Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 9Aku pernah berada dititik terendah dalam hidup, aku menangis dan meraung meratapi nasib. Tapi setelah itu, Allah juga pernah memberikan aku kebahagiaan sehingga aku lupa bagaimana rasanya sedih. Semua orang memiliki masa lalu, tapi tidak semua orang bisa belajar dari itu. Banyak orang yang hilang kendali dalam mencintai, sehingga ketika hati dilukai, hilang sudah hidup yang berarti. Dan pada akhirnya, sakit hati tidak mengajarkan kita untuk berhenti berharap. Namun sakit hati akan mengajarkan kita untuk tidak terlalu menaruh harapan.Karena luka yang paling sakit adalah ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.Seperti diriku saat ini yang melihat pantulan diriku di cermin. Wajah kusam ini dulu pernah mulus dan putih, tubuh kurus ini, dulu pernah menjadi dambaan setiap pria. Tidak, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Rahman. Bukan karena aku masih mencintainya, melainkan karena aku sudah memiliki mereka y
Aku kembali menatapnya tajam, dan melangkahkan kaki menuju Uwak yang mungkin sudah menungguku dari tadi."Kamu darimana saja, ini Anto rewel," ucap Uwak lalu memberikan Anto padaku. Sedangkan Mia, aku turunkan dan di gandeng oleh Uwak."Nyari Mia, dia mainnya jauh banget tadi," jawabku menjelaskan. Tidak mungkin aku mengatakan jika aku kembali bertemu dengan Handoko, bisa-bisa Uwak akan mencari dan mengajaknya kerumah. Wajar, selain dekat dengan Ibu dan Ayah, Handoko juga sangat dekat dengan Uwak. Karena Uwak dulu ikut tinggal dengan Ibu setelah nenek meninggal. Jadi setiap kali Handoko datang kerumah, dia selalu membawa makanan kesukaan Uwak."Kamu kenapa melamun?" tanya Uwak sambil menepuk bahuku."Eh, nggak. Aku cuma lagu bayangin aja, gimana kalau uang lebihnya kita jadikan moda untuk membuka butik sendiri sekaligus membuka les privat menjahit?" jelasku pada Uwak. Padahal aku berbohong, bukan itu yang ada dalam pikiranku tadi."Wah, ide bagus. Kamu memang ingat, Aini. Pantas saja
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 10Tidak terasa dua bulan itu telah berlalu, aku selalu menghitung hari, akhirnya Ali lulus. Sesuai dengan keinginannya, dia akan berangkat ke kota setelah lulus. Sayang, anakku. Seharusnya kamu sedang menikmati masa mudamu yang indah. Seperti teman-temanmu yang lain, merajut mimpi meraih cita-cita. Tapi sekarang kamu malah harus mengambil alih tanggung jawab ayahmu. Sekarang, tongkat estafetnya ada di tanganmu. Kamu yang akan mengendalikan sekarang, Ibu hanya bisa membimbing."Buk, bantuin Ali berkemas ya. Katanya Om Handoko akan menjemput besok," ucap Ali saat aku sedang melamun di depan mesin jahit."Oh, iya sayang. Nanti Ibu akan lihat apa-apa saja yang harus kamu bawa," jawabku sambil menghapus air mata yang masih membasahi pipi."Ibu, menangis?" tanya Ali menghampiriku, segera aku berpaling kearah lain. Agar dia tidak melihat kesedihan yang mendalam di wajahku."Nggak, Ibu cuma lagi pilek aja," jawabku memberi alasan, jujur, aku tidak bisa melepa
"Yuk, Buk. Anterin Ali, Ali juga mau pamitan sama adik-adik," ajak Ali sambil memakai tas ranselnya juga menjinjing satu tas lagi berisi pakaiannya. Aku juga memberikan Ali sedikit uang pegangan selama disana, walaupun dia bersikeras menolaknya tetap aku selipkan uang itu kedalam tasnya.Kami pergi menuju ruang tengah, disana anak-anak sedang menonton TV disaluran kesayangan mereka. Mereka melihatku dan Ali secara bergantian, mungkin mereka bingung Abangnya mau kemana. Padahal kemarin-kemarin sudah aku jelaskan pada mereka jika Ali akan pergi ke kota untuk bekerja."Abang, mau kemana?" tanya Mia pada Ali. Dia bahkan bangun dari duduknya, dan merentangkan kedua tangannya pada Ali untuk meminta digendong. Dengan sigap Ali menggendong adiknya itu, Ali yang penyayang."Abang mau pergi sebentar ya, Mia jangan nakal-nakal ya kalau nggak ada Abang," ucap Ali sambil mencium pipi Mia berkali-kali."Abang mau kemana?" tanya Mia dengan suara bergetar dan matanya yang mulai berembun."Abang mau b
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 11Pov AliAkhirnya setelah perjalanan yang melelahkan aku sampai juga di Ibukota. Saat ini aku sudah berada dirumahnya Om Handoko, teman Ibu. Disini hanya ada aku dan Handoko juga beberapa pembantu, katanya ada anak Om Handoko juga yang tinggal disini. Laki-laki seumuran denganku, tapi saat ini aku belum melihatnya, karena katanya dia lagi sibuk mengurus keperluan untuk melanjutkan kuliah."Huufttt…."Aku meletakkan tas ranselku di lantai, dan merebahkan tubuh diatas kasur yang empuk. Kamar ini sangat bagus dan besar, tapi tetap saja aku merasa asing. Aku menatap langit-langit kamar yang bercat putih dan abu-abu tua. Mengenang semua mimpi juga impian yang pernah aku dambakan. Dulu, aku ingin sekali menjadi seorang mekanik yang handal. Memperbaiki semua mesin yang rusak, dan membantu sesama manusia.Tapi mimpiku kini telah sirna bersama waktu, melebur menjadi kepingan yang harus ku kubur dalam. Aku mengusap wajah dengan kasar, bangun Ali, kamu kesini b
Hari ini adalah hari pertamaku bekerja di perusahaannya Om Handoko, aku pergi menggunakan sepeda motor yang dibelikan untukku. Aku sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan bekerja dan juga bersyukur karena bisa dipertemukan dengan Om Handoko. Dari kemarin aku belum sempat berkenalan dengan anaknya, karena aku berangkat lebih pagi jadi mungkin anaknya Om Handoko belum bangun.Aku harus berangkat lebih pagi, karena jujur aku tidak tau dimana letak kantor tempatku bekerja. Aku hanya mengandalkan maps di ponselku, aku ketik sesuai alamat yang di berikan oleh Om Handoko.Sudah dua puluh menit aku berkeliling, tapi sayangnya aku belum juga bisa menemukan alamat yang tepat. Aku memutuskan untuk bertanya pada salah satu penjual yang ada di daerah ini."Maaf Mas, permisi saya mau nanya alamat," ucapku sambil tersenyum pada salah satu penjual minyak eceran disamping jalan."Iya, Mas. Silahkan.""Mas, tau alamat ini nggak?" tanyaku. Kemudian dia menjelaskan jika alamat inj ternyata tidak jauh
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 12Pov Rahman"Maya, kamu nggak masak?" tanyaku pada Maya yang sedang asyik menonton film kesayangannya di ponsel."Hhmm…." sahut Maya hanya dengan berdehem. Malas sekali rasanya jika harus ribut dengannya siang-siang begini."Maya, aku ngomong sama kamu," bentakku dengan merampas ponsel miliknya."Kamu apa-apaan sih, balikin nggak ponselku," sungut Maya kesal karena aku mengambil ponselnya secara paksa. Lagian salah sendiri, kenapa dia tidak menjawab pertanyaanku tadi. Malah asik dengan ponselnya."Nggak, makanya kalau suami ngomong itu dijawab," ketusku."Suami kayak kamu itu nggak guna, ngapain harus aku jawab," maki Maya dengan menaikkan satu oktaf suaranya. Semenjak kejadian aku mentransfer uang sebesar lima ratus juta pada Aini waktu itu, sikap Maya jadi berubah total. Dia masih saja menuduhku jika aku sengaja mengirimkan uang sebesar itu untuk Aini dan anak-anakku disana. Padahal aku memang sangat terpaksa waktu itu, Ali yang aku kenal sebagai a
Pembalasan Anak Laki-lakikuKadang, aku sangat pusing dengan sikapnya yang angkuh juga keras kepala. Lebih baik memang aku bekerja lagi sesuai dengan permintaannya, siapa tau jika aku sudah bekerja lagi sifat Maya kembali baik.******************"Mana berkas lamaran kamu, Mas? Aku mau berangkat ini," tanya Maya saat aku sedang sarapan. Semenjak menikah dengan Maya, aku selalu sarapan dengan roti. Padahal aku sudah terbiasa sarapan menggunakan nasi, jika tidak maka lambungku akan kambuh. Percuma aku makan banyak roti, tetap saja aku tidak kenyang."Ada tuh, di atas meja dekat TV. Tunggu, aku juga ikut ya," ucapku, dengan cepat aku menghabiskan roti yang sudah aku olesi dengan selai."Nggak usah, kamu tunggu aja dirumah. Aku jamin, kamu bakalan diterima kok," jawab Maya. Padahal aku sudah siap dengan baju kantoran."Bukankah melamar kerja itu minimalnya ada wawancara ya," tanyaku pada Maya. Aku penasaran, teman seperti apa yang bisa membantuku diterima sebagai karyawan tanpa wawancara.