共有

bab 3 Saudara yang membenci.

作者: Pita
last update 最終更新日: 2025-09-02 20:01:36

Fajar baru saja menyingsing di Kerajaan Aethelgard Silvanus. Di halaman latihan, suara pedang beradu terdengar nyaring, memenuhi udara pagi yang dingin.

Jagatra, sebagai putra mahkota, mencoba ikut serta melatih prajurit. Ia ingin membuktikan diri, menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi penerus tahta. Pedangnya berayun tegas, keringat membasahi dahinya, namun semangat dalam matanya begitu menyala.

Namun, tawa mengejek memecah konsentrasinya.

“Apa gunanya berusaha, Kak?” suara Lucas Zander Maxime, adik ketiganya, terdengar penuh ejekan. “Kau bisa berlatih sekeras apa pun, tapi orang- orang tetap tahu siapa yang lebih pantas jadi raja. Dan itu bukan dirimu.”

Beberapa prajurit tertawa kecil, meski mencoba menutupinya.

Jagatra menggertakkan gigi, menahan amarah. Ia menoleh pada Lucas.

“Kau terlalu meremehkanku, Lucas. Jangan lupa, aku tetap putra mahkota.”

Lucas mendekat, menatap mata kakaknya dengan sinis. “Putra mahkota? Untuk berapa lama? Semua orang tahu Ayah dan Ibu lebih memilih Kaesar. Kau hanya duduk di atas kursi yang rapuh, menunggu saatnya runtuh.”

Jagatra terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pedang mana pun.

Belum sempat ia menjawab, Michael Lioris, adik keempat, ikut menimpali dengan nada dingin.

“Kau tidak akan pernah bisa jadi raja, Kak. Kau terlalu lembek. Dunia ini kejam, dan raja haruslah seseorang yang sanggup mengorbankan siapa pun demi kekuasaan. Kau tidak punya itu.”

Jagatra menunduk, kedua tangannya mengepal erat di gagang pedang.

Ia ingin berteriak, ingin membuktikan bahwa mereka salah. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu kata-kata itu bukan hanya cemoohan. Itu adalah kebenaran pahit yang tak bisa ia bantah.

Seolah belum cukup, Justin Stewart Andrian, adik kelima yang terkenal licik, berdiri sambil tertawa pelan.

“Kalau aku jadi Kakak, aku sudah lama menyerah. Menjadi bayangan Kaesar seumur hidup tentu menyedihkan, bukan?”

Jagatra akhirnya melangkah pergi, meninggalkan arena latihan. Setiap tawa, setiap ejekan saudara-saudaranya, terpatri kuat di dadanya.

Di balik tatapan matanya yang sendu, satu hal perlahan tumbuh kesadaran bahwa darah dagingnya sendiri adalah musuh paling dekat.

Langkah Jagatra yang meninggalkan arena latihan terdengar berat. Namun, ejekan belum berhenti.

Rafka Narendra Afsar, adik keenam yang terkenal cerdik, menatap punggung kakaknya sambil berkata lantang, cukup keras agar terdengar oleh semua orang.

“Jika kau terus hidup seperti itu, Kak, kau hanya akan menjadi beban bagi kerajaan ini. Bahkan rakyat pun lebih suka Kaesar dibanding dirimu. Kau hanya butuh waktu sebelum semua orang benar-benar menyingkirkanmu.”

Tawa kembali meledak di antara beberapa prajurit yang pura-pura berlatih. Jagatra berhenti sejenak. Bahunya bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan emosi yang membuncah.

Ia menoleh sedikit, menatap Rafka dengan tatapan yang menusuk.

“Jika kalian semua menganggapku lemah… maka suatu hari aku akan membuktikan bahwa kalian salah.”

Namun, kata-kata itu justru semakin memicu cibiran. Rionaldo Xaviero, si bungsu yang biasanya pendiam, ikut bersuara untuk pertama kalinya.

“Jangan banyak bermimpi, Kak. Kau mungkin putra mahkota sekarang, tapi semua tahu Kaesar lah yang akan jadi raja. Kau hanya singgasana sementara.”

Jagatra terdiam. Setiap kata dari bibir saudara-saudaranya adalah belati yang menancap satu per satu di dadanya.

Di dalam hatinya, ia berteriak:

Mengapa mereka semua membenciku? Apa salahku dilahirkan lebih dulu?

Namun wajahnya tetap ia tahan. Ia tidak ingin mereka melihat kelemahannya. Dengan kepala tegak, ia berjalan pergi, meninggalkan arena latihan.

Begitu sampai di taman belakang istana, ia duduk di bangku batu. Angin berhembus pelan, membawa suara burung-burung pagi. Tetapi keindahan itu tidak bisa menghapus luka yang baru saja ia terima.

Tangannya mengepal begitu erat hingga buku jarinya memutih.

“Baiklah… kalau dunia menolak keberadaanku, aku akan bertahan sendirian. Dan saat waktunya tiba, semua akan melihat siapa yang benar-benar pantas menjadi raja.”

Untuk pertama kalinya, kilatan amarah bercampur tekad muncul di mata Pangeran Jagatra Eduardo Batistuta.

Jagatra masih duduk di taman, mencoba menenangkan diri. Namun bayangan wajah-wajah saudara-saudaranya yang penuh kebencian terus menghantui pikirannya.

Tiba-tiba, langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Itu adalah Pangeran Jema Xaverius Spark, adik sulung setelahnya, yang paling pandai menyembunyikan niatnya.

“Jagatra…” ucap Jema dengan nada yang pura-pura lembut. “Jangan kau ambil hati perkataan mereka. Mereka hanya… terlalu keras padamu.”

Jagatra menoleh, sedikit terkejut. Dari semua saudara, Jema lah yang paling jarang terang-terangan menunjukkan sikap. Ada kalanya ia bersikap manis, ada kalanya dingin.

“Kau berbeda dari mereka, Jema?” tanya Jagatra dengan suara pelan, seakan mencari secercah harapan.

Jema tersenyum samar. Namun senyum itu mengandung sesuatu yang tak bisa Jagatra pahami sepenuhnya.

“Aku hanya ingin kau berhati-hati, Kak. Jangan sampai ambisi membuatmu hancur. Kadang, menyerah lebih baik daripada bertahan.”

Kata-kata itu membuat Jagatra kembali terdiam. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya kata-kata Jema terdengar seperti nasihat, tapi di baliknya tersimpan nada ancaman halus.

Jema menepuk pundak kakaknya lalu pergi, meninggalkan Jagatra seorang diri.

Saat sosoknya menghilang, hati Jagatra makin perih.

Bahkan Jema… adik yang kukira masih bisa kupercaya, ternyata sama saja.

Mata Jagatra menatap langit biru yang membentang di atas istana. Senyum getir muncul di wajahnya.

“Jika mereka semua membenciku… maka aku tidak akan lagi mencari cinta dari mereka. Aku hanya akan mencari kekuatanku sendiri.”

Di antara bayang-bayang pohon istana, tekad itu perlahan mulai mengeras. Meski masih berusia belia, hatinya sudah ditempa oleh luka yang dalam.

Hari itu, Pangeran Jagatra Eduardo Batistuta belajar satu hal penting bahwa keluarga bisa lebih berbahaya daripada musuh di medan perang.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 8 Bahaya Dalam Cawan.

    Balairung kerajaan dipenuhi cahaya obor dan kilauan permata yang menghiasi dinding. Malam itu, Raja William menggelar jamuan besar untuk menghormati kedatangan para bangsawan dari kerajaan tetangga. Musik lembut mengalun, tawa para bangsawan bercampur dengan aroma daging panggang yang menggoda.Jagatra, sebagai putra mahkota, duduk di sisi kanan sang raja. Senyum tipis ia paksakan, meski hatinya masih terbebani fitnah yang belum reda. Namun, ia tetap menjaga wibawanya.Di hadapan setiap tamu, cawan emas berisi anggur merah dituangkan penuh. Cahaya obor membuat cairan itu tampak berkilau, memikat, seolah tak berbahaya.Namun di balik kemewahan itu, bahaya mengintai.Seorang pelayan berwajah pucat menyelinap di antara keramaian, tangannya sedikit bergetar saat menuangkan anggur ke cawan Jagatra. Tak seorang pun menyadari bubuk halus berwarna bening yang sebelumnya ia campurkan. Bubuk itu larut tanpa jejak.Kaesar, yang duduk beberapa kursi dari Jagatra, melirik dengan senyum samar. Mata

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 7 Bayangan Kaesar.

    Pangeran Kaesar Avdar duduk santai di kursi kayu berukir naga emas. Segelas anggur merah berkilau di tangannya, bibirnya melengkung dengan senyum penuh kemenangan.“Langkah pertama sudah berhasil,” gumamnya. “Putra Mahkota kini menjadi bahan cemoohan. Hanya tinggal menunggu waktu hingga ia benar-benar tersingkir dari tahta.”Di hadapannya, seorang pelayan berlutut dengan kepala menunduk.“Pangeran, kabar sudah menyebar. Banyak bangsawan mulai meragukan Pangeran Jagatra. Mereka… sudah mulai melirik Anda sebagai calon pewaris yang lebih layak.”Kaesar tertawa kecil. Tawanya dingin, penuh perhitungan.“Bagus. Biarkan mereka percaya Jagatra adalah pengkhianat. Saat kepercayaan itu runtuh, bahkan ayahanda sendiri tidak akan punya alasan untuk mempertahankannya.”Namun, di balik keangkuhan itu, ada sesuatu yang membayangi Kaesar. Bayangan berupa ambisi yang tak mengenal batas, bercampur dengan kebencian mendalam pada kakaknya.Ia masih mengingat masa kecil mereka ketika Jagatra selalu menja

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 6 Fitnah pertama.

    Pagi itu, kabar buruk menyebar di seluruh istana Aethelgard Silvanus. Bisik-bisik para pelayan terdengar di sepanjang lorong:“Benarkah Pangeran Mahkota bersekongkol dengan pedagang asing?”“Aku mendengar dia menjual rahasia kerajaan untuk mendapatkan emas!”“Jika benar, maka tak pantas ia menjadi raja nanti…”Jagatra yang baru saja keluar dari ruang pelatihan mendengar percakapan itu. Alisnya berkerut, matanya tajam memandang para pelayan yang langsung menunduk ketakutan.Ia melangkah cepat ke aula utama, di mana Raja William, Ratu Elean, dan saudara-saudaranya sudah berkumpul.Kaesar berdiri paling depan, wajahnya penuh kepura-puraan khawatir.“Ayahanda, ini sungguh mencoreng nama keluarga kita. Bagaimana mungkin Pangeran Mahkota menjual rahasia kerajaan kepada orang asing hanya demi keuntungan pribadi?”Jagatra tertegun. “Apa maksudmu, Kaesar?”Kaesar menghela napas panjang, lalu memberi isyarat pada seorang prajurit untuk maju. Prajurit itu membawa selembar surat.“Ini ditemukan d

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 5 pesta tanpa nama.

    Istana Aethelgard malam itu bersinar gemerlap. Lampu kristal berpendar dari setiap sudut aula, alunan musik klasik mengisi udara, dan para bangsawan dari berbagai kerajaan berbaur, mengenakan topeng emas, perak, dan batu permata.Pesta topeng sebuah tradisi tahunan yang disebut Pesta Tanpa Nama, di mana setiap orang menanggalkan identitas dan menyembunyikan wajah di balik topeng. Namun bagi Jagatra, pesta itu hanyalah panggung sandiwara lain, di mana kebenaran tetap terkubur di balik senyum dan kepura-puraan.Jagatra mengenakan jubah hitam kebiruan, topeng perak menutupi setengah wajahnya. Saat ia melangkah masuk, banyak mata menoleh, bukan karena ia putra mahkota, melainkan karena wibawanya yang tidak bisa ditutupi bahkan oleh topeng.Namun, di sudut aula, ia mendengar bisikan samar bisikan yang menyebut namanya dengan nada merendahkan.“Lihatlah, putra mahkota yang bahkan tak dihargai keluarganya sendiri hadir di sini.”“Tunggu saja, sebentar lagi semua akan tahu siapa pewaris sejat

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 4 Luka di balik senyum.

    Hari berganti, suasana di istana Aethelgard Silvanus tetap sama megahnya. Namun di balik pilar-pilar tinggi dan lantai marmer berkilau, tersimpan ribuan rahasia yang tak pernah diungkapkan.Jagatra melangkah dengan jubah birunya, kepala tegak, senyum tipis terukir di bibirnya. Para pelayan menunduk memberi hormat setiap kali ia lewat. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum tenang itu, hatinya retak berkeping-keping.Di aula utama, Raja William dan Ratu Elean duduk di singgasana. Kaesar Avdar, adik kedua yang selalu menjadi kebanggaan mereka, berdiri di sisi sang raja. Senyum hangat sang ratu hanya ditujukan pada Kaesar, sementara tatapannya dingin saat beralih kepada Jagatra.“Jagatra,” suara Raja William menggema, penuh wibawa namun tanpa kehangatan seorang ayah. “Besok kau akan menghadiri jamuan kerajaan bersama duta besar. Jaga sikapmu, jangan membuat malu kerajaan.”Jagatra menunduk hormat. “Ya, Ayahanda.”Kaesar tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada seolah mengejek.“S

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 3 Saudara yang membenci.

    Fajar baru saja menyingsing di Kerajaan Aethelgard Silvanus. Di halaman latihan, suara pedang beradu terdengar nyaring, memenuhi udara pagi yang dingin.Jagatra, sebagai putra mahkota, mencoba ikut serta melatih prajurit. Ia ingin membuktikan diri, menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi penerus tahta. Pedangnya berayun tegas, keringat membasahi dahinya, namun semangat dalam matanya begitu menyala.Namun, tawa mengejek memecah konsentrasinya.“Apa gunanya berusaha, Kak?” suara Lucas Zander Maxime, adik ketiganya, terdengar penuh ejekan. “Kau bisa berlatih sekeras apa pun, tapi orang- orang tetap tahu siapa yang lebih pantas jadi raja. Dan itu bukan dirimu.”Beberapa prajurit tertawa kecil, meski mencoba menutupinya.Jagatra menggertakkan gigi, menahan amarah. Ia menoleh pada Lucas.“Kau terlalu meremehkanku, Lucas. Jangan lupa, aku tetap putra mahkota.”Lucas mendekat, menatap mata kakaknya dengan sinis. “Putra mahkota? Untuk berapa lama? Semua orang tahu Ayah dan Ibu lebih memilih K

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status