“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ….”
Hanya beberapa kata awal yang mampu Ben dengar sebelum akhirnya kedua kakinya tidak lagi kuat menanggung semua kesedihan. Ia jatuh bersimpuh di depan seorang dokter yang baru saja keluar dari sebuah ruangan serba putih tempatnya menunggu sejak beberapa menit lalu.
Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Satu waktu Ben tengah berlari ke luar rumah sekuat tenaga, lalu di waktu berikutnya ia harus mendengar kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Air matanya bahkan belum sempat mengalir, tetapi ia cukup kesulitan untuk berbicara.
“A-aku tidak bisa kehilangan dia. Tolong selamatkan anakku satu-satunya, Dok!” Ben terus mengucapkan kalimat itu dengan lantang meski terbata-bata. Tidak sedikit pun peduli kepada banyaknya pasang mata yang kini menyaksikan. “Dia anak yang ceria dan sehat. Tidak mungkin dia pergi secepat ini!”
Didorong oleh rasa tanggung jawab dan rasa iba, sang dokter menjelaskan dengan sabar penyebab kematian seorang gadis yang baru dilarikan ke ruangan pemeriksaan beberapa menit lalu. Meskipun Ben tidak terlihat mendengarkannya dengan baik, dokter itu terus saja mencoba memberikan pengertian. Namun, ia juga mempunyai pekerjaan lain yang harus segera dilakukan, sehingga pada akhirnya ia meninggalkan Ben seorang diri.
Ben menolak untuk melihat kondisi sang anak yang kemungkinan besar telah terbujur kaku di ruangan lain. Ia tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan. Dengan sangat putus asa ia berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang muncul karena ia sempat tertidur di bawah pengaruh obat-obatan dan minuman keras.
Sayangnya, ia lupa bahwa sejak dulu hidup memang selalu kejam kepadanya.
Jalan terakhir agar Ben dapat bertahan adalah dengan menguatkan dirinya sendiri. Otaknya otomatis menumpulkan hampir semua indra dan perasaan, hingga dirinya kini menyerupai sebuah robot tanpa emosi. Hanya dengan begitu ia bisa tetap tegar di hadapan jasad anaknya sampai akhirnya tanah merah menutupi sosok sang gadis untuk selamanya.
“Malang sekali nasibnya. Dia bahkan belum menginjak 15 tahun.”
“Mungkin seharusnya ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya.”
“Sssttt! Pelankan suaramu! Nanti kedengaran!”
“Memang kenapa kalau dia dengar? Kita cuma mengatakan kebenaran, kok!”
Telinga Ben yang sempat memblokir sebagian besar suara kini mulai dapat mendengar percakapan para kerabat dan kenalan yang menghadiri pemakaman. Apalagi mereka memang tidak mencoba untuk memelankan suara mereka. Seolah-olah semuanya sengaja hendak menghukum Ben dengan membicarakannya keras-keras.
Di tengah semua itu, hal yang paling menusuk hati Ben adalah raungan dan tangisan dari seseorang yang pernah mendampinginya. Perlahan, ia merentangkan tangan ke arah orang itu, berniat untuk memberikan sedikit saja sentuhan dan kata-kata penenang. Namun, orang tersebut sudah terlebih dahulu berjalan mundur sambil menatapnya tajam.
Kedua mata Ben yang lesu karena kurang tidur lantas terlihat semakin sendu. “Thalia, aku mohon—”
“Semua ini salahmu, Ben!” teriak Thalia histeris. Wanita yang hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Ben itu langsung berontak saat seorang pria lain di dekatnya mencoba merangkulnya. Dengan penuh amarah, ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Ben. “Sampai dua hari lalu Alisya masih hidup! Aku masih ingat betapa senangnya dia saat kuantar ke rumahmu! Tapi sekarang apa yang terjadi? Bodohnya aku! Seharusnya aku tahu bahwa kamu tidak akan mampu menjaganya!”
“Jangan berkata seperti itu, Thalia.” Sekuat tenaga Ben berusaha menjaga suaranya agar tidak terlalu lantang. “Aku tahu aku telah lalai. Aku juga belum bisa sepenuhnya menerima semua ini. Tapi aku mohon, jangan seperti ini!”
“Kamu tidak punya hak memerintahku!” Thalia menjerit semakin keras. Selendang putih yang semula menutupi kepalanya telah merosot dan hanya menggantung di pundaknya. Memperlihatkan rambut hitam kusut serta wajahnya yang dibasahi air mata. “Kembalikan Alisya, Ben! Kembalikan anakku!”
Ben menekan bibirnya sendiri kuat-kuat, mencegah dirinya mengatakan apa pun yang hanya akan memperkeruh suasana.
“Alisya … Alisyaku yang malang!” Keputusasaan terdengar jelas dari suara Thalia yang semakin bergetar. Ia memukul dadanya sendiri dengan kencang, berusaha melepaskan sesak yang menyiksa dirinya. “Maafkan Ibu, Nak!”
“Sudah cukup, Thalia. Tenanglah,” ucap seorang wanita berusia sekitar akhir 50 tahun. Keriput di wajahnya terlihat jelas bersama garis bibirnya yang mulai melengkung ke bawah. Namun, cara berpakaiannya yang cukup modis dengan topi bundar berjaring hitam serta riasan yang tebal sekilas membuatnya tampak sepuluh tahun lebih muda. Bahkan rambutnya pun dicat dengan warna coklat terang.
Thalia berangsur-angsur berhenti menangis dan memeluk wanita tersebut. “Ibu … aku harus bagaimana? Sekarang Alisya sudah tidak ada.”
“Pelan-pelan saja, Nak. Kita pikirkan semuanya nanti.”
Ben menyaksikan pembicaraan antara ibu dan anak di depannya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa tidak pantas hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa untuk menghibur mantan istri dan mantan mertuanya. Akan tetapi, di sisi lain, ia juga merasa tidak lagi punya hak, sebab kini ia benar-benar tidak ada hubungan lagi dengan keluarga Thalia.
Saat ia tanpa sengaja bertatapan mata dengan mantan ibu mertua, tanpa sadar Ben menundukkan kepala. “Maafkan aku, Ibu,” ucapnya lirih.
“Aku bukan lagi ibumu!”
“Aku sungguh menyesal … Elina.”
Rasanya aneh memanggil seseorang yang jauh lebih tua darinya hanya dengan nama. Namun, Ben hanya mencoba kembali ke masa sebelum ia menikahi Thalia. Masa di mana Elina menuntut Ben untuk memperlakukannya sebagai teman sebaya.
Mendengar permintaan maaf Ben, Elina mendecakkan lidah dan berbalik menghadap pria tampan yang sedari tadi berdiri di samping Thalia. “Garry, bawa istrimu ke mobil! Dia tidak ada urusan lagi di sini.”
“Tidak! Aku masih mau bersama Alisya, Bu!” tolak Thalia yang langsung menepis rangkulan Garry.
“Tapi kamu harus segera istirahat, Sayang. Aku takut kamu pingsan.” Suara Garry terdengar begitu lembut saat ia membujuk Thalia untuk pergi bersamanya.
Tubuh pria yang tinggi semampai itu tetap terlihat tegap bahkan saat ia membungkuk untuk melingkarkan tangannya di pinggang Thalia. Kulit putih cerah miliknya hampir menyaingi kulit putih pucat sang istri. Kemeja putih serta celana kain berwarna serupa melengkapi penampilannya yang tanpa cacat. Siapa pun akan menyangka bahwa dirinya adalah seorang model yang tengah memamerkan pakaian merek ternama keluaran terbaru, dan bukannya pria biasa yang sedang menghadiri pemakaman.
Semakin lama Ben berdiri di antara mereka, semakin ia merasa seluruh ototnya membeku. Tidak peduli seberapa benci dan sakit hatinya ia melihat Thalia disentuh pria lain, ia tidak bisa memalingkan pandangan. Di saat pelayat lainnya mulai pergi satu per satu, ia hanya bisa terdiam, menerima semua pandangan benci yang diarahkan kepadanya.
Sebelum perceraian di antara dirinya dan Thalia terjadi, ada satu waktu di mana Ben membayangkan akan seperti apa hidupnya tanpa Thalia. Ia tentu sudah tahu bahwa hari-harinya akan menjadi seperti di neraka, tetapi tidak pernah ia menyangka bahwa kenyataannya akan jauh lebih menyiksa daripada itu.
Melihat mata cantik Thalia yang sembap memandang benci ke arahnya, mau tidak mau Ben sungguh percaya bahwa ia adalah laki-laki paling kejam di dunia.
“Tunggu sebentar, Garry. Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” ucap Thalia yang sudah cukup tenang untuk bisa berbicara tanpa berteriak. Perlahan, ia menyingkirkan lengan sang suami dari pinggangnya dan menggenggamnya erat. Tanpa melepasnya, ia kembali menatap Ben. “Katakan sejujurnya, Ben. Ke mana kamu di malam itu? Di mana kamu saat Alisya meregang nyawa?”
***
Pertanyaan Thalia terus terngiang di benak Ben bahkan setelah hari berganti. Ben merasa tidak terlalu terganggu akan hal itu, tetapi ia tetap memikirkannya karena masih ada hal kecil yang mengganjal. Apakah Ashana juga bertanya-tanya seperti Thalia? Mereka berdua bukan lagi remaja yang menomorsatukan perasaan di atas semuanya. Mereka tetap bersama murni karena mereka cukup cocok satu sama lain. Keberadaan Ashana membuat Ben tidak terlalu tenggelam dalam kesibukan, menyeimbangkan antara waktu istirahat dengan waktu bekerja. Sebaliknya, dengan hadirnya Ben di kehidupan Ashana, gadis itu dapat menjadi sedikit lebih serius dalam menjalani hidup, berhati-hati dalam mengambil keputusan, serta menghargai setiap kejadian baik yang datang kepadanya. Ben merasa cukup dengan semua itu, tidak ada lagi yang ia harapkan. Rasanya tidak perlu melabeli hubungan mereka berdua dengan sebuah nama. “Oke. Segitu dulu untuk hari ini.” Ashana yang sedari tadi berkutat dengan laptopnya berseru. Ia lalu men
Ben sulit memercayai apa yang sedang dilihatnya.Garry, pria yang mulanya bertubuh tinggi semampai, terlihat tegap dan menawan ke mana pun ia berjalan, kini terduduk lesu di atas kursi roda berjok hitam. Kedua kakinya terlihat cukup kurus di balik celana kain coklat tua, kemeja di tubuhnya terlihat sangat longgar, hingga bagian lengannya harus digulung ke atas. Ketampanan di wajahnya luntur, hampir tidak bersisa, bersamaan dengan kantung mata yang menebal, serta kulit yang kusam. Pipi pria itu juga terlihat tirus, membuat rahangnya menonjol dengan aneh.Sebelumnya Ben benar-benar percaya bahwa Garry adalah seorang model profesional yang sedang menyamar jadi orang biasa, tetapi sekarang pria itu bahkan tidak terlihat seperti pria dewasa yang sehat. Apa orang di hadapannya ini benar-benar Garry yang Ben kenal? Ben sulit memproses kenyataan ini.
“Padahal kamu tidak perlu ikut,” ujar Ben ketika ia berjalan menyusuri pemakaman bersama Ashana di sampingnya. “Kamu pasti sibuk. Pergi saja. Nanti kuhubungi.”Ashana merengut. “Apa maksudmu aku tidak perlu ikut? Aku mungkin tidak punya kesempatan untuk lebih mengenal Alisya, tetapi aku sempat cukup dekat dengan Rossa. Tanpamu pun aku tetap akan datang kemari.”“Tapi ayahmu ….”“Ayahku akan baik-baik saja.” Senyum Ashana terlihat begitu lebar dan ceria meski suasana di sekitar mereka terasa sedikit sendu. “Dia sudah jauh berubah lebih baik, apalagi setelah Ibu lebih banyak memperhatikannya. Aslam juga sekarang bersikap lebih perhatian. Akhirnya keluargaku terasa utuh sekarang.”Ben mendengarka
Harum semerbak bunga berwarna putih, krem, dan coklat lembut membelai indra penciuman siapa pun yang datang. Ruangan dengan penerangan yang cukup terang tetap terasa hangat dengan adanya kain-kain yang disusun sedemikian rupa di setiap dinding. Tidak lupa dekorasi yang menyerupai gambaran surga juga memanjakan mata ke mana pun melihat. Pajangan angsa putih serta kue tar besar dan bertingkat yang ditempatkan di tengah-tengah ruangan menjadi pusat perhatian kedua setelah altar besar yang dibangun dengan kayu-kayu eksotik. Suasananya memukau sekaligus syahdu. Sedikitnya tamu yang datang menambah kesan intim dari acara yang akan diadakan hari ini. Namun, Ben sendiri belum melihat secara langsung ruangan besar itu, sebab ia masih berada di ruangan lain yang jauh lebih kecil untuk mempersiapkan diri. Ia berbalik ke kanan dan kiri di depan cermin besar di hadapannya. Kedua tangannya terus membetulkan letak dasi kupu-kupu coklat yang melengkapi kemeja krem serta jas hitamnya. “Kamu terlihat
Denver merapikan pakaian yang dikenakannya sambil terus berjalan penuh percaya diri. Panas terik matahari membuat hampir sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tetapi ia sama sekali tidak berniat untuk melepas jas luar apalagi berganti baju dengan yang lebih nyaman. Baju kantoran ini telah menjadi kebanggaannya selama beberapa bulan terakhir. Perlambang keberhasilannya mendapat pekerjaan setelah empat tahun lamanya mengejar ketertinggalan dalam pendidikan.Waktu begitu cepat berlalu. Denver yang dulu mungkin akan berkeluh kesah karena tidak ingin dirinya dan orang di sekitarnya cepat menua. Akan tetapi, semua perubahan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini sungguh luar biasa, membuat Denver justru tidak sabar untuk melihat masa depan seperti apa lagi yang tengah menantinya.“Pagi, Pak!” sapa pemuda itu kepada seorang pria berseragam yang berjaga
“Aku terus berkelana, mencari petunjuk. Ternyata semuanya lebih mudah sekaligus lebih sulit dari yang kubayangkan,” ucap Denver sambil menunduk. Kini ia telah duduk di samping makam ayahnya. Keberadaan Ben yang juga duduk berhadapan dengannya membuatnya sedikit lebih berani untuk menghadap sang ayah. “Ternyata banyak keluarga yang juga menjadi korban Elina di desa kami. Aku tidak perlu mencari terlalu jauh, tapi mereka juga tidak tahu banyak. Bahkan kebanyakan di antara mereka masih percaya kalau anak gadis mereka sedang bekerja di suatu kantor yang layak. Beberapa kali aku diusir karena mencoba mengatakan kebenarannya.”Ben mengangguk dalam diam. Entah bagaimana situasi saat ini berubah menjadi lebih menyesakkan dari sebelumnya. Dadanya terasa sempit seolah-olah semua yang Denver beberkan adalah kisahnya sendiri. Ia sungguh sulit percaya bahwa remaja di bawah umur seperti Denver te