Lisa menatap pintu yang baru saja tertutup dengan ekspresi kosong. Suara langkah kaki Jack Will masih terngiang di telinganya, seolah-olah ketukan terakhir yang menandai berakhirnya sebuah era."Kita dalam masalah besar," gumamnya, hampir tak bersuara.Jeremy, yang biasanya selalu penuh percaya diri, kini tampak gelisah. Ia bersandar di meja, kedua tangannya bertaut di depan wajah."Bagaimana bisa begini?" gumamnya. "Jack Will seharusnya bisa diyakinkan karena keputusan kita untuk menyelamatkan nama perusahaan Golden Star juga.”Lisa menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia tampak pusing sekali.Bella menghela napas panjang, menatap Lisa dan Jeremy bergantian. Lalu dia berkata, "Dengar, kita tak bisa membiarkan ini terjadi begitu saja. Jika perusahaan Golden Star menarik investasi mereka, perusahaan Liquid bisa runtuh dalam hitungan bulan."Lisa berbalik, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya."Aku tahu itu!" suaranya meninggi, frustasi. "Tapi apa yang bisa kita lakukan sekaran
Dario duduk diam di kursi belakang mobil, tatapannya menerawang keluar jendela. Jalanan kota yang biasanya terlihat hidup kini terasa suram.Langit tiba-tiba mendung dan lebih lebih gelap dari biasanya, lampu-lampu jalan berpendar samar, dan suara kendaraan lain seolah menjadi latar belakang bagi pikirannya yang berkecamuk.Obat-obatan itu…Itulah satu-satunya hal yang berputar di kepalanya. Dia menduga jika ayahnya akan menanyakan tentang hal itu.Sang ayah bukan orang yang mudah dibohongi, dan jika ia sampai mengutus Albin, itu berarti situasinya lebih serius dari yang ia perkirakan.Di kursi kemudi, Albin tetap diam, tapi Dario bisa merasakan pria itu sedang memperhatikannya dari spion tengah."Terlalu banyak berpikir tidak akan mengubah apa pun," kata Albin akhirnya.Dario menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Apa maksudmu?"Albin hanya mendengus pelan. Lalu dia berkata, "Kau tahu apa yang kumaksud, Dario. Wajahmu jelas-jelas menunjukkan kau menyembunyikan sesuatu."Dario mengangk
Mendengar perkataan ayahnya itu, Dario berhenti di anak tangga pertama, tidak menoleh."Aku tidak akan kemana-mana," katanya sebelum melanjutkan langkahnya ke lantai atas.Begitu Dario menghilang, Viviana mendesah."Dia menyembunyikan sesuatu,” kata Viviana."Aku tahu,” kata Gigio sambil mengangguk pelan.Ruangan kembali sunyi.Di lantai atas, Dario masuk ke kamarnya, menutup pintu, lalu bersandar ke dinding. Tangannya terkepal.“Aku harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya semakin buruk,” kata Dario, pelan.Gigio menghela napas panjang. Dia menatap meja di depannya dengan tangan yang terkepal di atas permukaan sofa yang terasa dingin. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab."Viviana," katanya akhirnya, suaranya rendah namun tegas.Viviana yang duduk di sofa di seberang meja menegakkan tubuhnya. "Ya, Ayah?""Panggil Albin. Dia ada di luar, bukan?"Viviana mengangguk. Tanpa berkata-kata lagi, dia bangkit dan berjalan keluar rumah.Di luar, Albin sedang duduk di tang
Angeline dan Cecilia saling bertukar pandang mereka terkejut dengan kedatangan Lisa dan Jeremy.Kedua perempuan itu segera bangkit dari sofa dan Cecilia mendekat lebih dulu, namun ekspresi waspada tetap terpahat di wajahnya. Angeline pun sama. Dia menatap dua orang yang baru datang dengan tatapan muak sekagus kesal."Silakan masuk," kata Cecilia, meski suaranya terdengar lebih sebagai formalitas ketimbang sambutan hangat. Lisa melangkah masuk dengan anggun, jauh berbeda dari sikapnya saat terakhir kali mereka bertemu. Ada kelembutan yang terjaga, seakan dia telah mempersiapkan diri dengan matang. Jeremy, di sisi lain, hanya mengangguk singkat sebelum ikut duduk.Angeline tidak mempersilahkan, dia hanya menatap dua orang itu tanpa senyum sama sekali. Jelas sekali wajah tidak sukanya.Setelah keheningan sejenak, Cecilia langsung to the point. "Ada apa datang ke sini, Ma? Ada yang mau dibahas lagi?"Lisa tidak menjawab langsung. Dia justru menatap Angeline dengan sorot mata yang sulit
Angeline tetap duduk dengan punggung tegak, matanya menatap Jeremy tanpa gentar."Kau benar-benar tidak tahu diuntung, Angeline!" Jeremy akhirnya meledak. "Hidupmu selama ini nyaman karena keluarga Jordan. Kau menikmati semuanya, tapi ketika keluarga ini membutuhkanmu, kau malah berlagak seperti orang luar!"Angeline mencibir sambil bertanya remeh, "Kau pikir aku berhutang pada keluarga ini?""Jelas!" Jeremy menatapnya tajam. "Tanpa perusahaan, kamu bukan siapa-siapa. Seharusnya kamu sadar siapa yang memberimu kehidupan seperti sekarang!"Angeline terkekeh, kali ini tawanya penuh kebencian. "Lucu sekali. Aku baru menyadari betapa menyedihkannya kalian. Selama ini, aku tidak lebih dari alat yang bisa kalian pakai kapan saja. Menjadi sapi perah untuk keuntungan kalian.”Jeremy mengepalkan tangannya, tetapi Lisa mengangkat tangan, menahannya."Kau masih punya kesempatan untuk memperbaiki keadaan, Angeline. Jika kamu membantu kami, aku bisa menjamin posisimu di perusahaan Liquid akan dike
Julian baru saja hendak pergi ketika suara langkah halus terdengar dari arah dalam rumah. Dia menoleh dan langsung mengenali sosok yang muncul di ambang pintu.Rose.Wanita paruh baya itu masih memancarkan aura ketenangan dan wibawa, meski kerutan di wajahnya semakin dalam. Matanya yang teduh menyapu halaman, lalu tertuju pada Lucas yang masih duduk santai di kursi.Julian segera menundukkan kepala dengan hormat. "Ibu Rose."Rose tersenyum kecil. "Namamu Julian, ya? Sudah lama berteman dengan Lucas?”Julian mengangguk sopan. Lalu dia menjawab, "Sudah cukup lama, Bu. Semenjak Lucas tinggal di Ibu Kota.”Rose mengangguk pelan, lalu melirik Lucas. "Jika sudah selesai, aku ingin berbicara dengan putraku."Julian segera memahami isyarat itu. "Aku pamit dulu, Lucas."Lucas memberi anggukan singkat, dan Julian melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan ibu dan anak itu dalam keheningan yang nyaman.Rose berjalan mendekat dan duduk di kursi di samping Lucas. Dia merapatkan kedua tangannya di
Peter kembali menatap layar laptopnya dengan penuh konsentrasi, tidak melanjutkan percakapannya dengan Magdalena.Tangan Peter bergerak cepat di atas keyboard, membuka berbagai situs berita, forum, dan media sosial yang berpotensi menyimpan informasi tentang Lucas dan Angeline.Matanya menyipit tatkala dia menemukan sesuatu yang menarik. Foto seorang pria bertubuh tegap dengan sorot mata tajam yang kemarin dia temui di kantor polisi bersama dengan Lucas.Julian.Peter mengeklik gambar itu dan membaca keterangannya. Wajahnya berubah tegang.Magdalena, yang duduk di seberang meja, memperhatikan perubahan ekspresi Peter."Ada apa?" tanya Magdalena curiga.Peter menunjuk layar laptop. "Orang yang bersama Lucas kemarin … dia bukan orang biasa."Magdalena mengernyit dan mendekat, membaca artikel yang terbuka di layar. Saat ia melihat namanya, matanya membesar."Julian, Ketua organisasi mafia Veleno di kota Verdansk?" Magdalena menatap Peter dengan ngeri.“Itu artinya Lucas bukan hanya seora
Setelah lama diam, Lucas kemudian menatap Gigio tanpa berkedip. Lalu dia bertanya, "Kapan aku bisa bertemu dengan Dario?"Nada suaranya tegas, hampir seperti perintah. Dia tidak suka menunggu. Apalagi untuk sesuatu yang bisa mengancam orang dekatnya.Gigio menarik napas panjang. Sebagai seorang ayah, instingnya ingin melindungi Dario. Tapi dia juga tahu, semakin lama ia menunda, semakin Lucas akan menganggapnya sebagai bagian dari masalah.Selain dia memiliki hutang budi dan hutang nyawa, dia juga sangat segan kepada Lucas karena kemampuan ilmu beladirinya yang hebat serta kepribadiannya yang luar biasa."Kalau begitu, sekarang juga kita temui Dario. Dia ada di rumahku. Jam segini, biasanya dia masih tidur," jawab Gigio akhirnya.Lucas mengangguk. "Bagus. Ayo kita pergi.”Tanpa banyak bicara lagi, mereka bersiap-siap dan meninggalkan rumah. Jarak antara rumah mereka hanya terpaut satu blok. Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di kediaman Gigio.Saat mereka memasuki ruangan u
Dari balik reruntuhan dinding gudang, di kegelapan yang tersisa, sepasang mata yang memancarkan aura dingin dan menusuk mengamati setiap gerakan Lucas. Itu adalah Grandmaster Xena.Dia merasakan dengan jelas bentrokan energi yang baru saja terjadi, kekuatan dahsyat yang dilepaskan oleh Lucas dalam bentuk Pralaya Bhuminya. Ada keraguan yang mulai menggerogoti hatinya.Mungkinkah Lucas benar-benar melampaui perkiraannya?Saat Lucas menghancurkan Dario dengan energi yang begitu dahsyat, Xena merasakan getaran kekuatan yang bahkan membuatnya sedikit gentar. Dia, yang selama ini dikenal sebagai salah satu yang terdekat dengan level immortal, merasakan ancaman yang nyata dari pemuda di depannya.Pertarungan barusan bukanlah pertarungan biasa. Itu adalah pertunjukan kekuatan yang melampaui batas manusia normal. Instingnya sebagai seorang petarung berpengalaman mengatakan bahwa konfrontasi langsung dengan pria itu saat ini akan menjadi pertaruhan yang sangat besar.Tanpa mengucapkan sepatah k
Lucas membeku. Suara itu. Senyum itu.“Dario…” gumamnya pelan. “untuk apa kau datang?”“Aku hanya ingin bertemu denganmu dan menunjukan jika aku masih hidup dan telah berkembang,,” Dario melangkah masuk. Udara di sekelilingnya bergetar halus, lalu terdengar crack! Petir kecil menyambar di udara, menyatu dengan aura biru keperakan yang mulai mengelilingi tubuhnya.Lucas mengepalkan tinjunya. Chakra Bhuminya masih aktif, tapi tak stabil. Pertarungan barusan telah menguras terlalu banyak.“Jadi, kau ke sini untuk bertarung denganmu?” tanya Lucas dingin.Dario tertawa. “Untuk mengakhiri ini, tentu saja. Lynch hanya pembuka jalan. Kau target sesungguhnya. Selama kau hidup, dendam ini akan selalu bersemayam di dadaku.”Petir membungkus tangan Dario seperti cambuk-cambuk tipis. Udaranya kini berbau logam.Julian maju satu langkah. “Dario, cukup. Masalah lalu, biarkan berlalu.”“Ciih! Tidak mungkin bisa!” ucap Dario. “apa yang sudah kamu lakukan padaku, harus mendapatkan balasannya.”Ketua Lu
Darah menetes dari sudut bibir Lynch, tapi matanya menyala ganas.“Cukup main-mainnya,” desis Lynch. Kemudian dia merentangkan kedua lengannya.Angin di dalam gudang berubah.Aura hitam pekat mulai merambat dari tubuhnya, seperti kabut iblis yang merayap naik dari tanah neraka. Suara-suara aneh berbisik di udara, seperti ratapan roh-roh terperangkap.Julian mundur dua langkah. “Itu … teknik Ilmu Hitam Timur Tengah,” gumam Lucas, matanya menyipit. “kau sudah menjual jiwamu, Lynch.”Lynch tersenyum bengis. “Dan kau belum tahu harga yang harus kau bayar karena telah membangkitkan modeku ini.”Tubuh Lynch berubah. Otot-ototnya mengembang, urat-urat mencuat seperti akar pohon. Mata kirinya memucat, dan dari punggungnya, sepasang tonjolan keras muncul, bukan sayap, tapi seolah tulang yang mencuat liar.“The Obsidian Blade!” Julian berteriak. “kau harus pergi! Ini bukan pertarungan yang adil!”Emilio mengerutkan keningnya. Dia mendengar dengan jelas kali ini, Julian memanggil Lucas dengan pa
Dua pria itu berlutut dengan tangan terangkat, wajah mereka penuh debu dan darah. "Ampun... kami menyerah..." salah satu dari mereka terisak.Kai melangkah perlahan ke arah mereka. Napasnya sudah mulai teratur kembali. Wajahnya tetap dingin, tapi tangan kanannya masih mengepal.Dia menatap keduanya. Remuk, lemah, nyaris tak mampu berdiri. Mereka memang tak lagi mengancam.Kai mendesah. "Pergilah... sebelum aku berubah pikiran."Keduanya segera bergerak, namun sebelum sempat bangkit sepenuhnya—Doooor! Doooor!Dua peluru menembus kepala mereka. Darah memercik ke tanah.Kai terkejut. Ia menoleh cepat. Seorang pria berpakaian gelap, salah satu dari anggota Veleno, menurunkan senjatanya."Apa yang kamu lakukan?!" bentak Kai.Pria itu melirik dingin. "Orang-orang seperti mereka tidak pantas diberi pengampunan."Kai mengepalkan rahangnya. "Tapi mereka sudah menyerah. Kita tidak —”"Tidak tega? Kalau hatimu lemah, jangan masuk ke dalam lingkaran ini," katanya memotong, lalu berjalan pergi ta
Ketua kelompok musuh, sedikit tegang. Sebab peluru mereka sudah menipis.Mereka menganggap remeh karena tidak membawa peluru yang banyak. Mereka pikir pasukan Lucas tidak akan kuat dan banyak.Minimnya informasi membuat mereka menjadi salah mengambil keputusan “Bagaimana ini bos?” tanya pria gempal.“Jika sudah habis, kita serang dengan tangan kosong. Kita tidak bisa kembali!” ucap ketua kelompok.“Baik!”Teriakan nyaring terdengar dari sisi timur rumah.“Raaaghh!”Salah satu musuh menerobos pagar dengan brutal, melempar granat asap ke tengah halaman. Asap pekat menyebar cepat, menutupi pandangan. Kai menyipitkan mata. Ia tahu itu bukan untuk membunuh. Tapi untuk menculik.Mereka mengincar satu target.Angeline.Kai mengangkat tangan, memberi sinyal. Tiga anak buahnya langsung bergerak membentuk formasi segitiga, melindungi pintu depan.Namun dari balik asap, dua sosok melompat keluar dengan kecepatan kilat. Hitam, gesit, dan mematikan.“Dua orang ke kanan!” seru salah satu penjaga.
Dua puluh orang diperintahkan oleh Jukain untuk tetap tinggal, bersiaga di perimeter rumah Angeline. Sedangkan sekitar 15 orang dikerahkan untuk mencari keberadaan mertuanya Lucas, termasuk Julian.."Jangan tinggalkan rumah ini tanpa pengawalan," pesan terakhir Julian pada semua orang sebelum berangkat.Lalu ia mendekati seorang pria muda berseragam hitam yang berdiri paling belakang.“Kai,” ucap Julian singkat.Kai berdiri tegak. Usianya belum lewat dua puluh lima. Wajahnya bersih, bahkan terlalu bersih untuk lingkungan seperti ini. Tapi tatapannya tenang. Tak ada keraguan."Mulai sekarang, kamu yang memimpin di sini."Beberapa pasang mata sempat berpaling. Mereka tahu, Kai bukan orang lama. Bahkan baru dua minggu bergabung. Tapi tidak satu pun dari mereka memprotes.Kalau Julian sudah menunjuk seseorang, maka orang itu pasti punya alasan.Kai hanya mengangguk. "Siap."Julian menepuk bahunya sekali, lalu pergi.Setelah itu, Julian dsn pasukan mulai bergerak untuk mengejar kelompok ya
Tiga kendaraan berlapis baja meluncur cepat menembus jalanan kota yang mulai lengang. Di dalam salah satunya, Lucas duduk diam di kursi penumpang depan, pandangannya tertuju ke luar jendela. Angin malam meniupkan bau tanah dan bahaya yang semakin dekat.Bukit Selatan menjadi tujuan mereka. Tempat sunyi yang jauh dari pemukiman. Tempat yang sudah Lucas siapkan sebagai arena terakhir,njika semua rencana gagal.Troy mengendarai mobil di depan mereka. Di belakang, Moretti dan sepuluh orang petarung terbaik dari Veleno dan Brotherhood duduk dalam diam. Wajah mereka dingin. Mata mereka tajam. Semua tahu, malam ini bukan malam biasa.“Percepat. Kita harus sampai duluan sebelum mereka,” kata Lucas. Suaranya pelan, tapi tidak bisa dibantah.Troy mengangguk dan menginjak pedal gas lebih dalam. Dalam hitungan menit, kendaraan mereka menyusuri jalan sempit menuju bukit. Lampu-lampu dari mobil menembus kabut tipis yang menggantung di udara.Sementara itu, Troy telah lebih dulu mengirimkan perintah
Sabrina menegang. Napasnya seolah berhenti sesaat saat mendengar ucapan Lucas tadi.“Sebentar lagi akan terjadi? Apa maksudmu?” tanyanya cepat. Nada suaranya bergetar. Wajahnya pucat, seperti seseorang yang baru saja mendengar kabar akan datangnya badai, tapi belum tahu dari mana datangnya.Lucas memejamkan mata sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.“Bahaya itu sudah bergerak. Dan aku yakin, dalam beberapa jam ke depan, mereka akan sampai di kota ini,” ucapnya pelan, namun pasti.Sabrina menelan ludah. Hawa malam yang tadi hanya dingin kini berubah menjadi menggigit. Dia menggenggam ujung bajunya sendiri, berusaha menahan getar di jari-jarinya.“Bahaya … dari mana? Siapa?” tanya Sabrina lagi. Kali ini suaranya benar-benar terdengar cemas.Lucas menggeleng pelan. “Kalau aku bisa menjelaskan semuanya, aku akan. Tapi ini rumit, Sab. Terlalu banyak pihak yang bisa terlibat. Aku hanya tahu satu hal, perwakilan dari Dominus Noctis sedang bergerak. Tidak semuanya tapi me
Lucas memandangi wajah Angeline, bingung dan berat. Matanya menatap dalam, seolah berharap bisa membaca isi hati istrinya dari sorot itu. Tapi yang dia dapatkan hanyalah dinding dingin yang tak bisa ditembus.“Apa maksudmu?” tanyanya pelan, seperti seseorang yang baru saja kehilangan peta di tengah hutan gelap.Angeline menyilangkan tangan. Nada suaranya tajam, namun matanya mengandung luka yang tak bisa disembunyikan. “Kamu tidak tahu atau kamu pura-pura tidak tahu?”Lucas menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berkata, “Aku benar-benar tidak tahu, Angeline. Apa yang kamu pikir aku sembunyikan?”Angeline menutup mata sesaat. Napasnya masuk pelan, lalu keluar dengan ledakan frustrasi.“Kupikir aku sudah cukup pintar membaca orang, Lucas. Tapi ternyata aku salah besar. Aku pikir … menikah denganmu adalah langkah tepat. Tapi mungkin itu keputusan paling bodoh dalam hidupku,” kata Angeline tanpa melihat mata Lucas.Kata-kata itu mengguncang Lucas. Tapi dia tidak membalas. Tidak membela di