Pembalasan Anak Laki-lakiku
Part 7
"Bu, ini uang yang lebih aku tarik kemarin sama Salma di ATM," ucap Ali sambil menyodorkan beberapa uang berlembaran merah. Aku refleks mengambil uang itu dan menebak jika itu uang yang dimaksud oleh Maya kemarin malam.
"Jelaskan ini uang apa?" tanyaku, padahal aku sudah tau jika ini adalah uang yang dikirimkan oleh Mas Rahman padaku. Namun aku sengaja menanyakan lagi sama Ali, aku mau ihat seberapa jujur dia.
"Itu uang yang dikirim sama Ayah ke ATM, Ibu. Sebesar lima juta, tapi waktu aku ke kota kemarin aku mengambilnya dua juta, dan itu uang lebihnya," jelasnya. Alhamdulillah, ternyata anakku jujur.
"Baiklah, Ali. Jangan ulangi lagi ya, Ibu gak mau kamu dan Salma kenapa-kenapa. Kamu tidak tau sifat asli tante Maya gimana," terangku lagi. Aku hanya khawatir dengan anak-anakku, tidak lebih. Karena aku yakin, Maya akan melakukan semua cara agar bisa membalas semuanya.
"Bu, dua bulan lagi aku lulus SMA. Jadi aku mau minta ijin, buat ke kota nyari kerja," ujar Ali yang tiba-tiba membuatku terkejut.
Deg!
'Tidak, aku tidak mau kehilangan lagi, sudah cukup aku kehilangan suami. Aku tidak mau lagi kehilangan anakku' batinku.
"Kamu kerja disini aja, Ibu akan bantu biaya hidup kita dengan kembali menjahit. Ibu yakin, langganan Ibu masih banyak yang menunggu Ibu menjahit lagi," bujukku pada Ali.
"Tidak, Bu. Ali janji, akan baik-baik saja disana. Dan Ali akan benar-benar bekerja hingga adik-adik bisa sekolah sampai sarjana, Ali mohon Bu," mohon Ali. Aku menggeleng cepat, apapun alasannya aku tetap tidak memperbolehkan Ali kesana.
"Bu, Ali mohon. Ali bisa jaga diri, kasihan adik-adik jika mereka tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Ya Buk ya? Ali mohon," pintanya lagi sambil memeluk lututku yang gemetar. Aku tarik kedua tangannya, hingga dia duduk sejajar denganku.
"Baiklah, tapi jaga diri kamu baik-baik. Selalu kasih kabar," aku akhirnya harus kembali mengalah karena keadaan.
"Terimakasih, Bu. Ali janji, akan selalu ngasih kabar ke Ibu. Juga akan jaga diri baik-baik," ucap Ali sambil mencium tanganku bertubi-tubi.
**********************
Tok Tok Tok
Beberapa kali pintu diketuk dengan keras dari luar, dan sekarang masih jam 12.30. Tidak mungkin anak-anak pulang sekolah jam segini, biasanya mereka akan pulang jam 13.00 siang. Aku sengaja memang mengunci pintu depan dan pintu samping rumah, karena beberapa hari ini penagih tunggakan rumah dari pihak bank sering kerumah. Ini sudah hampir bulan ketiga aku belum membayar tunggakan, apakah kali ini mereka juga yang datang.
Aku yang sedang menjahit, segera menghentikan aktivitasku. Aku bangun dari dudukku, dan segera menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang.
"Aini! Buka pintunya! Cepat!" teriak suara yang sangat aku kenal dari depan.
Deg!
"Astaghfirullah, seperti suaranya Mas Rahman," aku mengusap dada berkali-kali, memikirkan jawaban apa yang akan kasih kalau mereka kesini malah mau menuntut perilaku Ali dan Salma.
Biasanya ada Uwak yang selalu disini, tapi kali ini aku hanya sendiri dirumah. Karena Uwak sengaja mengajak Anto dan Mia main kerumah Pak Haji. Dirumahnya Pak Haji memang sengaja dibuka sekolah Paud bagi anak-anak kurang mampu. Jadi Anto akan kesana untuk bermain, begitupun dengan Mia. Aku juga harus menyelesaikan beberapa baju pesanan langgananku dulu.
"Aini! Buka," suara Mas Rahman kembali berteriak keras sambil menggedor-gedor pintu.
"Mungkin mereka tidak ada dirumah, Sayang," ucap Maya. Aku yang berada dibalik pintu bisa mendengar dengan jelas suara mereka yang berbicara.
Ceklek!
Aku membuka pintu, dan setelah sekian lama. Aku kembali bertemu dengan mereka, yang merebut kebahagiaanku dan anak-anakku.
"Ada perlu apa?" tanyaku pada mereka yang berdiri di depan pintu.
"Lama amat sih buka pintu aja, panas tau diluar. Ayuk, Sayang. Masuk," maki Mas Rahman padaku. Dia malah memegang tangan Maya dan mengajaknya masuk kedalam rumah.
"Eh, siapa yang suruh kalian masuk kerumah?" aku berusaha menghalang mereka agar tidak seenaknya masuk kedalam rumah.
"Ini juga rumahku, Aini," sungut Mas Rahman sambil mendorong tubuhku yang menghalanginya mereka untuk masuk. Tentu saja tenagaku kalah jauh dari Mas Rahman yang laki-laki, Maya yang melihat itu tersenyum sinis sambil menjulurkan lidahnya.
"Cantik, tapi sayang. Anjing!" ejekku saat melihat Maya menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.
"Mas, dia ngatain aku anjing," rengek Maya pada Mas Rahman, persis seperti anak kecil yang mengadu pada Ayahnya.
"Kamu jaga bicaramu pada Maya!" bentak Mas Rahman sambil menunjuk-nunjuk kearahku. Aku hanya bisa menarik nafas panjang, dan membuangnya kasar.
"Sayang, aku haus," Maya kembali merengek kehausan, sepertinya tidak sampai setahun Mas Rahman sudah menyerah dengan Maya yang manja.
"Aini, ambilkan Maya minum. Jangan lupa yang dingin," ucapnya menyuruhku mengambilkan minuman dingin untuk Maya.
"Maaf, aku bukan pembantu kalian," ucapku sambil tersenyum melihat kearah mereka. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh terlihat kalah dari Maya.
"Jangan kurang ajar kamu, Aini. Kamu jadi pembangkang sekarang?" teriak Mas Rahman yang bangun dari duduknya.
"Dengar ya, Mas. Aku sekarang bukan istri kamu lagi, jadi kamu nggak ada hak nyuruh-nyuruh aku lagi," aku membalas meneriaki Mas Rahman. Melihatku yang membantahnya dan juga berteriak padanya membuat Mas Rahman melotot tidak percaya. Mungkin dia kira selama ini aku selalu diam karena aku takut, nyatanya aku hanya tidak ingin mengingat lagi tentang dia. Aku juga tidak suka memperkeruh keadaan, karena itu akan mempengaruhi mental anak-anak.
"Kamu ingat satu hal, Mas. Ini rumahku, warisan orang tuaku. Bukan rumah mu. Sekarang pergi kalian dari sini," usirku sambil menunjuk kearah pintu keluar.
"Berani kamu ngusir aku, Aini?" bentak Mas Rahman sambil memegang tanganku yang menunjukkan jalan keluar untuk mereka. Dia meremasnya kuat dan berusaha menggiling tanganku.
"Au… Lepas Mas," aku berteriak kesakitan, tanganku yang satunya berusaha melepaskan tangan Mas Rahman.
"Ha-ha, makanya kamu jangan sok, Aini!" ejek Maya yang berdiri dibelakang Mas Rahman. Mereka berdua tertawa puas melihatku kesakitan, nyatanya tawa mereka menjadi semangat untukku untuk bangkit.
Bugh!
Aku menendang kuat Mas Rahman pada bagian sensitifnya, hingga dia terjungkal kebelakang bersama gundiknya itu.
"Au… Mas, tolong aku, Mas!" teriak Maya kesakitan karena sekarang tubuh Mas Rahman malah menimpa tubuhnya. Aku tersenyum puas melihat kondisi mereka sekarang.
"Mas nggak bisa bangun lagi, tolong. Rasnya sangat nyeri," ucap Mas Rahman meringis kesakitan sambil memegang area sensitifnya. Maya bangun dan menggeser tubuh Mas Rahman, lalu dia pun berdiri dan dengan susah payah menarik tangan Mas Rahman agar bisa duduk di sofa.
"Kurang ajar kamu, Aini. Dasar janda miskin!" teriak Maya marah dan menjambak rambutku dengan kuat. Aku kembali meringis kesakitan akibat ulahnya itu. Berkali-kali aku ingin melepaskan tangannya dari rambutku, tapi malah semakin kuat cengkraman tangannya.
"Ha-ha, bagus Sayang. Dia memang harus diberi pelajaran," ejek Mas Rahman yang duduk di sofa sambil tertawa melihat Maya menjambak rambutku.
"Dia memang harus diberi pelajaran, Mas. Karena dia sudah gagal mendidik anak-anaknya, hingga mereka melukai kita," sungut Maya kesal.
"Mereka seperti itu karena didikan orang tidak bermoral yang sudah menjadi suamimu," ejekku tersenyum walaupun aku sekarang merasa kesakitan.
"Mereka bukan anak-anakku lagi," teriak Mas Rahman yang kembali bangun dari duduknya.
"Kamu, dan mereka. Hanya beban dalam hidupku, masa depanku menjadi hilang karena harus banting tulang menghidupi kalian," maki Mas Rahman yang sekarang memegang kerah bajuku.
"Dulu aku pikir menikah muda bisa membuatku bahagia, tapi nyatanya malah menderita dalam kemiskinan," lanjut Mas Rahman yang sekarang malah mencekik leherku.
"Kalian memang tidak berguna," ucap Mas Rahman dengan gigi yang saling bertautan.
"Kurang ajar!"
Bugh!
Tiba-tiba Ali datang dan langsung meninju wajah Mas Rahman. Hingga Mas Rahman kembali terjungkal kearah samping, sudut bibirnya mengeluarkan darah. Melihat hal itu, Maya melepaskan cengkraman tangannya pada rambutku dan melompat kearah Ali. Karena serangan Maya yang tiba-tiba membuat Ali kewalahan, berat badan Maya yang melebihi dua kali lipat badanku membuat Ali terseok-seok.
Tapi karena Ali belajar ilmu bela diri di sekolahnya, dia bisa dengan cepat mengendalikan diri. Ditariknya tangan Maya dan dengan kuat dihentakkan tubuh Maya ke lantai.
Bugh!
Maya terkulai lemas di lantai rumah dengan wajah yang memerah, Mas Rahman dengan cepat menghampiri Maya dan menepuk-nepuk pipinya.
"Anak kurang ajar, kalau terjadi apa-apa dengan Tante Maya. Kamu harus masuk penjara," teriak Mas Rahman murka.
"Kalau begitu, sekalian saja. Tanggung kalau saya masuk penjara tapi kalian belum mati!" teriak Ali marah sambil berlari kebelakang. Dia kembali dengan membawa sebilah pisau panjang, pisau yang biasa aku gunakan untuk memotong daging.
"Aliiii!" teriakku sambil menutup mulut tidak percaya melihat kenekatan Ali yang sudah diluar batas.
"Kamu mau apa?" tanya Mas Rahman gugup saat melihat Ali membawa pisau dan menunjuk kearahnya dan Maya.
Maya masih pingsan tidak sadarkan diri, mungkin akibat dari hantaman Ali yang keras.
"Membasmi penyakit," ucap Ali sambil memainkan pisau yang dia pegang.
"Kamu mau jadi anak durhaka?" tanya Mas Rahman gagap.
"Durhaka jika berbuat jahat sama orang tua atau guru. Sedangkan kamu kan bukan Ayah saya," teriak Ali berapi-api. Ali bahkan menangis ketika mengucapkan itu, tangannya bergetar. Aku segera menghampirinya dan memeluk tubuhnya.
"Cukup, Sayang. Cukup mereka yang jahat. Jangan kita," ucapku sambil menangis.
"Tapi mereka sudah keterlaluan, Bu," jawab Ali sambil menangis.
"Ibu nggak apa-apa, Sayang. Cukup, kalau kamu masuk penjara, siapa yang akan jagain Ibu dan adik-adik?" bujukku pada Ali. Mendengar itu, Ali menjadi terdiam dan tidak mengamuk lagi seperti tadi.
"Anda tentu tidak mau mati konyol disini bukan, Tuan?" tanya Ali pada Mas Rahman yang masih terduduk di lantai memegang kepala Maya.
Mendengar itu Mas Rahman cepat menggelengkan kepalanya, sepertinya dia sangat takut pada Ali. Karena aku yakin, Mas Rahman pasti tidak akan menyangka jika Ali bisa berbuat seperti ini. Karena selama ini Ali memang anak yang pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain jika tidak perlu.
"Buk, ambilkan buku rekening," ucap Ali padaku. Aku yang paham maksudnya segera masuk kedalam kamar dan mengambil buku rekening yang dimaksudkan Ali.
"Sekarang, ambil ponse istri Anda," ucap Ali pada Mas Rahman yang masih duduk dilantai. Mendengar itu Mas Rahman bangun, dan mengambil tas Maya yang berada di sofa.
"Kirimkan uang sejumlah lima ratus juta, kedalam rekening Ibu," ucap Ali yang mampu membuatku dan Mas Rahman membulatkan mata.
"Ini namanya perampokan," teriak Mas Rahman marah. Tentu saja dia marah, karena uang tagihan rumah saja tidak sampai seperti nominal yang dikatakan oleh Ali.
"Tidak ada perampokan, karena Anda yang akan mengirimkannya dengan suka rela. Atau Anda memang mau mati konyol disini?" ancam Ali lagi dengan menodongkan pisau yang dipegangnya kearah Mas Rahman.
"I-iya. Sekarang juga Ayah transfer," ucap Mas Rahman gugup.
"Ayah saya sudah mati," ucap Ali marah.
Ting!
Satu pesan masuk kedalam ponselku, aku segara memeriksanya dan ternyata itu notifikasi dari ATM banking. Transfer sebesar lima ratus juta masuk kedalam rekeningku, bibirku mengulum senyum.
"Bagus, sekarang pergi dari sini. Cepat!" teriak Ali pada Mas Rahman yang sedamg menyimpan kembali ponsel Maya kedalam tas.
"Ta-tapi Maya belum bangun," ucap Mas Rahman melihat kearahku.
"Akan aku bangunkan," ucap Ali yang pergi lagi kebelakang dan dengan cepat kembali lagi dengan satu ember di tangannya.
Brum!
"Agghhrr…."
Maya berteriak seperti orang kesakitan, dia terkejut karena Ali menyiramnya dengan satu ember air penuh.
"Kamu nggak apa-apa, sayang?" tanya Mas Rahman pada Maya yang terlihat basah kuyup akibat ulah Ali.
"Nggak papa apanya? Aku basah, Mas. Badanku juga rasanya remuk," rengek Maya sambil menangis dalam pelukan Mas Rahman.
"Pergi!" teriak Ali.
"Awas kamu ya. Anak kurang ajar," ucap Maya sambil bangun dipapah oleh Mas Rahman. Dia berjalan terseok-seok, dan mereka berdua langsung keluar dari rumah dan menaiki mobilnya pergi dari rumah dengan tatapan marah. Maya belum tahu perihal uang yang ditransfer oleh Mas Rahman padaku, bagaimana reaksinya jika dia tahu uangnya dipakai oleh Mas Rahman untuk membayar hutang tagihan rumah.
"Ibu, jangan lupa sucikan tempat ini. Najis mereka pasti tertinggal dilantai," ucap Ali yang langsung masuk kedalam kamar.
'Ali, kamu pelindung Ibu. Terimakasih sudah menjaga Ibu, kamu seperti bukan kamu yang Ibu kenal. Tapi kamu masih seperti Ali yang Ibu harapkan' batinku.
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 8Pov Maya"Kamu gila atau bodoh sih, Mas? Kamu sadar gak udah ngambil duit aku sebesar lima ratus juta! Lima ratus juta!" teriakku pada Mas Rahman yang sedang menyetir mobil. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang ke kota, aku pikir hari ini aku akan mendapatkan tontonan gratis. Ternyata aku yang malah jadi tontonan si Aini dan anaknya yang kurang ajar itu."Jadi mau gimana lagi, Sayang. Mereka ngancamnya pakai pisau," elak Mas Rahman dengan wajah lesu. Aku sungguh muak melihat wajahnya seperti ini, dulu sebelum aku bisa merebutnya dari Aini wajahnya yang sangat tampan dan berwibawa. Sekarang entah mengapa, setelah menjadi suamiku seutuhnya wajahnya malah seperti pengemis di jalanan."Kamu kan bisa melawan, setidaknya jangan gegabah. Emangnya kamu bisa ganti uangku lima ratus juta, hah!" makiku kesal. Mas Rahman menggelengkan kepalanya, dasar tidak berguna."Kamu tahu kan? Anakku Yudha lagi butuh uang buat kuliah bulan depan? Gila kamu Mas!" aku
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 9Aku pernah berada dititik terendah dalam hidup, aku menangis dan meraung meratapi nasib. Tapi setelah itu, Allah juga pernah memberikan aku kebahagiaan sehingga aku lupa bagaimana rasanya sedih. Semua orang memiliki masa lalu, tapi tidak semua orang bisa belajar dari itu. Banyak orang yang hilang kendali dalam mencintai, sehingga ketika hati dilukai, hilang sudah hidup yang berarti. Dan pada akhirnya, sakit hati tidak mengajarkan kita untuk berhenti berharap. Namun sakit hati akan mengajarkan kita untuk tidak terlalu menaruh harapan.Karena luka yang paling sakit adalah ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.Seperti diriku saat ini yang melihat pantulan diriku di cermin. Wajah kusam ini dulu pernah mulus dan putih, tubuh kurus ini, dulu pernah menjadi dambaan setiap pria. Tidak, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Rahman. Bukan karena aku masih mencintainya, melainkan karena aku sudah memiliki mereka y
Aku kembali menatapnya tajam, dan melangkahkan kaki menuju Uwak yang mungkin sudah menungguku dari tadi."Kamu darimana saja, ini Anto rewel," ucap Uwak lalu memberikan Anto padaku. Sedangkan Mia, aku turunkan dan di gandeng oleh Uwak."Nyari Mia, dia mainnya jauh banget tadi," jawabku menjelaskan. Tidak mungkin aku mengatakan jika aku kembali bertemu dengan Handoko, bisa-bisa Uwak akan mencari dan mengajaknya kerumah. Wajar, selain dekat dengan Ibu dan Ayah, Handoko juga sangat dekat dengan Uwak. Karena Uwak dulu ikut tinggal dengan Ibu setelah nenek meninggal. Jadi setiap kali Handoko datang kerumah, dia selalu membawa makanan kesukaan Uwak."Kamu kenapa melamun?" tanya Uwak sambil menepuk bahuku."Eh, nggak. Aku cuma lagu bayangin aja, gimana kalau uang lebihnya kita jadikan moda untuk membuka butik sendiri sekaligus membuka les privat menjahit?" jelasku pada Uwak. Padahal aku berbohong, bukan itu yang ada dalam pikiranku tadi."Wah, ide bagus. Kamu memang ingat, Aini. Pantas saja
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 10Tidak terasa dua bulan itu telah berlalu, aku selalu menghitung hari, akhirnya Ali lulus. Sesuai dengan keinginannya, dia akan berangkat ke kota setelah lulus. Sayang, anakku. Seharusnya kamu sedang menikmati masa mudamu yang indah. Seperti teman-temanmu yang lain, merajut mimpi meraih cita-cita. Tapi sekarang kamu malah harus mengambil alih tanggung jawab ayahmu. Sekarang, tongkat estafetnya ada di tanganmu. Kamu yang akan mengendalikan sekarang, Ibu hanya bisa membimbing."Buk, bantuin Ali berkemas ya. Katanya Om Handoko akan menjemput besok," ucap Ali saat aku sedang melamun di depan mesin jahit."Oh, iya sayang. Nanti Ibu akan lihat apa-apa saja yang harus kamu bawa," jawabku sambil menghapus air mata yang masih membasahi pipi."Ibu, menangis?" tanya Ali menghampiriku, segera aku berpaling kearah lain. Agar dia tidak melihat kesedihan yang mendalam di wajahku."Nggak, Ibu cuma lagi pilek aja," jawabku memberi alasan, jujur, aku tidak bisa melepa
"Yuk, Buk. Anterin Ali, Ali juga mau pamitan sama adik-adik," ajak Ali sambil memakai tas ranselnya juga menjinjing satu tas lagi berisi pakaiannya. Aku juga memberikan Ali sedikit uang pegangan selama disana, walaupun dia bersikeras menolaknya tetap aku selipkan uang itu kedalam tasnya.Kami pergi menuju ruang tengah, disana anak-anak sedang menonton TV disaluran kesayangan mereka. Mereka melihatku dan Ali secara bergantian, mungkin mereka bingung Abangnya mau kemana. Padahal kemarin-kemarin sudah aku jelaskan pada mereka jika Ali akan pergi ke kota untuk bekerja."Abang, mau kemana?" tanya Mia pada Ali. Dia bahkan bangun dari duduknya, dan merentangkan kedua tangannya pada Ali untuk meminta digendong. Dengan sigap Ali menggendong adiknya itu, Ali yang penyayang."Abang mau pergi sebentar ya, Mia jangan nakal-nakal ya kalau nggak ada Abang," ucap Ali sambil mencium pipi Mia berkali-kali."Abang mau kemana?" tanya Mia dengan suara bergetar dan matanya yang mulai berembun."Abang mau b
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 11Pov AliAkhirnya setelah perjalanan yang melelahkan aku sampai juga di Ibukota. Saat ini aku sudah berada dirumahnya Om Handoko, teman Ibu. Disini hanya ada aku dan Handoko juga beberapa pembantu, katanya ada anak Om Handoko juga yang tinggal disini. Laki-laki seumuran denganku, tapi saat ini aku belum melihatnya, karena katanya dia lagi sibuk mengurus keperluan untuk melanjutkan kuliah."Huufttt…."Aku meletakkan tas ranselku di lantai, dan merebahkan tubuh diatas kasur yang empuk. Kamar ini sangat bagus dan besar, tapi tetap saja aku merasa asing. Aku menatap langit-langit kamar yang bercat putih dan abu-abu tua. Mengenang semua mimpi juga impian yang pernah aku dambakan. Dulu, aku ingin sekali menjadi seorang mekanik yang handal. Memperbaiki semua mesin yang rusak, dan membantu sesama manusia.Tapi mimpiku kini telah sirna bersama waktu, melebur menjadi kepingan yang harus ku kubur dalam. Aku mengusap wajah dengan kasar, bangun Ali, kamu kesini b
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di perusahaannya Om Handoko, aku pergi menggunakan sepeda motor yang dibelikan untukku. Aku sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan bekerja dan juga bersyukur karena bisa dipertemukan dengan Om Handoko. Dari kemarin aku belum sempat berkenalan dengan anaknya, karena aku berangkat lebih pagi jadi mungkin anaknya Om Handoko belum bangun.Aku harus berangkat lebih pagi, karena jujur aku tidak tau dimana letak kantor tempatku bekerja. Aku hanya mengandalkan maps di ponselku, aku ketik sesuai alamat yang di berikan oleh Om Handoko.Sudah dua puluh menit aku berkeliling, tapi sayangnya aku belum juga bisa menemukan alamat yang tepat. Aku memutuskan untuk bertanya pada salah satu penjual yang ada di daerah ini."Maaf Mas, permisi saya mau nanya alamat," ucapku sambil tersenyum pada salah satu penjual minyak eceran disamping jalan."Iya, Mas. Silahkan.""Mas, tau alamat ini nggak?" tanyaku. Kemudian dia menjelaskan jika alamat inj ternyata tidak jauh
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 12Pov Rahman"Maya, kamu nggak masak?" tanyaku pada Maya yang sedang asyik menonton film kesayangannya di ponsel."Hhmm…." sahut Maya hanya dengan berdehem. Malas sekali rasanya jika harus ribut dengannya siang-siang begini."Maya, aku ngomong sama kamu," bentakku dengan merampas ponsel miliknya."Kamu apa-apaan sih, balikin nggak ponselku," sungut Maya kesal karena aku mengambil ponselnya secara paksa. Lagian salah sendiri, kenapa dia tidak menjawab pertanyaanku tadi. Malah asik dengan ponselnya."Nggak, makanya kalau suami ngomong itu dijawab," ketusku."Suami kayak kamu itu nggak guna, ngapain harus aku jawab," maki Maya dengan menaikkan satu oktaf suaranya. Semenjak kejadian aku mentransfer uang sebesar lima ratus juta pada Aini waktu itu, sikap Maya jadi berubah total. Dia masih saja menuduhku jika aku sengaja mengirimkan uang sebesar itu untuk Aini dan anak-anakku disana. Padahal aku memang sangat terpaksa waktu itu, Ali yang aku kenal sebagai a