Home / Historical / Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota / bab 2 kasih sayang yang hilang.

Share

bab 2 kasih sayang yang hilang.

Author: Pita
last update Last Updated: 2025-09-02 20:01:00

Keesokan harinya, sinar matahari pagi menembus kaca jendela kamar Pangeran Mahkota Jagatra Eduardo Batistuta. Ia bangun dengan tubuh letih, seolah sisa sakit hati semalam masih membebani pundaknya.

Di meja kerjanya, surat-surat tugas kerajaan menumpuk. Sebagai putra mahkota, tanggung jawab itu seharusnya dipikulnya, tetapi tak seorang pun yang benar-benar mengajarkan atau mendukungnya. Semua arahan dan perhatian selalu jatuh kepada Kaesar Avdar, adik keduanya.

Saat ia baru saja mulai membaca, pintu kamarnya terbuka tanpa ketukan. Sosok Ratu Elean, ibunya, masuk dengan langkah anggun. Namun, tatapannya dingin, jauh dari kasih sayang seorang ibu kepada anak sulungnya.

“Jagatra,” ucapnya datar. “Mengapa kau meninggalkan pesta semalam tanpa pamit?”

Jagatra menunduk hormat. “Hamba mohon maaf, Ibu. Hamba merasa kurang sehat.”

Ratu Elean menghela napas panjang, matanya tajam menusuk. “Kau harus belajar menahan diri. Suatu hari nanti, kau akan menjadi raja. Semua orang memperhatikan. Kau tidak boleh terlihat lemah.”

Jagatra menahan sakit dalam dadanya. Kata-kata itu bukanlah teguran lembut, melainkan penghakiman. Ia ingin sekali berkata bahwa dirinya tak pernah dipandang, tak pernah dicintai, tapi bibirnya terkunci.

Saat itu, Kaesar Avdar masuk ke kamar dengan senyum menawan.

“Ibu, Ayah memanggilku untuk membicarakan urusan perbatasan. Tapi sebelum itu, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk pesta tadi malam. Semua orang tampak gembira.”

Ratu Elean tersenyum lembut senyum yang tak pernah ia berikan pada Jagatra. Tangannya bahkan menyentuh bahu Kaesar dengan penuh kasih. “Kau benar-benar kebanggaan Ibu, Kaesar.”

Jagatra hanya bisa berdiri di sisi ruangan, menyaksikan pemandangan itu. Hatinya perih. Bukan karena iri pada Kaesar semata, melainkan karena ia merindukan sedikit saja kasih sayang yang sama dari ibunya.

Setelah ibunya dan Kaesar pergi, Jagatra duduk kembali. Ia menatap cermin di mejanya.

“Kasih sayang yang seharusnya kumiliki… sudah lama hilang,” gumamnya lirih.

Di saat itu juga, ia mulai menyadari keluarga yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru adalah dinding dingin yang menjebaknya dalam kesepian.

Dan perlahan, hatinya yang lembut mulai mengeras.

Siang itu, Jagatra berjalan di halaman istana, melewati deretan prajurit yang sedang berlatih. Beberapa dari mereka menunduk dengan canggung saat melihatnya, namun segera mengangkat kepala penuh semangat ketika Kaesar lewat di sisi lain.

“Lihatlah, Pangeran Kaesar datang!” seru seorang prajurit muda.

“Dia pasti akan menjadi raja besar suatu hari nanti,” sahut yang lain dengan penuh kagum.

Jagatra terdiam, seolah tubuhnya tertusuk belati tak kasat mata. Ia adalah putra mahkota, tapi semua orang sudah menaruh harapan pada Kaesar.

Langkahnya terhenti di dekat kolam istana. Di permukaan air yang tenang, ia melihat bayangan dirinya sendiri. Wajah yang tampak gagah, tapi mata itu memendam kesepian mendalam.

Apakah aku benar-benar tidak cukup baik?

Suara hatinya terus bertanya. Ia ingin berteriak, ingin membuktikan bahwa dirinya mampu. Namun di sekelilingnya, hanya ada bayangan kebesaran Kaesar yang menutupi cahaya miliknya sendiri.

Tiba-tiba, suara langkah mendekat. Jema Xaverius Spark, adik pertamanya, berdiri sambil melipat tangan. Tatapannya meremehkan.

“Kakak, kau tahu mengapa semua orang lebih menyukai Kaesar? Karena kau selalu terlihat rapuh. Raja tidak boleh rapuh.”

Jagatra menoleh, menahan amarah yang membara. “Dan kau pikir aku tidak berusaha? Kau tidak tahu betapa beratnya menjadi aku.”

Jema terkekeh kecil. “Aku tahu satu hal kerajaan ini tidak butuh pangeran yang hanya bisa mengeluh.” Ia berlalu pergi, meninggalkan Jagatra dengan hati yang semakin hancur.

Mata Jagatra panas, tapi ia menahan diri agar air matanya tidak jatuh.

Hari itu, ia menyadari dengan jelas: bukan hanya ibunya yang tak memihaknya, bahkan saudara-saudaranya pun mulai menunjukkan wajah asli mereka.

Di langit sore yang mulai memerah, sebuah rasa getir mengendap di dadanya.

Rasa itu perlahan berubah menjadi tekad yang semakin kuat.

“Jika kasih sayang tidak bisa kudapatkan… maka aku hanya bisa membangun jalanku sendiri menuju tahta.”

Malam kembali tiba di istana Aethelgard Silvanus. Jagatra berjalan sendirian di koridor panjang menuju kamarnya. Obor-obor yang menyala hanya menambah kesan dingin, bukan memberi kehangatan.

Saat hendak melewati aula kecil, ia berhenti. Dari balik dinding, terdengar suara ayahnya, Raja William, berbincang dengan Ratu Elean.

“Aku mulai yakin Kaesar lebih pantas jadi penerusku,” suara Raja William terdengar berat, namun tegas.

“Jagatra… dia terlalu lemah. Terlalu banyak ragu dalam dirinya,” sambung Ratu Elean tanpa ragu sedikit pun.

Jagatra tertegun. Lututnya hampir goyah, seolah lantai marmer di bawah kakinya runtuh.

Suara ayahnya kembali terdengar, lirih tapi jelas menusuk telinga.

“Jika saatnya tiba, aku akan mempertimbangkan untuk mengganti putra mahkota.”

Kalimat itu menghantam Jagatra seperti petir yang menyambar. Jantungnya berdetak begitu keras, kepalanya berputar. Ia ingin masuk dan berteriak, ingin bertanya mengapa ayah dan ibunya tega mengkhianati darah daging mereka sendiri.

Namun langkahnya membeku.

Air matanya jatuh untuk pertama kali hari itu, tanpa bisa ia cegah. Dengan langkah gemetar, ia menjauh dari ruangan itu, memastikan tak ada seorang pun mendengar napasnya yang memburu.

Di luar, di bawah cahaya bulan, Jagatra berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku tidak pernah berarti bagi mereka… bahkan sejak awal.”

Jagatra hanyalah sosok remaja yang berusia 15 tahun yang masih butuh dan akan selalu butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya,tapi yang ia dapatkan hanya kekecewaan setiap harinya.

Suara itu lirih, tapi dalam hatinya tumbuh sesuatu yang lebih kuat daripada kesediha rasa sakit yang perlahan berubah menjadi bara dendam.

Malam itu, bintang-bintang seakan menyaksikan runtuhnya seorang anak yang haus kasih sayang… sekaligus lahirnya seorang pangeran yang perlahan mulai menutup hatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 54 Audina terpojok.

    Langit sore mulai memerah ketika Audina menurunkan keranjang bunganya di meja kayu kecil di depan rumahnya. Sejak festival musim panen itu, hidupnya perlahan berubah bukan karena cinta yang ia rasakan, tapi karena mata-mata yang kini mulai mengintai.Ia tahu ada sesuatu yang salah.Beberapa kali ia melihat orang berpakaian istana mondar-mandir di jalan sempit dekat rumahnya. Mereka berpura-pura membeli bunga, tapi tatapan mereka terlalu tajam, terlalu penuh maksud.“Jagat…” gumam Audina sambil menatap langit yang mulai berwarna ungu. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi di istana?”Di sisi lain, di dalam istana megah yang tampak tenang dari luar, kabar tentang gadis bunga rakyat jelata sudah menjadi bahan bisik-bisik para pelayan.Setiap langkah Audina kini seolah menjadi bahan cerita.Dan yang paling sering mendengarnya adalah Putri Ellisha.“Gadis itu…” ucap Ellisha pelan, menatap secarik surat di tangannya. “Menarik perhatian seorang pangeran hanya dengan bunga. Luar biasa.”Ratu El

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 53 Elisha mendekat.

    Pagi itu, istana tampak tenang dari luar, tapi di balik dinding-dinding marmernya, suasana mulai memanas. Desas-desus tentang Pangeran Jagatra yang diam-diam menemui seorang gadis rakyat sudah menyebar seperti api di ladang kering.Setiap langkah yang diambilnya kini terasa diawasi, setiap senyum yang diberikannya dibicarakan.Dan di tengah badai itubEllisha datang.Putri Ellisha dari kerajaan utara, gadis berparas menawan dengan rambut seindah sutra dan tatapan yang penuh percaya diri, melangkah memasuki aula besar dengan gaun biru muda yang berkilau. Setiap langkahnya memancarkan wibawa yang membuat semua mata tertuju padanya.Ratu Elean menyambutnya dengan senyum penuh arti.“Putri Ellisha, kedatanganmu selalu membawa cahaya bagi istana ini,” ucap sang ratu lembut.Ellisha menunduk anggun. “Kehormatan bagi saya bisa kembali ke sini, Yang Mulia. Saya mendengar banyak hal tentang Pangeran Jagatra akhir-akhir ini.”Nada suaranya terdengar ringan, tapi di balik senyum itu, tersimpan ke

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 52 Bahaya dalam bisikan.

    Angin dini hari berhembus pelan melewati koridor istana. Lentera-lentera minyak yang tergantung di sepanjang dinding bergoyang lembut, menimbulkan bayangan yang seolah hidup. Di antara bayangan itu, seorang pelayan muda berlari tergesa dengan wajah tegang.Ia berhenti di depan sebuah pintu besar berhias lambang keluarga kerajaan ruangan milik Ratu Elean.Dengan suara pelan tapi bergetar, ia berkata, “Yang Mulia… aku membawa kabar penting.”Dari dalam, terdengar suara tenang tapi dingin.“Masuk.”Pelayan itu mendorong pintu dan menunduk dalam. “Seseorang melaporkan bahwa Pangeran Jagatra terlihat meninggalkan istana tadi malam. Ada saksi yang mengatakan ia menuju ke desa barat... tempat gadis penjual bunga itu tinggal.”Ratu Elean diam cukup lama. Hanya suara perapian yang terdengar, mengisi ruang sunyi dengan retakan kecil.Setelah beberapa detik, ia berdiri dan berjalan ke jendela, menatap taman yang masih diselimuti kabut pagi.“Begitu rupanya,” ucapnya pelan. “Dia masih belum belaj

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 51 Cinta yang membara.

    Jagatra berdiri di balkon kamarnya, memandangi taman tempat Audina dulu sering menunggu. Bayangan masa lalu itu datang lagi hangat sekaligus menyakitkan.Ia tahu, setelah semua yang terjadi, cinta itu seharusnya padam. Tapi anehnya, semakin ia mencoba mematikannya, api itu malah tumbuh makin besar.Andrew datang membawa kabar dari luar istana. “Gadis itu sudah mulai pulih,” katanya pelan. “Tapi dia masih sering memandangi jalan ke arah istana. Seperti menunggu seseorang yang tak bisa datang.”Jagatra menatap Andrew lama, lalu mengalihkan pandangannya ke langit malam. “Aku ingin menemuinya.”Andrew menghela napasnya “Pangeran, anda tahu itu berbahaya. Pengawal istana masih mengawasi setiap gerakan anda, dan Kaesar belum berhenti mencari celah untuk menjatuhkanmu.”“Tapi aku sudah terlalu lama menunggu,” jawab Jagatra lirih. “Cinta bukan sesuatu yang bisa aku sembunyikan selamanya.”Andrew menatap sahabatnya itu dan akhirnya hanya mengangguk. “Baik. Tapi aku ikut.”---Beberapa jam kemu

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 50 Cahaya Harapan.

    Jagatra melangkah ke taman belakang istana. Tempat itu biasanya sepi di pagi hari, hanya terdengar suara burung dan gemericik air kolam kecil di tengahnya.Ia berdiri lama di sana, menatap refleksi wajahnya di permukaan air. Wajah yang dulu tenang, kini tampak keras dan tegas. Tapi di balik tatapan itu, ada luka yang belum sembuh luka yang ia rawat diam-diam agar tak mati rasa.Andrew datang dengan langkah pelan, membawa surat yang terikat pita merah. “Dari utusan barat,” katanya sambil menyerahkan surat itu. “Mereka menawarkan aliansi dagang, tapi sepertinya ada lebih dari sekadar urusan ekonomi.”Jagatra membuka surat itu, membacanya cepat. Bibirnya sedikit terangkat. “Mereka tahu aku mulai bergerak.”Andrew menatap Jagatra dengan tatapan waspada. “anda yakin mau menerima bantuan dari luar istana? Itu berisiko.”“Segalanya berisiko, Drew,” jawab Jagatra tenang. “Tapi aku butuh cahaya, sekecil apa pun, untuk menuntun langkah ini.”Jagatra melipat surat itu rapi. “Kalau mereka mau bek

  • Pembalasan Dendam Sang Pangeran Mahkota   bab 49 janji untuk bertahan hidup.

    Di salah satu kamar menara, Jagatra duduk sendirian di tepi jendela, menatap langit yang berawan.Sudah berjam-jam sejak pertemuan itu, tapi kata-kata ibunya dan senyum tipis Kaesar terus berputar di kepalanya.Ia kalah lagi bukan karena lemah, tapi karena belum cukup licik.Pintu kamarnya terbuka perlahan. Andrew masuk, membawa semangkuk sup hangat. “anda belum makan apa pun sejak tadi siang, pangeran” katanya pelan.Jagatra tidak menoleh. “Aku tidak lapar.”“Kalau begitu, pura-puralah lapar,” jawab Andrew tenang. “Anda butuh tenaga. anda tahu sendiri… Kaesar tidak akan berhenti di sini.”Jagatra menarik napasnya panjang. “Aku tahu. Tapi aku juga tidak akan berhenti.”Jagatra menoleh, matanya penuh tekad. “Aku sudah muak selalu menjadi bayangan. Kalau mereka mau menjatuhkanku, mereka harus siap jatuh bersamaku.”Andrew duduk di seberang. “Kalau begitu, kita mulai dari mana?”Jagatra berpikir sejenak. “Dari Audina.”Nada suaranya melembut. “Dia masih belum sadar sepenuhnya, tapi aku i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status