Home / Romansa / Pelukan Terlarang / Bab 2 : Jaring yang Mengikat

Share

Bab 2 : Jaring yang Mengikat

Author: Nara Cahya
last update Last Updated: 2025-08-22 19:04:59

Malam itu, langkah Hana terasa berat saat pulang. Bukan hanya dinginnya udara yang menusuk tulang, tapi kata-kata Arga yang terus menghantuinya. Indah… atau tragis, ancaman itu bagai duri yang menghujam, susah payah ia mencabutnya dari pikiran.

Tiba di apartemen kecilnya, tas terlempar begitu saja ke sofa, dan Hana terduduk lemas. Air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah. Kenapa mesti aku? bisiknya lirih, suaranya tenggelam dalam kesunyian.

Belum sempat ia meratapi nasib, ponsel di meja bergetar tanpa ampun. Notifikasi berdatangan seperti hujan badai. Dengan tangan gemetar, Hana meraih ponselnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat membaca pesan itu: Jangan berani menolak Pak Arga lagi. Aku tahu di mana kamu tinggal.

Napas Hana tercekat. Ini bukan sekadar ancaman kosong di restoran tadi. Ini sudah melanggar batas privasinya. Seseorang jelas-jelas mengawasinya. Dengan panik, ia bangkit dan menutup rapat semua tirai jendela. Rasanya seperti terkurung, ingin berteriak tapi sia-sia. Di dunia Arga, ia hanyalah pion kecil tak berdaya.

***

Keesokan harinya, Hana berusaha tegar saat tiba di kantor. Namun, suasana terasa berbeda. Beberapa rekan kerja menatapnya dengan tatapan aneh, ada yang berbisik-bisik, ada pula yang pura-pura tidak melihat.

Di mejanya, ia menemukan sebuah map merah tanpa nama pengirim. Dibukanya map itu, dan matanya langsung membelalak. Foto-foto dirinya, saat keluar dari restoran tadi malam bersama Arga. Diambil dari berbagai sudut, menampilkan kebersamaan mereka dengan jelas.

Hana menggigil. Siapa yang tega melakukan ini?

Tiba-tiba, pintu diketuk pelan. Sinta, sahabat sekaligus rekan kerjanya, masuk dengan wajah khawatir. Han… kamu kenapa? Dari kemarin wajahmu pucat banget.

Hana cepat-cepat menyembunyikan map itu. Aku cuma kurang tidur, jawabnya singkat, berusaha meyakinkan.

Sinta menatapnya lekat, seolah tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Kalau ada apa-apa, cerita aja. Jangan dipendam sendiri.

Hana ingin sekali menceritakan semuanya, tapi lidahnya kelu. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa dirinya sedang terjerat oleh seorang bos yang bisa menghancurkan hidup seseorang dengan sekali jentikkan jari?

***

Siang itu, Arga muncul di ruang kerjanya dengan langkah tenang. Senyumnya tipis, menyimpan sejuta misteri. Ia meletakkan sebuah dokumen di meja Hana. Besok kamu ikut saya ke Surabaya. Ada proyek yang perlu ditinjau, ucapnya datar, seolah itu perintah biasa.

Hana terkejut. Kenapa harus saya, Pak? Bukannya ada manajer proyek yang lebih kompeten…?

Karena saya yang memutuskan. Dan saya tidak suka dibantah, potong Arga tegas.

Tatapannya menusuk, menyadarkan Hana bahwa ini bukan sekadar perjalanan bisnis biasa. Ini adalah bagian lain dari jebakan yang semakin mengikatnya.

***

Tatapannya Arga tidak terbantahkan, akhirnya Hana mengangguk, tak berdaya. Baik, Pak, jawabnya hampir tak terdengar.

Arga tersenyum tipis, lalu berbalik meninggalkan ruangan. Pintu tertutup perlahan, namun gema suara klik-nya terasa berputar-putar di kepala Hana. Perjalanan ke Surabaya… urusan bisnis semata? Atau sebuah perangkap yang lebih dalam?

***

Malam itu, Hana nyaris tak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan skenario-skenario buruk yang mungkin terjadi. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca, menonton film, bahkan berendam air hangat, namun semua sia-sia. Bayangan Arga terus menghantuinya. Kata-katanya, tatapannya, ancaman terselubung di balik senyum… semua itu membuat dadanya sesak.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini, nomor yang tidak dikenalnya. Dengan ragu, Hana membuka pesan itu. Koper sudah siap? Jangan coba-coba kabur.

Jari-jarinya langsung terasa dingin. Ia menoleh ke sekeliling apartemen, seolah merasa ada seseorang yang sedang mengintip dari luar jendela. Perutnya mual, lututnya lemas. Ia tahu, siapa pun yang mengirim pesan ini, mereka bekerja untuk Arga.

Hana terduduk memeluk lutut di sofa, berusaha mengatur napasnya. Ia mencoba berpikir jernih haruskah ia melapor ke polisi? Tapi ia sadar, melawan Arga sama saja dengan bunuh diri. Pria itu punya segalanya. Uang, kekuasaan, dan orang-orang yang rela melakukan apa saja untuknya.

***

Keesokan harinya, Hana sudah duduk di kursi pesawat dengan jantung berdebar kencang. Arga duduk di sebelahnya, membuka laptop seolah tidak ada yang aneh. Dari luar, mereka tampak seperti atasan dan bawahan yang sedang melakukan perjalanan dinas biasa.

Namun bagi Hana, setiap detik terasa seperti bom waktu yang siap meledak.

Kamu selalu tegang kalau bepergian dengan saya? tanya Arga tiba-tiba, matanya masih tertuju pada layar laptop.

Hana menelan ludah. Saya hanya belum terbiasa, Pak.

Arga menutup laptopnya, lalu memiringkan wajahnya menatap Hana. Tatapannya tajam, namun bibirnya tersenyum seolah menertawakan sesuatu yang hanya dia yang tahu. Kamu harus cepat belajar terbiasa. Karena ini bukan yang terakhir kalinya.

Kalimat itu membuat tubuh Hana membeku. Ia menoleh ke luar jendela, mencoba menyembunyikan tangannya yang gemetar. Ia tahu, semakin lama, ia semakin terperangkap dalam permainan Arga.

***

Sesampainya di Surabaya, mereka langsung menuju sebuah hotel mewah. Hana sempat berharap Arga akan memesankan kamar terpisah untuknya. Namun, saat resepsionis menyerahkan kunci, Arga hanya mengambil satu kartu.

Kamar *suite*. Lebih praktis, katanya enteng.

Pak, saya rasa lebih baik jika…

Arga menatapnya tajam, mengangkat satu alisnya. Senyum dinginnya kembali muncul. Hanya satu kamar. Titik.

Kata-kata itu menghantamnya bagaikan palu. Hana tak berani membantah. Dengan perasaan hancur, ia mengikuti langkah Arga menuju lift.

Saat pintu kamar terbuka, Hana tercekat. Kamar itu sangat luas, mewah, dengan sebuah ranjang *king-size* di tengahnya. Tubuhnya menegang. Ia merasakan jebakan itu semakin nyata, semakin dekat.

Arga meletakkan kopernya, melepas jasnya, lalu berbalik menghadap Hana. Santai saja. Saya tidak akan menyentuhmu… kecuali kalau kamu menginginkannya. Ia tertawa pelan, suara yang justru membuat bulu kuduk Hana meremang.

Hana berdiri terpaku di dekat pintu, menahan napas. Ia tahu satu hal: sejak awal, Arga tidak pernah benar-benar bergurau.

***

Hana membeku di ambang pintu kamar *suite*. Tangannya mencengkeram erat tas kecilnya, tubuhnya kaku seolah lupa caranya bergerak. Arga sudah melepas jas, melonggarkan dasi, dan kini duduk santai di sofa dengan segelas *wine* di tangan. Pemandangan kota Surabaya yang gemerlap malam itu membentang di balik jendela kaca besar, tapi bagi Hana, kamar itu terasa seperti jeruji besi penjara.

Kenapa diam saja? tanya Arga tanpa menoleh. Kau terlihat seperti kucing yang terperangkap.

Hana menelan ludah. Pak, a-aku… kupikir lebih baik aku tidur di kamar lain. Suaranya bergetar.

Arga menoleh, senyumnya tipis namun setajam silet. Tidak ada kamar lain, Hana. Kalau kau khawatir aku akan melakukan sesuatu… itu semua tergantung padamu.

Kata-katanya ringan, namun menusuk bagai belati. Hana ingin berteriak, ingin lari, namun tubuhnya membeku, menolak untuk bergerak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Terlarang    Bab 60 : Kesadaran Hana

    Hari itu terasa berbeda. Udara di kantor tidak lagi sesak seperti biasanya, tapi justru terlalu tenang sebuah ketenangan yang menakutkan. Hana duduk di mejanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa pun. Tulisan di dokumen tampak kabur, karena pikirannya tidak bisa fokus.Ia sudah lelah.Lelah dengan gosip.Lelah dengan rasa curiga.Dan yang paling berat, lelah dengan dirinya sendiri.Sejak pesan misterius terakhir berbunyi di ponselnya — “Satu langkah salah, semuanya berakhir” — Hana tidak bisa tidur dengan tenang. Ia merasa seperti sedang diawasi setiap detik. Bahkan suara printer yang berdetak pelan pun membuatnya tersentak.Namun pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.Ia menatap pantulan wajahnya di layar komputer: mata sembab, wajah pucat, bibir kering. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Dulu ia adalah perempuan yang penuh semangat, selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan laporan atau presentasi. Tapi sekarang… ia lebih mirip bayangan dari dirinya yang dulu

  • Pelukan Terlarang    Bab 59 : Perubahan Sikap Adrian

    Sejak pesan ancaman terakhir, suasana kantor terasa berbeda.Bukan hanya Hana yang berubah — Adrian juga.Biasanya, Adrian adalah sosok yang santai, tenang, dan jarang menunjukkan emosi di hadapan tim. Tapi sejak malam itu, ada ketegangan baru dalam gerak-geriknya. Tatapannya lebih tajam, langkahnya lebih cepat, dan setiap detail kecil di kantor kini menjadi perhatiannya.Ia mulai datang lebih pagi dari siapa pun, memeriksa ruang rapat, lorong, bahkan kamera keamanan yang sebelumnya jarang ia sentuh.Beberapa staf menganggapnya sekadar profesionalisme berlebih, tapi Hana tahu — itu bukan kebetulan.Adrian sedang berjaga.Melindungi.---Pagi itu, Hana tiba lebih lambat dari biasanya. Begitu masuk, ia mendapati Adrian sedang berbicara dengan tim IT. Wajahnya serius, nada suaranya terkontrol tapi tegas.“Saya mau rekaman CCTV minggu lalu, semua koridor lantai ini. Termasuk akses login di server internal,” katanya.Tim IT tampak gugup. “Baik, Pak. Tapi kami perlu izin tambahan dari manaj

  • Pelukan Terlarang    Bab 58 : Momen Romantis di Tengah Kekacauan

    Hana tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar bisa bernapas lega.Rasanya seperti setiap detik di kantor kini diawasi, setiap langkah meninggalkan bayangan mencurigakan.Sejak foto itu dikirim lewat email anonim, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Gambar dirinya dan Adrian — terlalu dekat, terlalu jujur. Tatapan yang seharusnya hanya mereka yang tahu, kini ada di tangan orang lain.Siapa yang memotret itu?Kapan?Dan apa maksud pesan itu?Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti di kepala Hana, seperti suara gemuruh yang tak bisa diredam.---Sore itu, kantor mulai sepi. Langit di luar jendela berwarna jingga keemasan, indah tapi dingin. Hana masih duduk di mejanya, menatap layar laptop kosong. Matanya bengkak, lelah, tapi pikirannya terlalu kacau untuk berhenti.Adrian muncul tanpa suara. Ia berdiri beberapa detik di belakang Hana, memperhatikan perempuan itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Bahunya menegang, jarinya bergetar, dan napasnya berat.“Hana,” suara

  • Pelukan Terlarang    Bab 57 : Pertengkaran Batinnya Hana

    Pagi datang tanpa semangat.Langit di luar jendela tampak kelabu, seperti cerminan isi hati Hana.Ia menatap cangkir kopi di mejanya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu.Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan email yang diterima Adrian masih terngiang-ngiang di kepalanya — terutama kalimat itu: “Sekarang giliranmu.”Kata-kata itu seperti racun halus yang terus menggerogoti ketenangan pikirannya.Ia menggenggam cangkir itu lebih erat. “Kenapa harus seperti ini…” gumamnya pelan.---Adrian belum datang pagi itu. Biasanya, ia adalah orang pertama yang tiba di kantor. Tapi hari ini, ruangannya masih gelap, tirainya tertutup rapat.Hana berusaha fokus ke pekerjaannya. Ia menatap layar laptop, tapi huruf-huruf di layar seperti menari tanpa makna.Yang terlintas di pikirannya hanyalah wajah Adrian — serius, lelah, dan sedikit gelisah — saat terakhir kali mereka berbicara semalam.> “Udah terlambat, Han. Aku udah terlalu jauh buat mundur.”Kalimat itu membuat dadanya sesak.Ia tahu

  • Pelukan Terlarang    Bab 56 : Pengungkapan Awal

    Pagi itu, udara di kantor terasa berbeda.Tidak ada bisik-bisik seperti biasanya, tapi juga tidak ada ketenangan. Semua tampak menahan napas, seolah sesuatu besar baru saja terjadi tapi belum ada yang berani bicara.Hana datang dengan langkah pelan. Matanya masih berat karena kurang tidur. Malam lembur bersama Adrian semalam terus berputar di kepalanya, bukan hanya karena rasa canggung di antara mereka, tapi juga karena sosok misterius yang mengintip dari balik kaca.Ia belum sempat duduk ketika suara Adrian memanggilnya dari ruang kerja.“Hana, sini sebentar.”Nada suaranya terdengar berbeda. Serius. Terdengar seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu penting.Hana masuk. Adrian berdiri di depan papan digital besar, menampilkan serangkaian data dan log server proyek.“Aku nemu sesuatu,” katanya tanpa basa-basi.“Apa?”“Log akses sistem semalam.” Adrian menunjuk layar. “Ada login mencurigakan jam 23.58 cuma beberapa menit sebelum kamu dapat pesan ‘Besok semua akan berubah’.”Hana

  • Pelukan Terlarang    Bab 55 : Malam Lembur Bersama

    Langit Jakarta malam itu tampak kelabu, seolah ikut menanggung beban yang menumpuk di dada Hana.Setelah insiden pesan misterius dan kegagalan sistem pagi tadi, suasana di kantor berubah kaku. Semua orang bicara pelan, seakan takut terseret ke dalam badai masalah yang menimpa tim Hana.Sore menjelang malam, sebagian besar karyawan sudah pulang. Lampu-lampu kantor redup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lantai empat ruang divisi proyek tempat Hana dan Adrian bekerja.Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi kota yang mulai ditelan hujan. “Kamu yakin mau lanjut lembur malam ini?” tanyanya tanpa menoleh.Hana yang sedang memeriksa data menatap layar kosong di depannya. “Aku nggak punya pilihan, Adrian. Kalau nggak beres malam ini, Dimas bakal gunting proyekku besok pagi.”Adrian menghela napas pelan, lalu menatapnya. “Kamu butuh istirahat, Han. Kamu udah kerja dua belas jam tanpa berhenti.”Hana tersenyum samar. “Kamu juga belum pulang.”“Itu beda,” jawab Adrian. “Aku yang milih te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status