Share

Ancaman Ali

Pembalasan Anak Laki-lakiku

Part 6

"Gimana, Aini? Udah ada kabar dari Salma atau Ali?" tanya Uwak saat aku sedang duduk di depan teras menunggu kepulangan kedua anakku. Dengan memangku Anto yang masih kecil, aku menunggu dengan cemas Salam dan Ali.

Sudah hampir magrib, tapi mereka belum juga kembali. Ada begitu banyak hal yang mau kutanyakan pada mereka berdua.

"Belum, Wak. Apa sebaiknya aku nyusul aja ya kesekolah?" aku menanyakan pendapat Uwak, karena sebelumnya tidak pernah Ali maupun Salma pulang terlambat, apalagi jika sampai magrib begini.

"Boleh, sini biar Anto sama Uwak aja. Kamu cepetan nyusul kesekolah," ujar Uwak sambil mengambil alih Anto dari pangkuanku.

"Assalamualaikum…."

Tiba-tiba saja Ali dan Salma sudah kembali menggunakan sepedanya, aku menghentikan aktivitasku yang sedang mengeluarkan motor.

"Waalaikumsalam," jawabku lirih.

"Kalian dari mana saja? Ibu khawatir," tanyaku pada mereka yang sedang memasukkan sepedanya kedalam garasi samping rumah.

"Tadi pagi kan kami udah ijin, kalau pulang telat karena ada pelajaran tambahan," jawab Ali sambil meraih tanganku untuk diciuminya. Diikuti dengan Salma, kemudian mereka berdua beralih ke Uwak yang berdiri di pintu.

"I-Ibu, lupa," gagapku sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Padahal mereka sudah minta ijin tadi pagi padaku untuk mengikuti pelajaran tambahan, mungkin karena aku sedang banyak pikiran makanya aku sering lupa.

"Kami masuk dulu ya, Bu. Mau mandi," pamit Salma yang berjalan masuk kedalam rumah serta di ikuti oleh Ali dari belakang.

"Jangan lupa langsung wudhu dan shalat," ujarku ketika mereka masih belum jauh masuk kedalam rumah.

*********************

Setelah makan malam selesai, aku langsung menyuruh anak-anak untuk tidur. Dan bagi mereka yang sudah sekolah aku suruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Aku memilih kekamar untuk menidurkan Anto, agar aku bisa cepat ke kamar Salma, untuk menanyakan perihal ATM yang hilang.

Ting !

Satu pesan masuk pada ponsel milikku, segera aku menyambar ponsel yang terletak di atas tempat tidur.

[Ini ulah anakmu, kalian akan menerima pembalasan yang lebih dari ini!]

Nomor tidak dikenal, aku yakin jika ini nomornya Maya. Tapi kenapa dia mengirimkan aku foto tubuhnya yang seperti terkena cakaran ayam, dan juga seperti bentol-bentol merah di seluruh tubuhnya. Dan apa hubungannya dengan anak-anakku. Aku memilih mengabaikan pesan darinya, malas sekali rasanya masih berurusan dengan mereka.

Ting !

Ting !

Ting !

Baru saja aku meletakkan ponsel, kembali lagi dia mengirimkan beberapa pesan beruntun. Aku segera membukanya karena memang penasaran dengan pesan apalagi yang dia kirim untukku.

[Aku akan pulang besok, pastikan anak-anak di rumah. Akan aku beri mereka pelajaran, agar mereka punya akhlak dan sopan santun]

Satu pesan teks yang aku terima, dan dua lagi foto tubuh Mas Rahman yang kondisinya sama dengan Maya. Aku sangat bingung apa yang terjadi sebenarnya, karena tadi yang pulang terlambat hanya Salma dan Ali. Apakah mereka berbohong dengan mengatakan bahwa mengikuti pelajaran tambahan, tapi nyatanya malah ke kota? Batinku bergejolak hebat, aku harus memastikannya sendiri.

Bergegas aku kekamar Salma, terlihat dia sedang menyiapkan beberapa buku untuk dibawanya besok ke sekolah.

"Salma, setelah selesai menyiapkan buku untuk besok. Segera ke ruang keluarga, jangan lupa ajak Bang Ali," ucapku ketika sudah di depan pintu kamarnya yang terbuka.

"I-iya, Bu," jawabannya gagap. Bahkan raut wajahnya berubah pucat, apakah benar itu perbuatan mereka.

Aku menunggu sekitar lima menit, kemudian Salma dan Ali datang diikuti oleh Nanda dan Lukman. Padahal aku hanya menyuruh Salma memanggil Ali, apa ini juga bagian dari rencana mereka.

"Duduk, Ibu mau bicara," ucapku pada mereka. Kemudian mereka duduk berhadapan denganku, wajah mereka terlihat tegang dan tidak ada yang berani bicara.

"Ali, Salma. Jujur sama Ibu tadi kalian kemana?" tanyaku pada mereka berdua. Salma terlihat menundukkan wajahnya, aku tahu mereka sedang menyembunyikan sesuatu dariku.

"Kami tadi kerumah Ayah dan wanita itu," jawab Ali lirih hampir tidak terdengar.

"Astaghfirullah, ngapain kalian kesana?" tanyaku tidak percaya sama pernyataan mereka. Tidak pernah sekalipun mereka berbohong, tapi mengapa kali ini harus membohongiku.

"Kalian tidak tau bahayanya kalian kesana? Kalau kalian di apa-apain sama istri Ayah kalian gimana?" isakku, aku hanya khawatir tentang keadaan mereka. Aku takut perasaan mereka terluka jika Ayahnya lebih membela Maya daripada anaknya sendiri.

"Kami baik-baik saja, Bu. Buktinya kami pulang dengan selamat, dan tidak kekurangan satu apapun," tegas Ali lagi.

Aku yang mendengarnya hanya bisa terdiam, tidak tau harus berkata apalagi.

"Sekarang, Ibu jelaskan pada kami semua. Biar Nanda juga Lukman tau yang sebenarnya, karena kami sudah besar, Bu," ucap Ali padaku. Sekarang semua mata tertuju padaku, Lukman dan Nanda juga melihatku dengan tatapan penuh harap agar aku bisa menjelaskan semuanya. Benar, mereka memang sudah besar, sudah seharusnya aku mengatakan yang sebenarnya. Aku tidak bisa menutupinya lagi, aku juga tidak bisa menanggungnya seorang diri.

"Baiklah, sekarang dengarkan Ibu," aku menarik nafas panjang dan melepaskan dengan kasar.

"Ayah kalian, sudah menikah lagi. Dan mereka sekarang tinggal di kota," jelasku dengan dada yang terasa berat. Aku tidak sanggup melanjutkan ceritaku lagi.

"Dan sekarang, Ayah lebih memilih wanita itu. Dan menyuruh kita untuk melupakan semua tentang Ayah. Dia sudah tidak menganggap kita lagi," tandas Ali dengan suara berat. Wajahnya memerah, aku tau dia sedang menanggung beban yang sama denganku. Aku terisak dalam pelukan Salma, kami sekarang bagai dalam perahu yang ditinggalkan nahkoda.

"Maafkan kami, Ibu. Kami hanya ingin membalaskan sakit hati yang Ibu rasakan," ucap Salma dengan suara bergetar.

"Ibu bukan mengkhawatirkan mereka, Ibu mengkhawatirkan kalian. Anak Ibu," isakku dengan memegang kedua pipi Salma yang basah dengan air mata.

"Jadi sekarang kami sudah tidak punya Ayah?" tanya Nanda.

"Iya, selamanya," pungkas Ali marah.

"Jangan begitu, Sayang. Sampai kapanpun dia tetap Ayah kalian," imbuhku dengan membelai rambut Ali.

"Tidak, kami sudah tidak punya ayah lagi," bentak Ali seraya menangkis tanganku.

"Ibu, dengar. Kita sekarang akan hidup tanpa Ayah," ucap Ali padaku.

"Tapi, sebentar lagi kita juga akan segera pindah dari rumah ini. Karena sebelum pergi ke kota, Ayah kalian sudah menghadapi rumah ini untuk modal usahanya," ucapku sambil menangis.

Setelah ucapanku itu, mereka semua terdiam. Seolah tidak ada satu orang pun ada disini. Kami semua sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku tau, tidak seharusnya mereka memikirkan masalah seberat ini, tapi aku harus memberitahukan mereka sebelum rumah ini di segel. Karena sudah dua bulan aku belum membayar tunggakan, dan jika bukan ketiga aku juga belum bisa membayar tunggakan. Maka rumah ini akan disita oleh B*nk.

Kring…Kring…Kring….

Suara ponselku berdering memecahkan kesunyian diantara kami, aku mengambil ponsel dan melihat siapa yang menelepon malam-malam begini.

"Siapa?" tanya Ali penasaran.

"Ayah," jawab Salma yang memang bisa melihat ke layar ponselku.

"Sini, Bu. Biar Ali saja yang bicara," ucap Ali merampas ponsel yang sedang aku pegang.

"Ingat, Ali. Ayah kalian sedang marah karena kalian mengeroyok istrinya," ucapku memperingatkan Ali. Namun, sepertinya percuma, Ali sama kerasnya dengan Mas Rahman.

"Halo, Aini. Kamu sengaja ya nyuruh anakmu untuk nyelakain Maya?" teriak Mas Rahman saat Ali menggeser tombol hijau yang ada di layar ponselku.

"Apakah sopan santun Anda sudah hilang? Kalau mau mulai bicara itu jangan lupa ucapkan salam," ejek Ali dengan seringainya yang menurutku mengerikan. Dia anak yang pendiam, tidak banyak cerita kalau bukan dengan Salma. Aku tidak pernah melihat Ali marah atau kasar, baru malam ini aku tau bagaimana marahnya orang pendiam.

"Kamu, siapa yang berani-beraninya mengejek Ayah?" ujar Mas Rahman dengan suara yang keras.

"Ayah? Maaf, Ayah kami sudah mati," ucap Ali lagi. Suaranya memang terdengar santai, tapi tangannya mengepal kuat.

"Bagus kalau kalian sudah mengerti dan tau semuanya, jangan pernah ganggu lagi kehidupannya kami. Karena saya sudah tidak butuh kalian lagi," hardik Mas Rahman dengan pongah. Ya Allah, teganya dia mengatakan itu pada darah dagingnya sendiri. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri, air mataku terus saja keluar tanpa henti. Kamu benar-benar sudah berubah Mas, batinku menjerit.

"Oke, tapi tolong bayar semua hutang yang sudah Anda tinggalkan untuk kami," desak Ali. Aku tau maksud Ali, dia ingin menyuruh Mas Rahman membayar semua tunggakan rumah yang sudah dia gadaikan.

"Ha-ha-ha, hutang yang mana? Kalian bayar sendiri, kalau tidak sanggup bayar ya pindah. Gampang kan?" timbrung Maya dengan suara tawanya yang menggema.

"Kalau kalian tidak mau bayar ya tidak apa-apa. Siap-siap saja terkenal dan dipecat dari pekerjaan Anda, nyonya pelakor," lanjut Ali.

"Heh anak kecil, kamu jangan macam-macam ya!" teriak Maya yang suaranya terdengar khawatir.

"Bayar hutang suami Anda, atau saya akan membuat anak kesayangan Anda malu karena memiliki Ibu seorang pelakor," gertak Ali lagi. Dia segera mematikan sambungan telepon, dan meletakkan ponsel di atas sofa. Wajahnya memerah dengan nafas yang memburu, dia sangat tidak terkendali sekarang.

'Astagfirullah' batinku. Aku bagai melihat orang lain dalam diri Ali, tidak pernah sekalipun aku melihat dia seperti ini. Apa selama ini aku kurang memperhatikannya, atau memang inilah sifat asli Ali.

Beberapa kali ponselku terus berdering, tapi tidak ada satupun yang memperdulikannya. Nanda dan Lukman hanya terdiam dari tadi.

"Bang, kami ada bersama kamu," ucap Lukman.

"Iya, Bu. Kami sekarang sudah besar, kita tidak butuh lagi Ayah. Kami yang akan menjaga Ibu dan adik-adik," ujar Nanda sambil memelukku dan Salma. Diikuti oleh Lukman yang juga memeluk kami erat.

"Kamu Bang, gak mau ikutan jadi Teletubbies?" gurau Nanda melihat kearah Ali yang tersenyum melihat ke arah kami. Sekarang, kami akan bangkit bersama, berdayung walau tanpa Nahkoda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status