Arga berdiri, langkahnya begitu lambat namun terasa berat menghampiri Hana. Suara sepatu pantofelnya beradu dengan lantai, bergema memenuhi ruangan sunyi, bagai genderang perang yang berdentum di telinga Hana, memacu jantungnya berpacu semakin cepat.
Saat Arga hanya berjarak sehasta, ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menelanjangi Hana. Kamu tahu, kenapa aku pilih kamu? Bisiknya lirih, hangat napasnya menerpa wajah Hana. Bukan semata karena kamu pintar. Ada sesuatu... yang berbeda dari kamu. Hana membuang muka, berusaha menyembunyikan gejolak yang tiba-tiba berkecamuk dalam dadanya. Pak, ucapnya tercekat, kalau Bapak ingin saya tetap profesional, mohon jangan bawa masalah pribadi ke kantor. Tawa kecil Arga terdengar mengejek. Profesional? Dengan gerakan pelan namun memaksa, ia mengangkat dagu Hana dengan kedua jarinya, membuat Hana tak bisa menghindar dari tatapannya.Dunia tidak sesederhana itu, Hana. Kadang, untuk bertahan, kita harus mau bermain dalam permainan yang kita benci. Hana memejamkan mata, merasakan perpaduan aneh antara takut dan marah. Ia ingin menyingkirkan tangan Arga, tapi tubuhnya membeku, seolah ada rantai tak terlihat yang mengikatnya. Untungnya, sebelum Arga bertindak lebih jauh, dering ponsel memecah ketegangan. Arga menjauhkan diri, mengangkat panggilan itu, lalu berbalik dan berjalan ke arah balkon, suaranya samar-samar terdengar dari kejauhan. Hana menghela napas lega, tubuhnya yang tadinya tegang, akhirnya lemas. Dengan tergesa, ia meletakkan tas di meja, lalu berjongkok di balik meja kerjanya, menyembunyikan wajahnya di telapak tangan. Air mata mulai menggenang, perasaannya bercampur aduk, seperti adonan kue yang diaduk tanpa aturan. --- Lima menit berlalu. Saat Arga kembali, raut wajahnya berubah serius, seolah baru saja menerima berita buruk. Besok ada pertemuan penting. Kamu harus ikut. Dan jangan sampai melakukan kesalahan. Hana hanya mengangguk, tak berani menatap matanya. Arga melempar ponselnya ke meja, lalu merebahkan diri di ranjang king-size, menyandarkan tubuhnya dengan santai. Tidurlah. Besok kita akan sangat sibuk. Hana menoleh, tak percaya dengan nada santai laki-laki itu. Pak, saya tidak bisa tidur di ranjang yang sama dengan Bapak. Arga mengangkat sebelah alisnya, menatapnya dengan tatapan mengejek. Kalau begitu, tidur di sofa. Terserah kamu. Tapi ingat, aku tidak suka drama. Aku sudah cukup baik padamu hari ini. Nada dinginnya membuat Hana tak punya pilihan. Dengan langkah gontai, ia mengambil bantal, lalu berjalan ke sofa, berbaring dengan hati yang masih bergemuruh. Arga mematikan lampu, menyisakan cahaya remang dari lampu tidur. Hana menatap langit-langit kamar, matanya enggan terpejam. Ia sadar, mulai malam ini, hidupnya tak lagi aman. Ia merasa seperti masuk ke dalam permainan berbahaya Arga, dan ia tak tahu bagaimana cara melarikan diri. --- Pagi menyapa terlalu cepat, tapi Hana merasa tak memejamkan mata barang sedetik pun. Kepalanya terasa berat, tubuhnya remuk redam. Saat membuka mata, ia mendapati Arga sudah rapi dengan setelan jas mahalnya, menatap layar laptop sambil menyesap kopi. Kau lambat, ucapnya datar saat melihat Hana bangun . Hana menghela napas, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Ia menegakan tubuhnya, lalu bergegas bersiap. Dalam hatinya, ia berjanji pada dirinya sendiri: ia tak bisa terus seperti ini. Ia harus mencari cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Arga, sebelum semuanya terlambat. --- Pagi itu, Hana merasa seperti ada beban berat yang menindih seluruh tubuhnya. Ia mencuri pandang ke arah Arga, yang masih fokus pada laptopnya, jari-jarinya menari di atas keyboard. Laki-laki itu sama sekali tak menunjukkan bahwa malam sebelumnya ia sempat meneror Hana dengan kata-kata penuh tekanan. Seolah baginya, kejadian semalam hanyalah bagian dari rutinitas biasa. Ayo cepat. Aku tak suka terlambat, ucap Arga sambil menutup laptopnya dengan bunyi *klik* yang terdengar tegas. Hana buru-buru meraih kemeja yang sempat ia lipat di kursi. Ia mengenakannya dengan tergesa, mencoba menyembunyikan wajah pucatnya di balik riasan tipis. Pandangannya tak sengaja bertemu dengan bayangannya di cermin. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri. Lingkaran hitam menghiasi bawah matanya, dan sorot mata yang dulu penuh percaya diri kini meredup, digantikan oleh kecemasan. Saat mereka tiba di lobi hotel, Arga berjalan lebih dulu, langkahnya panjang dan tegas. Hana berusaha mengimbanginya, tetapi sepatu hak tinggi yang dikenakannya membuatnya sedikit kesulitan. Di depan hotel, sebuah mobil hitam sudah menunggu. Arga masuk lebih dulu, lalu memberi isyarat agar Hana mengikutinya. Sepanjang perjalanan, suasana hening menyelimuti mobil. Hana menatap keluar jendela, membiarkan pemandangan pagi kota itu berlalu seperti film yang diputar cepat. Dalam benaknya, ribuan pertanyaan dan kekhawatiran saling bertabrakan. Berapa lama aku bisa bertahan seperti ini? batinnya. Mobil berhenti di depan gedung pertemuan. Arga menoleh sekilas ke arah Hana. Hari ini sangat penting. Jangan sampai mengecewakanku. Hana hanya mengangguk. Ia ingin bertanya, ingin meluapkan semua kegelisahannya, tetapi kata-katanya seolah tercekat di tenggorokan. --- Rapat dimulai. Di dalam ruangan, Arga menampilkan aura yang berbeda. Ia tampak dingin, dominan, dan penuh kendali. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terdengar seperti keputusan mutlak. Orang-orang di sekitarnya mengangguk patuh, tak seorang pun berani membantah. Hana hanya bisa mencatat, membantu menyiapkan data, dan sesekali diminta untuk menjelaskan rincian kecil . Namun di sela-sela rapat, Hana menyadari sesuatu yang membuatnya tidak nyaman: tatapan Arga sesekali beralih padanya, bukan sekadar melihat, tapi meneliti dengan tajam, seolah ingin memastikan bahwa Hana tidak melakukan sesuatu di luar perintahnya. Hal itu membuat tengkuknya terasa dingin. Dia mengawasiku... setiap detik, pikir Hana sambil mencengkeram pulpen di tangannya erat-erat. Saat rapat usai, Arga berjalan keluar bersama beberapa kolega penting. Hana tertinggal sejenak untuk membereskan dokumen-dokumen. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun tiba-tiba, sebuah suara menyapanya. Hana? Hana mendongak. Seorang pria muda, yang mungkin seusia dengannya, berdiri di depan pintu. Rambutnya sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam dan penuh perhatian. Ia mengenakan setelan sederhana, tidak seperti para eksekutif lainnya. Kamu baik-baik saja? tanyanya dengan nada suara rendah tapi jelas penuh perhatian. Hana terkejut. Eh... maaf, apa kita... saling kenal? Pria itu tersenyum tipis. Belum. Tapi aku tahu siapa kamu. Hana, asisten barunya Arga Wirawan, kan? Hana tercekat. Iya, tapi.... Kalau kamu butuh bantuan... Pria itu merogoh saku celananya, lalu menyelipkan sebuah kartu nama di atas map yang dibawa Hana. Hubungi aku. Sebelum Hana sempat bertanya lebih jauh, pria itu sudah pergi, meninggalkan Hana dengan detak jantung yang semakin kencang. Ia menunduk, menatap kartu nama itu. Nama yang tertera di sana: Radit Pratama – Jurnalis Investigasi. Hana menahan napas. --- Di dalam mobil saat perjalanan pulang, Hana tak bisa berhenti memikirkan pertemuan singkatnya dengan pria tadi. Radit. Seorang jurnalis. Mengapa dia tahu namanya? Mengapa dia seolah tahu sesuatu tentang Arga? Arga duduk di sampingnya, sibuk dengan ponselnya. Wajahnya tenang, tapi Hana merasa seperti duduk di samping bom waktu yang siap meledak kapan saja. Ia memegang erat kartu nama itu di dalam tasnya, berusaha agar Arga tidak curiga. Apa yang sedang kau pikirkan? tanya Arga tiba-tiba, matanya menoleh singkat ke arah Hana. Hana tersentak kaget. Ti...ti...tidak ada, Pak. Saya hanya... memikirkan data rapat tadi. Arga menatapnya cukup lama sebelum akhirnya kembali fokus pada ponselnya. Jangan biarkan pikiranmu melayang terlalu jauh. Fokus saja pada pekerjaanmu. Itu lebih aman. Kata-kata terakhirnya membuat bulu kuduk Hana meremang. Seolah-olah Arga bisa membaca isi pikirannya. --- Malam itu, Hana kembali ke apartemennya dengan lesu. Ia menyalakan lampu, meletakkan tasnya, lalu segera mengunci pintu dua kali. Untuk pertama kalinya sejak hari itu, ia merasa sedikit lega berada di ruangannya sendiri. Ia mengambil kartu nama Radit, menatapnya lama. Ada keraguan, tapi ada juga secercah harapan. Mungkin, pria itu bisa membantunya keluar dari jebakan Arga. Namun sebelum ia sempat mengambil keputusan, ponselnya bergetar. Nama Arga muncul di layar. Ya, Pak? Hana menjawab, berusaha membuat suaranya terdengar tenang. Besok malam temani aku lagi. Jangan membantah. Aku akan mengirimkan alamatnya nanti. Sambungan telepon terputus begitu saja. Hana menatap layar ponselnya yang kini gelap gulita, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia tahu, perang ini belum selesai. Dan jika ia tidak segera bertindak, ia akan semakin terjebak dalam lingkaran setan ini. Untuk pertama kalinya, Hana mulai berpikir: mungkin ia harus benar-benar mengambil risiko, menghubungi Radit, dan mencari tahu apa yang sebenarnya Arga sembunyikan.Hana, dengan kening berkerut, sedang berkutat dengan tumpukan dokumen di mejanya ketika ponselnya bergetar. Biasanya, notifikasi email atau pesan singkat tak membuatnya terkejut, namun kali ini berbeda. Firasat buruk langsung menyergapnya, membuatnya merinding seketika. Tanpa menunda, ia meraih ponselnya.Subjek email itu singkat, menusuk: Ketahui Posisi Anda.Pengirimnya? Tak dikenal.Hana menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Dia ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk membuka email itu.Isinya hanya satu kalimat, namun mampu membuatnya membeku di tempat: Kami tahu hubunganmu dengannya. Semua orang bisa tahu, jika kamu lengah.Jantung Hana berdegup kencang tak terkendali. Tangannya gemetar saat menutup laptopnya, mencoba menarik napas dalam-dalam. Kepalanya terasa berat, seolah kantor yang selama ini ia anggap aman, kini berubah menjadi tempat asing yang penuh ancaman.Ia menoleh ke sekeliling, berharap tak ada yang melihat re
Langkah Hana terasa *berat* saat memasuki ruang kerjanya keesokan paginya. Semalaman suntuk, matanya enggan terpejam. Nada bicara lembut Adrian, tatapan matanya yang seolah menyimpan *segudang* makna tersembunyi di balik sekadar teman kerja, terus menghantuinya. Ia mati-matian berusaha mengenyahkan semua itu dari benaknya, berbisik pada diri sendiri bahwa semua ini hanya efek samping dari kelelahan dan emosi yang sedang naik turun tak terkendali. Apesnya, semakin ia berusaha, semakin kalutlah pikiran dan perasaannya.Saat ia membuka pintu ruang kerja, beberapa rekan sudah bergerombol di ruang presentasi. Tumpukan dokumen menggunung di atas meja panjang, laptop-laptop memancarkan cahaya dari layarnya, dan proyektor menampilkan draf proyek terbaru. Adrian berdiri tegap di depan layar, dengan *penuh semangat* menjabarkan sesuatu. Senyumnya samar, tatapannya biasa saja bagi orang lain namun bagi Hana, setiap detail kecil itu terasa *menusuk* relung hatinya.Kita perlu utak-atik bagian ini
Pagi itu, lorong kantor berdengung oleh suara langkah kaki. Hana melangkah cepat, seolah ingin menghilang di balik mejanya tanpa menyapa siapa pun. Rambutnya yang tergerai jatuh, menutupi sebagian wajahnya, sedikit melindunginya dari tatapan orang-orang yang terasa menghakimi beberapa hari terakhir. Sayangnya, telinganya tidak bisa dibohongi. Bisikan-bisikan itu masih terdengar, lirih tapi menusuk, Itu dia... Dengar-dengar sering pulang bareng, ya? Pantes aja cepet naik jabatan. Hana meremas map di tangannya kuat-kuat. Ia ingin melarikan diri, namun sadar itu hanya memperburuk keadaan. Ia tetap melangkah maju dengan wajah setenang mungkin, menutupi badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sesampainya di meja, ia langsung duduk, menyalakan laptop, dan pura-pura tenggelam dalam dokumen. Napasnya masih tersengal. Hana, suara Maya menyentaknya. Wajah Maya terlihat tegang. Aku baru aja denger sesuatu yang... penting buat kamu tahu. Hana menoleh, jantungnya berdebar keras. Apa?
Hana membanting tutup laptopnya, seolah benda itu adalah bom waktu yang siap meledak. Jantungnya berdegup kencang, mengalahkan gemericik hujan yang mulai membasahi kaca jendela apartemennya. Otaknya seperti benang kusut, dipenuhi pertanyaan tanpa ujung. Siapa pengirim foto itu? Kapan foto itu diambil? Dan yang paling membuatnya merinding: apa maksud di balik semua ini?Ia bangkit dari sofa, mondar-mandir seperti tahanan dalam sel sempit. Tangannya sesekali meremas rambutnya yang panjang, lalu berhenti di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan dalam bayang hujan. Kata Bukti di subjek email itu terus menghantuinya. Kata sederhana itu berubah menjadi teror yang membungkamnya.Hana mencoba menenangkan diri. Mungkin cuma orang iseng, bisiknya, tapi hatinya tak percaya. Kalau cuma iseng, kenapa fotonya begitu pas momennya? Kenapa dikirim malam-malam, saat ia sendirian? Tidak, ini bukan kebetulan belaka. Seseorang sedang mengawasinya.Tangannya gemetar saat meraih ponsel.
Hana terdiam di depan laptopnya, jari-jarinya menari ragu di atas *keyboard*. Pikirannya terbang jauh, terpaku pada ucapan Maya semalam, Dunia kantor itu kejam, Han. Kata-kata itu bagaikan hantu yang terus menghantuinya. Setiap lirikan sinis, setiap bisikan menusuk, terasa seperti duri yang siap menyayat hatinya. Siang itu, rapat besar bersama direktur utama sudah menunggu di depan mata. Semua tim sibuk mempersiapkan bahan presentasi, termasuk Hana. Ia mencoba fokus menyusun data, tapi suara-suara sumbang terus mengganggu pikirannya. Tiba-tiba, Arga melintas di depan mejanya. Gerakannya biasa saja, sama sekali tak mencurigakan. Ia hanya tampak seperti seorang atasan yang sedang memeriksa pekerjaan anak buahnya. Namun, sepersekian detik mata mereka bertemu. Singkat, namun ada sesuatu yang dalam dan sulit diartikan. Hana segera menunduk, jantungnya berdebar kencang, wajahnya terasa panas. Ia takut orang lain menyadari perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. *** Rapat diadakan di
Hana terpaku di depan cermin kamar mandi kantor, kedua tangannya mencengkeram pinggiran wastafel keramik yang dingin. Aliran air dari keran yang terbuka hanya menemani kesunyian, tak menarik perhatiannya untuk sekadar membasuh muka. Sorot matanya nanar menatap pantulan dirinya di cermin seorang wanita yang tampak lelah dengan lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Senyum yang dipaksakan pagi tadi lenyap, digantikan raut khawatir. Beberapa waktu lalu, telinganya tak sengaja menangkap bisikan dua staf dari divisi lain di koridor. Nama memang tak disebut, tapi nada bicaranya menusuk: Si asisten khusus itu? Pantas saja karirnya melejit. Lalu, tawa kecil menyusul ucapan itu. Hana tak bodoh, ia tahu betul siapa yang menjadi bahan perbincangan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam, memutar keran hingga air berhenti mengalir, lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangannya. Tenang, Hana. Tetap fokus, bisiknya pada diri sendiri, mencoba tegar meski hatinya bergetar hebat. Saat kembali ke mejany