberapa saat terdiam memperhatikan Cakra membelai perut buncit kakaknya. "Nggak apa-apa, kok, Mel. Duduk sini!" sahut Danita dengan senyum lebar seperti biasanya. Melinda dan Dini pun duduk di sofa tepat di tengah-tengah Arka yang sedang asik menonton kartun dalam gadgetnya. Sesekali mereka mengelus dan mencubit pipi gembil bocah tampan itu."Gimana keadaan kamu? Maaf kalau a--saya nggak sempat nengok. Soalnya dari kemarin repot. Mungkin nanti kita akan mempertimbangkan untuk mengambil jasa baby sitter untuk membantu merawat Arka." Cakra memulai percakapan setelah beberapa saat berusaha menata hatinya ketika melihat kehadiran Melinda yang tiba-tiba. "Udah baikan, kok, Mas. Lagian aku cuma demam biasa. Minum antibiotik dan dirawat semalam juga
"Kasih informasi apa Dini sama kamu?" tanya Melinda sepeninggal sahabatnya sembari memencet password pada unit apartemennya."Biasa. Info tentang cewek-cewek seksi di unit ini," jawab David dengan kerlingan.Melinda memutar bola mata, lalu mempersilakan David masuk. "Tumben kamu mau dateng ke sini sampe bela-belain nunggu. Biasa juga nelepon seenak jidatnya buat nyamperin ke sana," cibir perempuan itu sembari merobohkan diri atas sofa. "Mana bisa aku biarin bumil cantik capek-capek jalan ke lantai sepuluh," dalihnya sembari duduk di samping Melinda dan merangkulnya. "Bukannya kata Dini kamu shock karena aku hamil makanya dari kemarin menghindar, hem?""Kata siapa?" David membulatkan matanya. "I am happy for you, Honey.""Nggak usah turut bahagia. Kehamilan ini bukan sesuatu yang patut dibanggakan." "Loh, kenapa? Emang nggak ada bapaknya? Mau aku wakilin?"Melinda mencebik. Kemudian menepis tangan David yang mulai menyelus-elus bahunya. "Nggak usah. Makasih. Ada bapaknya, kok. Dan