Share

bab 4 Luka di balik senyum.

Author: Pita
last update Huling Na-update: 2025-09-02 20:02:17

Hari berganti, suasana di istana Aethelgard Silvanus tetap sama megahnya. Namun di balik pilar-pilar tinggi dan lantai marmer berkilau, tersimpan ribuan rahasia yang tak pernah diungkapkan.

Jagatra melangkah dengan jubah birunya, kepala tegak, senyum tipis terukir di bibirnya. Para pelayan menunduk memberi hormat setiap kali ia lewat. Tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum tenang itu, hatinya retak berkeping-keping.

Di aula utama, Raja William dan Ratu Elean duduk di singgasana. Kaesar Avdar, adik kedua yang selalu menjadi kebanggaan mereka, berdiri di sisi sang raja. Senyum hangat sang ratu hanya ditujukan pada Kaesar, sementara tatapannya dingin saat beralih kepada Jagatra.

“Jagatra,” suara Raja William menggema, penuh wibawa namun tanpa kehangatan seorang ayah. “Besok kau akan menghadiri jamuan kerajaan bersama duta besar. Jaga sikapmu, jangan membuat malu kerajaan.”

Jagatra menunduk hormat. “Ya, Ayahanda.”

Kaesar tersenyum tipis, lalu menambahkan dengan nada seolah mengejek.

“Semoga Kakak mampu menjaga diri. Dunia luar tidak sama dengan dalam istana. Kau tahu, satu kesalahan kecil bisa membuat nama keluarga tercoreng.”

Ratu Elean menatap Kaesar dengan bangga, lalu melirik Jagatra seakan-akan Kaesar lah putra mahkota sejati.

Jagatra hanya tersenyum. Senyum yang dipaksakan, senyum yang menutupi luka.

“Terima kasih atas pengingatnya, pangeran. Aku akan berhati-hati.”

Namun di balik senyum itu, dadanya terasa sesak.

Mengapa selalu Kaesar yang mereka banggakan? Mengapa aku, putra pertama, hanya dianggap bayangan?

Setelah pertemuan usai, Jagatra berjalan keluar istana. Senyum itu masih terukir di wajahnya, meski matanya menyimpan kesedihan mendalam.

Di taman, ia berhenti dan mendongak ke arah langit. Angin berhembus lembut, seakan berusaha menghapus rasa sakitnya.

“Jika ini harga menjadi putra mahkota, aku akan menanggungnya. Tapi suatu hari nanti… mereka semua akan tahu arti senyumanku.”

Senyum itu kembali terlukis bukan lagi sekadar penutup luka, melainkan awal dari topeng yang akan ia kenakan sepanjang hidupnya.

Sore hari menjelang, langit Aethelgard mulai memerah. Jagatra kembali ke kamarnya, ruang megah dengan dinding berukir emas dan jendela besar yang terbuka ke arah taman kerajaan. Semua terlihat indah, tetapi keindahan itu baginya hanya sebuah penjara yang mewah.

Ia berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya sendiri. Senyum yang tadi ia tunjukkan di depan keluarga masih terukir samar, tapi kini tampak rapuh.

“Apakah ini wajah seorang pewaris tahta?” bisiknya pada bayangan diri sendiri. “Ataukah hanya wajah seorang anak yang ditolak oleh keluarganya sendiri?”

Tangannya menyentuh dada, tepat di atas jantung yang berdetak cepat. Ada rasa perih yang terus menggerogoti. Ia ingin berteriak, ingin menumpahkan semua luka yang selama ini ia sembunyikan, tetapi ia tahu… tidak ada seorang pun di istana ini yang mau mendengarkan.

Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang pelayan perempuan masuk dengan membawa nampan berisi minuman hangat.

“Pangeran, ini ramuan herbal yang dipesan untuk menenangkan tubuh setelah latihan.”

Jagatra menatapnya sebentar, lalu tersenyum. Senyum itu hangat, berbeda dari senyum yang ia berikan pada keluarga.

“Terima kasih. Kau boleh pergi.”

Pelayan itu menunduk, lalu keluar dengan wajah sedikit bersemu. Jagatra menarik napas panjang, menatap cangkir itu.

“Bahkan kepada pelayan pun aku harus tersenyum… jika tidak, semua akan melihat betapa rapuhnya aku.”

Ia menutup mata, merasakan angin masuk dari jendela.

Di balik senyum yang semakin ia latih, Jagatra bertekad satu hal ia tidak akan membiarkan kelemahannya terlihat lagi. Senyum akan menjadi senjatanya.

Namun, jauh di dalam dirinya, luka itu tetap ada. Luka yang suatu hari akan menjadi bara api dendam.

Malam itu, jamuan kecil diadakan hanya untuk keluarga kerajaan. Jagatra duduk di kursi panjang, berhadapan dengan saudara-saudaranya. Candaan terdengar, tawa bergema, tetapi ia hanya diam dengan senyum yang sama senyum yang menutupi luka.

Sesekali tatapan Kaesar menusuknya, Lucas dan Michael berbisik sambil menahan tawa, sementara Justin, Rafka, dan Rionaldo tak henti-hentinya memandangnya dengan dingin. Jagatra menahan diri.

Senyumnya tetap terjaga, meski setiap tatapan itu bagai pisau yang menggores hatinya.

Beginilah nasibku… di meja keluargaku sendiri, aku hanyalah orang asing.

Di akhir makan malam, Ratu Elean menepuk tangan Kaesar lembut.

“Kaesar, kau semakin dewasa. Ayahanda dan Ibunda sangat bangga padamu.”

Jagatra hanya menunduk, menyembunyikan kilatan kesedihan di matanya. Ia tidak menuntut pujian tetapi setiap kata yang keluar hanya untuk Kaesar, membuatnya merasa makin terkucil.

Dalam diam, Jagatra menarik napas panjang, lalu kembali mengukir senyum tipis.

Senyum itu bukan lagi hanya tameng, melainkan bisikan pada dirinya sendiri:

“Bertahanlah. Waktumu akan tiba.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 54 Audina terpojok.

    Langit sore mulai memerah ketika Audina menurunkan keranjang bunganya di meja kayu kecil di depan rumahnya. Sejak festival musim panen itu, hidupnya perlahan berubah bukan karena cinta yang ia rasakan, tapi karena mata-mata yang kini mulai mengintai.Ia tahu ada sesuatu yang salah.Beberapa kali ia melihat orang berpakaian istana mondar-mandir di jalan sempit dekat rumahnya. Mereka berpura-pura membeli bunga, tapi tatapan mereka terlalu tajam, terlalu penuh maksud.“Jagat…” gumam Audina sambil menatap langit yang mulai berwarna ungu. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi di istana?”Di sisi lain, di dalam istana megah yang tampak tenang dari luar, kabar tentang gadis bunga rakyat jelata sudah menjadi bahan bisik-bisik para pelayan.Setiap langkah Audina kini seolah menjadi bahan cerita.Dan yang paling sering mendengarnya adalah Putri Ellisha.“Gadis itu…” ucap Ellisha pelan, menatap secarik surat di tangannya. “Menarik perhatian seorang pangeran hanya dengan bunga. Luar biasa.”Ratu El

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 53 Elisha mendekat.

    Pagi itu, istana tampak tenang dari luar, tapi di balik dinding-dinding marmernya, suasana mulai memanas. Desas-desus tentang Pangeran Jagatra yang diam-diam menemui seorang gadis rakyat sudah menyebar seperti api di ladang kering.Setiap langkah yang diambilnya kini terasa diawasi, setiap senyum yang diberikannya dibicarakan.Dan di tengah badai itubEllisha datang.Putri Ellisha dari kerajaan utara, gadis berparas menawan dengan rambut seindah sutra dan tatapan yang penuh percaya diri, melangkah memasuki aula besar dengan gaun biru muda yang berkilau. Setiap langkahnya memancarkan wibawa yang membuat semua mata tertuju padanya.Ratu Elean menyambutnya dengan senyum penuh arti.“Putri Ellisha, kedatanganmu selalu membawa cahaya bagi istana ini,” ucap sang ratu lembut.Ellisha menunduk anggun. “Kehormatan bagi saya bisa kembali ke sini, Yang Mulia. Saya mendengar banyak hal tentang Pangeran Jagatra akhir-akhir ini.”Nada suaranya terdengar ringan, tapi di balik senyum itu, tersimpan ke

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 52 Bahaya dalam bisikan.

    Angin dini hari berhembus pelan melewati koridor istana. Lentera-lentera minyak yang tergantung di sepanjang dinding bergoyang lembut, menimbulkan bayangan yang seolah hidup. Di antara bayangan itu, seorang pelayan muda berlari tergesa dengan wajah tegang.Ia berhenti di depan sebuah pintu besar berhias lambang keluarga kerajaan ruangan milik Ratu Elean.Dengan suara pelan tapi bergetar, ia berkata, “Yang Mulia… aku membawa kabar penting.”Dari dalam, terdengar suara tenang tapi dingin.“Masuk.”Pelayan itu mendorong pintu dan menunduk dalam. “Seseorang melaporkan bahwa Pangeran Jagatra terlihat meninggalkan istana tadi malam. Ada saksi yang mengatakan ia menuju ke desa barat... tempat gadis penjual bunga itu tinggal.”Ratu Elean diam cukup lama. Hanya suara perapian yang terdengar, mengisi ruang sunyi dengan retakan kecil.Setelah beberapa detik, ia berdiri dan berjalan ke jendela, menatap taman yang masih diselimuti kabut pagi.“Begitu rupanya,” ucapnya pelan. “Dia masih belum belaj

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 51 Cinta yang membara.

    Jagatra berdiri di balkon kamarnya, memandangi taman tempat Audina dulu sering menunggu. Bayangan masa lalu itu datang lagi hangat sekaligus menyakitkan.Ia tahu, setelah semua yang terjadi, cinta itu seharusnya padam. Tapi anehnya, semakin ia mencoba mematikannya, api itu malah tumbuh makin besar.Andrew datang membawa kabar dari luar istana. “Gadis itu sudah mulai pulih,” katanya pelan. “Tapi dia masih sering memandangi jalan ke arah istana. Seperti menunggu seseorang yang tak bisa datang.”Jagatra menatap Andrew lama, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. “Aku ingin menemuinya.”Andrew menghela napasnya “Pangeran, anda tahu itu berbahaya. Pengawal istana masih mengawasi setiap gerakan anda, dan Kaesar belum berhenti mencari celah untuk menjatuhkanmu.”“Tapi aku sudah terlalu lama menunggu,” jawab Jagatra lirih. “Cinta bukan sesuatu yang bisa aku sembunyikan selamanya.”Andrew menatap sahabatnya itu dan akhirnya hanya mengangguk. “Baik. Tapi aku ikut.”---Beberapa jam kemu

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 50 Cahaya Harapan.

    Jagatra melangkah ke taman belakang istana. Tempat itu biasanya sepi di pagi hari, hanya terdengar suara burung dan gemericik air kolam kecil di tengahnya.Ia berdiri lama di sana, menatap refleksi wajahnya di permukaan air. Wajah yang dulu tenang, kini tampak keras dan tegas. Tapi di balik tatapan itu, ada luka yang belum sembuh luka yang ia rawat diam-diam agar tak mati rasa.Andrew datang dengan langkah pelan, membawa surat yang terikat pita merah. “Dari utusan barat,” katanya sambil menyerahkan surat itu. “Mereka menawarkan aliansi dagang, tapi sepertinya ada lebih dari sekadar urusan ekonomi.”Jagatra membuka surat itu, membacanya cepat. Bibirnya sedikit terangkat. “Mereka tahu aku mulai bergerak.”Andrew menatap Jagatra dengan tatapan waspada. “anda yakin mau menerima bantuan dari luar istana? Itu berisiko.”“Segalanya berisiko, Drew,” jawab Jagatra tenang. “Tapi aku butuh cahaya, sekecil apa pun, untuk menuntun langkah ini.”Jagatra melipat surat itu rapi. “Kalau mereka mau bek

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 49 janji untuk bertahan hidup.

    Di salah satu kamar menara, Jagatra duduk sendirian di tepi jendela, menatap langit yang berawan.Sudah berjam-jam sejak pertemuan itu, tapi kata-kata ibunya dan senyum tipis Kaesar terus berputar di kepalanya.Ia kalah lagi bukan karena lemah, tapi karena belum cukup licik.Pintu kamarnya terbuka perlahan. Andrew masuk, membawa semangkuk sup hangat. “anda belum makan apa pun sejak tadi siang, pangeran” katanya pelan.Jagatra tidak menoleh. “Aku tidak lapar.”“Kalau begitu, pura-puralah lapar,” jawab Andrew tenang. “Anda butuh tenaga. anda tahu sendiri… Kaesar tidak akan berhenti di sini.”Jagatra menarik napasnya panjang. “Aku tahu. Tapi aku juga tidak akan berhenti.”Jagatra menoleh, matanya penuh tekad. “Aku sudah muak selalu menjadi bayangan. Kalau mereka mau menjatuhkanku, mereka harus siap jatuh bersamaku.”Andrew duduk di seberang. “Kalau begitu, kita mulai dari mana?”Jagatra berpikir sejenak. “Dari Audina.”Nada suaranya melembut. “Dia masih belum sadar sepenuhnya, tapi aku i

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status