Share

Dibayar Lunas

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 7

"Bu, ini uang yang lebih aku tarik kemarin sama Salma di ATM," ucap Ali sambil menyodorkan beberapa uang berlembaran merah. Aku refleks mengambil uang itu dan menebak jika itu uang yang dimaksud oleh Maya kemarin malam.

"Jelaskan ini uang apa?" tanyaku, padahal aku sudah tau jika ini adalah uang yang dikirimkan oleh Mas Rahman padaku. Namun aku sengaja menanyakan lagi sama Ali, aku mau ihat seberapa jujur dia.

"Itu uang yang dikirim sama Ayah ke ATM, Ibu. Sebesar lima juta, tapi waktu aku ke kota kemarin aku mengambilnya dua juta, dan itu uang lebihnya," jelasnya. Alhamdulillah, ternyata anakku jujur.

"Baiklah, Ali. Jangan ulangi lagi ya, Ibu gak mau kamu dan Salma kenapa-kenapa. Kamu tidak tau sifat asli tante Maya gimana," terangku lagi. Aku hanya khawatir dengan anak-anakku, tidak lebih. Karena aku yakin, Maya akan melakukan semua cara agar bisa membalas semuanya.

"Bu, dua bulan lagi aku lulus SMA. Jadi aku mau minta ijin, buat ke kota nyari kerja," ujar Ali yang tiba-tiba membuatku terkejut. 

Deg!

'Tidak, aku tidak mau kehilangan lagi, sudah cukup aku kehilangan suami. Aku tidak mau lagi kehilangan anakku' batinku.

"Kamu kerja disini aja, Ibu akan bantu biaya hidup kita dengan kembali menjahit. Ibu yakin, langganan Ibu masih banyak yang menunggu Ibu menjahit lagi," bujukku pada Ali.

"Tidak, Bu. Ali janji, akan baik-baik saja disana. Dan Ali akan benar-benar bekerja hingga adik-adik bisa sekolah sampai sarjana, Ali mohon Bu," mohon Ali. Aku menggeleng cepat, apapun alasannya aku tetap tidak memperbolehkan Ali kesana.

"Bu, Ali mohon. Ali bisa jaga diri, kasihan adik-adik jika mereka tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Ya Buk ya? Ali mohon," pintanya lagi sambil memeluk lututku yang gemetar. Aku tarik kedua tangannya, hingga dia duduk sejajar denganku.

"Baiklah, tapi jaga diri kamu baik-baik. Selalu kasih kabar," aku akhirnya harus kembali mengalah karena keadaan.

"Terimakasih, Bu. Ali janji, akan selalu ngasih kabar ke Ibu. Juga akan jaga diri baik-baik," ucap Ali sambil mencium tanganku bertubi-tubi.

**********************

 Tok Tok Tok

Beberapa kali pintu diketuk dengan keras dari luar, dan sekarang masih jam 12.30. Tidak mungkin anak-anak pulang sekolah jam segini, biasanya mereka akan pulang jam 13.00 siang. Aku sengaja memang mengunci pintu depan dan pintu samping rumah, karena beberapa hari ini penagih tunggakan rumah dari pihak bank sering kerumah. Ini sudah hampir bulan ketiga aku belum membayar tunggakan, apakah kali ini mereka juga yang datang.

Aku yang sedang menjahit, segera menghentikan aktivitasku. Aku bangun dari dudukku, dan segera menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang.

"Aini! Buka pintunya! Cepat!" teriak suara yang sangat aku kenal dari depan.

Deg!

"Astaghfirullah, seperti suaranya Mas Rahman," aku mengusap dada berkali-kali, memikirkan jawaban apa yang akan kasih kalau mereka kesini malah mau menuntut perilaku Ali dan Salma.

Biasanya ada Uwak yang selalu disini, tapi kali ini aku hanya sendiri dirumah. Karena Uwak sengaja mengajak Anto dan Mia main kerumah Pak Haji. Dirumahnya Pak Haji memang sengaja dibuka sekolah Paud bagi anak-anak kurang mampu. Jadi Anto akan kesana untuk bermain, begitupun dengan Mia. Aku juga harus menyelesaikan beberapa baju pesanan langgananku dulu.

"Aini! Buka," suara Mas Rahman kembali berteriak keras sambil menggedor-gedor pintu.

"Mungkin mereka tidak ada dirumah, Sayang," ucap Maya. Aku yang berada dibalik pintu bisa mendengar dengan jelas suara mereka yang berbicara.

Ceklek!

Aku membuka pintu, dan setelah sekian lama. Aku kembali bertemu dengan mereka, yang merebut kebahagiaanku dan anak-anakku.

"Ada perlu apa?" tanyaku pada mereka yang berdiri di depan pintu.

"Lama amat sih buka pintu aja, panas tau diluar. Ayuk, Sayang. Masuk," maki Mas Rahman padaku. Dia malah memegang tangan Maya dan mengajaknya masuk kedalam rumah.

"Eh, siapa yang suruh kalian masuk kerumah?" aku berusaha menghalang mereka agar tidak seenaknya masuk kedalam rumah.

"Ini juga rumahku, Aini," sungut Mas Rahman sambil mendorong tubuhku yang menghalanginya mereka untuk masuk. Tentu saja tenagaku kalah jauh dari Mas Rahman yang laki-laki, Maya yang melihat itu tersenyum sinis sambil menjulurkan lidahnya.

"Cantik, tapi sayang. Anjing!" ejekku saat melihat Maya menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.

"Mas, dia ngatain aku anjing," rengek Maya pada Mas Rahman, persis seperti anak kecil yang mengadu pada Ayahnya.

"Kamu jaga bicaramu pada Maya!" bentak Mas Rahman sambil menunjuk-nunjuk kearahku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, dan membuangnya kasar.

"Sayang, aku haus," Maya kembali merengek kehausan, sepertinya tidak sampai setahun Mas Rahman sudah menyerah dengan Maya yang manja.

"Aini, ambilkan Maya minum. Jangan lupa yang dingin," ucapnya menyuruhku mengambilkan minuman dingin untuk Maya.

"Maaf, aku bukan pembantu kalian," ucapku sambil tersenyum melihat kearah mereka. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh terlihat kalah dari Maya.

"Jangan kurang ajar kamu, Aini. Kamu jadi pembangkang sekarang?" teriak Mas Rahman yang bangun dari duduknya.

"Dengar ya, Mas. Aku sekarang bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak ada hak nyuruh-nyuruh aku lagi," aku membalas meneriaki Mas Rahman. Melihatku yang membantahnya dan juga berteriak padanya membuat Mas Rahman melotot tidak percaya. Mungkin dia kira selama ini aku selalu diam karena aku takut, nyatanya aku hanya tidak ingin mengingat lagi tentang dia. Aku juga tidak suka memperkeruh keadaan, karena itu akan mempengaruhi mental anak-anak.

"Kamu ingat satu hal, Mas. Ini rumahku, warisan orang tuaku. Bukan rumah mu. Sekarang pergi kalian dari sini," usirku sambil menunjuk kearah pintu keluar.

"Berani kamu ngusir aku, Aini?" bentak Mas Rahman sambil memegang tanganku yang menunjukkan jalan keluar untuk mereka. Dia meremasnya kuat dan berusaha menggiling tanganku.

"Au… Lepas Mas," aku berteriak kesakitan, tanganku yang satunya berusaha melepaskan tangan Mas Rahman.

"Ha-ha, makanya kamu jangan sok, Aini!" ejek Maya yang berdiri dibelakang Mas Rahman. Mereka berdua tertawa puas melihatku kesakitan, nyatanya tawa mereka menjadi semangat untukku untuk bangkit.

Bugh!

Aku menendang kuat Mas Rahman pada bagian sensitifnya, hingga dia terjungkal kebelakang bersama gundiknya itu.

"Au… Mas, tolong aku, Mas!" teriak Maya kesakitan karena sekarang tubuh Mas Rahman malah menimpa tubuhnya. Aku tersenyum puas melihat kondisi mereka sekarang.

"Mas nggak bisa bangun lagi, tolong. Rasnya sangat nyeri," ucap Mas Rahman meringis kesakitan sambil memegang area sensitifnya. Maya bangun dan menggeser tubuh Mas Rahman, lalu dia pun berdiri dan dengan susah payah menarik tangan Mas Rahman agar bisa duduk di sofa.

"Kurang ajar kamu, Aini. Dasar janda miskin!" teriak Maya marah dan menjambak rambutku dengan kuat. Aku kembali meringis kesakitan akibat ulahnya itu. Berkali-kali aku ingin melepaskan tangannya dari rambutku, tapi malah semakin kuat cengkraman tangannya.

"Ha-ha, bagus Sayang. Dia memang harus diberi pelajaran," ejek Mas Rahman yang duduk di sofa sambil tertawa melihat Maya menjambak rambutku.

"Dia memang harus diberi pelajaran, Mas. Karena dia sudah gagal mendidik anak-anaknya, hingga mereka melukai kita," sungut Maya kesal.

"Mereka seperti itu karena didikan orang tidak bermoral yang sudah menjadi suamimu," ejekku tersenyum walaupun aku sekarang merasa kesakitan.

"Mereka bukan anak-anakku lagi," teriak Mas Rahman yang kembali bangun dari duduknya.

"Kamu, dan mereka. Hanya beban dalam hidupku, masa depanku menjadi hilang karena harus banting tulang menghidupi kalian," maki Mas Rahman yang sekarang memegang kerah bajuku.

"Dulu aku pikir menikah muda bisa membuatku bahagia, tapi nyatanya malah menderita dalam kemiskinan," lanjut Mas Rahman yang sekarang malah mencekik leherku.

"Kalian memang tidak berguna," ucap Mas Rahman dengan gigi yang saling bertautan.

"Kurang ajar!" 

Bugh!

Tiba-tiba Ali datang dan langsung meninju wajah Mas Rahman. Hingga Mas Rahman kembali terjungkal kearah samping, sudut bibirnya mengeluarkan darah. Melihat hal itu, Maya melepaskan cengkraman tangannya pada rambutku dan melompat kearah Ali. Karena serangan Maya yang tiba-tiba membuat Ali kewalahan, berat badan Maya yang melebihi dua kali lipat badanku membuat Ali terseok-seok.

Tapi karena Ali belajar ilmu bela diri di sekolahnya, dia bisa dengan cepat mengendalikan diri. Ditariknya tangan Maya dan dengan kuat dihentakkan tubuh Maya ke lantai.

Bugh!

Maya terkulai lemas di lantai rumah dengan wajah yang memerah, Mas Rahman dengan cepat menghampiri Maya dan menepuk-nepuk pipinya.

"Anak kurang ajar, kalau terjadi apa-apa dengan Tante Maya. Kamu harus masuk penjara," teriak Mas Rahman murka.

"Kalau begitu, sekalian saja. Tanggung kalau saya masuk penjara tapi kalian belum mati!" teriak Ali marah sambil berlari kebelakang. Dia kembali dengan membawa sebilah pisau panjang, pisau yang biasa aku gunakan untuk memotong daging.

"Aliiii!" teriakku sambil menutup mulut tidak percaya melihat kenekatan Ali yang sudah diluar batas.

"Kamu mau apa?" tanya Mas Rahman gugup saat melihat Ali membawa pisau dan menunjuk kearahnya dan Maya.

Maya masih pingsan tidak sadarkan diri, mungkin akibat dari hantaman Ali yang keras.

"Membasmi penyakit," ucap Ali sambil memainkan pisau yang dia pegang.

"Kamu mau jadi anak durhaka?" tanya Mas Rahman gagap.

"Durhaka jika berbuat jahat sama orang tua atau guru. Sedangkan kamu kan bukan Ayah saya," teriak Ali berapi-api. Ali bahkan menangis ketika mengucapkan itu, tangannya bergetar. Aku segera menghampirinya dan memeluk tubuhnya.

"Cukup, Sayang. Cukup mereka yang jahat. Jangan kita," ucapku sambil menangis.

"Tapi mereka sudah keterlaluan, Bu," jawab Ali sambil menangis.

"Ibu nggak apa-apa, Sayang. Cukup, kalau kamu masuk penjara, siapa yang akan jagain Ibu dan adik-adik?" bujukku pada Ali. Mendengar itu, Ali menjadi terdiam dan tidak mengamuk lagi seperti tadi.

"Anda tentu tidak mau mati konyol disini bukan, Tuan?" tanya Ali pada Mas Rahman yang masih terduduk di lantai memegang kepala Maya.

Mendengar itu Mas Rahman cepat menggelengkan kepalanya, sepertinya dia sangat takut pada Ali. Karena aku yakin, Mas Rahman pasti tidak akan menyangka jika Ali bisa berbuat seperti ini. Karena selama ini Ali memang anak yang pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain jika tidak perlu.

"Buk, ambilkan buku rekening," ucap Ali padaku. Aku yang paham maksudnya segera masuk kedalam kamar dan mengambil buku rekening yang dimaksudkan Ali.

"Sekarang, ambil ponse istri Anda," ucap Ali pada Mas Rahman yang masih duduk dilantai. Mendengar itu Mas Rahman bangun, dan mengambil tas Maya yang berada di sofa.

"Kirimkan uang sejumlah lima ratus juta, kedalam rekening Ibu," ucap Ali yang mampu membuatku dan Mas Rahman membulatkan mata.

"Ini namanya perampokan," teriak Mas Rahman marah. Tentu saja dia marah, karena uang tagihan rumah saja tidak sampai seperti nominal yang dikatakan oleh Ali.

"Tidak ada perampokan, karena Anda yang akan mengirimkannya dengan suka rela. Atau Anda memang mau mati konyol disini?" ancam Ali lagi dengan menodongkan pisau yang dipegangnya kearah Mas Rahman.

"I-iya. Sekarang juga Ayah transfer," ucap Mas Rahman gugup.

"Ayah saya sudah mati," ucap Ali marah.

Ting!

Satu pesan masuk kedalam ponselku, aku segara memeriksanya dan ternyata itu notifikasi dari ATM banking. Transfer sebesar lima ratus juta masuk kedalam rekeningku, bibirku mengulum senyum.

"Bagus, sekarang pergi dari sini. Cepat!" teriak Ali pada Mas Rahman yang sedamg menyimpan kembali ponsel Maya kedalam tas.

"Ta-tapi Maya belum bangun," ucap Mas Rahman melihat kearahku.

"Akan aku bangunkan," ucap Ali yang pergi lagi kebelakang dan dengan cepat kembali lagi dengan satu ember di tangannya.

Brum!

"Agghhrr…." 

Maya berteriak seperti orang kesakitan, dia terkejut karena Ali menyiramnya dengan satu ember air penuh.

"Kamu nggak apa-apa, sayang?" tanya Mas Rahman pada Maya yang terlihat basah kuyup akibat ulah Ali.

"Nggak papa apanya? Aku basah, Mas. Badanku juga rasanya remuk," rengek Maya sambil menangis dalam pelukan Mas Rahman.

"Pergi!" teriak Ali.

"Awas kamu ya. Anak kurang ajar," ucap Maya sambil bangun dipapah oleh Mas Rahman. Dia berjalan terseok-seok, dan mereka berdua langsung keluar dari rumah dan menaiki mobilnya pergi dari rumah dengan tatapan marah. Maya belum tahu perihal uang yang ditransfer oleh Mas Rahman padaku, bagaimana reaksinya jika dia tahu uangnya dipakai oleh Mas Rahman untuk membayar hutang tagihan rumah.

"Ibu, jangan lupa sucikan tempat ini. Najis mereka pasti tertinggal dilantai," ucap Ali yang langsung masuk kedalam kamar.

'Ali, kamu pelindung Ibu. Terimakasih sudah menjaga Ibu, kamu seperti bukan kamu yang Ibu kenal. Tapi kamu masih seperti Ali yang Ibu harapkan' batinku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status