Share

2. Pertengkaran

“Untuk apa kamu tanyakan itu padanya, Thalia? Kita cukup memercayai apa kata polisi!” Elina menyela pembicaraan Ben dengan Thalia. “Lagipula, kita tidak yakin apa dia sedang benar-benar sadar saat semua itu terjadi!”

“Ibu!”

“Tidak apa-apa, Thalia. I-itu benar.” Terburu-buru Ben berbicara. Ia tidak ingin menjadi penyebab Thalia bertengkar dengan ibunya. “Hari itu … aku sedang banyak pikiran dan sulit tidur. Jadi, aku … kumohon maafkan aku.”

Air mata Thalia justru kembali mengalir deras setelah mendengar semua itu. Meski begitu, dengan tegar ia tetap menatap Ben. “Kau apa? Selesaikan ucapanmu sendiri, Ben!”

Ben memejamkan matanya erat. Kedua tangan besarnya mengepal dan bergetar pelan di sisi tubuhnya. Lengan kemeja putih kusam yang telah ia gulung hingga ke siku membuat jejak dari tatonya yang telah lama dihapus terlihat begitu jelas. Sekilas, sosok Ben saat ini mirip dengan para preman di lingkungan rumahnya yang begitu menghormatinya. Apalagi rambutnya juga mulai sedikit memanjang hingga menutupi bagian atas lehernya.

Namun, tidak akan pernah ada yang bisa menyerupai tatapan Ben saat ini. Mata dengan ujung runcing seperti mata rubah yang seringkali memicing kini terlihat kosong saat ia akhirnya membalas tatapan Thalia.

“Aku hanya meminum obat tidur, tidak lebih,” jawab Ben kemudian.

“Kamu yakin?”

“Semua orang mungkin tidak akan memercayaiku, tapi kamu seharusnya tahu bahwa aku tidak akan berbohong tentang hal seperti ini. Aku memang meminumnya sedikit lebih banyak dari dosis yang dianjurkan, tapi—“

“Ben!” Dalam sekejap, Thalia sudah berada sangat dekat dengan Ben. Bahkan embusan napasnya menyentuh langsung wajah Ben. Dengan penuh amarah, wanita itu mencengkeram kerah Ben kuat-kuat. “Kamu tidak pernah berubah! Bagaimana bisa kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai ayah? Padahal aku telah mengizinkan Alisya untuk rutin menemuimu setelah semua penderitaan yang telah kamu berikan kepada kami!”

Suara Thalia serak dan terdengar begitu pilu, menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Namun, rasa sakit yang mereka rasakan tidak akan menyamai derita seorang ibu yang ditinggalkan anaknya lebih dulu.

Sama seperti Garry dan Elina yang diam menyaksikan, Ben juga tidak bergerak. Ia hanya pasrah saat Thalia mulai memukulinya dengan keras. Sebisa mungkin Ben tidak menyentuh Thalia dan membiarkan sang mantan istri melampiaskan kesedihan.

Jauh di dalam lubuk hati ia merasa sangat kecewa, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada Thalia yang tidak memercayainya. Mungkin cinta Thalia memang sudah tidak ada lagi untuknya, tetapi Ben sempat berharap Thalia masih mengingat saat-saat keluarga mereka masih hidup bahagia. Saat di mana Thalia selalu memuji Ben yang sangat menyayangi anak mereka satu-satunya.

Ben tidak mungkin ceroboh dalam menjaga Alisya, hanya saja kali ini malaikat maut lebih cepat mengayunkan sabitnya hingga Ben tidak mampu berkutik.

“Aku selalu bilang kepadamu, kalau aku merasa tidak aman! Aku yakin seseorang selalu mengawasi keluarga kita, tapi kamu tidak pernah mau dengar! Atau jangan-jangan, kamu sungguh punya bisnis terlarang yang membahayakan kita semua?” Thalia terus bertanya sambil menepis Garry yang hendak melepaskannya dari Ben. “Seharusnya kamu saja yang mati, Ben! Seharusnya bukan Alisya yang tertabrak mobil di malam itu!”

Ben mengatupkan rahangnya kuat-kuat mendengar itu. Ia sendiri telah memikirkan berbagai kemungkinan seperti itu berulang kali. Bagaimana jika seandainya ia lebih berusaha lagi untuk meraih tubuh Alisya saat itu? Bagaimana jika ia memutuskan untuk tidak tidur semalaman? Mungkin semuanya tidak akan pernah terjadi jika sedari awal Alisya tidak pernah datang ke rumahnya.

Sementara itu, setelah puas mengungkapkan semuanya, Thalia akhirnya membiarkan Garry menggenggam kedua tangannya lalu merangkulnya. Tanpa perlawanan, ia dituntun menjauhi daerah pemakaman. Meninggalkan Ben yang bahkan tidak punya kesempatan untuk membela diri atau mengucapkan salam perpisahan.

Padahal bisa jadi saat ini merupakan kali terakhirnya bertemu dengan Thalia.

Mengira bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, Ben menghela napas dan berbalik untuk kembali menghadap makam Alisya. Namun, Elina menghentikannya. 

“Meski sekarang kita sudah benar-benar menjadi orang lain, kuharap kamu bisa merenungkan semua kesalahan dan kekuranganmu,” ucap wanita tua itu. Dengan arogan, ia memandang Ben dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melibatkan kami. Tapi kamu juga harus ingat selalu, bahwa kemungkinan besar istri barumu nanti akan mengalami penderitaan yang sama seperti yang putriku alami.”

Elina mengatakannya sambil mengibaskan salah satu tangannya yang tidak ia lipat di depan dada. Seolah-olah ia tengah menyingkirkan udara yang telah tercemar oleh napas Ben.

Sejak mengenal Elina, Ben tahu bahwa wanita itu memiliki lidah yang tajam serta hati yang tumpul. Namun, baru kali ini ia merasakan sumbu kesabarannya mulai terbakar oleh percikan api dari kata-kata kejam serta sikap sombong Elina.

“Setelah berpisah dengan Thalia beberapa bulan lalu sampai sekarang, aku masih tidak punya niat untuk menikah lagi,” jawab Ben jujur. Masih tersisa sedikit rasa hormatnya untuk wanita tua di depannya.

Elina mengangkat bahu. “Baguslah kalau begitu. Rupanya kamu masih tahu diri.”

“Tahu diri?”

“Bahwa kamu belum mumpuni untuk menjadi seorang kepala keluarga. Baik secara mental dan finansial. Fisikmu adalah satu-satunya hal yang bisa kamu banggakan. Tapi, apa gunanya pria tampan yang tidak punya apa-apa?”

Mendadak angin bertiup sangat kencang hingga topi Elina hampir terlepas dan terbang menjauh. Panik, wanita itu menutupi bagian atas wajahnya dengan memegang erat topinya. “Hah … benar-benar hari yang sial! Sebenarnya kenapa aku repot-repot datang kemari?” gerutunya sambil berjalan menjauh. Ia tidak mengucapkan kata pamit apa pun kepada Ben dan langsung menghampiri suaminya yang berdiri mengamati di dekat tempat parkir.

Meskipun sia-sia, Ben tetap membungkuk hormat kepada kedua mantan mertuanya. Ia baru kembali berdiri tegak setelah memastikan bahwa ia benar-benar tinggal sendirian.

Tangannya lantas mengambil setangkai bunga mawar kecil yang sempat ia selipkan di saku celana. Kemudian ia berlutut untuk menyimpan bunga tersebut di atas nisan Alisya. 

“Alisya Zalina, anakku. Maafkan Ayah, ya. Bahkan di saat seharusnya kamu beristirahat dengan tenang, Ayah malah membawa keributan di pemakamanmu,” ucapnya lirih. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa aneh mengatakan hal-hal yang sangat jarang ia ucapkan dengan lantang. Dalam hati, ia sedikit menyesali sikapnya yang tidak pernah bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. 

“Kalau kehidupan setelah kematian itu memang benar ada, Ayah tidak akan memintamu untuk menunggu Ayah di sana. Cukup jalani kebahagiaanmu sendiri, tidak perlu memikirkan siapa pun. Sesekali saja kamu tengok keadaan ibumu di sini, ya. Kamu tahu betul bagaimana dia gelisah setiap kali kamu tidak ada di dekatnya.”

Cekrek!

Napas Ben tercekat ketika ia mendengar suara jepretan kamera dari kejauhan. Suara itu begitu samar hingga awalnya ia meragukan telinganya sendiri. Namun, setelah muncul beberapa kali, ia yakin bahwa suara itu mengarah kepadanya dan terdengar semakin dekat. Ben mencoba untuk berpura-pura tidak menyadarinya sampai ia bangkit dan berjalan menuju jalan raya.

Melalui cermin cembung yang berdiri di persimpangan jalan, Ben melihat keadaan di belakangnya tanpa berbalik. Bersikap seolah-olah ia hanya sedang memeriksa penampilannya sendiri. 

Tepat di saat itu, angin yang bertiup kembali membawa suara jepretan kamera ke telinga Ben. Tidak melihat apa pun di cermin, Ben akhirnya berbalik dan mengedarkan pandangan dengan gusar. 

Mengapa ada orang yang berani bermain-main dengan kamera di pemakaman?

Belum puas, Ben akhirnya berlari ke sana kemari hanya dengan mengikuti insting. Dalam sekejap, hampir seluruh area pemakaman telah dijelajahinya. Langkahnya semakin cepat ketika ia menemukan seorang pria tengah berjongkok di balik pohon besar nan rindang. Sosok itu melipat lututnya hingga Ben nyaris tidak menyadari keberadaannya. 

Dengan berapi-api Ben menghampiri orang tersebut dan mencengkeram pundaknya. “Siapa kau? Ada urusan apa denganku?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status