“Untuk apa kamu tanyakan itu padanya, Thalia? Kita cukup memercayai apa kata polisi!” Elina menyela pembicaraan Ben dengan Thalia. “Lagipula, kita tidak yakin apa dia sedang benar-benar sadar saat semua itu terjadi!”
“Ibu!”
“Tidak apa-apa, Thalia. I-itu benar.” Terburu-buru Ben berbicara. Ia tidak ingin menjadi penyebab Thalia bertengkar dengan ibunya. “Hari itu … aku sedang banyak pikiran dan sulit tidur. Jadi, aku … kumohon maafkan aku.”
Air mata Thalia justru kembali mengalir deras setelah mendengar semua itu. Meski begitu, dengan tegar ia tetap menatap Ben. “Kau apa? Selesaikan ucapanmu sendiri, Ben!”
Ben memejamkan matanya erat. Kedua tangan besarnya mengepal dan bergetar pelan di sisi tubuhnya. Lengan kemeja putih kusam yang telah ia gulung hingga ke siku membuat jejak dari tatonya yang telah lama dihapus terlihat begitu jelas. Sekilas, sosok Ben saat ini mirip dengan para preman di lingkungan rumahnya yang begitu menghormatinya. Apalagi rambutnya juga mulai sedikit memanjang hingga menutupi bagian atas lehernya.
Namun, tidak akan pernah ada yang bisa menyerupai tatapan Ben saat ini. Mata dengan ujung runcing seperti mata rubah yang seringkali memicing kini terlihat kosong saat ia akhirnya membalas tatapan Thalia.
“Aku hanya meminum obat tidur, tidak lebih,” jawab Ben kemudian.
“Kamu yakin?”
“Semua orang mungkin tidak akan memercayaiku, tapi kamu seharusnya tahu bahwa aku tidak akan berbohong tentang hal seperti ini. Aku memang meminumnya sedikit lebih banyak dari dosis yang dianjurkan, tapi—“
“Ben!” Dalam sekejap, Thalia sudah berada sangat dekat dengan Ben. Bahkan embusan napasnya menyentuh langsung wajah Ben. Dengan penuh amarah, wanita itu mencengkeram kerah Ben kuat-kuat. “Kamu tidak pernah berubah! Bagaimana bisa kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai ayah? Padahal aku telah mengizinkan Alisya untuk rutin menemuimu setelah semua penderitaan yang telah kamu berikan kepada kami!”
Suara Thalia serak dan terdengar begitu pilu, menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Namun, rasa sakit yang mereka rasakan tidak akan menyamai derita seorang ibu yang ditinggalkan anaknya lebih dulu.
Sama seperti Garry dan Elina yang diam menyaksikan, Ben juga tidak bergerak. Ia hanya pasrah saat Thalia mulai memukulinya dengan keras. Sebisa mungkin Ben tidak menyentuh Thalia dan membiarkan sang mantan istri melampiaskan kesedihan.
Jauh di dalam lubuk hati ia merasa sangat kecewa, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada Thalia yang tidak memercayainya. Mungkin cinta Thalia memang sudah tidak ada lagi untuknya, tetapi Ben sempat berharap Thalia masih mengingat saat-saat keluarga mereka masih hidup bahagia. Saat di mana Thalia selalu memuji Ben yang sangat menyayangi anak mereka satu-satunya.
Ben tidak mungkin ceroboh dalam menjaga Alisya, hanya saja kali ini malaikat maut lebih cepat mengayunkan sabitnya hingga Ben tidak mampu berkutik.
“Aku selalu bilang kepadamu, kalau aku merasa tidak aman! Aku yakin seseorang selalu mengawasi keluarga kita, tapi kamu tidak pernah mau dengar! Atau jangan-jangan, kamu sungguh punya bisnis terlarang yang membahayakan kita semua?” Thalia terus bertanya sambil menepis Garry yang hendak melepaskannya dari Ben. “Seharusnya kamu saja yang mati, Ben! Seharusnya bukan Alisya yang tertabrak mobil di malam itu!”
Ben mengatupkan rahangnya kuat-kuat mendengar itu. Ia sendiri telah memikirkan berbagai kemungkinan seperti itu berulang kali. Bagaimana jika seandainya ia lebih berusaha lagi untuk meraih tubuh Alisya saat itu? Bagaimana jika ia memutuskan untuk tidak tidur semalaman? Mungkin semuanya tidak akan pernah terjadi jika sedari awal Alisya tidak pernah datang ke rumahnya.
Sementara itu, setelah puas mengungkapkan semuanya, Thalia akhirnya membiarkan Garry menggenggam kedua tangannya lalu merangkulnya. Tanpa perlawanan, ia dituntun menjauhi daerah pemakaman. Meninggalkan Ben yang bahkan tidak punya kesempatan untuk membela diri atau mengucapkan salam perpisahan.
Padahal bisa jadi saat ini merupakan kali terakhirnya bertemu dengan Thalia.
Mengira bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, Ben menghela napas dan berbalik untuk kembali menghadap makam Alisya. Namun, Elina menghentikannya.
“Meski sekarang kita sudah benar-benar menjadi orang lain, kuharap kamu bisa merenungkan semua kesalahan dan kekuranganmu,” ucap wanita tua itu. Dengan arogan, ia memandang Ben dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Thalia sudah bahagia bersama Garry. Kamu juga harus menemukan bahagiamu sendiri tanpa melibatkan kami. Tapi kamu juga harus ingat selalu, bahwa kemungkinan besar istri barumu nanti akan mengalami penderitaan yang sama seperti yang putriku alami.”
Elina mengatakannya sambil mengibaskan salah satu tangannya yang tidak ia lipat di depan dada. Seolah-olah ia tengah menyingkirkan udara yang telah tercemar oleh napas Ben.
Sejak mengenal Elina, Ben tahu bahwa wanita itu memiliki lidah yang tajam serta hati yang tumpul. Namun, baru kali ini ia merasakan sumbu kesabarannya mulai terbakar oleh percikan api dari kata-kata kejam serta sikap sombong Elina.
“Setelah berpisah dengan Thalia beberapa bulan lalu sampai sekarang, aku masih tidak punya niat untuk menikah lagi,” jawab Ben jujur. Masih tersisa sedikit rasa hormatnya untuk wanita tua di depannya.
Elina mengangkat bahu. “Baguslah kalau begitu. Rupanya kamu masih tahu diri.”
“Tahu diri?”
“Bahwa kamu belum mumpuni untuk menjadi seorang kepala keluarga. Baik secara mental dan finansial. Fisikmu adalah satu-satunya hal yang bisa kamu banggakan. Tapi, apa gunanya pria tampan yang tidak punya apa-apa?”
Mendadak angin bertiup sangat kencang hingga topi Elina hampir terlepas dan terbang menjauh. Panik, wanita itu menutupi bagian atas wajahnya dengan memegang erat topinya. “Hah … benar-benar hari yang sial! Sebenarnya kenapa aku repot-repot datang kemari?” gerutunya sambil berjalan menjauh. Ia tidak mengucapkan kata pamit apa pun kepada Ben dan langsung menghampiri suaminya yang berdiri mengamati di dekat tempat parkir.
Meskipun sia-sia, Ben tetap membungkuk hormat kepada kedua mantan mertuanya. Ia baru kembali berdiri tegak setelah memastikan bahwa ia benar-benar tinggal sendirian.
Tangannya lantas mengambil setangkai bunga mawar kecil yang sempat ia selipkan di saku celana. Kemudian ia berlutut untuk menyimpan bunga tersebut di atas nisan Alisya.
“Alisya Zalina, anakku. Maafkan Ayah, ya. Bahkan di saat seharusnya kamu beristirahat dengan tenang, Ayah malah membawa keributan di pemakamanmu,” ucapnya lirih. Beberapa kali ia menggigit bibir bawahnya sendiri karena merasa aneh mengatakan hal-hal yang sangat jarang ia ucapkan dengan lantang. Dalam hati, ia sedikit menyesali sikapnya yang tidak pernah bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik.
“Kalau kehidupan setelah kematian itu memang benar ada, Ayah tidak akan memintamu untuk menunggu Ayah di sana. Cukup jalani kebahagiaanmu sendiri, tidak perlu memikirkan siapa pun. Sesekali saja kamu tengok keadaan ibumu di sini, ya. Kamu tahu betul bagaimana dia gelisah setiap kali kamu tidak ada di dekatnya.”
Cekrek!
Napas Ben tercekat ketika ia mendengar suara jepretan kamera dari kejauhan. Suara itu begitu samar hingga awalnya ia meragukan telinganya sendiri. Namun, setelah muncul beberapa kali, ia yakin bahwa suara itu mengarah kepadanya dan terdengar semakin dekat. Ben mencoba untuk berpura-pura tidak menyadarinya sampai ia bangkit dan berjalan menuju jalan raya.
Melalui cermin cembung yang berdiri di persimpangan jalan, Ben melihat keadaan di belakangnya tanpa berbalik. Bersikap seolah-olah ia hanya sedang memeriksa penampilannya sendiri.
Tepat di saat itu, angin yang bertiup kembali membawa suara jepretan kamera ke telinga Ben. Tidak melihat apa pun di cermin, Ben akhirnya berbalik dan mengedarkan pandangan dengan gusar.
Mengapa ada orang yang berani bermain-main dengan kamera di pemakaman?
Belum puas, Ben akhirnya berlari ke sana kemari hanya dengan mengikuti insting. Dalam sekejap, hampir seluruh area pemakaman telah dijelajahinya. Langkahnya semakin cepat ketika ia menemukan seorang pria tengah berjongkok di balik pohon besar nan rindang. Sosok itu melipat lututnya hingga Ben nyaris tidak menyadari keberadaannya.
Dengan berapi-api Ben menghampiri orang tersebut dan mencengkeram pundaknya. “Siapa kau? Ada urusan apa denganku?”
***
“Juru kunci? Maksudmu, penjaga makam?” “I-iya, Pak! Apa ada masalah? Kenapa Bapak terlihat kesal sekali kepada saya?” Pria yang menggunakan kaus hitam tipis yang warnanya sudah cukup luntur itu terus membungkukkan badan dengan takut. Sapu lidi di tangannya tampak sedikit bergetar. Ben menggosok wajahnya menahan malu. Rupanya emosinya yang sedang tidak stabil membuatnya terus berpikir negatif. Bagaimana bisa ia mencurigai seseorang begitu saja? Dari dekat, tampak jelas bahwa orang di depannya ini tidak berbahaya. Sang penjaga makam bahkan tidak berani untuk sekadar menatap matanya. Ben merasa sangat bersalah karena telah menuduh sembarangan. “Tidak. Tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya salah paham.” Ben akhirnya menjawab dengan sedikit lebih sopan. Ia merogoh saku kemejanya, mengambil beberapa lembar uang berwarna ungu. “Terima kasih atas kerja keras Bapak. Maaf, saya sudah mengganggu waktu istirahat Bapak. Pakai uang ini untuk membeli makanan enak sebagai gantinya.” Sang penjaga maka
Melihat pintu rumahnya yang tidak terkunci, Ben segera berbalik dan mengecek pagarnya. Seketika menyadari bahwa sedari tadi deretan kayu itu tidak berada dalam posisi tertutup rapat. Aneh. Ben sangat yakin bahwa ia telah menutup rapat pintu rumah dan pagarnya sebelum pergi tadi. Tidak peduli seberapa terburu-burunya dirinya, ia tidak mungkin mengulang kesalahan yang sama yang telah merenggut nyawa anaknya secara tidak langsung. Kedua tangan Ben sedikit bergetar mengingat kejadian malam itu, tetapi ia segera kembali menenangkan diri sebelum melangkah masuk. “Siapa pun kau, keluarlah! Jangan bersembunyi seperti tikus kecil!” Teriakan Ben dipantulkan kembali oleh keempat dinding rumahnya. Cat putih kusam yang mulai mengelupas menambah ketegangan suasana. Ben berjalan mengendap dengan mata melebar, mengawasi setiap sudut. Tidak banyak perabotan yang berada di dalam rumahnya. Hanya ada sebuah karpet plastik di dekat pintu masuk. Kompor dan meja kecil berada di salah satu sudut terjauh. D
Pertemuan antara Ben dan Thalia baru terjadi beberapa hari kemudian. Dengan sengaja Ben terus menundanya, berniat memberikan waktu untuk mereka berdua menenangkan diri masing-masing terlebih dulu. Ia tidak bisa memikirkan tempat pertemuan selain makam anak mereka tercinta. Berpikir bahwa setidaknya, ia bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengunjungi tempat peristirahatan Alisya bersama Thalia. Ben tiba beberapa menit lebih dulu. Semua pekerjaan hari ini telah ia titipkan kepada pegawai kepercayaan. Sambil membawa satu buket bunga mawar merah kesukaan Alisya, Ben berjalan pelan melewati makam demi makam. Hingga akhirnya langkahnya terhenti. Kedua matanya sedikit melebar melihat keadaan makam Alisya. “Apa ini? Siapa yang ….” “Garry yang mengerjakan semuanya.” Ben menoleh ke arah Thalia yang baru saja berbicara. Berbeda dengan hari di saat Alisya dimakamkan, kali ini wanita itu mengenakan pakaian yang lebih kasual. Tidak ada selendang yang menutupi rambut hitamnya yang digulung k
“Aku benar-benar masih menyayangimu.” Thalia mengulang ucapannya. Suaranya tidak lagi bergetar, ia terlihat jauh lebih tegar dari sebelumnya. “Biar bagaimanapun, kita punya cukup banyak kenangan bersama. Demi itu semua, dan demi rasa sayangku yang masih cukup besar kepadamu, aku ingin mengatakan bahwa kamu harus lebih berusaha memperbaiki hidupmu.”Ben sempat merasa tersentuh mendengar Thalia masih peduli kepadanya, tetapi ia lantas mengerutkan kening kebingungan. “Memperbaiki hidupku?”“Pindahlah ke tempat tinggal yang lebih layak dan bagus. Aku tidak mau Alisya di atas sana menyaksikan bagaimana hidup orang tuanya begitu kacau.”“Oh, kalau soal itu,” Ben berdeham dengan kikuk, “sebenarnya, aku sudah ada—“
“Apa ini jalan yang benar? Zamanku dulu tidak pernah ada peta seperti ini.”Ben mengangkat sebelah alisnya. “Dengarkan saja terus petunjuknya. Aku yakin sudah memasukkan alamat yang tepat.”“Tapi dari tadi aku tidak mendengar apa pun.” Sambil mengatakan itu, Sander sibuk menekan setiap tombol yang terdapat di bagian terluar layar. Ia sedikit kesulitan karena masih harus menyetir dengan fokus.Hingga akhirnya suara wanita yang berasal dari aplikasi peta itu terdengar sangat keras, mengejutkan Sander dan juga Ben. Keduanya tersentak di tempat. Sander sendiri hampir menginjak rem secara mendadak di tengah jalan raya. Dengan seringai penuh rasa bersalah, ia mengangkat salah satu tangannya tanda meminta maaf.Lagi-lagi Ben harus mengatur na
Ben terbangun dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Meskipun mimpi tentang masa kecilnya bukanlah hal yang cukup membahagiakan, Ben cukup senang bisa mengingat kembali Rossa, teman-temannya, serta satu orang gadis yang selalu ia rindukan.Dalam hati ia berniat untuk berkunjung ke Panti Asuhan Kurnia Sentosa dalam waktu dekat.Untuk saat ini, Ben masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Tampaknya ia masih belum benar-benar pulih dari rasa kehilangan karena dalam beberapa detik ia kembali merasa sesak. Dengan terburu-buru ia melangkah keluar rumah tanpa memedulikan penampilannya yang kemungkinan besar terlihat berantakan. Ia sungguh memerlukan udara segar di luar bangunan dua lantai yang beratap tinggi tetapi terasa menghimpit tubuhnya ini.“Rumah ini tidak sebesar itu, tapi kenapa pintu keluarnya terasa jauh
Ben tertawa sinis mendapati bahwa ia tanpa sengaja kembali ke daerah pinggiran kota Patah. Rupanya ia benar-benar telah berlari terlalu jauh hingga menempuh jarak yang biasanya hanya ditempuh dengan mobil.“Sepertinya aku memang harus kembali.”Bertahun-tahun tinggal di sana membuat Ben hafal setiap belokan yang harus dilaluinya. Dengan pikiran kosong pun ia akan tetap sampai ke rumah kecilnya yang semakin hari semakin menyerupai gubuk.Namun, sebelum itu, ia mengambil jalan lain menuju pantai. Beberapa orang yang terlihat masih berkumpul di sana membuatnya mengerutkan kening.“Kenapa kalian masih di sini? Bukankah seharusnya penjualan sudah selesai sebelum matahari terbit?” tanya Ben sambil melihat ke arah baskom-baskom besar berwarna biru
Suara berderak pelan terus terdengar dari sebuah pintu tua. Seorang pemuda yang menutupi seluruh wajah dan kepalanya dengan sarung kotak-kotak coklat tengah membungkuk di depan pintu itu, tangannya bergerak lincah memasukkan sesuatu ke lubang kunci. Pencahayaan lampu teras yang tidak terlalu baik membuatnya sedikit merasa aman, hanya sesekali kepalanya menengadah, memastikan bahwa tidak ada orang yang tengah menyaksikan aksinya.Setelah terdengar kunci pintu terbuka, pemuda itu menarik napas dalam sambil menyingkirkan kain yang sempat menutupi hidung dan mulutnya. Dengan senyum di bibir, ia melangkah masuk ke rumah yang baru saja ia bobol itu.“Hah … mudah sekali. Kenapa dia repot-repot ganti kunci kalau kualitasnya sama saja?” Ia bicara sendiri sambil memainkan tindik di bawah bibirnya dengan lidah. Kedua mata abu-abu kebiruan yang sangat ko